Kamis, 07 Februari 2013

Rise of The Fallen



Industri perbankan di Indonesia tengah bergerak ke arah model universal banking dengan terus melengkapi layanan jasa keuangan. Padahal di Eropa dan di AS model yang menggabungkan bank komersial dan bank investasi itu sedang ditinggalkan.


Negara berkembang hampir selalu menjadi peniru apapun yang terjadi di negara-negara maju. Dan beberapa di antaranya berhasil, bahkan kini mencapai posisi nyaris sejajar dengan negara-negara maju. China dan India, adalah contoh yang paling nyata untuk hal itu. Indonesia adalah contoh lain.
Jika kedua negara berpenduduk lebih dari satu miliar itu banyak mengimitasi negara maju dari sisi teknologi, Indonesia melakukannya pada segi yang lain. Salah satunya pada produk dan layanan perbankan.
Sejak krisis ekonomi 1998, otoritas perbankan memang sangat serius menata kembali perbankan. Bank sentral hampir selalu mengadopsi aturan mengenai praktik-praktik terbaik dari industri perbankan internasional, sementara industri sibuk meniru produk dan layanan yang ada di perbankan negara-negara maju .
Dari sisi industri, yang paling kentara adalah apa yang dilakukan hampir semua bank besar dalam meniru praktik yang jamak berlaku di perbankan Eropa. Bank-bank nasional tidak mau hanya berperan sebagai commercial banking, tetapi juga menginginkan peran sebagai investment banking. Kegiatan commercial banking ditandai dengan layanan kepada nasabah seputar menyimpan dana serta memberikan pinjaman. Sedangkan kegiatan pada investment banking bank dibolehkan menawarkan jasa perdagangan dan penjaminan efek.
Sejak Bank Indonesia memberikan izin kepada bank untuk memiliki fungsi atau minimal memiliki anak usaha yang melayani penjaminan efek maka secara otomatis perbankan nasional sudah masuk dalam era universal banking. Bank sentral melandaskan izinnya itu pada Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Aturan itu membolehkan bank umum untuk melakukan kegiatan penyertaan modal pada perusahaan lain di bidang keuangan, seperti sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek, asuransi, serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan.
Tak pelak sejak sepuluh tahun terakhir, bank-bank di Indonesia terutama yang beraset besar giat membeli perusahaan jasa keuangan lain seperti perusahaan pembiayaan, asuransi dan lainnya. Beberapa yang lain memilih untuk joint venture dengan lembaga lain mendirikan perusahaan keuangan baru.
Kita mulai dari bank yang memiliki aset paling gemuk: Bank Mandiri. Bank hasil merger 4 bank pada 1998 ini sudah sejak lama memimpikan menjadi bank universal. Titik tolaknya bisa dibilang dimulai saat Agus Martowardojo masih menjadi orang nomor satu di bank itu. Pada masa itu, Agus yang kini menjadi Menteri Keuangan tak ragu akan membawa bank itu menjadi a dominant multi specialist bank. Artinya Bank Mandiri harus memiliki beragam layanan dan menetapkan bank tersebut harus menguasai paling tidak hingga 20 persen-30 persen di setiap segmen bisnis bank.
Dengan aset lebih dari Rp600 triliun, kini bank itu sudah melengkapi diri dengan layanan asuransi (AXA-Mandiri), perusahaan pembiayaan kendaraan (Mandiri Tunas Finance), Syariah (BSM), dan investasi-sekuritas (Mandiri Manajemen Investasi dan Mandiri Sekuritas).
Begitu pula dengan BNI. Bank yang paling tua yang pernah didirikan pemerintah itu memiliki anak usaha BNI Life yang melayani asuransi. Saat ini, bank terbesar ke-4 berdasarkan aset, juga memiliki perusahaan pembiayaan (BNI Multi Finance), syariah (BNI Syariah), dan layanan investasi serta sekuritas (BNI Securities).
Bank swasta terbesar, BCA tidak mau ketinggalan. Setelah memiliki BCA Finance, pada akhir tahun lalu BCA memutuskan mendirikan sekuritas yang nantinya perusahaan itu akan memiliki anak usaha di bidang asuransi. Begitu juga dengan bank-bank lain yang masuk 10 besar dengan aset terbesar seperti CIMB Niaga, Danamon, BII, Permata, Panin dan lain-lain. Bank-bank di Tanah Air tampaknya masih menikmati euforia untuk menggabungkan model bank komersial dengan bank investasi.
Berbalik Arah
Apa yang tengah menjadi tren di Indonesia sejatinya berkebalikan dengan fenomena di Eropa bahkan AS saat ini. Dua kawasan itu sepertinya terkena efek jera dari krisis keuangan yang masih menderanya hingga kini. Praktik menggabungkan commercial banking dan investment banking sudah mulai tidak diminati lagi dalam artian ekonomis.
Malah para pendukung model dan bankir yang memelopori bank model itu mulai berbalik. Sandy Weill, orang di balik suksesnya merger Citigroup, yang kini jadi raksasa perbankan dunia, mengejutkan publik pada Juli tahun lalu dengan mengatakan bahwa megabanks itu harus segera memecah unit-unitnya.
Dengan pernyataan yang menggegerkan itu, dia bergabung dengan daftar yang cukup besar dari mantan bankir yang tampaknya telah mengalami perubahan pikiran yang luar biasa setelah mereka pensiun. Para petinggi yang berubah haluan itu termasuk dua mantan ketua Citigroup (John Reed dan Richard Parsons) dan David Komansky, mantan CEO Merrill Lynch.
Sebelum megakrisis tahun 2008, universal banking memang menjadi model bank yang mendapat pengakuan spesial dari industri keuangan. Mereka bisa berada di mana saja, London, Hong Kong, Singapura hingga New York. Lihat saja pada sosok Barclays, Citigroup, Credit Suisse, Deutsche dan UBS pada saat itu. Mereka percaya diri untuk bisa memberikan segalanya bagi investor di seluruh penjuru dunia.
Akan tetapi lima tahun kemudian, artinya pada tahun ini, keinginan untuk menjadi universal banking mulai tampak kuno di saat banyak bank-bank di AS dan Eropa menemukan diri mereka, baik menyusut atau semakin terpinggirkan.
Sejak krisis keuangan yang disebabkan subprime mortgage dimulai pada pertengahan 2007, bank dan asuransi di seluruh dunia telah dilaporkan merugi 1,1 triliun dollar AS. Dari tujuhbelas bank universal yang besar, lebih dari setengahnya menderita kerugian, dan sembilan dari mereka baik gagal, dinasionalisasi atau diletakkan di government funded mendukung kehidupan. Hal itu dituliskan oleh Arthur E. Wilmarth, Jr, seorang Profesor Hukum, dari George Washington University Law School, Washington, DC.
Pada tahun 2013 bank-bank yang masuk kelompok universal banking dinilai akan terus mempersempit fokus mereka. UBS akan berkonsentrasi pada manajemen kekayaan. Sementara bank-bank lain akan mengikuti RBS dan UniCredit yang keluar atau setidaknya menyeimbangkan kembali bisnis investasi di aset-aset besar.
RBS yang tersandung kasus penipuan suku bunga LIBOR (London Inter Bank Offer Rate), harus membayar denda sebesar450 juta dollar AS dan memecat sejumlah karyawan yang bersalah terkait manipulasi LIBOR. Kini bank tersebut mulai merestrukturisasi diri setelah sebelumnya mendapat paket dana talangan 20 miliar poundsterling dari otoritas. Manajemen baru RBS menyerahkan ratusan aset tidak sehat bernilai ratusan miliar poundsterling kepada badan penyehatan perbankan pemerintah Inggris.
RBS juga menyerahkan aset senilai 325 poundsterling ke dalam program proteksi aset pemerintah. RBS membayar 6,5 miliar poundsterling pada Departemen Keuangan untuk mengikuti program ini. Depkeu Inggris lalu menindaklanjutinya dengan menerbitkan saham baru kelas ‘B’ senilai 13 miliar pounsterling dengan pilihan penerbitan saham tambahan senilai 6 miliar poundsterling.
Sebelumnya, pasca krisis global 2008, Citigroup tak henti-hentinya pendarahan. Harga saham Citigroup sepanjang 2012 memang menguat sampai 34 persen, namun belumlah bisa mengompensasi penurunannya jika dihitung sebelum krisis finansial di AS meletus. Karena capaian itu baru menyentuh 90 persen dari nilai saham Citi sebelum krisis.
Citigroup telah melakukan upaya penghematan sejak beberapa tahun terakhir.Untuk kesekian kalinya, Citigroup mengambil kebijakan mengurangi jumlah karyawannya. Antara tahun 2007 hingga 2011 Citigorup telah memangkas 96.500 tenaga kerjanya. Berdasarkan data dari perusahaan Challenger, Gray & Christmas Inc, apa yang dilakukan Citigorup hanya bisa disaingi oleh perusahaan seperti General Motors.
Selain mengurangi karyawan, Citigroup juga memotong berbagai biaya operasional, mulai dari bank investasi hingga perdagangan surat berharga biaya-biaya. Manajemen Citigroup juga akan menjual atau mengurangi secara besar-besaran operasinya di berbagai negara seperti Turki, Pakistan, Paraguay, Romania, dan Uruguay. Sebelumnya Citi telah menutup cabangnya yang ada di Yunani dan Spanyol akibat krisis yang menimpa di kedua negara itu. Ke depan, Citi akan memfokuskan sektor konsumernya di berbagai negara lain yang potensinya besar. “Kami akan terus meningkatkan efesiensi operasional dengan mengurangi kapasitas dan biaya yang berlebihan,” ujar Michael Corbat yang menggantikan Vikram Pandit sebagai CEO pada Oktober lalu.  

Jangan Membakar Jalan Pulang
Pada November tahun lalu, Majalah The Economist menulis bahwa pada tahun 2013 industri perbankan dunia akan memasuki era baru, yang mana model universal banking tidak akan menjadi ‘gaya hidup’ lagi. Meski begitu, industri perbankan juga tidak akan bergerak seperti yang dimaui oleh aturan Steagall-Glass, kebijakan era Depresi yang memisahkan perbankan komersial dan perbankan investasi.
Kata media itu, kekuatan bank universal akan tergerus oleh kekuatan pasar yang didorong aturan baru Basel III yang mengetatkan rasio modal serta menggarisbawahi faktor yang tidak berwujud tetapi penting: budaya.
Basel III merupakan standar global terbaru untuk pengaturan kecukupan modal dan likuiditas perbankan. Aturan ini memang ditujukan untuk menanggapi krisis keuangan global dengan sejumlah persyaratan. Pada Basel III, bank perlu untuk mempertahankan 4,5 persen saham umum dan 6 persen dari modal inti dari aset-aset terbeban risiko.
Tidak hanya itu, Basel III memperkenalkan adanya penyangga tambahan seperti countercyclical buffer bebas. Dengan ini, para regulator nasional bisa menetapkan modal tambahan 2,5 persen pada periode-periode pertumbuhan kredit yang tinggi. Basel III juga memperkenalkan rasio leverage sebesar 3 persen dan mensyaratkan dua rasio likuiditas.
Meski demikian, otoritas dalam negeri harus benar-benar mengambil pelajaran dari mulai pudarnya praktik universal banking di belahan dunia barat. Otoritas Jasa Keuangan yang baru saja seumur jagung beroperasi mesti menyiapkan aturan-aturan agar model itu tidak menyebabkan risiko sistemik di kemudian hari. Regulator juga bisa menyiapkan aturan agar praktik perbankan kembali seperti semula, di mana ada pemisahan tegas antara bank investasi dan bank komersial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar