Kamis, 05 Desember 2013

Setelah Pilihan Pahit Diambil

Pemerintah telah mengambil pilihan menurunkan proyeksi pertumbuhan akibat guncangan ‘krisis kecil’ Agustus lalu. Perbankan tak pelak mendapatkan imbas yang lebih pahit dari sektor keuangan lainnya terutama dari sisi laba yang diprediksi akan melemah.

Guncangan di pasar keuangan Agustus lalu memang telah usai, dan bursa saham serta pasar uang sudah mulai menyusuri jalan sebelumnya untuk sampai pada posisi yang sama saat sebelum anjlok akibat guncangan itu. Namun tidak bagi sektor perbankan.

Turbulensi itu memang telah membuka tirai dan menunjukkan pada kita masalah utama dari perekonomian Indonesia yaitu tingginya angka impor yang membuat neraca transaksi berjalan menderita. Saat badai pasar uang tengah berkecamuk, pemerintah memiliki dua opsi yang sama-sama pahit: membiarkan nilai tukar terus melemah atau menurunkan target pertumbuhan ekonomi. Pilihan yang satu akan meniadakan opsi lainnya.
Pilihan pertama dengan terus mempertahankan proyeksi pertumbuhan ekonomi dan membiayai impor dengan rupiah yang makin melemah, sekilas tampaknya aman. Namun dengan besarnya kebergantungan kita pada impor baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun untuk memproduksi barang-barang ekspor, membuat opsi itu hanya akan membikin cadangan devisa kedodoran sampai akhir tahun.

Pilihan kedua, lebih pahit, namun dalam jangka panjang membuat ekonomi lebih stabil. Dengan menurunkan target pertumbuhan, pemerintah bisa menekan impor agar tekanan kepada rupiah berkurang, karena memang ekspor juga sedang melemah. Karena itu dengan menurunkan target pertumbuhan, otomatis impor juga berkurang dan akhirnya tekanan rupiah juga sedikit berkurang.

Walhasil pilihan kedua pun diambil. Target pertumbuhan ekonomi Indonesia dipangkas. Pemerintah awalnya mematok sangat tinggi pertumbuhan tahun 2013, yaitu 6,8 persen. Lalu pemerintah dan DPR mengoreksi menjadi 6,3 persen sebagaimana tercantum di APBN-P 2013. Koreksi itu dilakukan menjelang kenaikan harga BBM Juli lalu. Setelah terjadi guncangan pasar modal, pertumbuhan kembali direvisi menjadi 5,5-5,9 persen.

Revisi itu tampaknya lebih optimistis dibandingkan yang dilakukan oleh lembaga dunia. Dalam laporan World Economic Outlook terbaru, IMF memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2013 turun tajam 100 basis poin, dari 6,3 persen menjadi 5,3 persen.

Akan tetapi, inilah yang membuat sektor perbankan lebih menderita dibanding jasa keuangan lainnya. Dua bulan setelah guncangan itu mereda, pasar modal dan pasar uang mulai stabil. Indeksi saham mulai kembali ke posisi semula dan hingga pekan ketiga Oktober berada di level 4.560-an. Nilai tukar rupiah juga sudah memasuki level Rp10.000 per dollar AS.

Sementara itu perbankan diperkirakan akan mengalami pelemahan kinerja sampai akhir tahun. Dengan dipangkasnya proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional, perbankan tentu akan menjadi sektor yang langsung terimbas dengan langsung memperlambat laju pemberian kredit. Tekanan ini bertambah lagi dengan dikereknya suku bunga acuan yang saat ini berada di level 7,25 persen.

Karenanya, di samping penyaluran kredit yang turun, bank juga harus berhadapan dengan risiko meningkatnya risiko kredit karena ancaman non performing loan (NPL) yang memaksa bank menyisihkan dana lebih banyak sebagai provisi. Kekhawatiran ini tentu akan membuat bankir-bankir kian memperlambat kinerja bisnis yang akhirnya akan berpengaruh pada pendapatan bank. Ujung-ujungnya laba perbankan akan melandai.

Sepanjang delapan bulan pertama tahun ini, perbankan memang masih bisa membukukan laba tinggi. Berdasarkan catatan Bank Indonesia, industri perbankan mampu meraup laba bersih sebesar Rp 70,73 triliun sepanjang waktu itu. Angka ini meningkat sebesar 18,44 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Peningkatan laba bersih ini ditopang oleh ekspansi kredit yang mencapai 22,2 persen.

Meski begitu, jika dibandingkan dengan kinerja bank-bank umum sepanjang Januari-Agustus 2012, ekspansi laba tersebut telah mengalami pelambatan. Pada periode tersebut laba bersih meningkat 24 persen menjadi Rp59,72 triliun. Sedangkan ekspansi kredit selama delapan bulan tahun 20103 itu juga sudah melambat dibandingkan dengan posisi akhir 2012 yang tercatat masih tumbuh 23,1 persen.

Menurut pernyataan resmi Bank Indonesia, pertumbuhan kredit September mulai menunjukkan perlambatan, meski pada Agustus 2013 masih cukup tinggi sebesar 22,2 persen (yoy). Pertumbuhan kredit lebih banyak didorong penarikan kredit dari komitmen sebelumnya, disamping pengaruh perhitungan nilai tukar. “Sementara komitmen kredit baru terus menurun,” kata laporan itu.

Ke depan, Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan kredit akan melambat seiring dengan kenaikan suku bunga, perlambatan permintaan domestik dan kebijakan makroprudensial yang ditempuh oleh Bank Indonesia.

Dengan berbagai tantangan itu tak pelak pertumbuhan laba bank sepanjang 2013 ini diprediksi akan lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya. Banyak pihak yang melihat bahwa hal itu merupakan pertanda bahwa masa-masa di mana bank-bank bisa mengeruk keuntungan tanpa usaha yang terlalu keras sudah usai.

Bank Indonesia sudah mengerek suku bunga acuan hingga 150 basis poin sejak Mei. Suku bunga kredit pun sudah mulai merangkak naik merespons dengan cepat kenaikan itu. Pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah karena pemerintah memilih menekan impor tentu akan membuat kesulitan tersendiri bagi bank untuk melempar dana ke sektor usaha. Itu belum ditambah kebijakan moneter lainnya yang lebih ketat dan akan membuat keleluasan bank dalam berbisnis akan sedikit tertekan.

Belum lagi kondisi masih tertekannya konsumsi dalam negeri dan investasi sebagai dampak dari melorotnya daya beli akibat tingginya tekanan harga pasca kenaikan harga bensin bersubsidi. Bahkan situasi ini menurut Bank Indonesia akan berlangsung hingga akhir tahun.

Salah satu bank yang sudah memastikan akan sedikit mengerem ekspansi adalah Bank Mandiri. Bank beraset tergemuk ini menurunkan target pertumbuhan kreditnya hingga akhir 2013 menjadi 19-21 persen dari target sebelumnya sebesar 20-22 persen. Hal itu untuk menjaga kualitas pertumbuhan kredit dengan tingkat kredit bermasalah (NPL) yang tetap baik di tengah perekonomian yang melambat.

Bank Danamon bahkan telah mengajukan revisi Rencana Bisnis Bank (RBB) kepada Bank Indonesia untuk menurunkan target kredit dari 18 persen tahun ini menjadi 17 persen sejak Juli sehingga diperkirakan angkanya pada akhir tahun bisa lebih rendah lagi.

Akan tetapi menurut pengamat, kinerja perbankan, meski melemah, namun tidak seburuk yang dibayangkan. “Perbankan akan tetap bisa mengeruk laba tinggi namun marginnya berkurang,” kata Eric Alexander Sugandi dari Standard Chartered Bank.

Margin di industri perbankan RI memang termasuk yang tertinggi di dunia. Hingga akhir Agustus, margin bunga bersih (NIM) industri perbankan masih berada di level 5,5 persen, relatif sama dibandingkan dengan setahun lalu. Pada akhir tahun ini diperkirakan angkanya akan mengecil dan memberikan pengaruh kepada pendapatan bank.

Menurut Eric, pengetatan yang dilakukan Bank Indonesia akan memaksa bank menurunkan margin demi menyeimbangkan neracanya. Sebelumnya bank sentral juga sudah ancang-ancang akan melakukan pengetatan untuk menyelamatkan neraca transaksi berjalan.

Neraca yang menggambarkan ekspor impor itu memang terus mengalama defisit sejak awal tahun ini. Dan bank sentral memang menjadi aktor utama dalam upaya memperbaiki current account defisit itu dengan memberikan peluang lebih besar pada kegiatan ekspor dan menekan transaksi impor.

Transaksi Berjalan
Bulan lalu, otoritas moneter telah menaikkan suku bunga acuan menjadi 7,25 persen. Langkah pengetatan itu dilakukan untuk menekan defisit transaksi berjalan. “Masalah kita sekarang ini adalah defisit current account yang besar. Itu harus turun. Impor harus turun, karena kita tidak bisa mendorong ekspor," kata Deputi Gubernur BI, Perry Warjiyo.

Neraca transaksi berjalan Indonesia pada kuartal II-2013 mengalami defisit 9,9 miliar dollar AS atau sekitar 4,5 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Jumlah ini mengalami peningkatan 69 persen dari kuartal sebelumnya yang besarnya 5,8 miliar dollar AS. Defisit tersebut sekaligus melanjutkan defisit transaksi berjalan selama tujuh kuartal terakhir sejak kuartal IV-2011.

Menurut Perry, keputusan yang ditempuh BI dengan menaikkan BI Rate merupakan langkah yang wajar dalam menyikapi perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia. "Oleh karena itu, wajar kalau kami tidak bisa berlari terlalu kencang, sementara yang lain melambat," kata dia.

Apabila BI tidak menaikkan suku bunga acuan menjadi 7,25 persen, lanjut Perry, maka defisit transaksi berjalan akan semakin membesar. “Berbagai indikator pun menunjukkan perlambatan. Maka kebijakan itu yang kami lakukan," tegas Perry.

Meski demikian dari hasil uji tekanan (stress testing) yang dilakukan BI baik dari sisi likuiditas, kredit maupun permodalan menunjukkan ketahanan industri perbankan yang kuat terhadap berbagai risiko seperti perlambatan ekonomi, kenaikan suku bunga dan depresiasi nilai tukar rupiah. 

Setelah krisis, sektor perbankan RI memang diakui lebih kuat karena pengetatan aturan dari otoritas. Rasio kecukupan modal selalu berada di atas 14 persen dalam lima tahun terakhir, jauh di atas yang digariskan BI sebesar 8 persen. Sementara itu rasio kredit bermasalah juga berada di bawah level 2 persen.
Kendati demikian, akhir tahun bukanlah akhir dari penderitaan sektor perbankan. Karena tahun depan masalah lainnya akan kembali menghadang. Menurut Eric dari Standard Chartered Bank tahun depan perekonomian Indonesia kembali akan mengalam guncangan karena persoalan death ceiling dan isu tapering dari pemerintahan AS.

Perekonomian AS akan kembali menjadi sorotan karena belum tuntasnya masalah batas utang yang sampai saat ini masih jadi perdebatan. Selain itu isu rencana penghentian program stimulus (tapering) yang mereda pada September akan muncul lagi ketika ada perbaikan ekonomi dari AS.  

Persoalan debt ceiling ini tentu menimbukan pressure ke rupiah. Kalau hal itu tidak mendapatkan persetujuan dari pengambil kebijakan, kata Eric  maka ini akan mengganggu ekonomi AS dan tentu tapering akan ditunda. Sementara itu, jika ekonomi AS tahun depan pulih maka program quantitative easing akan dihentikan. Hal  ini juga akan berdampak ke pelemahan rupiah dengan banyaknya flight to quality dana-dana asing seperti yang terjadi Agustus lalu.

“Jadi mulai Januari ancaman yang berasal dari ekonomi AS akan berlanjut dan bahkan mungkin dengan magnitude yang lebih besar,” kata Eric. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar