Rabu, 31 Oktober 2012

Senja Kala Bank Milik Keluarga



Masa-masa kejayaan bank miliki keluarga tampaknya akan segera berakhir setelah regulator menerbitkan aturan pembatasan saham. Benarkah demikian?

Sebuah bank mungkin akan mampu bertahan selama seratusan tahun. Akan tetapi pendirinya tidak. Meski demikian anak cucu dari founding father bank tersebut masih bisa menikmati kepemilikannya dan melihat bank itu tetap beroperasi jika memang bank itu masih bertahan. Akan tetapi skenario itu bisa saja tak berjalan jika regulator tidak menginginkannya karena suatu hal.
Di Indonesia, bank-bank yang didirikan oleh seseorang atau sebuah keluarga memang terhitung masih banyak. Gelombang mendirikan bank-bank yang dimiliki oleh satu keluarga yang menguasai bisnis sejatinya terjadi pada akhir 80-an setelah pemerintah mengeluarkan paket deregulasi pada Oktober 1988 (yang dikenal dengan pakto 88). Dengan ‘hanya’ bermodal Rp10 miliar, seseorang bisa dengan mudah mendirikan bank.
Namun sepuluh tahun berselang banyak di antara mereka yang kolaps bersamaan dengan krisis ekonomi. Sebut saja, Bank Andromeda milik Bambang Trihatmodjo putra Presiden Soeharto, atau Bank Pacific milik Ponco Sutowo. Selain itu, ada pula Bank Jakarta milik pengusaha pribumi kondang Probosutedjo atau Bank Industri milik Titiek Prabowo, putri Presiden Soeharto. Jangan lupakan pula Bank Nusa Nasional milik keluarga Bakrie dan Bank Harapan Sentosa milik pengusaha Hendra Rahardja.
‘Kematian’ bank keluarga malah sudah terjadi sejak tahun 1992 saat Bank Summa milik Edward Soeryadjaya, anak sulung Williem Soeryadjaya, pendiri Astra dilikuidasi.
Akan tetapi, setelah krisis ekonomi dinyatakan berlalu, minat para pemilik dana kakap untuk mendirikan bank di Indonesia tumbuh lagi. Bahkan minat itu tak surut meski Bank Indonesia memperketatnya dengan meningkatkan persyaratan modal hingga Rp3 triliun.
Apa yang membuat para pemodal sangat tertarik mendirikan bank di Indonesia? Jawaban yang pasti dari pertanyaan itu adalah karena ada potensi pasar yang sangat besar. Dengan jumlah penduduk  mencapai 240 juta jiwa dan lebih dari dua pertiga belum memiliki rekening bank, Indonesia adalah pasar yang sangat besar.
Dari jumlah penduduk di atas 15 tahun yang jumlahnya sekitar 239,9 juta, hanya 19,6 persen yang memiliki rekening di bank yaitu 15,3 persen untuk rekening simpanan sebesar dan 8,5 persen kredit. "Indonesia termasuk tertinggal di antara ASEAN," ujar anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Firdaus Djaelani.
Hingga saat ini otoritas keuangan di Tanah Air terus mengampanyekan program financial inclusion agar makin banyak orang Indonesia yang memiliki akses ke perbankan.
Selain potensi yang besar, keuntungan dari kegiatan bisnis bank pun tak kalah berkilau. Masih relatif tingginya suku bunga di Indonesia membuat keuntungan dari menjalankan bisnis ini sangat besar. Padahal suku bunga acuan (BI Rate) sudah terpangkas signifikan hingga ke level terendah sepanjang masa di 5,75 persen. Meski demikian suku bunga kredit masih juga tinggi. Dalam lima tahun terakhir rata-rata spread suku bunga rupiah perbankan nasional berada dalam kisaran 4,63 persen-6,88 persen, sementara rata-rata spread suku bunga dollar AS sebesar 2,41 persen-7,33 persen. Sebagai perbandingan, Net Interest Spread negara ASEAN seperti Singapura, Malaysia, dan Vietnam masing-masing pada kisaran 4,90 persen, 3,30 persen, dan 2,83 persen.
Dengan memberikan bunga kredit antara 10-13 persen bahkan bisa mencapai lebih dari 20 persen untuk kredit mikro, maka sudah bisa dibayangkan besarnya keuntungan yang bisa dikantongi pemilik bank.
Hal itu bisa dilihat pula pada selisih bunga bersih (net interest margin/ NIM). Hingga paro pertama 2012, net interest margin bank umum masih bertengger di level 5 persen lebih. Dengan spread yang lebar tersebut, tak mengherankan jika perbankan nasional berhasil membukukan laba tinggi. Return on Assets Ratio dari 80 bank mencapai lebih dari 1,5 persen, dengan rata-rata bank umum mencapai 3,11 persen.
Laba bersih bank umum hingga Agustus 2012 tumbuh 23,8 persen (year on year) menjadi Rp 59,72 triliun, menurut Statistik Perbankan Indonesia. Peningkatan laba bersih ini ditopang pendapatan bunga bersih perbankan.
Pada periode Januari-Agustus 2012, pendapatan bunga bersih perbankan meningkat 17 persen menjadi Rp 132,99 triliun dari Rp 113,62 triliun pada periode yang sama 2011. Sementara itu, pendapatan non-bunga naik tipis menjadi Rp 83,24 triliun hingga Agustus 2012 dari Rp 83,17 triliun pada periode yang sama tahun lalu. Tahun lalu, laba perbankan mencapai Rp75 triliun, naik 31 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Rata-rata pertumbuhan perbankan mencapai 23,29 persen per tahun.
Dengan pertumbuhan laba yang konsisten dalam beberapa tahun, pemilik modal mana yang tak tergiur untuk memiliki bank di Indonesia. Oleh sebab itulah tidak terlalu mengherankan jika pasca masa restrukturisasi, banyak investor yang ingin memiliki bank di Indonesia.
Apalagi aturan mendirikan bank berdasarkan Undang-Undang No.7 tahun 1992 masih relatif longgar. Bahkan orang asing atau badan hukum dari negera lain boleh memiliki bank di Indonesia dengan kepemilikan saham hingga 99 persen.
Akhir Kejayaan
Akan tetapi sejak Juli lalu, bank sentral menerbitkan aturan mengenai pembatasan kepemilikan saham di sebuah bank. Kebijakan itu tampaknya akan menjadi titik awal dari berakhirnya kejayaan bank keluarga. Mungkin kalimat itu terlalu tendesius karena aturan tidak menghilangkan sama sekali kepemilikan individu atau sebuah keluarga di sebuah bank.
Dalam aturan tersebut, investor diperbolehkan menguasai bank maksimal 20 hingga 40 persen dengan rincian investor individu atau keluarga 20 persen, institusi nonkeuangan 30 persen, dan institusi keuangan 40 persen. Batasan individu dan keluarga ini meningkat ke 25 persen untuk bank syariah.
Awalanya banyak yang menduga bahwa regulasi tersebut diterbitkan untuk mendepak investor asing dari sektor perbankan nasional. Karena bank-bank asing terus gencar menyerbu Indonesia dengan mengakuisisi bank-bank nasional yang kesulitan modal. Apalagi beberapa waktu sebelum aturan itu keluar bank raksasa Singapura, DBS Group Holdings yang berencana mengakuisisi Bank Danamon.
Namun setelah aturan itu keluar, gantian yang cemas adalah bank-bank yang dikendalikan sebuah keluarga atau konglomerasi. Jika bank-bank itu gagal memenuhi standar BI, mereka bisa terpaksa menjual sebagian kepemilikan. “Pada awalnya, investor asing yang khawatir. Sekarang, para keluarga yang khawatir,” kata Fauzi Ichsan, ekonom senior Standard Chartered Bank. “Ini peralihan yang tak terduga.”
Apa yang dilontarkan oleh ekonom yang saat ini duduk dalam jajaran direksi itu memang tidak berlebihan. Bank Indonesia memang berniat mengurangi penguasaan individu atau satu keluarga dalam sebuah bank karena risikonya yang besar.
Deputi Gubernur BI Muliaman D Hadad beberapa saat setelah aturan itu keluar mengatakan secara terang-terangan bahwa tujuan aturan ini untuk mengikis potensi moral hazard pemilik bank. Pengalaman masa lalu memang telah membuktikan bahwa kebanyakan bank nasional yang bangkrut lebih disebabkan karena dana nasabahnya dicuri pemilik bank. Atau praktik penyaluran kredit kepada pihak terkait (insider lending) yang melewati ambang batas maksimum pemberian kredit (BMPK) yang memicu kredit macet besar-besaran dan membuat bank bangkrut. Kasus likuidasi Bank Summa pada 1992 akibat kredit macet senilai Rp1,4 triliun seperti disebutkan di awal tulisan serta likudiasi 16 bank pada 1998 bisa menjadi contoh.
Sejak tahun 2005 pemerintah bahkan telah melikuidasi 27 bank, di mana sebagian besar bank perkreditan rakyat. Bank yang dicabut izinnya tersebut hampir seluruhnya dikarenakan moral hazard dari pengurus dan pemiliknya yang merupakan keluarga sendiri.
Saat ini terdapat sekitar dua puluhan bank nasional yang mayoritas kepemilikannya dipegang oleh satu individu atau keluarga baik yang berstatus sebagai perusahaan publik maupun nonpublik. Dengan memperkecil limit kepemilikan saham oleh individu di sebuah bank, BI berharap bank-bank keluarga tersebut akan mendivestasikan sebagian sahamnya. Dengan demikian kepemilikan akan lebih beragam, lebih-lebih lagi kalau lebih banyak saham yang dimiliki publik. Logikanya, struktur kepemilikan yang terdiversifikasi pada beberapa pemegang saham akan membuat manajemen dan operasional bank makin transparan.
"Dari sekitar 120 bank yang belum go public, masih banyak yang dimiliki family. Akan memudahkan otoritas kalau bank lebih terbuka karena disclosure yang lebih kuat," ujar BI Muliaman yang saat ini menjadi pejabat Otoritas Jasa Keuangan, pengawas tertinggi lembaga keuangan.
Meski begitu, aturan itu tetap saja berisiko ditelikung oleh keluarga atau individu pemilik bank yang cerdik. Mereka bisa saja memanfaatkan celah aturan ini dengan saling tukar kepemilikan bank dengan keluarga yang lain. Misalnya begini, pemegang saham mayoritas Bank A, Bank B dan Bank C, wajib mengurangi kepemilikan mereka. Ketiga investor ini lalu bersepakat menukar saham mereka di masing-masing bank agar sesuai aturan. Pemegang saham mayoritas di Bank A akan menyerahkan sebagian sahamnya ke pemilik Bank B dan Bank C. Begitu pula sebaliknya, sehingga saling memiliki dan saling bergantung sama lain.
Benarkah bisa begitu? Mudah-mudahan tidak.




Box
Aturan Pendirian Bank di Indonesia berdasarkan UU No7 1992
Dalam pasal 3 disebutkan :
1)      Bank hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan usaha dengan izin Direksi Bank Indonesia.
2)      Bank hanya  dapat didirikan oleh:
a)      WNI dan/atau Badan Hukum Indonesia; atau
b)      WNI dan/atau Badan Hukum Indonesia dengan WNA dan/atau Badan Hukum Asing secara kemitraan.
Selanjutnya dalam pasal 4 disebutkan:
1)      Modal disetor untuk mendirikan Bank ditetapkan sekurang-kurangnya sebesar Rp 3.000.000.000,00 (tiga triliun rupiah);
2)      Modal disetor bagi Bank yang berbentuk hukum Koperasi adalah simpanan pokok, simpanan wajib, dan hibah sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang Perkoperasian;
3)      Modal disetor yang berasal dari warga Negara asing dan/atau badan hukum asing, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka (2) huruf b setinggi-tingginya sebesar 99 % (Sembilan puluh sembilah persen) dari modal disetor bank.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar