Rabu, 08 Agustus 2012

Berakhirnya Masa Indah


Perekonomian Indonesia diprediksi akan melemah hingga akhir tahun. BI pun menyiapkan langkah antisipasi agar pertumbuhan tetap berada bisa mencapai target.

Setiap menyebut krisis dunia yang sedang berlangsung, Indonesia selalu disebut sebagai negara yang masih kebal terhadap dampaknya. Dengan pertumbuhan yang selalu berada di atas 6 persen, Indonesia adalah satu dari sedikit negara yang ekonominya selalu bisa tumbuh positif.
Namun masa-masa indah itu tampaknya akan terhenti. Situasi perekonomian zona eura dan Amerika Serikat yang tak kunjung membaik lama kelamaan juga membuat goyang ekonomi Indonesia. Padahal pada awal tahun Indonesia baru saja menerima kabar yang menggembirakan. Selain mendapatkan rating investment grade dari beberapa lembaga pemeringkat dunia, pertumbuhan ekonomi juga menyentuh level tertinggi dalam 15 tahun. Seharusnya dengan dua prakondisi itu, diperkirakan makin banyak dana-dana asing yang masuk dan memperkuat posisi rupiah.
Bank Indonesia awalnya juga optimistis bahwa pertumbuhan ekonomi tahun ini akan meneruskan tren gemilangnya ke level 63-6,7 persen atas dasar modal rating bagus dan juga ekspansi ekonomi yang menggembirakan tahun lalu. Namun begitu, memasuki akhir semester satu situasi mulai membuat otoritas khawatir meskipun tidak sampai membuatnya panik.
Pada triwulan pertama tahun ini, defisit transaksi berjalan mencapai 2,894 miliar dollar AS meningkat dari angka di periode sebelumnya yang menyentuh 1,577 miliar dollar AS. Malahan BI memprediksi angkanya akan makin membesar di triwulan-triwulan selanjutnya. “Defisit transaksi berjalan di triwulan kedua dan ketiga akan makin membesar. Rasio transaksi berjalan terhadap PDB akan memburuk,” kata Direktur Grup Kebijakan Moneter BI, Juda Agung.
Menurunnya angka ekspor menjadi biang keladi meningkatnya defisit transaksi berjalan itu ketika di saat yang sama impor terus meningkat. Sepanjang April-Mei, berdasarkan data BI, pertumbuhan ekspor tahunan ke beberapa negara tumbuh negatif, kecuali ekspor ke China yang melambat. Bahkan pertumbuhan negatif itu terjadi di seluruh komoditas ekspor, kecuali batubara dan makanan olahan.
Di sisi lain, angka impor terus menunjukkan kenaikan. “Angkanya masih tinggi karena konsumsi di dukung oleh kelas menengah yang semakin kuat,” kata Juda. Peningkatan impor terutama terlihat pada barang modal untuk penunjang pembangunan infrastruktur, sektor telekomunikasi dan transportasi, disamping juga barang konsumsi khususnya kendaraan bermotor.
Menurut data BI, selama April-Mei total impor naik 30 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Impor barang modal naik 46,2 persen, sedangkan impor bahan baku naik 23,2 persen. Ada pun barang konsumsi naik 30 persen.
Impor kendaraan bermotor untuk penumpang yang dikategorikan sebagai barang konsumsi naik 66 persen sedangkan kendaraan bermotor untuk barang yang dikategorikan sebagai barang modal, naik 150,4 persen.
Tanda-tanda itu sejatinya sudah terlihat, terutama pada nilai tukar rupiah. Sejak awal Februari, nilai tukar rupiah mulai meninggalkan level terkuatnya di kisaran Rp8.800-8.900 per dollar AS dan hinggap di level Rp9.440 per dollar AS pada pekan terakhir Juli. Itu artinya rupiah sudah melemah lebih dari 5 persen. Pelemahan itu merupakan yang tertinggi di antara dollar Singapura dan ringgit Malaysia.
Malahan kabarnya investor mancanegara sudah mulai khawatir bahwa perekonomian Indonesia akan masuk pada fase pelemahan. Apalagi beberapa kebijakan pemerintah dan bank sentral dianggap tidak sesuai dengan ekspektasi investor yang membuat pemilik modal itu enggan bertahan.
Bank Indonesia menerapkan kebijakan repatriasi ekspor yang memaksa dana-dana dollar AS yang selama ini “nyangkut” di Singapura balik ke rumah. Kebijakan ini buat Indonesia sangat jitu untuk menarik dollar AS ke dalam negeri dan memperkuat cadangan devisa. Namun bagi investor, hal itu dibaca sebagai pertandan Indonesia akan menghapus kemudahan dalam memindahkan dana-dana dari Indonesia jika terjadi krisis.
Beberapa pengelola modal-modal kakap internasional mengaku telah menarik dananya dari pasar obligasi karena menganggap lingkungan investasi di Indonesia tidak lagi dinilai baik. Lembaga pemeringkat Moody’s mempertahankan peringkat investment grade Indonesia pada bulan lalu terutama karena pertumbuhan yang kuat dan utang pemerintah yang rendah. Meski begitu, pengumuman yang dikutip dari kantor berita asing itu mengatakan bahan kegagalan mengurangi subsidi bahan bakar bisa menimbulkan risiko untuk neraca fiskal dan perdagangan.
Revisi Pertumbuhan
Bank Indonesia tampaknya sadar betul bahwa keadaan yang dihadapi perekonomian Indonesia ke depan tidaklah bertambah baik. Oleh sebab itulah regulator memutuskan untuk merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 6,1-6,5 persen dibandingkan target sebelumnya yang ditetapkan 6,3-6,7 persen.
Darmin Nasution, Gubernur BI, mengatakan melemahnya perekonomian dunia akhirnya mulai berdampak pada kinerja sisi eksternal perekonomian Indonesia sehingga pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan lebih rendah dari proyeksi sebelumnya.“Dengan menurunnya kinerja ekspor, pertumbuhan ekonomi pada kuartal ketiga diprakirakan tumbuh lebih rendah yaitu sebesar 6,3 persen dan berada pada kisaran 6,1–6,5 persen pada 2012 dan 6,3–6,7 persen 2013,” kata dia.
Sebelumnya Bank Dunia sudah memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2012 dari 6,2 persen menjadi 6,1 persen akibat berlanjutnya perlambatan ekonomi global dan dampak buruk lonjakan harga minyak dunia terhadap anggaran negara.
Kondisi perekonomian China menjadi penyebab terbesar pelemahan ekonomi nasional. Ekonomi negara Tirai Bambu itu pada kuartal kedua tahun ini melesu dibandingkan kuartal sebelumnya. Penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) pada kuartal kedua disebut sebagai yang terburuk dalam tiga tahun terakhir. 
Data yang dikeluarkan biro statistik China bulan lalu, menunjukkan perkembangan ekonomi China pada April-Juni tahun ini hanya tumbuh sebesar 7,6 persen. Padahal, kuartal sebelumnya mencapai 8,1 persen dan kuartal keempat 2011 menembus 8,9 persen.
Berdasarkan catatan BI, lebih dari 80 persen komoditas yang diekspor ke China berupa produk primer, seperti batu bara dan CPO, yang dalam lima bulan pertama tahun ini tumbuh melambat akibat perlambatan permintaan riil dan penurunan harga.
“Dampak tidak langsung dari ekonomi China memang perlu diwaspadai,” kata Juda Agung dari BI. Menurut dia, perekonomian Indonesia makin tergantung dengan China. Selama ini ekspor Indonesia ke China banyak digunakan untuk kebutuhan domestik terutama untuk konsumsi. Oleh karena itu kata dia, jika perekonomian membaik maka ekspor Indonesia akan ikut membaik.
Namun begitu, BI tidak tinggal diam. Juda mengatakan bahwa regulator menyiapkan beberapa kebijakan untuk mengantisipasi pelemahan ekonomi. Dari sisi nilai tukar, BI akan menjaga pergerakannya agar tidak terlalu terapresiasi. Sementara untuk pengelolaan cadangan devisa BI juga menyiapkan penempatan yang lebih aman. “Harus hati-hati dalam menggunakan cadangan devisa yang ada, kalau tidak maka defisit akan makin membesar,” tambah dia.
BI berencana menginvestasikan sebagian cadangan devisa dalam bentuk yuan, agar saat dollar AS dan euro melemah pasokan dollar AS miliknya tidak ikut-ikutan menyusut. Perjanjiannya sendiri sudah diteken dua bulan lalu.
“Dengan pasar uang antar bank di China mencapai rata-rata 21,36 triliun yuan, untuk long term hal ini bisa mengurangi tekanan defisit neraca pembayaran karena volume perdagangan kita dengan China adalah yang terbesar,” kata M Syukran, analis dari Bank Danamon.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar