Senin, 21 Januari 2013

Risiko Sistemik: Sebuah Jargon Menakutkan



Butuh perumusan komprehensif untuk menyimpulkan risiko sistemik, meski pemerintah sudah mendirikan OJK dan membentuk wadah koordinasi untuk mengantisipasi krisis. Selain tidak bisa menjamin risiko sistemik bisa dihalau, risiko hukum masih menghantui setiap otoritas.

Risiko sistemik adalah jargon. Karenanya ia tidak mudah dipahami terutama oleh sebagian besar khalayak umum. Namun ketika jargon bertransformasi jadi kebijakan, banyak orang yang tiba-tiba paham dan mengerti soal itu. Kasus penyelamatan Bank Century menjadi bukti.
Sudah lebih dari empat tahun setelah bank itu disuntikkan modal oleh otoritas, namun perdebatan mengenai operasi penyelamatannya hingga kini masih mengemuka. Sejatinya ide dan pemikiran dari penyelamatan sederhana, akan tetapi eksekusinya sangatlah rumit. Bahkan konsekuensi dari keputusan itu menimbulkan pro dan kontra hingga masuk ke ranah politik.
Regulator awalnya tentu ingin mencegah penyakit yang diderita Bank Century saat itu tidak menular ke bank-bank lain yang terkait baik langsung maupun tidak langsung dengan bank tersebut. Pembuat kebijakan saat itu ingin membatasi penularannya agar tidak mengenai sistem keuangan secara keseluruhan. Akan tetapi implementasi dari proses penyelamatan itu dinilai bermasalah dan hingga kini terus digugat.
Risiko sistemik memang tak mudah didefinisikan karena tidak memiliki arti tunggal yang rigid. Financial Stability Board (FSB), lembaga bentukan G20 yang berbasis di Basel Swiss, mendefinisikan risiko sistemik sebagai risiko gangguan terhadap aliran jasa keuangan yang disebabkan oleh adanya pemburukan dari semua atau sebagian sistem keuangan. Risiko itu juga memiliki potensi menyebabkan konsekuensi negatif yang serius terhadap perekonomian.
Sementara menurut laman wikipedia, risiko sistemik adalah risiko kehancuran atau runtuhnya sistem keuangan atau pasar keuangan sehingga fungsi utama sistem keuangan, seperti penyediaan likuiditas, pengelolaan risiko, dan alokasi sumber daya tidak berjalan semestinya. Dalam banyak literatur, risiko sistemik disebut juga dengan istilah ketidakstabilan sistem keuangan.
Dari dua pengertian tersebut ada dua hal penting yang menjadi acuan, yaitu risiko gangguan yang parah pada sistem keuangan dan risiko yang berpotensi membuat perekonomian ambruk (minimal akan berdampak serius terhadap perekonomian).
Oleh karena itu, Michael W Taylor mengatakan bahwa penting sekali bagi setiap otoritas moneter negara-negara di dunia untuk memiliki kebijakan makroprudential yang tujuan utamanya membatasi risiko sistemik. Kebijakan itu penting agar krisis dunia yang meletup dua kali dalam lima tahun terakhir tidak terulang lagi. “Pelajaran penting dari krisis yang kita alami adalah bahwa risiko sistemik selalu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu,” kata anggota FSB itu
Pembuat kebijakan di seluruh dunia, lanjut dia, tentu tak ingin krisis ekonomi mampir ke negaranya. Karenanya persiapan yang menyeluruh terhadap hubungan antar pasar keuangan yang kompleks dan potensi penularannya sangat dibutuhkan oleh hampir semua negara. Beberapa persiapan yang seharusnya dilakukan di antaranya adalah membuat aturan untuk mengatasi ancaman terhadap stabilitas keuangan yang timbul dari ekspansi kredit yang berlebihan dan dari melonjaknya nilai aset-aset. Selain itu, juga membuat kebijakan untuk mengatasi mekanisme agar risiko sistemik bisa dideteksi secepatnya dan juga kebijakan untuk mengurangi kerapuhan struktural.
Regulator-regulator dunia hingga saat ini tampaknya sadar betul bahwa risiko sistemik bukanlah risiko yang bisa dihadapi dengan kekuatan setengah-setengah mengingat pelajaran yang sudah mereka lihat dari dua krisis sebelumnya.
Namun demikian, menurut Taylor, sudah banyak hal yang dilakukan otoritas secara internasional untuk menekan konsentrasi dari risiko di dalam sistem keuangan. Bahkan otoritas dunia yang tergabung dalam Bank for International Settlement (bank sentralnya bank sentral dunia) sudah mengeluarkan aturan Basel III. “Dalam kerangka Basel ada yang dinamakan Basel III countercylical buffer. Ini adalah bagian yang sangat penting dalam Basel III,” kata Taylor dalam sebuah seminar internasional di Bali awal Desember lalu.
Memang krisis global yang melimbungkan perekonomian dunia telah memaksa otoritas dunia untuk memberi perhatian lebih kepada permodalan. Dan kewajiban untuk membentuk modal tambahan (capital buffer) bagi lembaga keuangan khususnya bank telah menjadi bagian terpenting dalam penyusunan Basel III. “Ini adalah konsep terdepan dalam kebijakan makroprudensial dalam skala internasional sekarang ini,” ujar Taylor.

Lebih Maju
Indonesia sudah barang tentu sepakat dengan yang ketentuan yang diterbitkan oleh komite bank sentral dunia itu. Selain karena menjadi anggota forum itu, Indonesia sudah mengalami bagaimana sulitnya mengelola risiko sistemik, juga mengantisipasi dan memitigasinya.
Oleh karena itu agar pengalaman saat mem-bailout Bank Century tidak terulang (terutama dampak ikutannya berupa polemik soal kesimpulan risiko sistemik yang belum selesai), Indonesia mendirikan lembaga Otoritas Jasa Keuangan. Bahkan lebih jauh lagi, juga dibentuk Forum Koordinasi Stabilitas Sektor Keuangan (FKSSK).
FKSSK, sebuah forum koordinasi yang baru saja didirikan pada Juni tahun lalu, berisi perwakilan dari Bank Indonesia, OJK, Lembaga Penjamin Simpanan dan Kementerian Keuanga. Forum tersebut  merupakan manifestasi dari upaya pemerintah untuk memastikan bahwa akan ada langkah-langkah cepat dan kolaborasi antara otoritas yang relevan, ketika berhadapan dengan situasi yang sulit dan menantang.
“Untuk urusan koordinasi, Indonesia lebih maju karena sudah punya FKSSK yang secara formal adalah lembaga inter departemen. Di negara lain mungkin ada tapi tidak begitu formal karena tak ada dalam undang-undangnya,” kata Direktur Grup Kebijakan Moneter Bank Indonesia (BI), Juda Agung.
Keempat lembaga negara yang tergabung dalam forum itu sudah punya kesepahaman mengenai langkah-langkah mengantisipasi dan menghadapi krisis. Meski begitu, untuk urusan menyimpulkan risiko sistemik, kata Juda, bukanlah perkara mudah. “Harus ada parameter yang jelas terhadap kesimpulan suatu kasus berisiko sistemik atau tidak.”
Meski begitu menurut dia ada empat poin penting yang harus digarisbawahi dalam kaitannya dengan keputusan apakah suatu kasus berisiko sistemik atau tidak. Pertama adalah connectivity atau keterkaitan. Otoritas juga akan melihat keterkaitan lembaga keuangan itu dengan lembaga keuangan yang lain misalnya antara bank yang satu  dengan bank yang lain. Sehingga bila bank tersebut kolaps dan tidak ditalangi pemerintah, otoritas bisa menyimpulkan akibatnya bagi perekonomian.
Kedua adalah kompleksitas. Keputusan mengenai risiko sistemik harus mempertimbangkan kerumitan dari masalah yang dihadapi oleh suatu lembaga keuangan dalam hubungannya dengan sistem keuangan.
Ketiga adalah subtitutability. Dalam keputusan risiko sistemik harus dipertimbangkan apakah fungsi suatu bank tersebut akan tergantikan dengan yang lain. Misalnya apakah jenis bank tersebut hanya satu-satunya sehingga tidak ada yang menggantikan. Keempat dan kelima adalah ukuran lembaga itu dan juga lingkungan makro.
Kesemuanya, lanjut Juda harus dipertimbangkan dan didiskusikan secara matang dalam FKSSK. Hal itu penting demi mencegah agar bailout Bank Century sebesar Rp6,7 triliun yang penuh polemik tidak terulang kembali.
Selain pengalaman saat menjalankan operasi penyelamatan Bank Century (sekarang Bank Mutiara), perekonomian Indonesia juga memiliki pengalaman lebih dahsyat terkait risiko sistemik pada krisis 1997/1998. Biaya penyelesaian dan pemulihan krisis saat itu mencapai 50 persen dari gross domestic product (GDP) dalam bentuk obligasi rekapitalisasi dan pembelian aset bermasalah.
Bahkan, kalau dihitung dari hilangnya potensi pertumbuhan ekonomi, Indonesia kehilangan 43 persen potensi pertumbuhan ekonominya selama lima tahun sejak krisis 1997. Itu belum dihitung dengan aspek sosial masyarakat yang juga terkena imbas krisis dan tak bisa dihitung secara kuantitatif.
Oleh karena itu, pemerintah tak mau main-main lagi jika berurusan dengan risiko sistemik. Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution, bahkan mengakui bahwa persiapan dalam mengantisipasi krisis yang dilakukan para regulator lembaga keuangan tidak pernah seserius seperti sekarang ini.
“Dari apa yang telah kita pelajari, cara terbaik untuk dipertahankan adalah secara konsisten mencegah kemungkinan sengatan listrik, dengan memastikan bahwa struktur ekonomi dan sektor keuangan selalu dalam kondisi yang benar-benar kuat,” kata Darmin.
BI bersama OJK dan otoritas lainnya bertekad membangun kerangka manajemen krisis yang lebih kuat dan komprehensif sebagai bagian dari protokol manajemen krisis nasional. Dan dalam kaitan itu, kata Darmin, bank sentral akan selalu mengacu pada empat hal yaitu governance, tindakan pencegahan dan kecepatan tindakan, koordinasi, dan komunikasi.
Sementara itu, pencegahan krisis dan mitigasi akan dilakukan melalui proses keputusan yang terstruktur dan transparan. “Hal itu juga harus menyediakan platform untuk tindakan kolaboratif dengan instansi pemerintah terkait lainnya, serta bila diperlukan, dengan otoritas eksternal.”

Risiko Hukum
Meski demikian, kehadiran OJK dan FKSSK tidak lantas membuat otoritas percaya diri bahwa risiko sistemik bisa dideteksi sejak awal dan oleh karena itu bisa dihalau sejak dini. Menurut Darmin masih ada setidaknya tidak hal yang mesti dipersiapkan atau minimal diperbaiki.
Pertama, alat dan teknik yang tepat. Ketersediaan kebijakan dan teknik yang tepat akan membantu otoritas membentuk suatu pandangan yang komprehensif tentang risiko sistemik yang berlaku. Juga untuk membantu menilai dan mengukur dampak dari risiko tersebut, seperti model makro-keuangan, yang menghubungkan ketidakstabilan keuangan dan kinerja perekonomian.
Kedua, kesiapan dari berbagai perangkat kebijakan. Perangkat kebijakan, terutama dalam bentuk, intervensi bank sentral ke pasar (sistem penyediaan likuiditas), opsi-opsi resolusi untuk perbankan, kebijakan makroprudensial, pengaturan jaring pengaman bilateral-multilateral. Dan, di dalam bidang jasa keuangan, termasuk dalam sistem pembayaran adalah hal yang paling penting dari setiap penanganan krisis.
Ketiga, otoritas juga perlu menaruh perhatian pada dimensi politik dari setiap tindakan penanganan krisis. Menurut Darmin, meskipun aspek ini kurang menguntungkan untuk menjadi pembahasan terbuka, di beberapa titik penanganan krisis, aspek politik perlu juga ditangani. “Ini hanya untuk mengingatkan, bahwa kerangka kerja manajemen krisis harus disertai dengan kerangka hukum yang tepat. Dan, bahwa komunikasi dan transparansi sejak tahap awal dari setiap tindakan manajemen krisis perlu dipersiapkan dengan baik.”
Oleh karena itu, kehadiran dari Undang-Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) sangat penting untuk menggaransi risiko hukum yang biasanya mengikuti pengambilan keputusan risiko sistemik. “Itu (kehadiran UU) akan memberikan dasar hukum yang kuat dan memberikan tanggung jawab bersama yang jelas antara otoritas dalam mengejar stabilitas keuangan,” kata Darmin.
Saat ini draf UU JPSK sudah diserahkan pemerintah kepada DPR dan menunggu pembahasan di parlemen. Saking pentingnya kehadiran UU itu, pemerintah sudah menyiapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) tentang JPSK untuk berjaga-jaga apabila tiba-tiba terjadi krisis di sektor finansial tetapi UU JPSK belum disahkan.


2 komentar:

  1. gan, cumn sarannih, klau buat artikel lagi tlong masukin sumbernya yah
    hanya saran

    BalasHapus
  2. terima kasih banyak sarannya gan. btw bagian mana yg perlu dimasukin sumbernya yah..?

    BalasHapus