Rabu, 08 Agustus 2012

Permainan Angka Kemiskinan


Angka kemiskinan sepertinya sangat sulit ditekan di Indonesia. Oleh karena itu beberapa pengamat menyarankan pemerintah untuk mengubah program pengentasan kemiskinan yang selama ini dijalankan.

Tak sulit untuk menemui kemiskinan di Indonesia. Di kota-kota besar macam Jakarta kita bisa berpapasan dengan kemiskinan setiap saat. Potret kemiskinan bisa terlihat jelas di perempatan jalan, di dalam bis-bis kota dan di kawasan perumahan padat penduduk. Sekitar 15 tahun lalu, kita mungkin tak pernah melihat anak-anak kecil menjadi pengamen turun-naik bis kota atau berkumpul di perempatan jalan, bahkan jarang sekali ada kondektur perempuan. Akan tetapi kini pemandangan itu telah menghiasi kota-kota besar, terutama Jakarta sehari-hari.
Sebaliknya, tak sulit pula bagi kita menemukan adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Sekitar satu setengah dekade lalu, kita mungkin masih jarang melihat mobil mewah berharga miliaran berseliweran di jalan-jalan kota besar, seperti Jakarta. Namun kini, jika kita melintas di jalan-jalan protokol ataupun kawasan-kawasan elit di Jakarta, mobil-mobil mewah seperti itu mudah sekali ditemui. Keadaan itu tidak bisa dipisahkan dengan catatan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mengesankan. Setelah periode suram pasca krisis moneter 1998, pertumbuhan ekonomi Indonesia terus meningkat. Bahkan sejak 2008 di saat beberapa negara lain mengalami stagnasi akibat krisis global 2008, ekonomi Indonesia tetap positif
Kondisi itulah yang barangkali oleh Said Zainal Abidin, ekonom di bidang pembangunan daerah disebut sebagai sebagai growth with poverty. Pertumbuhan terus meningkat namun kemiskinan pun sepertinya tidak berkurang.
Namun hal itu tampaknya bukanlah fakta yang diyakini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada pertemuan PBB untuk pembangunan berkelanjutan (Forum Rio+20) di Riocentro Convention Center, Rio De Janeiro Brazil Juni lalu, Presiden menegaskan bahwa kemiskinan di Indonesia tinggal 12,5 persen dari 24 persen pada 1998.
Dalam catatan lembaga statistik pemerintah, jumlah penduduk miskin pada periode Maret 2012 juga menurun menjadi 29,13 juta orang atau 11,96 persen dari total penduduk Indonesia. Setahun sebelumnya, pada akhir Maret 2011 penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan berjumlah 30,02 juta orang atau setara 12,49 persen dari total penduduk.
Meski begitu, Badan Pusat Statistik juga mencatat bahwa penduduk yang berhasil melompati garis kemiskinan pada periode itu hanya berkisar 890 ribu orang atau 2,96 persen. Angka itu lebih rendah dibanding penurunan jumlah penduduk miskin dari Maret 2010 ke Maret 2011 yang mencapai 3,22 persen. Jumlah penduduk miskin pada akhir Maret 2010 ialah 31,02 juta orang.
Penyebab melambatnya penurunan penduduk miskin menurut Bank Dunia adalah karena lebih dari 50 persen penduduk yang pendapatannya melompati garis kemiskinan kembali berada di bawah garis itu pada tahun berikutnya. Ekonom Bank Dunia Vivi Alatas mengatakan kecenderungan tersebut menyebabkan laju penurunan angka kemiskinan di Indonesia semakin lambat setiap tahun. Data BPS menyatakan laju penurunan persentase penduduk miskin terhadap jumlah penduduk year on year bulan Maret turun secara bertahap dari 1,16 persen pada 2008 menjadi 0,53 persen pada 2012.
Menurut Vivi, laju yang melambat karena pendapatan yang dibutuhkan penduduk sangat miskin untuk melompati garis kemiskinan menjadi lebih tinggi dari sebelumnya. “Kalau dilihat, setiap tahun orang yang naik turun sama, bisa lebih dari 50 persen. Kalau sekarang sudah tidak miskin bukan berarti tahun depan tidak lagi,” lanjut Vivi.
Saat ini pemerintah menggunakan standar garis kemiskinan adalah penduduk dengan tingkat pengeluaran per kapita per bulan sebesar Rp211.726 atau sekitar Rp7.000 per hari.
Sementara Ekonom Indef Enny Sri Hartati mengatakan bahwa kondisi kemiskinan di Indonesia pada kenyataannya memang bertambah buruk. Hal itu ditunjukkan oleh meningkatnya koefisien gini dari 0,38 pada Maret 2011 menjadi 0,41. Koefisien ini biasanya digunakan untuk mengukur kesenjangan pendapatan dan kekayaan. Angka makin mendekati 0 berarti pendapatan suatu negara makin merata, sebaliknya jika makin mendekati 1 maka pendapatannya makin timpang.
Dengan melihat angka untuk Indonesia maka bisa diartikan bahwa 20 persen dari penduduk Indonesia menguasai 48 persen pendapatan domestik bruto, sedangkan mayoritas 80 persen menguasai 52 persen pendapatan domestik bruto. Padahal, presentase penduduk miskin seharusnya turun 0,8 persen tiap ekonomi tumbuh satu persen untuk mencapai pembangunan ekonomi yang optimal. “Anggaran pemerintah untuk kemiskinan naik terus, tetapi program kemiskinan pemerintah tidak tepat sasaran,” kata Enny.
Enny berkesimpulan bahwa data kemiskinan BPS harus diragukan karena menggunakan komponen survei yang tidak realistis. Dia menjelaskan garis kemiskinan Rp267.408 untuk daerah perkotaan dan Rp229.226 untuk daerah pedesaan tidak sesuai dengan biaya hidup masyarakat sehari-hari.
Ubah Program
Vivi dari Word Bank pun menimpali bahwa angka turnover demografi yang tinggi di sekitar garis kemiskinan dibarengi oleh peningkatan koefisien gini menandakan pemerintah harus merancang program pengentasan kemiskinan yang lebih komperhensif.
Pemerintah diminta untuk merancang kebijakan yang meliputi program penanggulangan kemiskinan berbasis promosi penduduk miskin menjadi penduduk tidak miskin dan proteksi penduduk tidak miskin yang berpendapatan sedikit di atas garis kemiskinan. “Jangan terus-terusan yang sudah keluar (dari kemiskinan) masuk lagi. Pemerintah harus membuat definisi penduduk miskin yang lebih detil, bukan hanya siapa saja yang di bawah garis kemiskinan tapi siapa saja yang rentan,” kata Vivi.
Di sisi lain, pemerintah dinilai salah alokasi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Hal ini menyebabkan tingkat penurunan angka kemiskinan tahun 2012 sebesar 0,59 persen jauh dibawah target sebesar 1 persen.
Untuk menurunkan tingkat kemiskinan sesuai target yakni 1 persen tiap tahunnya, Agus Pambagio, Pengamat Kebijakan Publik dan Konsumen dari Universitas Indonesia mengatakan, ada dua faktor yang harus dipenuhi. Pertama adalah pertumbuhan ekonomi nasional harus minimal 7 persen agar ketersediaan lapangan kerja akan sepadan dengan target penurunan kemiskinan. “Nyatanya, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih di bawah itu, tegas Agus.
Kedua adalah keseriusan pemerintah dalam pembenahan infrastruktur sehingga dapat mendorong aktivitas ekonomi terutama pada daerah yang memiliki jumlah penduduk miskin tinggi. Pembangunan infrastruktur meliputi, irigasi, pembangkit listrik, jalan tol, dan lainnya. Akan tetapi yang terjadi, kata Agus justru alokasi anggaran pada perbaikan infrastruktur sangat minim.
Agus menyebutkan, untuk pembenahan infrastruktur diperkirakan butuh Rp40 triliun. “Kita punya dana tersebut. Sayangnya, dana tersebut justru lebih dialokasikan pada subsidi premium yang justru tidak dinikmati penduduk miskin," ujar Agus.
Akan tetapi apakah usulan dari para pengamat itu akan dilaksanakan pemerintah, memang sulit untuk memastikannya. Akan tetapi tidak sulit untuk melihat bahwa jumlah kemiskinan di jalan-jalan kota besar seperti di Jakarta makin meningkat belakangan ini.

PERKEMBANGAN KEMISKINAN DI INDONESIA 2004-2012:
Tahun                         Jumlah                 persen/Total Penduduk
Februari 2004          36,1 juta                     (16,66 persen)
Februari 2005          35,1 juta                     (15,97 persen)
Maret 2006               39,3 juta                     (17,75 persen)
Maret 2007               37,17 juta                  (16,58 persen)
Maret 2008               34,96 juta                  (15,42 persen)
Maret 2009               32,53 juta                  (14,15 persen)
Maret 2010               31,02 juta                  (13,33 persen)
Maret 2011               30,02 juta                  (12,49 persen)
Maret 2012               29,13 juta                  (11,96 persen)
Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar