Pelemahan rupiah kembali menjadi sorotan otoritas. Situasi
yang berbarengan dengan beberapa kebijakan yang mengancam inflasi jelas memberi
ancaman serius bagi pemerintah maupun BI. Beranikah regulator mengeluarkan
kebijakan yang inovatif untuk memitigasinya?
Kontrol devisa masih menjadi barang haram di negara ini,
setidaknya hingga hari ini. Namun pemikiran mengenai perlunya mengendalikan
dana-dana asing dan memodifikasi sistem moneter yang teramat bebas terus
muncul, ketika nilai tukar rupiah terdesak mata uang lain. Dan sekarang hal itu
kembali mencuat.
Awal tahun ini, rupiah terus melemah. Pada pekan terakhir
Januari, berdasarkan data kurs tengah BI rupiah bergerak di atas Rp 9.700 per
dollar AS dan terus melemah. Kondisi itu melanjutkan pelemahan kurs yang sudah
terjadi sepanjang tahun lalu yang mana nilai rupiah terdepresiasi hingga 7
persen.
Beragam perkiraan pelemahan itu pun muncul, dari soal
pelemahan global hingga melonjaknya impor. Akan tetapi salah satu kambing hitam
yang mengemuka yang membuat nilai tukar rupiah merosot, yaitu karena adanya mekanisme
transaksi non delivery forward di
pasar luar negeri.
Transaksi non delivery
forward (NDF) merupakan produk derivatif valas yang diperdagangkan secara off the counter. NDF menawarkan lindung
nilai alternatif investor asing yang memiliki eksposure mata uang lokal atau
instrumen spekulatif bagi investor untuk mengambil posisi offshore atas mata uang lokal.
Pada akhir 2011 lalu, pelemahan nilai tukar rupiah juga
disinyalir kuat disebabkan oleh praktik tersebut. Saat itu nilai tukar yang
diperdagangkan lebih besar 4 persen dibandingkan kurs rupiah sebenarnya. Bahkan
pada September tahun itu, nilai tukar sempat terpuruk di atas Rp9.000 per dollar
AS. Bahkan transaksi di pasar non
delivery forward sempat menyentuh level Rp9.600 per dollar AS. Di
Indonesia, maka dari itu, transaksi tersebut tidak diperbolehkan alias ilegal
karena tak mencerminkan transaksi sebenarnya, sehingga mengakibatkan terjadi
disparitas tinggi dengan nilai tukar riil yang ada.
Namun tahun ini ada yang berbeda. Berdasarkan hasil
penyelidikan, tim internal otoritas moneter Singapura seperti yang dilansir
kantor berita Reuters, menemukan praktik spekulasi sejumlah mata uang
negara-negara emerging market seperti
rupiah (Indonesia), ringgit (Malaysia), dan dong (Vietnam).
Praktik spekulasi terhadap rupiah menjadi yang tertinggi di
antara pasar negara berkembang. Tim penyidik menduga, ada 18 bank dan asosiasi
keuangan yang melakukan praktik ini terhadap rupiah. Omset harian transaksi
keuangan dalam bentuk rupiah di Singapura berkisar 700 juta dollar Singapura
hingga 1,3 miliar dollar Singapura.
Tim juga menemukan 15 bank dan asosiasi melakukan praktik
spekulasi terhadap Ringgit Malaysia, dan 12 bank dan asosiasi untuk Dong
Vietnam.
Modus operandinya adalah melalui pesan singkat. Para pelaku
keuangan dari beberapa perbankan di Singapura saling berkomunikasi satu sama
lainnya. Beberapa nama yang diduga adalah UBS, JP Morgan Chase&Co, DBS
Group Holdings Ltd, dan HSBC Holdings Plc. Dalam praktiknya, mereka menetapkan
tingkat harga valas untuk transaksi NDF.
Penyelidik Negeri Singa itu menemukan bukti adanya komunikasi
antar pedagang valuta asing dari beberapa bank tentang berapa nilai tukar yang
akan mereka ajukan kepada asosiasi perbankan untuk transaksi devisa non-delivery forward guna mengambil
keuntungan dalam transaksi perdagangan mereka.
Penemuan ini jelas membuat geger industri keuangan dan
memperluas skandal global ke Asia Tenggara. Sebelumnya kasus kecurangan juga terjadi
pada suku bunga LIBOR (London Inter-Bank Offer Rate) dengan memanipulasi
tingkat bunga antar bank. Kasus itu telah menempatkan perbankan di bawah
pengawasan ketat dan berpacu di antara regulasi dan institusi untuk
mempertimbangkan kembali bagaimana penetapan tingkat bunga dan kurs mata uang.
LIBOR adalah suku bunga pinjaman antarbank yang berpusat di
London, Inggris dan menjadi acuan dalam suku bunga global. Ada sekitar 16 bank
besar asal Eropa, Kanada, Amerika Serikat dan Jepang yang terlibat dalam
penentuan LIBOR. Bank-bank itu telah menginformasikan suku bunga LIBOR secara
tidak benar, dan mematok angka Libor seenaknya.
Terhadap indikasi kecurangan pada transaksi NDF di
Singapura, Bank Indonesia (BI) tengah meminta laporan resmi dari kantor perwakilannya
di Singapura. BI setiap tahunnya memang rutin melakukan komunikasi bilateral
yang intensif dengan bank-bank sentral di kawasan termasuk Singapura.
Untuk kasus NDF ini juru bicara bank sentral Difi A
Johansyah mengatakan, "Ada pemeriksaan khusus, termasuk tukar menukar data
bank," ujar dia. “Namun, untuk kasus ini, BI tak bisa langsung masuk
karena terjadi di Singapura.”
Praktik memanipulasi nilai tukar rupiah ini jelas akan
berdampak pada kurs rupiah dan perekonomian nasional. Pengamat meminta agar BI
benar-benar mendalami kasus ini karena jika praktik itu terus berlanjut maka
kurs rupiah akan terus dipermainkan.
Jika dalam praktik tersebut ada keterlibatan pelaku pasar
keuangan dan pasar modal di dalam negeri, maka efeknya cukup panjang. Misalnya,
kemampuan bank menyedot likuditasnya kurang. "BI dan Kementerian Keuangan
harus pro aktif melakukan komunikasi dengan otoritas Singapura," ekonom
Drajad Wibowo.
Jika bank-bank yang diduga tersebut terlibat komunikasi
dengan bank dalam negeri, menurut dia, maka mereka bisa tersangkut masalah.
Pelaku bisa dijerat melalui Undang Undang Persaingan Usaha atau sanksi dari
PBI.
Antisipasi Bank
Sentral
Meski belum menohok, kasus tersebut jelas menjadi ancaman tambahan bagi Bank Indonesia
dalam mengelola nilai tukar rupiah. Tahun lalu, BI juga sempat kerepotan ketika
peningkatan impor yang mendongkrak kebutuhan dollar AS di pasar telah menekan
rupiah. Pada pertengahan tahun lalu impor sempat meningkat hingga lebih dari 10
persen yang mencuatkan kondisi defisit transaksi berjalan. Angka defisit pada
saat yang sama sempat melampaui 3 persen.
Jika kondisi pelemahan itu berlanjut dan dianggap terlalu
dalam maka bank sentral membuka peluang untuk menaikkan suku bunga acuan. “Apabila
depresiasi berlebihan dan berkepanjangan kami akan bisa bereaksi kepada interest policy. Kalau itu sudah
mengganggu inflasi," ujar Deputi Gubernur Bank Indonesia, Hartadi A.
Sarwono.
BI tahun ini akan berpapasan dengan kemungkinan peningkatan
inflasi seiring naiknya pengeluaran pemerintah menjelang pemilihan umum serta rencana
kenaikan tarif dasar listrik (TDL). Selain itu besarnya kebutuhan dollar AS setelah
program baru dari pemerintahan Obama jilid dua juga akan akan memicu pelemahan
rupiah.
Bulan lalu, Rapat Dewan Gubernur BI menetapkan suku bunga
acuan tetap di level 5,75 persen. Tingkat suku bunga tersebut telah bertahan
selama hampir setahun karena dianggap masih sesuai dengan sasaran inflasi tahun
2013 dan 2014, sebesar 3,5 hingga 5,5 persen.
Menurut kurs tengah BI pekan terakhir Januari lalu, rupiah
bergerak di atas Rp 9.700 per dolar AS. BI belum melihat dampak depresiasi
rupiah pada inflasi. Adapun dari segi pasokan dan permintaan valuta asing di
pasar, BI masih sanggup memenuhinya karena masih ada surplus pada transaksi
modal dan finansial, meski ancaman defisit transaksi berjalan masih mengintai.
BI juga meyakinkan bahwa cadangan devisa masih cukup untuk
BI melakukan intervensi. Hingga akhir Desember 2012, cadangan devisa mencapai
112,78 miliar dollar AS atau setara dengan 6,1 bulan impor dan pembayaran utang
luar negeri pemerintah.
Masih menurut Hartadi, nilai tukar rupiah ke depan, masih
mendapat tantangan dari segi eksternal yakni kebijakan ekonomi Amerika Serikat.
"Fiscal cliff memang sudah
lewat, tapi kita tak tahu implementasinya seperti apa. Perombakan kabinet AS
juga masih ditunggu pasar. Ketidakpastian itu mungkin akan memberi dampak
terhadap pelemahan nilai tukar," ujarnya.
Pajak Tobin
Ancaman pelemahan rupiah dipastikan tidak akan berhenti
selama sistem devisa bebas masih diadopsi oleh otoritas moneter. Meski begitu,
BI tidak kehilangan imajinasinya untuk mencegah penggerusan rupiah di pasar
dengan cara-cara kreatif. Tahun 2011 lalu, bank sentral mengeluarkan kebijakan
baru soal giro wajib minimum valas. Regulator menaikkan rasio setoran wajib
bank dengan dana pihak ketiga berbentuk valas hingga 8 persen dari level
sebelumnya yang masih 1 persen. Hal itu akan diterapkan bertahap yaitu rasio
GWM dinaikkan dari 1 persen menjadi 5 persen pada 1 Maret 2011 dan kemudian
dinaikkan lagi menjadi 8 persen pada 1 Juni 2011.
BI sebelumnya juga telah mengeluarkan kebijakan yang
mewajibkan perusahaan serta bank untuk lebih berhati-hati dalam menyerap valas
dengan menerapkan kembali batasan pinjaman Saldo Harian Pinjaman Luar Negeri
bank jangka pendek.
Bank Indonesia menerbitkan PBI No.12/1/PBI/2010 tentang
Pinjaman Luar Negeri Perusahaan Bukan Bank yang merupakan perubahan dari PBI No.10/7/PBI/2008.
Pinjaman Luar Negeri (PLN) Perusahaan Bukan Bank adalah semua bentuk pinjaman
perusahaan dari bukan penduduk dalam valuta asing maupun rupiah, surat utang
dalam valuta asing yang diterbitkan oleh perusahaan, dan kewajiban lain kepada
bukan penduduk dalam valuta asing maupun rupiah, termasuk juga yang dilakukan
berdasarkan prinsip syariah.
Terakhir, pada Agustus tahun lalu, BI juga telah menerbitkan
aturan baru terkait penerimaan devisa hasil ekspor (DHE) dan penarikan devisa
utang luar negeri (DULN). Aturan ini terangkum dalam Peraturan Bank Indonesia
No 14/11/PBI/2012 yang merevisi PBI No 13/20/PBI/2011.
Penerbitan kebijakan ini, dilatarbelakangi fakta adanya
penerimaan devisa ekspor dan penarikan utang luar negeri banyak yang tidak
melalui bank devisa di Indonesia. Hal tersebut berdampak pada keseimbangan
pasokan dan permintaan di pasar valuta asing domestik yang sebagian dipenuhi
oleh aliran modal jangka pendek yang rentan terhadap pembalikan (sudden capital reversal) dan dapat
menganggu stabilitas nilai tukar dan makroekonomi. Dengan kebijakan ini
diharapkan pasokan valas di pasar domestik menjadi lebih stabil dan
berkelanjutan serta menciptakan pasar keuangan yang lebih stabil.
Sejatinya BI masih memungkinkan untuk mengeluarkan kebijakan
baru yang relevan dengan kondisi sekarang. Di saat banyak spekulan memanfaatkan
transaksi kurs, maka pemerintah bisa saja mengeluarkan aturan pajak Tobin.
Pajak itu memang dirancang untuk mengurangi spekulasi di pasar mata uang, yang
dipandang tidak produktif. Artinya, setiap kegiatan pembelian atau penjualan mata uang yang tidak
dilandasi oleh transaksi atau kebutuhan yang riil atau memiliki underlying maka transaksi itu harus
dikenakan pajak.
Menurut ekonom Pusat Studi Asia Pasifik UGM, Sri Adiningsih,
kebijakan itu dinilai cukup efektif untuk mengantisipasi potensi sudden reversal atau arus keluar dana
asing jangka pendek yang bisa terjadi secara tiba-tiba.
Pajak Tobin merupakan gagasan pengenaan pajak terhadap
transaksi valas yang dikenalkan oleh James Tobin, guru besar Universitas Yale,
Amerika Serikat. Konsep itu sering dinilai sebagai bentuk kontrol modal (capital control) yang mencoba membatasi
keluar-masuknya dana asing berjangka pendek.
Akan tetapi inovasi baru dalam pengelolaan pasar keuangan
Indonesia itu membutuhkan keberanian regulator untuk melakukannya. Berdasarkan
pengalaman selama ini, hal itu sulit untuk diwujudkan.
Grafik Kurs Rupiah Sepanjang 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar