Minggu, 20 Oktober 2019

Peringatan Dini Resesi



when your neighbors lose their jobs, it's recession, when you lose your job it's depression. (Harry Truman) 

Petunjuk bahwa ada masalah krusial di perekonomian sejatinya sudah muncul terutama lima tahun belakangan ini. Kegagalan pemerintah mencapai target pertumbuhan yang sudah disetorkan ke DPR adalah pertanda bahwa program ekonomi yang selama ini dijalankan tidak mencapai tujuan akhirnya.
Pertanda lain adalah ketika daya beli masyarakat melemah sehingga sektor ritel mulai limbung. Sederet pelaku usaha ritel bahkan memutuskan untuk menutup usahanya beberapa tahun belakangan, sebut saja 7-Eleven, Lotus, Debenhams dan yang terakhir adalah Giant.
Kini kode keras dari perekonomian global muncul. AS, pemilik ekonomi terbesar di jagat ini hampir dipastikan akan mengalami resesi. China, rival dari ekonomi AS pun mengalami perlambatan dan menyentuh level terendah dalam tiga dekade terakhir.
Pengampu perekonomian Indonesia nampaknya tidak bisa berbuat banyak menghindari turbulensi itu, yang bisa dilakukan adalah memperkuat pegangan. Dalam pengertian sesungguhnya, pemerintah tampaknya akan memperkuat pondasi ekonomi, memperkuat anggaran negara, dan memperkuat sistem keuangan.
Untuk yang pertama, pemerintah tampaknya akan kembali mengandalkan sektor usaha mikro kecil dan menengah agar bisa menjadi bumper perekonomian. Ini semacam template kebijakan ketika perekonomian nasional tengah dihadapkan oleh suatu masalah serius.
Untuk yang kedua, tanda-tanda itu sudah semakin terlihat dengan langkah pemerintah memangkas banyak pengeluaran belanja. Sayangnya hal itu berimbas pada dinaikkannya iuran-iuran yang harus dibayarkan masyarakat yang pada akhirnya akan mendongkrak beban rakyat. Sebut saja kenaikan tarif BPJS, tarif listrik, tarif cukai rokok, dan tarif tol.
Tentu saja pada ujungnya situasi itu akan makin menekan daya beli masyarakat. Padahal dalam porsi pembentukan produk domestik bruto Indonesia, konsumsi masih menjadi faktor dominan, dengan menyumbang lebih dari 56 persen. Jika hal itu terjadi tentu pertumbuhan ekonomi akan makin melemah.
Sementara itu dalam hal memperkuat sektor keuangan, otoritas memang sudah mulai memitigasi imbas resesi yang sudah muncul di AS dan beberapa negara di Eropa. Otoritas Jasa Keuangan sejatinya masih menggunakan cara lama dalam mengkomunikasin adanya ancaman ekonomi. OJK mengatakan bahwa fundamental ekonomi masih cukup baik dalam menangkal kisruh ekonomi.
Padahal kalau mau sedikit jujur, ada masalah cukup serius di sektor keuangan. Di sektor keuangan non bank misalnya, masih ada persoalan di industri asuransi ketika kisruh perusahaan asuransi Bumiputera yang tak kunjung usai sampai kini. Ditambah lagi dengan kasus Jiwasraya dan juga krisis yang terjadi di perusahaan Sunprima sejak tahun lalu.
Di sektor perbankan, masalah likuiditas masih tetap membayangi dan masalah kredit macet masih menghantui. Ancaman kekeringan likuiditas selalu muncul ketika ekonomi mengalami persoalan serius, karena saat itu muncul kecenderungan semua pihak untuk menggenggam likuiditasnya erat-erat. Saat ini ancaman resesi muncul pada waktu bank harus berebut dana masyarakat dengan pemerintah yang masih getol menerbitkan obligasi untuk menambal anggaran.
Ancaman kredit macet, malah, tahun ini harus diperhatikan serius karena beberapa waktu lalu ada debitur yang gagal bayar dan terkait dengan beberapa bank besar. Penurunan kualitas kredit biasanya akan menjadi akibat langsung dari turbulensi ekonomi.
Sejauh ini, OJK mengatakan bahwa likuditas perbankan cukup untuk mencapai target pertumbuhan  penyaluran kredit sebesar 12 persen sampai akhir tahun. Bank Indonesia juga memastikan bahwa kebijakan penurunan GWM dan suku bunga acuan akan membantu melonggarkan likuiditas perbankan tersebut.
Terakhir, BI telah menurunkan tingkat setoran wajib bank ke bank sentral atau GWM 50 basis poin seraya menurunkan suku bunga BI 7 Day Reverse Repo Rate yang saat ini berada di level 5,25 persen. Penurunan GWM tersebut, kata BI, secara otomatis menambah likuiditas bank senilai Rp26,3 triliun. Sejatinya BI telah mempersiapkan sejumlah strategi baru untuk menjaga likuiditas. Caranya masih menggunakan operasi moneter, namun ada beberapa hal yang baru dilakukan tahun ini untuk menyesuaikan kondisi global. Hal ini salah satunya disebabkan likuiditas yang tak merata di industri perbankan.
Sampai sekarang resesi memang belum sampai di rumah kita karena angka pertumbuhan masih positif di angka 5 persen. Meski begitu dari kacamata ekonomi kapitalisme, resesi adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari dalam sebuah siklus bisnis. Kegiatan usaha, atau secara umum perekonomian, ketika sudah membuka langkah awal maka setelah melewati periode tertentu akan mencapai puncaknya dan kembali akan turun.
Siklus ekonomi terbagi dalam empat periode: pertama periode pada waktu kegiatan ekonomi mencapai puncaknya (ekspansi). Kedua, periode pada waktu kegiatan ekonomi mengalami penurunan (resesi dan atau krisis). Ketiga, periode pada waktu kegiatan ekonomi mencapai titik terendah (depresi). Keempat, periode pada waktu kegitan ekonomi mulai meningkat kembali.
Namun begitu, resesi sering diasosiasikan dengan turunnya harga-harga (deflasi), atau, kebalikannya, meningkatnya harga-harga secara tajam (inflasi) dalam proses yang dikenal sebagai stagflasi. Dan seharusnya itu sudah cukup dijadikan petunjuk untuk serius memitigasi risiko.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar