Sektor korporasi tengah menjadi bidikan serius perbankan jika proyek infrastruktur dijalankan konsisten mulai tahun ini. Namun pemerintah harus membereskan sejumlah masalah yang menghambat proyek itu jika ingin ekonomi RI tumbuh lebih tinggi.
Tentu tak
ada seorangpun pelaku di industri keuangan yang lupa pada peristiwa ambruknya
sektor perbankan Indonesia di tahun 1997/1998 yang akhirnya memicu krisis
ekonomi hingga awal 2000-an. Pada kurun waktu itu, pinjaman kepada korporasi
–yang sebelumnya menjadi andalan bank, disetop sama sekali sehingga banyak
perusahaan-perusahaan besar yang limbung dan akhirnya kolaps. Situasi itu kemudian
memberi tekanan tambahan kepada krisis karena bertambahnya jumlah pekerja yang
dipecat akibat perusahaannya tutup.
Sejak itulah
perbankan tak mau menyalurkan kredit kepada sektor korporasi. Sebaliknya bank
mengandalkan penyaluran dana kepada sektor-sektor ritel yang berjumlah
kecil-kecil dan kondisi itu bertahan selama lebih dari lima tahun.
Kini,
perbankan RI telah meninggalkan trauma pembiayaannya pada sektor korporasi.
Bahkan beberapa tahun belakangan pembiayaan sektor korporasi seperti kembali ‘terbangun
dari tidur’ dan mulai menyaingi sektor ritel meski angkanya masih lebih kecil.
Namun jika seluruh sektor usaha, baik korporasi maupun usaha menengah dan kecil
digabungkan maka angkanya sudah melampaui kredit sektor ritel yang cenderung
digunakan untuk konsumsi.
Berdasarkan
data hingga Maret 2012, sekitar 69,28 persen dari total kredit perbankan lebih
banyak disalurkan kepada sektor usaha. Sementara 30,72 persen sisanya
disalurkan untuk konsumsi seperti kredit untuk pemilikan rumah, apartemen,
ruko, kendaran bermotor, dan lain-lain.
Malahan jika
ditarik hingga lima tahun ke belakang, kecenderungan peningkatan pembiayaan
bank pada sektor korporasi sudah terlihat. Sektor usaha yang menerima kredit
terbanyak dalam lima tahun terakhir adalah sektor perdagangan, restoran, dan
hotel dengan porsi rata-rata 20,02 persen dari total kredit pertahun.
Selanjutnya adalah sektor industri pengolahan sebesar 15,84 persen dan sektor
jasa sebesar 10,55 persen).
Sektor yang
mengalami akselerasi tertinggi sepanjang waktu tersebut adalah sektor listrik,
gas, dan air bersih dengan laju pertumbuhan rata-rata 49,82 persen pertahun. Kemudian
disusul sektor pertambangan mencapai 45,65 persen, dan sektor jasa sosial sebesar
45,52 persen. Sektor pertambangan batu bara dan gas bumi yang sedang booming disebut-sebut menjadi pendorong
kucuran kredit ke sektor-sektor tersebut.
Perkembangan
tersebut tentu menjadi bukti bahwa perusahaan-perusahaan mulai berani
berekspansi dan perbankan mulai berani membiayai. Di tengah perekonomian global
yang masih ‘sakit’ karena efek krisis Eropa, perkembangan tersebut tentu
merupakan sinyal yang menggembirakan.
Salah satu
yang membuat sektor korporasi tetap bergerak adalah adanya rencana pemerintah
untuk mengembangkan infrastruktur di Tanah Air. Program itu tentu akan memicu
pembangunan jalan tol, agribisnis, minyak dan gas (migas), serta konstruksi. Bank-bank
yang masuk dalam kelompok 10 terbesar pun menyiapkan dana kredit untuk
korporasi hingga puluhan triliun rupiah.
Bank-bank
milik negara tentu akan mengandalkan program pemerintah di bidang infrastruktur
ini untuk menggenjot kredit korporasinya. Dua bank yang tampaknya berada di
depan adalah BNI dan Bank Mandiri. Kedua bank yang memang jagoan dalam segmen
korporasi ketika sebelum krisis telah menyiapkan dana kredit korporasi hingga
puluhan triliun rupiah yang akan mereka pinjamkan ke berbagai perusahaan. Di
antaranya sektor infrastruktur, jalan tol, agribisnis, minyak dan gas (migas),
serta konstruksi.
Krishna R.
Suprapto, Direktur Business Banking BNI, mengungkapkan plafon kredit korporasi pihaknya
sampai akhir tahun mencapai Rp 65 triliun. Sementara, realisasi kredit hingga
paro pertama 2012 sekitar Rp 40 triliun. Untuk mencapai target itu, bank yang
lahir tahun 1946 itu menjajaki beberapa perusahaan yang bergerak di sektor
infrastruktur dan agribisnis. "Akhir Agustus ini atau paling lambat awal
September, kami akan memberikan kredit sebesar Rp 200 miliar ke perusahaan
sektor agribisnis, khususnya kelapa sawit, untuk pengembangan lahan," kata
Krishna.
Bank pelat
merah ini juga mengikuti proses penawaran atau bidding kredit infrastruktur ke PT
Thiess Contractors Indonesia (TCI) untuk pembangunan jalan tol Solo Ngawi Jaya,
Ngawi Kertosono Jaya, dan Cinere Serpong Jaya. BNI dan bank lain berencana
memberi kredit sindikasi Rp 1,5 triliun untuk salah satu proyek tol itu. BNI
juga menyiapkan dana Rp 500 miliar untuk perusahaan migas yang ingin melakukan
pengeboran dan kebutuhan logistik migas.
Seperti tak
mau kalah oleh sesama bank pelat merah itu, Bank Mandiri pun menyiapkan langkah
yang tak kalah mantap. Bahkan bank beraset paling gemuk di Indonesia ini mematok
pertumbuhan kredit korporasi sebesar 18-20 persen tahun ini, atau tembus Rp134
triliun.
“Kalau
korporasi, infrastrukturnya kita ya untuk jalan tol, untuk power plant (pembangkit listrik), infrastruktur kan. Semua yang
terkait dengan bidang infrastruktur,” tutur Direktur Corporate Banking Bank
Mandiri Fransisca Nelwan Mok.
Bank Mandiri
mencatat kucuran kredit di segmen korporasi mencapai Rp125,2 triliun pada
semester pertama 2012, meningkat 21,4 persen dalam setahunan dibanding posisi
akhir Juni 2011 sebesar Rp103,1 triliun. Segmen korporasi sendiri mengambil
porsi 40,8 persen dari total kucuran kredit perseroan sebesar Rp306,9 triliun
per Juni 2012. “Kita konsisten sepanjangan tahun growth kita 18-20 persen untuk korporasi,” tandas Fransisca.
Bank Asing dan Syariah
Bahkan,
menggeliat sektor korporasi juga membuat bank macam Citbank ikut membidik segmen
itu. Apalagi bank asal Amerika Serikat itu tengah dihukum oleh otoritas untuk
tidak ekspansi di segmen kartu kredit yang selama ini menjadi andalannya. Oleh
karena itulah manajemen Citbank berpikir lebih keras untuk men-trade off potensi yang hilang di segmen
konsumer ke segmen korporasi.
"Pertumbuhan
kredit dari korporasi kita masih bisa tumbuh 25 persen tahun ini. Namun untuk
konsumer stabil, karena nggak ada akuisisi kartu baru. Sementara untuk kredit
lain-lain tumbuh lebih dari 25 persen," jelas Tigor M. Siahaan, Citi
Country Officer Indonesia Citibank N.A.
Tigor
menjelaskan, dari data terakhir Citibank mengakumulasi portofolio kredit total
Rp 35 triliun dengan total aset Rp 60 triliun. Kredit korporasi tampak telah menjadi
tulang punggung baru perseroan, dengan portofolio mencapai Rp 22,75 triliun
atau 65 persen dari total pembiayaan Citibank. Sisanya, konsumer 25 persen, kredit
lainnya 10 persen.
Per
September kredit korporasi Citibankyang sudah dicairkan mencapai 3 miliar
dollar AS. Perusahaan yang banyak memanfaatkan kredit Citibank bergerak pada
sektor multinasional, ekspor impor, consumers goods, otomotif dan juga
pertambangan.
Tidak cuma
itu, sektor korporasi yang didukung oleh program infrastruktur juga sudah
menarik minat bank-bank syariah untuk mengalihkan bidikannya kepada pembiayaan
itu. Bank syariah pertama di Indonesia, mengincar pembiayaan korporasi sebesar
Rp2,3 triliun pada semester kedia 2012. Sementara, realisasi pembiayaan
korporasi perseroan pada paro pertama 2012 mencapai Rp 1,4 triliun. “Tahun ini,
kami menargetkan pembiayaan korporasi sebesar Rp 3,7 triliun,” jelas Kepala
Divisi Korporasi Bank Muamalat Setiabudi.
Setiabudi
mengungkapkan, ada beberapa proyek yang akan dibiayai pihaknya pada tahun ini
untuk mencapai target pembiayaan perseroan tersebut. Salah satunya yakni proyek
sindikasi pembangkit listrik senilai 30 juta dollar AS. Dari nilai tersebut,
Bank Muamalat mendapat porsi senilai 14 juta dollar AS. “Kami bekerja sama
dengan beberapa bank dalam proyek tersebut, dan proyek ini akan direalisasikan
sebelum akhir 2012,” tutur Setiabudi.
Pesatnya pertumbuhan
perbankan syariah di Indonesia telah mendorong industri tersebut masuk ke
sektor kredit korporasi. Padahal sebelumnya bank yang tidak menggunakan sistem
bunga dalam operasinya itu lebih banyak membiayai sektor konsumtif dan ritel.
Namun kini seiring meningkatnya aset dan permodalan bank syariah mulai
memberanikan dirinya membidik sektor korporasi meski risikonya akan lebih
besar.
Bank
Indonesia menilai perbankan syariah siap menyalurkan kredit korporasi di sektor
infrastruktur. "Mungkin 30 persen dari bank syariah yang ada saat ini
sudah sanggup untuk masuk ke korporasi," kata Direktur Eksekutif Perbankan
Syariah BI, Edy Setiadi.
Menurut dia,
kesiapan bank syariah ini karena beberapa bank besar memiliki induk korporasi
yang cukup kuat, seperti PT Bank Syariah Mandiri yang dimiliki PT Bank Mandiri
Tbk. "Kalau dilihat, apalagi yang
bermitra dengan asing atau ada kepemilikan asing di dalamnya, itu kan otomatis
sasarannya. Dan kami harapkan arahnya ke infrastruktur, korporasi,"
ujarnya.
Edy
menuturkan, ke depan, induk usaha tersebut akan memberikan suntikan modal, agar
anak usahanya mampu berkembang ke kredit korporasi, khususnya infrastruktur.
Bank syariah bisa meminta induk usaha untuk keperluan modal, sehingga memiliki
pembiayaan korporasi cukup besar.
Akselerasi Infrastruktur
Program
pembangunan sarana-saran infrastruktur tak dipungkiri telah menjadi motor pendorong
kebangkitan pembiayaan korporasi di Indonesia. Sejatinya program ini telah
dimulai sejak lebih dari lima tahun lalu. Namun karena banyaknya hambatan yang
mendera, program tersebut berjalan sangat lamban jika tak mau dibilang tak
berjalan sama sekali. Padahal pemerintah telah menggelar beberapa kali
‘Infrastructure Summit’ untuk menggaet investor.
Salah satu
yang menjadi batu sandungan adalah masalah pembebasan tanah. Proyek
infrastruktur yang paling banyak digarap adalah pembangunan jalan tol. Dalam
proyek tersebut tentu mengharuskan para pemilik proyek untuk membeli tanah
milik masyarakat. Nah, masalah mulai
muncul ketika mafia-mafia tanah menaikkan harga tanah menjadi berkali-kali
lipat sehingga mendongkrak biaya. Hal itu tentu membuat pemimpin proyek
menghitung ulang pembiayaan yang akhirnya membuat proyek tertunda.
Seperti yang
terjadi pada pembangunan ruas tol Surabaya-Mojokerto yang tertunda proses
pembebasan lahan. Direktur Pengembangan Usaha Jasa Marga, Abdul Hadi mengatakan
bahwa masalah utama dari pembebasan lahan ini ialah adanya kehadiran mafia-mafia
tanah. “Di Sumo (Surabaya-Mojokerto) ini ada 2 broker, ini harus
diberantas," ungkap Hadi.
Dia mengatakan,
dengan adanya kasus seperti ini, ruas tol Surabaya Mojokerto molor hingga 3
tahun dari jadwal semula.
Selain
masalah lahan, anggaran pemerintah yang minim juga menjadi ganjalan tersendiri
pada kecepatan proyek-proyek infrastruktur. Faktanya faktor inilah yang membuat
infrastruktur Indonesia tertinggal jauh dibanding Singapura Malaysia dan
Thailand. Menurut Eric Alexander Sugandi, ekonom Standard Chartered Bank,
konsolidasi fiskal yang dilakukan pemerintah tak dipungkiri telah membuat
tingkat belanja negara menjadi sulit. Dalam program pembangunan infrastruktur
pemerintah memperkirakan dana yang dibutuhkan mencapai 1.429 triliun dollar AS.
Namun begitu anggaran negara hanya sanggup menyediakan 35 persen.
“Sebanyak 65 persen sisanya diharapkan
datang dari sektor swasta, meskipun sejauh ini dana mengalir lebih lambat
daripada yang diharapkan,” kata Eric.
Akan tetapi
pembebasan lahan dan pembiayaan bukanlah masalah yang memperlambat proses
pembangunan infrastruktur. Menurut Eric ada beberapa lagi masalah yang kerap
membuat proyek-proyek itu mandeg. Di antaranya adalah kurangnya manajer proyek yang
terampil, ketidakpastian hukum (termasuk seringnya ketidaksesuaian peraturan antara
pemerintah pusat dan daerah), pungutan liar dan pemerasan oleh birokrat. Dan
yang tidak kalh penting adalah keengganan pejabat pemerintah untuk menjadi
manajer proyek atau lelang proyek-proyek infrastruktur karena dari khawatir
akan berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Jika
masalah-masalah itu cepat teratasi Eric yakin bahwa pertumbuhan ekonomi RI akan
mencapai 5-7 persen sepanjang 2010-2014. Bahkan pertumbuhan akan konsisten
mencapai 7 persen per tahun sepanjang 2014 hingga 2030 yang akan membawa
Indonesia menjadi negara terbesar keenam dalam bidang ekonomi pada 2030.
Tabel : Perbandingan Kualitas
Infrastruktur Negara-Negara Asia
_
| |||||||
Contry | |||||||
Singapore
|
Malaysia
|
Thailand
|
China
|
India
|
Indonesia
|
Philippines
|
|
Jalan | |||||||
6.5
|
5.4
|
5.0
|
4.4
|
3.5
|
3.4
|
3.4
|
|
Rel kereta | |||||||
5.7
|
4.9
|
2.6
|
4.6
|
4.4
|
3.2
|
1.9
|
|
Transportasi lau | |||||||
6.8
|
5.5
|
4.6
|
4.4
|
4.0
|
3.6
|
3.3
|
|
Transportasi udara | |||||||
6.8
|
5.9
|
5.7
|
4.5
|
4.7
|
4.2
|
3.6
|
|
Listrik | |||||||
6.7
|
5.9
|
5.5
|
5.2
|
3.2
|
3.9
|
3.7
|
|
Skor (dari 7) | |||||||
6.5
|
5.4
|
4.9
|
4.3
|
3.8
|
3.7
|
3.6
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar