Industri perbankan di Indonesia tengah bergerak ke arah
model universal banking dengan terus
melengkapi layanan jasa keuangan. Padahal di Eropa dan di AS model yang
menggabungkan bank komersial dan bank investasi itu sedang ditinggalkan.
Negara berkembang hampir selalu menjadi peniru apapun yang
terjadi di negara-negara maju. Dan beberapa di antaranya berhasil, bahkan kini
mencapai posisi nyaris sejajar dengan negara-negara maju. China dan India,
adalah contoh yang paling nyata untuk hal itu. Indonesia adalah contoh lain.
Jika kedua negara berpenduduk lebih dari satu miliar itu
banyak mengimitasi negara maju dari sisi teknologi, Indonesia melakukannya pada
segi yang lain. Salah satunya pada produk dan layanan perbankan.
Sejak krisis ekonomi 1998, otoritas perbankan memang sangat
serius menata kembali perbankan. Bank sentral hampir selalu mengadopsi aturan
mengenai praktik-praktik terbaik dari industri perbankan internasional,
sementara industri sibuk meniru produk dan layanan yang ada di perbankan
negara-negara maju .
Dari sisi industri, yang paling kentara adalah apa yang
dilakukan hampir semua bank besar dalam meniru praktik yang jamak berlaku di
perbankan Eropa. Bank-bank nasional tidak mau hanya berperan sebagai commercial banking, tetapi juga
menginginkan peran sebagai investment
banking. Kegiatan commercial banking
ditandai dengan layanan kepada nasabah seputar menyimpan dana serta memberikan
pinjaman. Sedangkan kegiatan pada investment
banking bank dibolehkan menawarkan jasa perdagangan dan penjaminan efek.
Sejak Bank Indonesia memberikan izin kepada bank untuk
memiliki fungsi atau minimal memiliki anak usaha yang melayani penjaminan efek
maka secara otomatis perbankan nasional sudah masuk dalam era universal banking. Bank sentral
melandaskan izinnya itu pada Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
Aturan itu membolehkan bank umum untuk melakukan kegiatan penyertaan modal pada
perusahaan lain di bidang keuangan, seperti sewa guna usaha, modal ventura,
perusahaan efek, asuransi, serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan.
Tak pelak sejak sepuluh tahun terakhir, bank-bank di
Indonesia terutama yang beraset besar giat membeli perusahaan jasa keuangan
lain seperti perusahaan pembiayaan, asuransi dan lainnya. Beberapa yang lain
memilih untuk joint venture dengan
lembaga lain mendirikan perusahaan keuangan baru.
Kita mulai dari bank yang memiliki aset paling gemuk: Bank
Mandiri. Bank hasil merger 4 bank pada 1998 ini sudah sejak lama memimpikan
menjadi bank universal. Titik tolaknya bisa dibilang dimulai saat Agus
Martowardojo masih menjadi orang nomor satu di bank itu. Pada masa itu, Agus
yang kini menjadi Menteri Keuangan tak ragu akan membawa bank itu menjadi a dominant multi specialist bank.
Artinya Bank Mandiri harus memiliki beragam layanan dan menetapkan bank
tersebut harus menguasai paling tidak hingga 20 persen-30 persen di setiap
segmen bisnis bank.
Dengan aset lebih dari Rp600 triliun, kini bank itu sudah
melengkapi diri dengan layanan asuransi (AXA-Mandiri), perusahaan pembiayaan
kendaraan (Mandiri Tunas Finance), Syariah (BSM), dan investasi-sekuritas
(Mandiri Manajemen Investasi dan Mandiri Sekuritas).
Begitu pula dengan BNI. Bank yang paling tua yang pernah
didirikan pemerintah itu memiliki anak usaha BNI Life yang melayani asuransi. Saat
ini, bank terbesar ke-4 berdasarkan aset, juga memiliki perusahaan pembiayaan (BNI
Multi Finance), syariah (BNI Syariah), dan layanan investasi serta sekuritas (BNI
Securities).
Bank swasta terbesar, BCA tidak mau ketinggalan. Setelah
memiliki BCA Finance, pada akhir tahun lalu BCA memutuskan mendirikan sekuritas
yang nantinya perusahaan itu akan memiliki anak usaha di bidang asuransi.
Begitu juga dengan bank-bank lain yang masuk 10 besar dengan aset terbesar
seperti CIMB Niaga, Danamon, BII, Permata, Panin dan lain-lain. Bank-bank di
Tanah Air tampaknya masih menikmati euforia untuk menggabungkan model bank
komersial dengan bank investasi.
Berbalik Arah
Apa yang tengah menjadi tren di Indonesia sejatinya
berkebalikan dengan fenomena di Eropa bahkan AS saat ini. Dua kawasan itu
sepertinya terkena efek jera dari krisis keuangan yang masih menderanya hingga
kini. Praktik menggabungkan commercial banking
dan investment banking sudah mulai
tidak diminati lagi dalam artian ekonomis.
Malah para pendukung model dan bankir yang memelopori bank
model itu mulai berbalik. Sandy Weill, orang di balik suksesnya merger
Citigroup, yang kini jadi raksasa perbankan dunia, mengejutkan publik pada Juli
tahun lalu dengan mengatakan bahwa megabanks itu harus segera memecah
unit-unitnya.
Dengan pernyataan yang menggegerkan itu, dia bergabung
dengan daftar yang cukup besar dari mantan bankir yang tampaknya telah mengalami
perubahan pikiran yang luar biasa setelah mereka pensiun. Para petinggi yang
berubah haluan itu termasuk dua mantan ketua Citigroup (John Reed dan Richard
Parsons) dan David Komansky, mantan CEO Merrill Lynch.
Sebelum megakrisis tahun 2008, universal banking memang menjadi model bank yang mendapat pengakuan
spesial dari industri keuangan. Mereka bisa berada di mana saja, London, Hong
Kong, Singapura hingga New York. Lihat saja pada sosok Barclays, Citigroup,
Credit Suisse, Deutsche dan UBS pada saat itu. Mereka percaya diri untuk bisa
memberikan segalanya bagi investor di seluruh penjuru dunia.
Akan tetapi lima tahun kemudian, artinya pada tahun ini, keinginan
untuk menjadi universal banking mulai tampak kuno di saat banyak bank-bank di
AS dan Eropa menemukan diri mereka, baik menyusut atau semakin terpinggirkan.
Sejak krisis keuangan yang disebabkan subprime mortgage dimulai pada pertengahan 2007, bank dan asuransi
di seluruh dunia telah dilaporkan merugi 1,1 triliun dollar AS. Dari tujuhbelas
bank universal yang besar, lebih dari setengahnya menderita kerugian, dan
sembilan dari mereka baik gagal, dinasionalisasi atau diletakkan di government
funded mendukung kehidupan. Hal itu dituliskan oleh Arthur E. Wilmarth, Jr,
seorang Profesor Hukum, dari George Washington University Law School,
Washington, DC.
Pada tahun 2013 bank-bank yang masuk kelompok universal banking dinilai akan terus
mempersempit fokus mereka. UBS akan berkonsentrasi pada manajemen kekayaan. Sementara
bank-bank lain akan mengikuti RBS dan UniCredit yang keluar atau setidaknya
menyeimbangkan kembali bisnis investasi di aset-aset besar.
RBS yang tersandung kasus penipuan suku bunga LIBOR (London
Inter Bank Offer Rate), harus membayar denda sebesar450 juta dollar AS dan
memecat sejumlah karyawan yang bersalah terkait manipulasi LIBOR. Kini bank
tersebut mulai merestrukturisasi diri setelah sebelumnya mendapat paket dana
talangan 20 miliar poundsterling dari otoritas. Manajemen baru RBS menyerahkan
ratusan aset tidak sehat bernilai ratusan miliar poundsterling kepada badan
penyehatan perbankan pemerintah Inggris.
RBS juga menyerahkan aset senilai 325 poundsterling ke dalam
program proteksi aset pemerintah. RBS membayar 6,5 miliar poundsterling pada
Departemen Keuangan untuk mengikuti program ini. Depkeu Inggris lalu
menindaklanjutinya dengan menerbitkan saham baru kelas ‘B’ senilai 13 miliar
pounsterling dengan pilihan penerbitan saham tambahan senilai 6 miliar
poundsterling.
Sebelumnya, pasca krisis global 2008, Citigroup tak henti-hentinya
pendarahan. Harga saham Citigroup sepanjang 2012 memang menguat sampai 34
persen, namun belumlah bisa mengompensasi penurunannya jika dihitung sebelum
krisis finansial di AS meletus. Karena capaian itu baru menyentuh 90 persen
dari nilai saham Citi sebelum krisis.
Citigroup telah melakukan upaya penghematan sejak beberapa
tahun terakhir.Untuk kesekian kalinya, Citigroup mengambil kebijakan mengurangi
jumlah karyawannya. Antara tahun 2007 hingga 2011 Citigorup telah memangkas
96.500 tenaga kerjanya. Berdasarkan data dari perusahaan Challenger, Gray &
Christmas Inc, apa yang dilakukan Citigorup hanya bisa disaingi oleh perusahaan
seperti General Motors.
Selain mengurangi karyawan, Citigroup juga memotong berbagai
biaya operasional, mulai dari bank investasi hingga perdagangan surat berharga
biaya-biaya. Manajemen Citigroup juga akan menjual atau mengurangi secara
besar-besaran operasinya di berbagai negara seperti Turki, Pakistan, Paraguay,
Romania, dan Uruguay. Sebelumnya Citi telah menutup cabangnya yang ada di
Yunani dan Spanyol akibat krisis yang menimpa di kedua negara itu. Ke depan,
Citi akan memfokuskan sektor konsumernya di berbagai negara lain yang
potensinya besar. “Kami akan terus meningkatkan efesiensi operasional dengan
mengurangi kapasitas dan biaya yang berlebihan,” ujar Michael Corbat yang
menggantikan Vikram Pandit sebagai CEO pada Oktober lalu.
Jangan Membakar Jalan
Pulang
Pada November tahun lalu, Majalah The Economist menulis
bahwa pada tahun 2013 industri perbankan dunia akan memasuki era baru, yang
mana model universal banking tidak
akan menjadi ‘gaya hidup’ lagi. Meski begitu, industri perbankan juga tidak
akan bergerak seperti yang dimaui oleh aturan Steagall-Glass, kebijakan era
Depresi yang memisahkan perbankan komersial dan perbankan investasi.
Kata media itu, kekuatan bank universal akan tergerus oleh
kekuatan pasar yang didorong aturan baru Basel III yang mengetatkan rasio modal
serta menggarisbawahi faktor yang tidak berwujud tetapi penting: budaya.
Basel III merupakan standar global terbaru untuk pengaturan
kecukupan modal dan likuiditas perbankan. Aturan ini memang ditujukan untuk
menanggapi krisis keuangan global dengan sejumlah persyaratan. Pada Basel III,
bank perlu untuk mempertahankan 4,5 persen saham umum dan 6 persen dari modal
inti dari aset-aset terbeban risiko.
Tidak hanya itu, Basel III memperkenalkan adanya penyangga
tambahan seperti countercyclical
buffer bebas. Dengan ini, para regulator nasional bisa menetapkan modal
tambahan 2,5 persen pada periode-periode pertumbuhan kredit yang tinggi. Basel
III juga memperkenalkan rasio leverage sebesar 3 persen dan mensyaratkan dua
rasio likuiditas.
Meski demikian, otoritas dalam negeri harus benar-benar
mengambil pelajaran dari mulai pudarnya praktik universal banking di belahan dunia barat. Otoritas Jasa Keuangan
yang baru saja seumur jagung beroperasi mesti menyiapkan aturan-aturan agar
model itu tidak menyebabkan risiko sistemik di kemudian hari. Regulator juga
bisa menyiapkan aturan agar praktik perbankan kembali seperti semula, di mana
ada pemisahan tegas antara bank investasi dan bank komersial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar