Perekonomian Indonesia diprediksi akan melemah hingga akhir
tahun. BI pun menyiapkan langkah antisipasi agar pertumbuhan tetap berada bisa
mencapai target.
Setiap menyebut krisis dunia yang sedang berlangsung,
Indonesia selalu disebut sebagai negara yang masih kebal terhadap dampaknya.
Dengan pertumbuhan yang selalu berada di atas 6 persen, Indonesia adalah satu
dari sedikit negara yang ekonominya selalu bisa tumbuh positif.
Namun masa-masa indah itu tampaknya akan terhenti. Situasi
perekonomian zona eura dan Amerika Serikat yang tak kunjung membaik lama
kelamaan juga membuat goyang ekonomi Indonesia. Padahal pada awal tahun
Indonesia baru saja menerima kabar yang menggembirakan. Selain mendapatkan rating investment grade dari beberapa lembaga pemeringkat dunia,
pertumbuhan ekonomi juga menyentuh level tertinggi dalam 15 tahun. Seharusnya
dengan dua prakondisi itu, diperkirakan makin banyak dana-dana asing yang masuk
dan memperkuat posisi rupiah.
Bank Indonesia awalnya juga optimistis bahwa pertumbuhan
ekonomi tahun ini akan meneruskan tren gemilangnya ke level 63-6,7 persen atas
dasar modal rating bagus dan juga
ekspansi ekonomi yang menggembirakan tahun lalu. Namun begitu, memasuki akhir
semester satu situasi mulai membuat otoritas khawatir meskipun tidak sampai
membuatnya panik.
Pada triwulan pertama tahun ini, defisit transaksi berjalan
mencapai 2,894 miliar dollar AS meningkat dari angka di periode sebelumnya yang
menyentuh 1,577 miliar dollar AS. Malahan BI memprediksi angkanya akan makin
membesar di triwulan-triwulan selanjutnya. “Defisit transaksi berjalan di
triwulan kedua dan ketiga akan makin membesar. Rasio transaksi berjalan
terhadap PDB akan memburuk,” kata Direktur Grup Kebijakan Moneter BI, Juda
Agung.
Menurunnya angka ekspor menjadi biang keladi meningkatnya
defisit transaksi berjalan itu ketika di saat yang sama impor terus meningkat.
Sepanjang April-Mei, berdasarkan data BI, pertumbuhan ekspor tahunan ke
beberapa negara tumbuh negatif, kecuali ekspor ke China yang melambat. Bahkan
pertumbuhan negatif itu terjadi di seluruh komoditas ekspor, kecuali batubara
dan makanan olahan.
Di sisi lain, angka impor terus menunjukkan kenaikan.
“Angkanya masih tinggi karena konsumsi di dukung oleh kelas menengah yang
semakin kuat,” kata Juda. Peningkatan impor terutama terlihat pada barang modal
untuk penunjang pembangunan infrastruktur, sektor telekomunikasi dan
transportasi, disamping juga barang konsumsi khususnya kendaraan bermotor.
Menurut data BI, selama April-Mei total impor naik 30 persen
dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Impor barang modal naik 46,2
persen, sedangkan impor bahan baku naik 23,2 persen. Ada pun barang konsumsi
naik 30 persen.
Impor kendaraan bermotor untuk penumpang yang dikategorikan
sebagai barang konsumsi naik 66 persen sedangkan kendaraan bermotor untuk
barang yang dikategorikan sebagai barang modal, naik 150,4 persen.
Tanda-tanda itu sejatinya sudah terlihat, terutama pada
nilai tukar rupiah. Sejak awal Februari, nilai tukar rupiah mulai meninggalkan level
terkuatnya di kisaran Rp8.800-8.900 per dollar AS dan hinggap di level Rp9.440
per dollar AS pada pekan terakhir Juli. Itu artinya rupiah sudah melemah lebih
dari 5 persen. Pelemahan itu merupakan yang tertinggi di antara dollar
Singapura dan ringgit Malaysia.
Malahan kabarnya investor mancanegara sudah mulai khawatir
bahwa perekonomian Indonesia akan masuk pada fase pelemahan. Apalagi beberapa
kebijakan pemerintah dan bank sentral dianggap tidak sesuai dengan ekspektasi
investor yang membuat pemilik modal itu enggan bertahan.
Bank Indonesia menerapkan kebijakan repatriasi ekspor yang
memaksa dana-dana dollar AS yang selama ini “nyangkut” di Singapura balik ke
rumah. Kebijakan ini buat Indonesia sangat jitu untuk menarik dollar AS ke
dalam negeri dan memperkuat cadangan devisa. Namun bagi investor, hal itu
dibaca sebagai pertandan Indonesia akan menghapus kemudahan dalam memindahkan
dana-dana dari Indonesia jika terjadi krisis.
Beberapa pengelola modal-modal kakap internasional mengaku
telah menarik dananya dari pasar obligasi karena menganggap lingkungan
investasi di Indonesia tidak lagi dinilai baik. Lembaga pemeringkat Moody’s
mempertahankan peringkat investment grade Indonesia pada bulan lalu terutama
karena pertumbuhan yang kuat dan utang pemerintah yang rendah. Meski begitu,
pengumuman yang dikutip dari kantor berita asing itu mengatakan bahan kegagalan
mengurangi subsidi bahan bakar bisa menimbulkan risiko untuk neraca fiskal dan
perdagangan.
Revisi Pertumbuhan
Bank Indonesia tampaknya sadar betul bahwa keadaan yang
dihadapi perekonomian Indonesia ke depan tidaklah bertambah baik. Oleh sebab
itulah regulator memutuskan untuk merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi
Indonesia menjadi 6,1-6,5 persen dibandingkan target sebelumnya yang ditetapkan
6,3-6,7 persen.
Darmin Nasution, Gubernur BI, mengatakan melemahnya
perekonomian dunia akhirnya mulai berdampak pada kinerja sisi eksternal
perekonomian Indonesia sehingga pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan lebih
rendah dari proyeksi sebelumnya.“Dengan menurunnya kinerja ekspor, pertumbuhan
ekonomi pada kuartal ketiga diprakirakan tumbuh lebih rendah yaitu sebesar 6,3
persen dan berada pada kisaran 6,1–6,5 persen pada 2012 dan 6,3–6,7 persen
2013,” kata dia.
Sebelumnya Bank Dunia sudah memangkas proyeksi pertumbuhan
ekonomi Indonesia 2012 dari 6,2 persen menjadi 6,1 persen akibat berlanjutnya
perlambatan ekonomi global dan dampak buruk lonjakan harga minyak dunia
terhadap anggaran negara.
Kondisi perekonomian China menjadi penyebab terbesar
pelemahan ekonomi nasional. Ekonomi negara Tirai Bambu itu pada kuartal kedua
tahun ini melesu dibandingkan kuartal sebelumnya. Penurunan Produk Domestik
Bruto (PDB) pada kuartal kedua disebut sebagai yang terburuk dalam tiga tahun
terakhir.
Data yang dikeluarkan biro statistik China bulan lalu,
menunjukkan perkembangan ekonomi China pada April-Juni tahun ini hanya tumbuh
sebesar 7,6 persen. Padahal, kuartal sebelumnya mencapai 8,1 persen dan kuartal
keempat 2011 menembus 8,9 persen.
Berdasarkan catatan BI, lebih dari 80 persen komoditas yang
diekspor ke China berupa produk primer, seperti batu bara dan CPO, yang dalam
lima bulan pertama tahun ini tumbuh melambat akibat perlambatan permintaan riil
dan penurunan harga.
“Dampak tidak langsung dari ekonomi China memang perlu diwaspadai,”
kata Juda Agung dari BI. Menurut dia, perekonomian Indonesia makin tergantung
dengan China. Selama ini ekspor Indonesia ke China banyak digunakan untuk
kebutuhan domestik terutama untuk konsumsi. Oleh karena itu kata dia, jika
perekonomian membaik maka ekspor Indonesia akan ikut membaik.
Namun begitu, BI tidak tinggal diam. Juda mengatakan bahwa
regulator menyiapkan beberapa kebijakan untuk mengantisipasi pelemahan ekonomi.
Dari sisi nilai tukar, BI akan menjaga pergerakannya agar tidak terlalu terapresiasi.
Sementara untuk pengelolaan cadangan devisa BI juga menyiapkan penempatan yang
lebih aman. “Harus hati-hati dalam menggunakan cadangan devisa yang ada, kalau
tidak maka defisit akan makin membesar,” tambah dia.
BI berencana menginvestasikan sebagian cadangan devisa dalam
bentuk yuan, agar saat dollar AS dan euro melemah pasokan dollar AS miliknya
tidak ikut-ikutan menyusut. Perjanjiannya sendiri sudah diteken dua bulan lalu.
“Dengan pasar uang antar bank di China mencapai rata-rata
21,36 triliun yuan, untuk long term hal ini bisa mengurangi tekanan defisit
neraca pembayaran karena volume perdagangan kita dengan China adalah yang
terbesar,” kata M Syukran, analis dari Bank Danamon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar