Angka kemiskinan
sepertinya sangat sulit ditekan di Indonesia. Oleh karena itu beberapa pengamat
menyarankan pemerintah untuk mengubah program pengentasan kemiskinan yang
selama ini dijalankan.
Tak sulit untuk menemui
kemiskinan di Indonesia. Di kota-kota besar macam Jakarta kita bisa berpapasan
dengan kemiskinan setiap saat. Potret kemiskinan bisa terlihat jelas di
perempatan jalan, di dalam bis-bis kota dan di kawasan perumahan padat
penduduk. Sekitar 15 tahun lalu, kita mungkin tak pernah melihat anak-anak
kecil menjadi pengamen turun-naik bis kota atau berkumpul di perempatan jalan, bahkan
jarang sekali ada kondektur perempuan. Akan tetapi kini pemandangan itu telah
menghiasi kota-kota besar, terutama Jakarta sehari-hari.
Sebaliknya, tak sulit pula
bagi kita menemukan adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Sekitar satu setengah dekade lalu, kita mungkin masih jarang melihat mobil
mewah berharga miliaran berseliweran di jalan-jalan kota besar, seperti
Jakarta. Namun kini, jika kita melintas di jalan-jalan protokol ataupun
kawasan-kawasan elit di Jakarta, mobil-mobil mewah seperti itu mudah sekali
ditemui. Keadaan itu tidak bisa dipisahkan dengan catatan pertumbuhan ekonomi
Indonesia yang mengesankan. Setelah periode suram pasca krisis moneter 1998,
pertumbuhan ekonomi Indonesia terus meningkat. Bahkan sejak 2008 di saat
beberapa negara lain mengalami stagnasi akibat krisis global 2008, ekonomi
Indonesia tetap positif
Kondisi itulah yang barangkali
oleh Said Zainal Abidin, ekonom di bidang pembangunan daerah disebut sebagai sebagai
growth with poverty. Pertumbuhan
terus meningkat namun kemiskinan pun sepertinya tidak berkurang.
Namun hal itu tampaknya
bukanlah fakta yang diyakini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada pertemuan
PBB untuk pembangunan berkelanjutan (Forum Rio+20) di Riocentro Convention
Center, Rio De Janeiro Brazil Juni lalu, Presiden menegaskan bahwa kemiskinan
di Indonesia tinggal 12,5 persen dari 24 persen pada 1998.
Dalam catatan lembaga
statistik pemerintah, jumlah penduduk miskin pada periode Maret 2012 juga menurun
menjadi 29,13 juta orang atau 11,96 persen dari total penduduk Indonesia.
Setahun sebelumnya, pada akhir Maret 2011 penduduk yang berada di bawah garis
kemiskinan berjumlah 30,02 juta orang atau setara 12,49 persen dari total
penduduk.
Meski begitu, Badan Pusat Statistik
juga mencatat bahwa penduduk yang berhasil melompati garis kemiskinan pada periode itu hanya
berkisar 890 ribu orang atau 2,96 persen. Angka itu lebih rendah dibanding penurunan jumlah
penduduk miskin dari Maret 2010 ke Maret 2011 yang mencapai 3,22 persen. Jumlah penduduk miskin
pada akhir Maret 2010 ialah 31,02 juta orang.
Penyebab melambatnya penurunan
penduduk miskin menurut Bank Dunia adalah karena lebih dari 50 persen penduduk
yang pendapatannya melompati garis kemiskinan kembali berada di bawah garis itu
pada tahun berikutnya. Ekonom Bank Dunia Vivi Alatas mengatakan kecenderungan
tersebut menyebabkan laju penurunan angka kemiskinan di Indonesia semakin
lambat setiap tahun. Data BPS menyatakan laju penurunan persentase penduduk
miskin terhadap jumlah penduduk year on
year bulan Maret turun secara bertahap dari 1,16 persen pada 2008 menjadi
0,53 persen pada 2012.
Menurut Vivi, laju yang
melambat karena pendapatan yang dibutuhkan penduduk sangat miskin untuk melompati
garis kemiskinan menjadi lebih tinggi dari sebelumnya. “Kalau dilihat, setiap
tahun orang yang naik turun sama, bisa lebih dari 50 persen. Kalau sekarang
sudah tidak miskin bukan berarti tahun depan tidak lagi,” lanjut Vivi.
Saat ini pemerintah
menggunakan standar garis kemiskinan adalah penduduk dengan tingkat pengeluaran
per kapita per bulan sebesar Rp211.726 atau sekitar Rp7.000 per hari.
Sementara Ekonom Indef
Enny Sri Hartati mengatakan bahwa kondisi kemiskinan di Indonesia pada
kenyataannya memang bertambah buruk. Hal itu ditunjukkan oleh meningkatnya
koefisien gini dari 0,38 pada Maret 2011 menjadi 0,41. Koefisien ini biasanya
digunakan untuk mengukur kesenjangan pendapatan dan kekayaan. Angka makin
mendekati 0 berarti pendapatan suatu negara makin merata, sebaliknya jika makin
mendekati 1 maka pendapatannya makin timpang.
Dengan melihat angka
untuk Indonesia maka bisa diartikan bahwa 20 persen dari penduduk Indonesia menguasai
48 persen pendapatan domestik bruto, sedangkan mayoritas 80 persen menguasai 52
persen pendapatan domestik bruto. Padahal, presentase penduduk miskin
seharusnya turun 0,8 persen tiap ekonomi tumbuh satu persen untuk mencapai
pembangunan ekonomi yang optimal. “Anggaran pemerintah untuk kemiskinan naik
terus, tetapi program kemiskinan pemerintah tidak tepat sasaran,” kata Enny.
Enny berkesimpulan bahwa
data kemiskinan BPS harus diragukan karena menggunakan komponen survei yang
tidak realistis. Dia menjelaskan garis kemiskinan Rp267.408 untuk daerah
perkotaan dan Rp229.226 untuk daerah pedesaan tidak sesuai dengan biaya hidup
masyarakat sehari-hari.
Ubah Program
Vivi dari Word Bank pun
menimpali bahwa angka turnover
demografi yang tinggi di sekitar garis kemiskinan dibarengi oleh peningkatan
koefisien gini menandakan pemerintah harus merancang program pengentasan
kemiskinan yang lebih komperhensif.
Pemerintah diminta untuk
merancang kebijakan yang meliputi program penanggulangan kemiskinan berbasis
promosi penduduk miskin menjadi penduduk tidak miskin dan proteksi penduduk
tidak miskin yang berpendapatan sedikit di atas garis kemiskinan. “Jangan
terus-terusan yang sudah keluar (dari kemiskinan) masuk lagi. Pemerintah harus
membuat definisi penduduk miskin yang lebih detil, bukan hanya siapa saja yang
di bawah garis kemiskinan tapi siapa saja yang rentan,” kata Vivi.
Di sisi lain, pemerintah
dinilai salah alokasi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Hal ini
menyebabkan tingkat penurunan angka kemiskinan tahun 2012 sebesar 0,59 persen
jauh dibawah target sebesar 1 persen.
Untuk menurunkan tingkat kemiskinan sesuai
target yakni 1 persen tiap tahunnya, Agus Pambagio, Pengamat Kebijakan Publik dan
Konsumen dari Universitas Indonesia mengatakan, ada dua faktor yang harus dipenuhi. Pertama adalah pertumbuhan ekonomi nasional harus minimal 7 persen agar ketersediaan lapangan
kerja akan sepadan dengan target penurunan kemiskinan. “Nyatanya, pertumbuhan
ekonomi Indonesia masih di bawah itu,” tegas Agus.
Kedua adalah keseriusan pemerintah dalam
pembenahan infrastruktur sehingga dapat mendorong
aktivitas ekonomi terutama pada daerah yang memiliki jumlah penduduk miskin
tinggi. Pembangunan infrastruktur meliputi, irigasi, pembangkit listrik, jalan
tol, dan lainnya. Akan tetapi yang terjadi, kata Agus justru alokasi anggaran pada perbaikan infrastruktur sangat minim.
Agus menyebutkan, untuk pembenahan
infrastruktur diperkirakan butuh Rp40 triliun. “Kita punya dana tersebut.
Sayangnya, dana tersebut justru lebih dialokasikan pada subsidi premium yang
justru tidak dinikmati penduduk miskin," ujar Agus.
Akan tetapi apakah usulan
dari para pengamat itu akan dilaksanakan pemerintah, memang sulit untuk
memastikannya. Akan tetapi tidak sulit untuk melihat bahwa jumlah kemiskinan di
jalan-jalan kota besar seperti di Jakarta makin meningkat belakangan ini.
PERKEMBANGAN KEMISKINAN DI
INDONESIA 2004-2012:
Tahun Jumlah persen/Total Penduduk
Februari 2004 36,1
juta (16,66 persen)
Februari 2005 35,1
juta (15,97 persen)
Maret 2006 39,3
juta (17,75 persen)
Maret 2007 37,17
juta (16,58 persen)
Maret 2008 34,96
juta (15,42 persen)
Maret 2009 32,53
juta (14,15 persen)
Maret 2010 31,02
juta (13,33 persen)
Maret 2011 30,02
juta (12,49 persen)
Maret 2012 29,13
juta (11,96 persen)
Sumber
: Badan Pusat Statistik (BPS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar