Pemerintah telah mengambil pilihan menurunkan proyeksi
pertumbuhan akibat guncangan ‘krisis kecil’ Agustus lalu. Perbankan tak pelak
mendapatkan imbas yang lebih pahit dari sektor keuangan lainnya terutama dari
sisi laba yang diprediksi akan melemah.
Guncangan di pasar keuangan Agustus lalu memang telah usai,
dan bursa saham serta pasar uang sudah mulai menyusuri jalan sebelumnya untuk
sampai pada posisi yang sama saat sebelum anjlok akibat guncangan itu. Namun
tidak bagi sektor perbankan.
Turbulensi itu memang telah membuka tirai dan menunjukkan
pada kita masalah utama dari perekonomian Indonesia yaitu tingginya angka impor
yang membuat neraca transaksi berjalan menderita. Saat badai pasar uang tengah
berkecamuk, pemerintah memiliki dua opsi yang sama-sama pahit: membiarkan nilai
tukar terus melemah atau menurunkan target pertumbuhan ekonomi. Pilihan yang
satu akan meniadakan opsi lainnya.
Pilihan pertama dengan terus mempertahankan proyeksi pertumbuhan
ekonomi dan membiayai impor dengan rupiah yang makin melemah, sekilas tampaknya
aman. Namun dengan besarnya kebergantungan kita pada impor baik untuk kebutuhan
dalam negeri maupun untuk memproduksi barang-barang ekspor, membuat opsi itu hanya
akan membikin cadangan devisa kedodoran sampai akhir tahun.
Pilihan kedua, lebih pahit, namun dalam jangka panjang
membuat ekonomi lebih stabil. Dengan menurunkan target pertumbuhan, pemerintah
bisa menekan impor agar tekanan kepada rupiah berkurang, karena memang ekspor
juga sedang melemah. Karena itu dengan menurunkan target pertumbuhan, otomatis
impor juga berkurang dan akhirnya tekanan rupiah juga sedikit berkurang.
Walhasil pilihan kedua pun diambil. Target pertumbuhan ekonomi
Indonesia dipangkas. Pemerintah awalnya mematok sangat tinggi pertumbuhan tahun
2013, yaitu 6,8 persen. Lalu pemerintah dan DPR mengoreksi menjadi 6,3 persen
sebagaimana tercantum di APBN-P 2013. Koreksi itu dilakukan menjelang kenaikan
harga BBM Juli lalu. Setelah terjadi guncangan pasar modal, pertumbuhan kembali
direvisi menjadi 5,5-5,9 persen.
Revisi itu tampaknya lebih optimistis dibandingkan yang
dilakukan oleh lembaga dunia. Dalam laporan World Economic Outlook terbaru, IMF
memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2013 turun tajam 100 basis poin,
dari 6,3 persen menjadi 5,3 persen.
Akan tetapi, inilah yang membuat sektor perbankan lebih
menderita dibanding jasa keuangan lainnya. Dua bulan setelah guncangan itu
mereda, pasar modal dan pasar uang mulai stabil. Indeksi saham mulai kembali ke
posisi semula dan hingga pekan ketiga Oktober berada di level 4.560-an. Nilai
tukar rupiah juga sudah memasuki level Rp10.000 per dollar AS.
Sementara itu perbankan diperkirakan akan mengalami
pelemahan kinerja sampai akhir tahun. Dengan dipangkasnya proyeksi pertumbuhan ekonomi
nasional, perbankan tentu akan menjadi sektor yang langsung terimbas dengan
langsung memperlambat laju pemberian kredit. Tekanan ini bertambah lagi dengan dikereknya
suku bunga acuan yang saat ini berada di level 7,25 persen.
Karenanya, di samping penyaluran kredit yang turun, bank
juga harus berhadapan dengan risiko meningkatnya risiko kredit karena ancaman non performing loan (NPL) yang memaksa
bank menyisihkan dana lebih banyak sebagai provisi. Kekhawatiran ini tentu akan
membuat bankir-bankir kian memperlambat kinerja bisnis yang akhirnya akan
berpengaruh pada pendapatan bank. Ujung-ujungnya laba perbankan akan melandai.
Sepanjang delapan bulan pertama tahun ini, perbankan memang
masih bisa membukukan laba tinggi. Berdasarkan catatan Bank Indonesia, industri
perbankan mampu meraup laba bersih sebesar Rp 70,73 triliun sepanjang waktu
itu. Angka ini meningkat sebesar 18,44 persen dibandingkan periode yang sama
tahun lalu. Peningkatan laba bersih ini ditopang oleh ekspansi kredit yang
mencapai 22,2 persen.
Meski begitu, jika dibandingkan dengan kinerja bank-bank umum
sepanjang Januari-Agustus 2012, ekspansi laba tersebut telah mengalami
pelambatan. Pada periode tersebut laba bersih meningkat 24 persen menjadi Rp59,72
triliun. Sedangkan ekspansi kredit selama delapan bulan tahun 20103 itu juga sudah
melambat dibandingkan dengan posisi akhir 2012 yang tercatat masih tumbuh 23,1
persen.
Menurut pernyataan resmi Bank Indonesia, pertumbuhan kredit September
mulai menunjukkan perlambatan, meski pada Agustus 2013 masih cukup tinggi
sebesar 22,2 persen (yoy). Pertumbuhan kredit lebih banyak didorong penarikan
kredit dari komitmen sebelumnya, disamping pengaruh perhitungan nilai tukar. “Sementara
komitmen kredit baru terus menurun,” kata laporan itu.
Ke depan, Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan kredit
akan melambat seiring dengan kenaikan suku bunga, perlambatan permintaan domestik
dan kebijakan makroprudensial yang ditempuh oleh Bank Indonesia.
Dengan berbagai tantangan itu tak pelak pertumbuhan laba
bank sepanjang 2013 ini diprediksi akan lebih rendah dibandingkan tahun
sebelumnya. Banyak pihak yang melihat bahwa hal itu merupakan pertanda bahwa
masa-masa di mana bank-bank bisa mengeruk keuntungan tanpa usaha yang terlalu
keras sudah usai.
Bank Indonesia sudah mengerek suku bunga acuan hingga 150
basis poin sejak Mei. Suku bunga kredit pun sudah mulai merangkak naik
merespons dengan cepat kenaikan itu. Pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah
karena pemerintah memilih menekan impor tentu akan membuat kesulitan tersendiri
bagi bank untuk melempar dana ke sektor usaha. Itu belum ditambah kebijakan
moneter lainnya yang lebih ketat dan akan membuat keleluasan bank dalam
berbisnis akan sedikit tertekan.
Belum lagi kondisi masih tertekannya konsumsi dalam negeri dan
investasi sebagai dampak dari melorotnya daya beli akibat tingginya tekanan
harga pasca kenaikan harga bensin bersubsidi. Bahkan situasi ini menurut Bank
Indonesia akan berlangsung hingga akhir tahun.
Salah satu bank yang sudah memastikan akan sedikit mengerem
ekspansi adalah Bank Mandiri. Bank beraset tergemuk ini menurunkan target
pertumbuhan kreditnya hingga akhir 2013 menjadi 19-21 persen dari target
sebelumnya sebesar 20-22 persen. Hal itu untuk menjaga kualitas pertumbuhan
kredit dengan tingkat kredit bermasalah (NPL) yang tetap baik di tengah
perekonomian yang melambat.
Bank Danamon bahkan telah mengajukan revisi Rencana Bisnis
Bank (RBB) kepada Bank Indonesia untuk menurunkan target kredit dari 18 persen
tahun ini menjadi 17 persen sejak Juli sehingga diperkirakan angkanya pada
akhir tahun bisa lebih rendah lagi.
Akan tetapi menurut pengamat, kinerja perbankan, meski melemah,
namun tidak seburuk yang dibayangkan. “Perbankan akan tetap bisa mengeruk laba
tinggi namun marginnya berkurang,” kata Eric Alexander Sugandi dari Standard
Chartered Bank.
Margin di industri perbankan RI memang termasuk yang
tertinggi di dunia. Hingga akhir Agustus, margin bunga bersih (NIM) industri
perbankan masih berada di level 5,5 persen, relatif sama dibandingkan dengan
setahun lalu. Pada akhir tahun ini diperkirakan angkanya akan mengecil dan
memberikan pengaruh kepada pendapatan bank.
Menurut Eric, pengetatan yang dilakukan Bank Indonesia akan
memaksa bank menurunkan margin demi menyeimbangkan neracanya. Sebelumnya bank
sentral juga sudah ancang-ancang akan melakukan pengetatan untuk menyelamatkan
neraca transaksi berjalan.
Neraca yang menggambarkan ekspor impor itu memang terus
mengalama defisit sejak awal tahun ini. Dan bank sentral memang menjadi aktor
utama dalam upaya memperbaiki current
account defisit itu dengan memberikan peluang lebih besar pada kegiatan ekspor
dan menekan transaksi impor.
Transaksi Berjalan
Bulan lalu, otoritas moneter telah menaikkan suku bunga
acuan menjadi 7,25 persen. Langkah pengetatan itu dilakukan untuk menekan defisit
transaksi berjalan. “Masalah kita sekarang ini adalah defisit current account yang besar. Itu harus turun. Impor harus
turun, karena kita tidak bisa mendorong ekspor," kata Deputi Gubernur BI,
Perry Warjiyo.
Neraca transaksi berjalan Indonesia pada kuartal II-2013
mengalami defisit 9,9 miliar dollar AS atau sekitar 4,5 persen terhadap produk
domestik bruto (PDB). Jumlah ini mengalami peningkatan 69 persen dari kuartal
sebelumnya yang besarnya 5,8 miliar dollar AS. Defisit tersebut sekaligus
melanjutkan defisit transaksi berjalan selama tujuh kuartal terakhir sejak
kuartal IV-2011.
Menurut Perry, keputusan yang ditempuh BI dengan menaikkan
BI Rate merupakan langkah yang wajar dalam menyikapi perlambatan pertumbuhan
ekonomi dunia. "Oleh karena itu, wajar kalau kami tidak bisa berlari
terlalu kencang, sementara yang lain melambat," kata dia.
Apabila BI tidak menaikkan suku bunga acuan menjadi 7,25
persen, lanjut Perry, maka defisit transaksi berjalan akan semakin membesar. “Berbagai
indikator pun menunjukkan perlambatan. Maka kebijakan itu yang kami
lakukan," tegas Perry.
Meski demikian dari hasil uji tekanan (stress testing) yang dilakukan BI baik dari sisi likuiditas, kredit
maupun permodalan menunjukkan ketahanan industri perbankan yang kuat terhadap
berbagai risiko seperti perlambatan ekonomi, kenaikan suku bunga dan depresiasi
nilai tukar rupiah.
Setelah krisis, sektor perbankan RI memang diakui lebih kuat
karena pengetatan aturan dari otoritas. Rasio kecukupan modal selalu berada di
atas 14 persen dalam lima tahun terakhir, jauh di atas yang digariskan BI
sebesar 8 persen. Sementara itu rasio kredit bermasalah juga berada di bawah
level 2 persen.
Kendati demikian, akhir tahun bukanlah akhir dari
penderitaan sektor perbankan. Karena tahun depan masalah lainnya akan kembali
menghadang. Menurut Eric dari Standard Chartered Bank tahun depan perekonomian
Indonesia kembali akan mengalam guncangan karena persoalan death ceiling dan isu tapering dari pemerintahan AS.
Perekonomian AS akan kembali menjadi sorotan karena belum
tuntasnya masalah batas utang yang sampai saat ini masih jadi perdebatan. Selain
itu isu rencana penghentian program stimulus (tapering) yang mereda pada September akan muncul lagi ketika ada
perbaikan ekonomi dari AS.
Persoalan debt ceiling
ini tentu menimbukan pressure ke
rupiah. Kalau hal itu tidak mendapatkan persetujuan dari pengambil kebijakan,
kata Eric maka ini akan mengganggu
ekonomi AS dan tentu tapering akan
ditunda. Sementara itu, jika ekonomi AS tahun depan pulih maka program
quantitative easing akan dihentikan. Hal
ini juga akan berdampak ke pelemahan rupiah dengan banyaknya flight to quality dana-dana asing
seperti yang terjadi Agustus lalu.
“Jadi mulai Januari ancaman yang berasal dari ekonomi AS
akan berlanjut dan bahkan mungkin dengan magnitude
yang lebih besar,” kata Eric.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar