Kamis, 05 Desember 2013

Transisi, Turbulensi dan Transmisi

Bank sentral kembali melewati tahun yang kurang menyenangkan meski gejolak “krisis mini” pertengahan tahun lalu bisa dilewati. Tahun depan, kurang lebih, tantangan yang dihadapi masih sama: gejolak eksternal.

Bank Indonesia sejatinya menginginkan tahun ini menjadi tahun transisi yang mulus. Sejak awal, BI sudah bersiap melewati  isu utama yang akan dihadapinya tahun ini yaitu berpindahnya pengawasan sektor perbankan dari tangannya ke Otoritas Jasa Keuangan. Dan hal itu tampaknya sudah bisa dikendalikan oleh bank sentral.

Meski demikian, otoritas Kebon Sirih juga tengah menghadapi situasi yang tak kalah mengancam ketika neraca transaksi berjalan mulai defisit. Neraca yang mencatat penerimaan dan pengeluaran dari transaksi barang dan jasa sudah tekor sejak triwulan awal tahun 2012. Menurunnya angka ekspor yang berbarengan dengan melonjaknya impor menjadi biang keladi atas kondisi itu.

Ancaman itu kemudian mencapai puncaknya ketika pada Mei perekonomian global mulai guncang, yang diawali munculnya isu penghentian secara bertahap kebijakan stimulus perekonomian AS. Jadilah bank sentral seperti terkena setrum menghadapi turbulensi itu. Ibarat sedang berkendara, mobil yang ditunggangi bank sentral tidak lagi melaju di jalan mulus nan sepi. Jalanan yang diperkirakan akan ramai lancar tiba-tiba berubah menjadi jalan berbatu, berlubang dan ramai oleh kendaraan lain, bahkan dengan cuaca mendung yang ditambah kencangnya tiupan angin.

BI pun secepatnya merespons dan mengendalikan situasi tersebut dengan melakukan manuver menyesuaikan transmisi dan pedal gas-rem pada instrumen-instrumen kebijakan yang dimilikinya. Akhirnya kendaraan pun melambat. Namun yang jauh lebih penting kendaraan masih bisa melaju dengan selamat.

Kembali ke isu transisi, diakui atau tidak, beralihnya otoritas pengawasan perbankan sejujurnya bukanlah hal yang diinginkan oleh Bank Indonesia. Akan tetapi karena undang-undang mengharuskan demikian, BI tentu tak bisa mengelak. Dan mulai bulan depan, satu direktorat yang ada di BI harus dialihkan dan menjadi milik Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Masalahnya, proses pengalihan itu tidak semudah seperti memindahkan barang-barang dari sebuah rumah ke tempat lain. Salah satu problem yang muncul adalah siapa yang akan menggaji pegawai-pegawai pindahan itu. Ketika pegawai BI yang sebagian merupakan pengawas bank pindah ke ‘rumah baru’ OJK, mereka masih berstatus pegawai BI setidaknya hingga dua tahun ke depan. Setelah itu, pengawas bank akan diberi opsi untuk tetap di OJK atau kembali ke rumah lamanya.

Karena itulah maka anggaran gaji dan fasilitas untuk para pengawas, masih harus disiapkan oleh BI, setidaknya begitulah menurut OJK. Apalagi, anggaran OJK tahun depan yang telah disepakati oleh Komisi Keuangan DPR yang sebesar Rp2,4 triliun, ternyata belum mencakup gaji dan fasilitas para pengawas bank. OJK beralasan, anggaran tersebut belum dimasukkan karena para pengawas bank masih berstatus sebagai pegawai BI.

Sementara BI di sisi lain, sudah tidak mau lagi memasukkan anggaran gaji dan fasilitas para pengawas banknya itu karena mereka bekerja melakukan pengawasan perbankan untuk OJK, bukan untuk BI.
Sebetulnya kalau mau dikembalikan ke Pasal 64 Undang-Undang OJK persoalan tidaklah serumit itu. 

Aturan di atas menyatakan bahwa para pengawas bank itu masih berstatus pegawai BI yang diperbantukan kepada OJK. Jadi para pengawas bank itu masih akan berstatus pegawai BI yang ditugaskan di OJK hingga akhir 2015 -saat itu mereka harus memilih menjadi pegawai OJK atau kembali ke BI. Artinya memang seharusnya BI adalah pihak yang semestinya mengeluarkan anggaran buat para pengawas itu.

Persoalan lain yang tidak kalah penting adalah masalah peraturan. Beberapa bulan jelang peralihan itu, BI tampaknya masih getol mengeluarkan aturan perbankan. Hal ini tentu akan sedikit memberikan pekerjaan ekstra buat OJK. Pasalnya setelah tahun ini berakhir, BI bukan lagi pihak yang akan mengawasi perbankan. Jika aturan itu tidak dimaksudkan untuk diterapkan dalam jangka waktu yang relatif lama maka hal itu tentu akan merepotkan untuk pelaku industri.

Namun, bos OJK, Muliaman D Hadad menanggapi santai hal itu. Menurut mantan Deputi Gubernur BI itu, hal tersebut tidak menjadi masalah karena nanti pihaknya akan mereview kembali aturan-aturan itu. “Jika memang harus diubah akan kita ubah, tanpa konsultasi lagi, karena itu sudah menjadi wewenang kita. BI kan tidak melakukan pengawasan lagi. Itu ada di OJK. Kalau itu baik, tentu kita teruskan, kalau perlu diperbaiki ya kita sempurnakan,” kata dia.

Hingga Oktober BI masih berencana mengeluarkan aturan soal perbankan terutama beberapa aturan terkait bank syariah dan uang muka kredit. Sementara sepanjang paro kedua tahun ini bank sentral telah menerbitkan satu Peraturan (PBI) dan 12 Surat Edaran (SEBI).

Meski begitu hal yang patut dicatat adalah bahwa kedua lembaga itu tetap terbuka untuk membahas masalah transisi ini agar tidak terjadi masalah di kemudian hari. Bulan lalu Kedua lembaga itu memang sudah bertukar nota kesepahaman demi memuluskan tugas mengawal stabilitas sektor keuangan Tanah Air. Setidaknya ada empat area yang menjadi perhatian utama. Pertama, tugas dan tanggung jawab menjalankan fungsi di BI dan OJK. Kedua, pertukaran informasi dan bagaimana menangani masalah pelaporan, serta bagaimana agar pelaporannya taat akan asas governance. Ketiga, kesepakatan terkait dokumen, logistik baik di pusat dan daerah. Dan keempat, masalah sumber daya manusia.

Transmisi BI Rate
Dalam urusan pengelolaan bank sentral khususnya soal suku bunga acuan, Darmin Nasution adalah sebuah kutub, sementara Agus Martowardojo adalah kutub yang lain. Saat pertama kali menjejakkan kaki di dalam ruang rapat dewan gubernur bank sentral, pada Mei 2009, mantan dirjen pajak itu sudah ikut menurunkan BI Rate.

Bahkan selama empat tahun masa jabatannya di Thamrin, tampak sekali bahwa Darmin berupaya mengarahkan BI Rate ke level terendah. Dan saat dia pensiun dari BI, bunga acuan dibawanya ke level terendahnya sepanjang masa di angka 5,75 persen, dari level saat dia masuk di angka 6,50 persen.

Beberapa kali, dalam merespons gejolak pasar hingga perkembangan perekonomian, orang yang lama menjabat posisi-posisi penting di pemerintahan ini memilih tidak menggunakan instrumen BI Rate. Baginya, dampak kenaikan suku bunga acuan akan lebih cepat menghantam sektor riil setelah bertransmisi di sektor perbankan. Sebaliknya jika menggunakan kebijakan yang agak memutar, dampaknya hanya akan berhenti di perbankan, jikalau berlanjut ke masyarakat maka kekuatannya sudah berkurang.

Seperti yang bisa dilihat pada 2012, ketika pasar global masih labil karena krisis di Eropa dan membuat ekspor kita melemah yang akhirnya menekan neraca transaksi berjalan. Ketika itu Darmin lebih banyak mengutak-atik instrumen Instrumen Sertifikat Bank Indonesia (SBI), disusul kemudian, time deposit, Fasbi, dan Giro Wajib Minimum (GWM).

Pada pertengahan tahun lalu Darmin menelurkan keputusan untuk memperlebar rentang batas bawah bunga Fasilitas Simpanan BI (Fasbi) karena melihat masih berlimpahnya ekses likuiditas yang dimiliki bank. BI juga menerapkan aturan loan to value yang mewajibkan konsumen menyediakan uang muka di saat akan membeli rumah atau  kendaraan bermotor.

Sementara Agus DW Martowardojo tampak kebalikannya. Sesaat setelah dipilih jadi Gubernur BI dan memimpin rapat dewan gubernur pada Juni, mantan menkeu itu langsung menaikkan BI Rate dari level rendah yang sudah dipertahankan Darmin. Bahkan sepanjang lima bulan Agus menjadi orang nomor satu di bank sentral, mantan Dirut Bank Mandiri sudah mendongkrak BI Rate hingga 150 basis poin.

Agus yang lebih banyak menghabiskan kariernya sebagai bankir, dinilai mendasarkan keputusan-keputusannya itu dari kacamata pelaku pasar, alih-alih pada kepentingan sektor riil secara langsung. 
“Orientasi kebijakan yang diambilnya berdasarkan yang selama ini dia temui. Khan dia ngertinya ya selama ini sektor perbankan. Sektor riil bukan dunianya,” kata Enny Sri Hartati, ekonom Indef saat mengomentari keputusan-keputusan Gubernur Bank Indonesia.

Meski demikian, Enny seperti halnya pengamat ekonomi lainnya memaklumi keputusan yang diambil Agus menaikkan suku bunga acuan secara agresif. Sekarang ini, menurut Enny, tidak ada faktor positif dari dalam negeri yang bisa menahan dana asing untuk tidak hengkang. Maka menaikkan BI Rate menjadi satu-satunya pilihan yang diambil BI untuk menahan agar dollar AS tidak kabur dari pasar keuangan dalam negeri.

BI, tambah Enny, selama ini terkesan bekerja sendiri tanpa ada dukungan dari regulator fiskal untuk mempertahankan perekonomian dari keterpurukan yang lebih dalam. “Kita tidak bisa menyalahkan BI karena sisi fiskalnya memang tidak berbuat apa-apa padahal sumber penyakitnya ada di fiskal. Ibarat kanker, BI hanya berupaya untuk memperlambat meluasnya penyakit, tidak mengobati,” jelas dia.

Apa yang diungkapkan Enny, bernada sama dengan yang diutarakan oleh ekonom Universitas Katolik Atmajaya Agustinus Prasetyantoko. Menurut dia kebijakan ekonomi Indonesia saat ini terlalu bertumpu pada kebijakan moneter. Padahal persoalan yang dihadapi perekonomian Indonesia saat ini sangat beragam dan tidak hanya melulu soal moneter. Misalnya di sektor ketenagakerjaan, infrastruktur, ekspor, impor, daya saing industri dan lainnya. “Kebijakan di sektor-sektor ini yang tidak terlihat,” kata dia.  

Hingga November, BI Rate bertengger di level 7,5 persen. Selain menjadi level tertinggi sejak 2009, BI Rate juga menjadi suku bunga acuan tertinggi di regional Asia Tenggara. Bank Negara Malaysia tetap mempertahankan rate-nya di level 3 persen sejak Mei 2011. Demikian pula dengan bank sentral Filipina yang tidak mengubah bunga acuannya di angka 3 persen sejak Oktober tahun lalu. Sementara Bank of Thailand pada 16 Oktober lalu mempertahankan suku bunga sebesar 2,5 persen. Bahkan dibandingkan posisi pada awal tahun, suku bunga Thailand lebih rendah 0,25 basis poin.   Adapun suku bunga acuan di Singapura sedikit dinaikkan dari dari 0,03 pada Januari menjadi 0,05 pada Oktober.

Langkah BI menaikkan bunga acuan, tak pelak disambut oleh investor luar negeri dan dianggap sebagai langkah yang tepat serta berani. Kenaikan BI Rate merupakan pesan yang sangat jelas bahwa Indonesia akan melakukan langkah apa pun yang diperlukan untuk mendongkrak kinerja mata uang rupiah.

Robert Prior-Wandesforde, ekonom dari Credit Suisse mengatakan bahwa sebelum ini BI sering dituduh melakukan hal di luar kurva. Namun, cukup jelas bahwa langkah BI menaikkan suku bunganya merupakan langkah yang berani. “Dalam pandangan kami, hal ini merupakan hal yang tepat untuk dilakukan,” kata dia.

Kita memang tidak boleh dengan mudah memvonis bahwa kebijakan BI di bawah pilot Agus Martowardojo, lebih berpihak ke investor asing. Karena setiap kebijakan yang dikeluarkan bank sentral memang sesuai masa dan kebutuhannya. Setiap kebijakan bank sentral juga memiliki limitnya masing-masing.

Akan tetapi, yang pasti kini BI Rate pun bersiap untuk terus menanjak karena tahun depan kondisi perekonomian global tetap dalam ketidakpastian. Rencana pemerintah AS yang akan menghentikan secara bertahap program stimulusnya kembali menjadi ancaman bagi perekonomian global yang masih sempoyongan. Belum lagi problem debt ceiling pemerintah AS yang tak kunjung usai dan diramalkan akan mencapai puncaknya tahun depan.

Darmin Nasution, mantan gubernur BI menyarankan agar setiap kebijakan yang dikeluarkan harus memiliki determinasi dan jangan muncul kesan hit and run. “Walaupun harus tahu diri dengan limit kebijakan, otoritas harus punya determinasi. Apa artinya? Pada saat gejolak terburuk sudah terlampaui, harus ada rancangan untuk mengendalikan. Jangan dibiarkan ke sana ke mari, sehingga tidak bis dikendalikan," kata Darmin yang kini aktif di Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar