Kamis, 07 Februari 2013

Tak Putus Dirundung Pelemahan



Pelemahan rupiah kembali menjadi sorotan otoritas. Situasi yang berbarengan dengan beberapa kebijakan yang mengancam inflasi jelas memberi ancaman serius bagi pemerintah maupun BI. Beranikah regulator mengeluarkan kebijakan yang inovatif untuk memitigasinya?


Kontrol devisa masih menjadi barang haram di negara ini, setidaknya hingga hari ini. Namun pemikiran mengenai perlunya mengendalikan dana-dana asing dan memodifikasi sistem moneter yang teramat bebas terus muncul, ketika nilai tukar rupiah terdesak mata uang lain. Dan sekarang hal itu kembali mencuat.
Awal tahun ini, rupiah terus melemah. Pada pekan terakhir Januari, berdasarkan data kurs tengah BI rupiah bergerak di atas Rp 9.700 per dollar AS dan terus melemah. Kondisi itu melanjutkan pelemahan kurs yang sudah terjadi sepanjang tahun lalu yang mana nilai rupiah terdepresiasi hingga 7 persen.
Beragam perkiraan pelemahan itu pun muncul, dari soal pelemahan global hingga melonjaknya impor. Akan tetapi salah satu kambing hitam yang mengemuka yang membuat nilai tukar rupiah merosot, yaitu karena adanya mekanisme transaksi non delivery forward di pasar luar negeri.
Transaksi non delivery forward (NDF) merupakan produk derivatif valas yang diperdagangkan secara off the counter. NDF menawarkan lindung nilai alternatif investor asing yang memiliki eksposure mata uang lokal atau instrumen spekulatif bagi investor untuk mengambil posisi offshore atas mata uang lokal.
Pada akhir 2011 lalu, pelemahan nilai tukar rupiah juga disinyalir kuat disebabkan oleh praktik tersebut. Saat itu nilai tukar yang diperdagangkan lebih besar 4 persen dibandingkan kurs rupiah sebenarnya. Bahkan pada September tahun itu, nilai tukar sempat terpuruk di atas Rp9.000 per dollar AS. Bahkan transaksi di pasar non delivery forward sempat menyentuh level Rp9.600 per dollar AS. Di Indonesia, maka dari itu, transaksi tersebut tidak diperbolehkan alias ilegal karena tak mencerminkan transaksi sebenarnya, sehingga mengakibatkan terjadi disparitas tinggi dengan nilai tukar riil yang ada.
Namun tahun ini ada yang berbeda. Berdasarkan hasil penyelidikan, tim internal otoritas moneter Singapura seperti yang dilansir kantor berita Reuters, menemukan praktik spekulasi sejumlah mata uang negara-negara emerging market seperti rupiah (Indonesia), ringgit (Malaysia), dan dong (Vietnam).
Praktik spekulasi terhadap rupiah menjadi yang tertinggi di antara pasar negara berkembang. Tim penyidik menduga, ada 18 bank dan asosiasi keuangan yang melakukan praktik ini terhadap rupiah. Omset harian transaksi keuangan dalam bentuk rupiah di Singapura berkisar 700 juta dollar Singapura hingga 1,3 miliar dollar Singapura.
Tim juga menemukan 15 bank dan asosiasi melakukan praktik spekulasi terhadap Ringgit Malaysia, dan 12 bank dan asosiasi untuk Dong Vietnam.
Modus operandinya adalah melalui pesan singkat. Para pelaku keuangan dari beberapa perbankan di Singapura saling berkomunikasi satu sama lainnya. Beberapa nama yang diduga adalah UBS, JP Morgan Chase&Co, DBS Group Holdings Ltd, dan HSBC Holdings Plc. Dalam praktiknya, mereka menetapkan tingkat harga valas untuk transaksi NDF.
Penyelidik Negeri Singa itu menemukan bukti adanya komunikasi antar pedagang valuta asing dari beberapa bank tentang berapa nilai tukar yang akan mereka ajukan kepada asosiasi perbankan untuk transaksi devisa non-delivery forward guna mengambil keuntungan dalam transaksi perdagangan mereka.
Penemuan ini jelas membuat geger industri keuangan dan memperluas skandal global ke Asia Tenggara. Sebelumnya kasus kecurangan juga terjadi pada suku bunga LIBOR (London Inter-Bank Offer Rate) dengan memanipulasi tingkat bunga antar bank. Kasus itu telah menempatkan perbankan di bawah pengawasan ketat dan berpacu di antara regulasi dan institusi untuk mempertimbangkan kembali bagaimana penetapan tingkat bunga dan kurs mata uang.
LIBOR adalah suku bunga pinjaman antarbank yang berpusat di London, Inggris dan menjadi acuan dalam suku bunga global. Ada sekitar 16 bank besar asal Eropa, Kanada, Amerika Serikat dan Jepang yang terlibat dalam penentuan LIBOR. Bank-bank itu telah menginformasikan suku bunga LIBOR secara tidak benar, dan mematok angka Libor seenaknya.
Terhadap indikasi kecurangan pada transaksi NDF di Singapura, Bank Indonesia (BI) tengah meminta laporan resmi dari kantor perwakilannya di Singapura. BI setiap tahunnya memang rutin melakukan komunikasi bilateral yang intensif dengan bank-bank sentral di kawasan termasuk Singapura.
Untuk kasus NDF ini juru bicara bank sentral Difi A Johansyah mengatakan, "Ada pemeriksaan khusus, termasuk tukar menukar data bank," ujar dia. “Namun, untuk kasus ini, BI tak bisa langsung masuk karena terjadi di Singapura.”
Praktik memanipulasi nilai tukar rupiah ini jelas akan berdampak pada kurs rupiah dan perekonomian nasional. Pengamat meminta agar BI benar-benar mendalami kasus ini karena jika praktik itu terus berlanjut maka kurs rupiah akan terus dipermainkan.
Jika dalam praktik tersebut ada keterlibatan pelaku pasar keuangan dan pasar modal di dalam negeri, maka efeknya cukup panjang. Misalnya, kemampuan bank menyedot likuditasnya kurang. "BI dan Kementerian Keuangan harus pro aktif melakukan komunikasi dengan otoritas Singapura," ekonom Drajad Wibowo.
Jika bank-bank yang diduga tersebut terlibat komunikasi dengan bank dalam negeri, menurut dia, maka mereka bisa tersangkut masalah. Pelaku bisa dijerat melalui Undang Undang Persaingan Usaha atau sanksi dari PBI.

Antisipasi Bank Sentral
Meski belum menohok, kasus tersebut jelas  menjadi ancaman tambahan bagi Bank Indonesia dalam mengelola nilai tukar rupiah. Tahun lalu, BI juga sempat kerepotan ketika peningkatan impor yang mendongkrak kebutuhan dollar AS di pasar telah menekan rupiah. Pada pertengahan tahun lalu impor sempat meningkat hingga lebih dari 10 persen yang mencuatkan kondisi defisit transaksi berjalan. Angka defisit pada saat yang sama sempat melampaui 3 persen.
Jika kondisi pelemahan itu berlanjut dan dianggap terlalu dalam maka bank sentral membuka peluang untuk menaikkan suku bunga acuan. “Apabila depresiasi berlebihan dan berkepanjangan kami akan bisa bereaksi kepada interest policy. Kalau itu sudah mengganggu inflasi," ujar Deputi Gubernur Bank Indonesia, Hartadi A. Sarwono.
BI tahun ini akan berpapasan dengan kemungkinan peningkatan inflasi seiring naiknya pengeluaran pemerintah menjelang pemilihan umum serta rencana kenaikan tarif dasar listrik (TDL). Selain itu besarnya kebutuhan dollar AS setelah program baru dari pemerintahan Obama jilid dua juga akan akan memicu pelemahan rupiah.
Bulan lalu, Rapat Dewan Gubernur BI menetapkan suku bunga acuan tetap di level 5,75 persen. Tingkat suku bunga tersebut telah bertahan selama hampir setahun karena dianggap masih sesuai dengan sasaran inflasi tahun 2013 dan 2014, sebesar 3,5 hingga 5,5 persen.
Menurut kurs tengah BI pekan terakhir Januari lalu, rupiah bergerak di atas Rp 9.700 per dolar AS. BI belum melihat dampak depresiasi rupiah pada inflasi. Adapun dari segi pasokan dan permintaan valuta asing di pasar, BI masih sanggup memenuhinya karena masih ada surplus pada transaksi modal dan finansial, meski ancaman defisit transaksi berjalan masih mengintai.
BI juga meyakinkan bahwa cadangan devisa masih cukup untuk BI melakukan intervensi. Hingga akhir Desember 2012, cadangan devisa mencapai 112,78 miliar dollar AS atau setara dengan 6,1 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.
Masih menurut Hartadi, nilai tukar rupiah ke depan, masih mendapat tantangan dari segi eksternal yakni kebijakan ekonomi Amerika Serikat. "Fiscal cliff memang sudah lewat, tapi kita tak tahu implementasinya seperti apa. Perombakan kabinet AS juga masih ditunggu pasar. Ketidakpastian itu mungkin akan memberi dampak terhadap pelemahan nilai tukar," ujarnya.

Pajak Tobin
Ancaman pelemahan rupiah dipastikan tidak akan berhenti selama sistem devisa bebas masih diadopsi oleh otoritas moneter. Meski begitu, BI tidak kehilangan imajinasinya untuk mencegah penggerusan rupiah di pasar dengan cara-cara kreatif. Tahun 2011 lalu, bank sentral mengeluarkan kebijakan baru soal giro wajib minimum valas. Regulator menaikkan rasio setoran wajib bank dengan dana pihak ketiga berbentuk valas hingga 8 persen dari level sebelumnya yang masih 1 persen. Hal itu akan diterapkan bertahap yaitu rasio GWM dinaikkan dari 1 persen menjadi 5 persen pada 1 Maret 2011 dan kemudian dinaikkan lagi menjadi 8 persen pada 1 Juni 2011.
BI sebelumnya juga telah mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan perusahaan serta bank untuk lebih berhati-hati dalam menyerap valas dengan menerapkan kembali batasan pinjaman Saldo Harian Pinjaman Luar Negeri bank jangka pendek.
Bank Indonesia menerbitkan PBI No.12/1/PBI/2010 tentang Pinjaman Luar Negeri Perusahaan Bukan Bank yang merupakan perubahan dari PBI No.10/7/PBI/2008. Pinjaman Luar Negeri (PLN) Perusahaan Bukan Bank adalah semua bentuk pinjaman perusahaan dari bukan penduduk dalam valuta asing maupun rupiah, surat utang dalam valuta asing yang diterbitkan oleh perusahaan, dan kewajiban lain kepada bukan penduduk dalam valuta asing maupun rupiah, termasuk juga yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah.
Terakhir, pada Agustus tahun lalu, BI juga telah menerbitkan aturan baru terkait penerimaan devisa hasil ekspor (DHE) dan penarikan devisa utang luar negeri (DULN). Aturan ini terangkum dalam Peraturan Bank Indonesia No 14/11/PBI/2012 yang merevisi PBI No 13/20/PBI/2011.
Penerbitan kebijakan ini, dilatarbelakangi fakta adanya penerimaan devisa ekspor dan penarikan utang luar negeri banyak yang tidak melalui bank devisa di Indonesia. Hal tersebut berdampak pada keseimbangan pasokan dan permintaan di pasar valuta asing domestik yang sebagian dipenuhi oleh aliran modal jangka pendek yang rentan terhadap pembalikan (sudden capital reversal) dan dapat menganggu stabilitas nilai tukar dan makroekonomi. Dengan kebijakan ini diharapkan pasokan valas di pasar domestik menjadi lebih stabil dan berkelanjutan serta menciptakan pasar keuangan yang lebih stabil.
Sejatinya BI masih memungkinkan untuk mengeluarkan kebijakan baru yang relevan dengan kondisi sekarang. Di saat banyak spekulan memanfaatkan transaksi kurs, maka pemerintah bisa saja mengeluarkan aturan pajak Tobin. Pajak itu memang dirancang untuk mengurangi spekulasi di pasar mata uang, yang dipandang tidak produktif. Artinya, setiap kegiatan pembelian atau penjualan mata uang yang tidak dilandasi oleh transaksi atau kebutuhan yang riil atau memiliki underlying maka transaksi itu harus dikenakan pajak.
Menurut ekonom Pusat Studi Asia Pasifik UGM, Sri Adiningsih, kebijakan itu dinilai cukup efektif untuk mengantisipasi potensi sudden reversal atau arus keluar dana asing jangka pendek yang bisa terjadi secara tiba-tiba.
Pajak Tobin merupakan gagasan pengenaan pajak terhadap transaksi valas yang dikenalkan oleh James Tobin, guru besar Universitas Yale, Amerika Serikat. Konsep itu sering dinilai sebagai bentuk kontrol modal (capital control) yang mencoba membatasi keluar-masuknya dana asing berjangka pendek.
Akan tetapi inovasi baru dalam pengelolaan pasar keuangan Indonesia itu membutuhkan keberanian regulator untuk melakukannya. Berdasarkan pengalaman selama ini, hal itu sulit untuk diwujudkan.


Grafik Kurs Rupiah Sepanjang 2012
http://www.bi.go.id/biweb/TimeSeries/tsKursValutaChart.asp?series=select&kategori=lokal&id=USD&startdate=1/1/2012&enddate=1/1/2013
 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar