Rabu, 15 Mei 2013

Oligopoli, Kartel atau Inefisiensi?

Sulit turunnya suku bunga kredit memunculkan dugaan terjadinya kartel suku bunga oleh komisi pengawas bisnis. Namun kalangan perbankan menyangkal dan mengatakan hal itu sebagai buntut dari biaya tinggi.

Suku bunga kredit perbankan yang tak kunjung turun memang hal yang cukup aneh bagi masyarakat umum. Padahal suku bunga bank sentral yang menjadi acuan bank sudah terlalu sering diturunkan, bahkan kini menyentuh level terendah sepanjang sejarah. Mungkin itulah yang membuat lembaga pengawas persaingan usaha curiga ada kartel dalam penetapan suku bunga di perbankan nasional. Yang menjadi landasan kecurigaan itu, selain bunga bank yang tak mengikuti bunga acuan, juga tingginya margin bunga serta tingginya biaya operasional. “Ini menjadi kecurigaan utama. BI Rate sudah menurun, tapi suku bunga pinjaman tidak turun signifikan,” kata pejabat Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Syarkawi Rauf. Tingginya selisih bunga antara pinjaman dan simpanan juga menjadi dasar perkiraan dari KPPU ditambah lagi ada sejumlah bank yang menguasai pangsa pasar yang besar. Saat ini net interest margin (NIM) perbankan masih bertengger di kisaran 5 persen. “Ini bisa jadi indikator adanya permainan suku bunga di perbankan,” kata Syarkawi. Untuk mendukung kesimpulan itu, Tim Kajian dan Tim Monitoring KPPU telah mengumpulkan informasi awal tentang struktur pasar suku bunga perbankan. Laporan itu menjadi dasar bagi KPPU untuk menyelidiki dugaan kartel atas tingginya suku bunga. “Kami akan menyelidiki, apakah benar tingginya suku bunga perbankan ini karena tingginya overhead cost atau karena kartel,” kata Syarkawi. KPPU akan menyoroti dua hal untuk mendeteksi adanya kartel suku bunga yakni regulasi, dan koordinasi atau kebijakan. Jika beberapa bank terutama yang menguasai pasar terindikasi berkoordinasi dalam menentukan suku bunga maka hal itu bisa dinyatakan sebagai kartel. Kongkalikong semacam itu menutup terjadinya persaingan dan peluang penurunan penurunan bunga pada titik yang logis. Setelah ditemukan bukti-bukti kuat, baru kemudian KPPU akan menentukan apakah dugaan kartel ini masuk sebagai perkara atau tidak. “Kartel adalah perilaku persaingan tidak sehat. Selain dilarang UU Nomor 5/1999 juga jelas bisa menghambat pencapaian pertumbuhan ekonomi,” tutur Syarkawi. Sebelum tahun berakhir, KPPU menjanjikan akan sudah mengeluarkan keputusan apakah industri perbankan melakukan praktik oligopoil atau tidak. Tuduhan adanya kartel dalam perbankan disangkal oleh empat institusi dalam industri. Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga Penjamin Simpanan dan Perhimpunan Bank-Bank Nasional (Perbanas) kompak mengatakan tidak ada praktik kartel ataupun oligopoli di perbankan. “Kami tegaskan, di perbankan Indonesia tidak ada kartel suku bunga kredit. Semua bank berkompetisi memberikan penawaran bunga kredit terbaiknya karena mereka juga wajib mencantumkan suku bunga kreditnya,” kata Direktur Akunting dan Sistem Pembayaran BI, Boedi Armanto. Tingginya suku bunga kredit disebabkan karena struktur biaya di perbankan nasional masih tinggi, khususnya biaya over head dan biaya lain-lain yang harus dikeluarkan perbankan. Selain itu, ekspansi yang terus dilakukan juga menambah besar pengeluaran perbankan. Biaya penambahan jumlah kantor, membangun infrastruktur, IT, hingga biaya sumber daya manusia (SDM) merupakan beberapa pengeluaran terbesar bank. “Suku bunga kita masih tinggi disebabkan karena struktur biaya kredit tersebut juga masih tinggi. Ini sebabnya konsumen menanggung bunga tinggi,” kata Boedi. Luasnya wilayah Indonesia dan banyak yang terpisah oleh laut, membuat bank harus berinvestasi dengan dana yang tidak sedikit. Meski begitu, jika dibandingkan dengan di negara-negara lain, Boedi menilai Indonesia suku bunga kredit Indonesia cukup bersaing. “Tapi kalau perbankan Indonesia dibandingkan dengan perbankan di Malaysia dan Singapura, rasanya tidak seimbang,” katanya. Suku bunga kredit di perbankan Malaysia dan Singapura cenderung lebih rendah karena kedua negara tersebut tidak masif dalam membuka kantor cabang. Tingginya bunga karena biaya yang ditanggung perbankan tanah air juga tinggi. “Biaya untuk membangun kantor cabang di Jawa, Kalimantan dan Papua pun berbeda. Sehingga hitungan cost ini nanti akan membesar karena hal tersebut merupakan overhead cost-nya,” kata Boedi. Namun demikian bukan berarti, regulator tidak berupaya untuk terus menurunkan suku bunga saat ini. Salah satu strategi yang saat ini tengah dijajaki adalah dengan mendorong bank mengembangkan layanan branchless banking. Layanan tanpa harus mendirikan kantor cabang ini bisa memperkecil cost perbankan. Sementara untuk daerah terpencil (remote), akses perbankan masih bisa dilakukan dengan cara menemui nasabah secara langsung yang dilakukan oleh agen perbankan. Sementara itu, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muliaman Hadad menilai, perlu penelitian lebih lanjut terkait pernyataan KPPU atas dugaan adanya kartel suku bunga bank. “Itu perlu diteliti, apa benar ada praktik yang bersifat oligopoli,” ujarnya. Selama ini, Muliaman melihat persaingan antarbank di dalam negeri masih cukup sehat. Namun, dia meminta lembaga yang berwenang dalam hal ini, Bank Indonesia, bisa berkoordinasi dengan KPPU agar dugaan kartel bank itu bisa diluruskan. “Kalau sudah termasuk wewenang kami, pasti akan jadi perhatian kami,” ujar Muliaman. Sebenarnya, kata Muliaman, beberapa bank sudah menurunkan suku bunga mereka hingga ke level single digit. “Tapi kalau ada yang minta diturunkan lagi, saya juga setuju.”

Sulit Dibuktikan
Indikasi praktik kartel sejatinya tidak hanya terjadi di Indonesia. Beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Inggris yang sistem perbankannya sudah maju juga diindikasikan terjadi praktik yang sama. Meski demikian, sebagaimana di kedua negara itu, kartel atau praktik oligopoli sulit dibuktikan. “Pembuktian kartel itu lebih rumit dari membongkar kasus korupsi. Dibutuhkan bukti yang cukup mendalam,” tukas Syarkawi dari KPPU. Untuk membuktikan adanya kartel suku bunga, salah satunya dengan melihat fenomena pasar perbankan yang dikuasai atau didominasi beberapa bank saja. Hal ini bisa juga disebut oligopoli. “Oligopoli akan berpengaruh kepada perilaku perbankan. Di mana bank-bank melakukan kolusi yang akan mengakibatkan adanya kesepakatan bersama untuk menentukan suku bunga kredit perbankan,” tandas Syarkawi. Apa yang diupayakan oleh KPPU didukung oleh kalangan politisi. Wakil Ketua Komisi XI Harry Azhar Azis meminta lembaga itu segera membuktikan adanya dugaan kartel suku bunga kredit, supaya industri perbankan nasional menjadi lebih sehat. Menurut Harry langkah KPPU mencari data sudah tepat, terutama untuk menelusuri apakah ada praktik kartel pada perbankan. “Kami setuju dengan langkah itu. DPR masih memantau perkembangannya terlebih dahulu, sehingga belum memutuskan akan menggelar rapat dengar pendapat mengenai permasalahan dugaan kartel,” ungkap Harry. Penelusuran itu, nantinya akan menjawab pertanyaan apakah dugaan kartel hanya terjadi pada sektor kredit yang memiliki banyak permintaan. “Bank selalu beralasan bunga kredit dipatok berdasarkan perhitungan biaya dana. Sebenarnya, perlu dipecah lagi, apakah biaya dana itu dihitung sendiri-sendiri per sektor atau secara keseluruhan,” kata Harry. Struktur perbankan nasional saat ini diakui masih didominasi oleh perbankan besar saat ini. Berdasarkan data, 16 bank besar bisa menguasai hampir 60 persen terhadap total aset industri perbankan. Jika diperas lagi, empat bank milik negara menguasai 35 persen pasar industri perbankan. Harry mengatakan apabila benar ada praktek kartel suku bunga, berarti perbankan tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik. “Misalnya, bank BUMN melakukan praktik itu, maka bank pelat merah hanya diarahkan untuk mencetak laba, menghasilkan dividen, dan membayar pajak saja,” ujar dia. Sementara itu menurut pengamat perbankan Lana Soelistyaningsih, ada banyak rumusan untuk mengindikasikan adanya praktik kartel atau tidak. Di antaranya dengan menggunakan Concentration Ratio 4 (CR4) dan Herfindahl-Hirschman Index (HHI). Dalam rumus CR4, dihitung dengan cara menjumlahkan total seluruh aset yang dimiliki 4 bank besar dibagi total aset seluruh bank yang ada kemudian dikalikan 100 persen. “Jika hasilnya antara 85 persen lebih, berarti ada indikasi kartel,” jelas dia. Lana menambahkan bahwa hasil tersebut harus dikomparasikan dengan rumus lain, namun hasilnya pasti mendekati. Concentration ratio sejatinya tidak harus empat perusahaan, bisa tiga (CR3), atau lima (CR5). HHI juga tidak terlalu sulit, tapi jumlah seluruh perusahaan di sebuah industri harus diketahui. Skor HHI didapat dengan cara menjumlahkan hasil kuadrat pangsa pasar tiap perusahaan. Kalau suatu industri tidak terkonsentrasi, HHI akan mendekati nol, sebaliknya kalau sangat terkonsentrasi akan mendekati 10.000. Atau jika ingin dinyatakan dalam persentase, tinggal dibagi 100 saja. Menurut pengamat ekonomi dari Universitas Gadjah Mada, A Prasetyantoko, dalam sebuah tulisan, asset 10 bank terbesar menguasai sekitar 61 persen total aset perbankan. sementara lima bank terbesar setara dengan 51,6 persen dan 3 bank terbesar menguasai 38,4 persen aset perbankan. Dilihat dari struktur seperti ini, jelas bahwa sistem perbankan di Indonesia bias pada bank besar. “Artinya, makin besar bank, makin besar pula tingkat akumulasi asetnya sehingga cenderung makin besar menguasai pasar,” tulisnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar