Kamis, 28 Oktober 2010

Mati Seribu, Tumbuh Satu

BI berencana menghilangkan tiga nol di belakang nilai nominal rupiah dalam program redenominasi. Rencana tersebut sudah melalui riset panjang selama enam tahun. Meskipun begitu, BI dinilai akan kesulitan pada tahap sosialisasi.



Coba bayangkan jika uang Rp100 ribu yang Anda miliki, nilainya dinyatakan susut menjadi Rp100? Tentu Anda akan panik dan tidak terima kenyataan itu. Tetapi bagaimana kalau barang-barang atau jasa-jasa yang tadinya seharga Rp100 ribu, kini bisa dibeli dengan harga Rp100? Tentunya tidak menjadi masalah.
Dan kemungkinan, setelah itu, kelipatan dalam nominal nilai uang rupiah akan disusutkan menjadi satuan. Jadi jika harga satu macam barang Rp1, maka harganya jika membeli dua hanya Rp2. Tentu jika dilihat dari sisi efisiensi angka dan ekspektasi harga, angka tersebut lebih mumpuni ketimbang Rp1.000 kemudian menjadi Rp2.000.
Hal tersebut sudah lazim dipakai di negara-negara lain di dunia, seperti AS, negara zona Eropa, Malaysia, Singapura, India. Maka itu tidak heran jika dibandingkan mata uang rupiah, kenaikan pada nominal mata uang negara-negara-negara itu terkesan lebih sedikit. Bayangkan saja, jika tahun 1996 kurs 1 dollar AS masih bernilai sekitar Rp2.500, kini sudah Rp9.500. Namun jika kita menggunakan kelipatan satuan, mungkin kini 1 dollar AS hanya sekitar Rp9,5.
Nah, mulai tahun ini Bank Indonesia tengah merintis rencana besar itu. Rencana yang disebut redenominasi rupiah itu pun memancing pro kontra. Menurut laman investodedia, istilah itu berarti dua hal: pertama adalah sebuah proses dimana mata uang suatu negara ditentukan ulang karena inflasi signifikan dan devaluasi mata uang. Kedua, Proses perubahan nilai kurs atau mata uang terkait financial security. BI sendiri mengartikan istilah tersebut dengan proses penyederhanaan penyebutan satuan harga dan nilai
Walaupun riset yang dilakukan terkait rencana redenominasi sudah berlangsung sejak 5-6 tahun lalu, BI tidak mau gegabah menerapkan rencana tersebut. “Kita masih butuh setidaknya sepuluh tahun karena memang kebijakan ini sangat membutuhkan komitmen nasional,” kata Pejabat Sementara Gubernur BI Darmin Nasution.
Oleh karena itu, sebelum diberlakukan, BI menyiapkan setidaknya tiga tahapan sebelum akhirnya nilai nominal rupiah hanya memiliki satu digit untuk setiap satuan. Tahap pertama adalah sosialisasi. Tahap ini akan mulai diberlakukan tahun depan hingga 2012. Dalam tahap ini bank sentral akan menjelaskan kepada seluruh lapisan masyarakat di seluruh Indonesia segala sesuatu mengenai redenominasi.
Tahap kedua adalah transisi yang mulai berlaku sejak 2013 hingga 2015. Pada masa transisi BI mulai mengeluarkan uang baru sehingga di masyarkat digunakan dua mata uang rupiah atau dua kuotasi.
"Pada masa transisi digunakan dua rupiah, yakni memakai istilah rupiah lama dan rupiah hasil redenominasi yang disebut rupiah baru," kata Darmin.
Barang-barang di masyarakat pun akan ditetapkan agar menggunakan dua label harga, yakni harga dengan uang rupiah lama dan dengan rupiah baru. Artinya jika sebuah barang memiliki harga Rp 10.000 maka akan dibuat dua label yakni Rp 10.000 untuk rupiah lama dan Rp10 untuk rupiah baru.
"Pada masa transisi tersebut maka akan berlaku kedua-duanya rupiah baru dan rupiah lama. Masyarakat boleh bebas memilih," tutur Darmin.
Setelah masa transisi dilakukan, tahap ketiga dimulai yang ditandai oleh penarikan uang rupiah lama hingga habis oleh bank sentral yang akan diterapkan pada 2016 sampai 2018 dan yang tersisa adalah uang baru.
Pada tahap terakhir, sepanjang 2019 sampai 2022, BI akan mulai menghapus tulisan atau cap ‘baru’ pada uang rupiah dan akhirnya masyarakat sudah menggunakan rupiah dengan satuan nominal yang baru.
Menurut ekonom dari Standard Chartered Bank Eric Alexander Sugandi, dalam tahap-tahap itu yang paling krusial adalah masa-masa sosialisasi. Bagaimana tidak, dengan jumlah populasi lebih dari 238 juta penduduk yang tersebar di lebih dari 17 ribu pulau, tentu sosialisasi pengukuran dan penyebutan mata uang baru bukan pekerjaan mudah.
“Tantangan terbesar pada tahap sosialisasi. Akan ada kebingungan di masyarakat di awal apalagi jika dilakukan serentak,” kata Eric.
Selain itu, BI juga harus memperhatikan efek psikologis dan politis dari rencana tersebut. Pasalnya, akan banyak perubahan sebagai konsekuensi dari kebijakan itu yang harus segera diantisipasi. Misalnya adalah sistem akuntansi negara terutama yang berkaitan dengan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara (APBN) serta penghitungan cadangan devisa.
Meski demikian dalam jangka panjang, rencana redenominasi dinilai Eric sebagai langkah besar yang positif bagi perekonomian. “Agar lebih efektif, BI bisa menggunakan strategi menentukan pilot project dari rencana itu di beberapa daerah,” tambah Eric.
Analis lain menganggap rencana redenominasi belum tepat untuk digulirkan. “Itu tidak perlu dilakukan. Sebab, itu tidak berarti apa-apa," kata Ekonom Bank Mandiri, Mirza Adityaswara.
Mirza mengatakan rencana penyederhanaan penyebutan rupiah tersebut cuma berarti untuk mengubah secara psikologis agar rupiah tidak lagi kelihatan terlalu murah seperti sekarang. “Sama seperti halnya stock split atau pemecahan saham, jumlah sahamnya berubah, tetapi secara nilai tetap sama,” jelas dia.
Namun demikian nampaknya tekad BI sudah bulat untuk segera menggulirkan rencana tersebut tahun ini. Seperti yang dikemukakan Deputi Gubernur Bank Indonesia S Budi Rochadi, otoritas moneter telah melakukan finalisasi terkait hasil riset redenominasi rupiah. "Kita akan bawa hasil riset ini ke Presiden, nanti presiden yang putuskan. Dalam waktu dekat bisa dilakukan antara bulan-bulan ini lah," kata Budi.
Bahkan BI juga berencana memasukkan usulan redenominasi rupiah ini ke dalam Rancangan Undang-Undang Mata Uang (RUU Mata Uang) yang saat ini siap dibahas di DPR.
Sementara itu DPR meminta wacana redenominasi tidak menimbulkan gejolak stabilitas ekonomi. "Redenominasi sebetulnya sangat baik, tetapi harus dipahami jika kesiapan masyarakat menjadi hal penting yang harus diperhatikan," ujar Wakil Ketua Komisi XI DPR-RI, Akhsanul Qasasi

Argumen Efisiensi
Usulan penyederhanaan nominal mata uang, menurut BI digulirkan agar perekonomian Indonesia lebih efisien. Redenominasi juga berbeda dengan pemotongan uang atau sanering seperti yang pernah dipraktikkan pemerintah di zaman Orde Lama. Pada 19 Maret 1950, sanering pertama yang dikenal dengan Gunting Syafrudin (Prawiranegara, gubernur bank sentral saat itu) dilakukan dengan tujuan menutup defisit anggaran negara.
Sembilan tahun kemudian tepatnya 25 Agustus 1959, dilakukan sanering kedua yang bertujuan membendung inflasi tinggi. Saat itu uang pecahan Rp 1.000 diturunkan nilainya menjadi Rp100.Kemudian, pada 13 Desember 1965, sanering ketiga yang memotong nilai uang Rp 1.000, menjadi Rp1diberlakukan untuk mengatasi inflasi.
Namun BI menolak jika rencana tersebut dinilai sama dengan sanering. Darmin Nasution mengatakan bahwa saat ini telah terjadi inefisiensi dalam transaksi yang disebabkan lamanya waktu maupun biaya transaksi, karena nilai transaksi semakin lama menjadi semakin besar.
“Argometer taksi misalnya, dalam pembayaran Rp120 ribu, tertera 120.000. Enam digit angka ini sangat merepotkan konsumen maupun pengemudi taksi. Selain itu, untuk toko-toko kecil mesin hitung yang mereka miliki juga memiliki batas digit.”
Beberapa negara lain memang pernah mempraktikkan kebijakan redenominasi, seperti Turki, Rumania, Denmark, China, Taiwan. Prancis, Rusia dan negara lainnya. Oleh karena itu, Indonesia yang dianggap memilik nilai nominal mata uang terbesar kedua setelah Vietnam dinilai bisa menerapkan strategi tersebut.
“Redenominasi ini dilakukan untuk menghindari cost yang besar lima sampai tujuh tahun ke depan, di mana alat hitung tidak lagi memadai karena digitnya sudah melampaui aplikasi yang ada. Kalau tidak dilakukan cost yang lebih besar akan terjadi dalam waktu 10 tahun ke depan,” pungkas Darmin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar