Rabu, 08 Agustus 2012

Jualan Baru Negara Maju



Negara-negara berkembang tengah menjadi sasaran dari isu green economy yang didesakkan oleh negara-negara maju. Pengamat mencurigai bahwa hal tersebut adalah akal-akalan negara-negara kaya untuk mencari keuntungan ekonomi. Dengan cara apa?


Pada sekitar tahun 70-an, negara-negara maju kerapkali menggunakan istilah-istilah keterbukaan, investasi asing, efisiensi ekonomi, dan lalu globalisasi ketika mereka berhubungan dengan negara-negara miskin. Negara-negara miskin yang kebanyakan baru lahir itu dicekoki tentang bagaimana meningkatkan produktivitas, pembangunan, keterbukaan dan lainnya.
Memang ada sebagian kemudian yang berhasil, namun tidak sedikit yang gagal. Namun berhasil atau gagal, negara-negara maju selalu menuai untung. Itulah kurang lebih cerita yang disebut orang sebagai imperialisme ekonomi, dengan tambahan banyak bumbu seru sebagaimana dalam bukunya John Perkins (2004) bertajuk “Confession of an Economic Hitman” yang terkenal itu.
Kini pada pertemuan 20 negara-negara dunia yang dikenal dengan G20, negara-negara maju mencoba memperkenalkan mantra baru: green economy (ekonomi hijau). Topik itu memang menjadi salah satu agenda penting pada pertemuan G-20 yang diselenggarakan 17-19 Juni 2012 di Los Cabos, Meksiko. Bahkan agenda itu juga mendapat pembahasan khusus pada pertemuan 100 kepala negara yang dihelat oleh PBB di Rio de Janeiro, Brazil dua hari berikutnya. KTT Rio+20 membahas tujuh sektor utama yang menjadi perhatian bersama, yaitu lapangan pekerjaan yang layak, energi, ketahanan pangan, pertanian, air bersih, sumber daya laut dan manajemen bencana.
Isu lingkungan hidup dalam pembangunan ekonomi sejatinya sudah muncul lebih dari satu dekade lalu. Namun belakangan hal itu makin santer didesakkan oleh negara-negara maju kepada negara berkembang. Bahkan pemilihan Meksiko dan Brazil sebagai tempat diselenggarakannya pertemuan besar itu bukanlah tanpa alasan. Kedua negara di Amerika Latin itu tengah mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat.
“Kami melihatnya, dua pertemuan tersebut diselenggarakan hampir bersamaan dan di tempat yang berdekatan untuk mendorong agenda tersebut,” kata aktivis International Lembaga Forum on Indonesian Development (INFID), Siti Khoirun Nikmah.
Menurut dia, negara-negara maju sangat berkepentingan dengan agenda ekonomi hijau karena mereka tahu persis negara berkembang belum mengembangkan industri yang ramah lingkungan. Dan bila isu ini berhasil terangkat dan bisa dipaksakan maka negara berkembang mau tidak mau harus ‘membeli’ teknologi yang diproduksi negara maju.
Oleh sebab itulah Siti mengingatkan agar pemerintah negara berkembang terutama Indonesia untuk berhati-hati dalam merespons isu green economy (ekonomi hijau) atau green growth (pertumbuhan hijau). “Isu ini sangat kental nuansa bisnisnya. Mereka mungkin tidak sungguh-sungguh memperhatikan soal lingkungan. Karena problem lingkungan juga terjadi di negara maju. Negara maju tahu, negara berkembang belum punya kapabilitas dalam industri hijau,” jelas Siti.
Teknologi untuk menerapkan industri yang ramah lingkungan tentu tidak murah dan lagi pula hingga saat ini baru negara-negara maju yang dinilai mampu memproduksinya. Oleh karena itu, Siti mencurigai, negara-negara maju ingin meraih komitmen terlebih dahulu dari 20 negara anggota G20. Jika komitmen tersebut sudah disepakati oleh 20 negara dengan perekonomian terbesar di dunia itu maka agenda ekonomi hijau akan lebih mudah untuk dipromosikan di pertemuan-pertemuan yang lebih luas lagi.
Menurut, Siti lagi, selain motif bisnis, ada juga motif lain yaitu agar laju pertumbuhan ekonomi beberapa negara berkembang seperti China, India, dan Brazil sedikit terhambat. Ketiga negara itu dianggap ancaman serius buat negara maju dalam pengaruhnya kepada ekonomi dunia. “Green economy  pada akhirnya hanya akan dijadikan isu oleh negara-negara maju untuk menekan negara-miskin atau berkembang, dan yang tidak ikutan malah dituduh atau dianggap merusak lingkungan,” ujar Siti.
Manut dan Patuh
Indonesia sendiri, tampaknya akan mengikuti apa yang disimpulkan dalam dua pertemuan akbar yang mendorong konsep green economy itu. Menurut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang hadir dalam dua pertemuan, agenda itu sangat penting bagi manusia guna memelihara bumi sekaligus mengentaskan kemiskinan yang saat ini melanda dunia.“Pembangunan konsensus terutama di tingkat global, membutuhkan waktu. Kita harus beraksi sekarang," kata Presiden.
Menurut dia, dibutuhkan komitmen politik untuk melaksanakan agenda pembangunan ekonomi berkelanjutan yang ramah lingkungan dan berkeadilan. "Komitmen politik sangat krusial. Tidak selalu mudah untuk mengembangkan kebijakan berbasis lingkungan. Tapi itu dibutuhkan dan merupakan hal yang benar untuk dilakukan. Jadi kita harus mendorong dengan keras meskipun terdapat beberapa penolakan," kata Presiden.
Dalam laporan Program Lingkungan PBB (UNEP) yang berjudul "Towards a Green Economy: Pathways to Sustainable Development and Poverty Eradication - A Synthesis for Policy Makers", ekonomi hijau diartikan sebagai rezim ekonomi yang mampu meningkatkan kesejahteraan manusia dan kesetaraan sosial. Serta sekaligus mengurangi risiko lingkungan secara signifikan. Ekonomi hijau juga berarti perekonomian yang rendah karbon atau tidak menghasilkan emisi dan polusi lingkungan, hemat sumber daya alam, serta berkeadilan sosial.
Meski demikian, pemerintah tidak mentah-mentah menerapkan apa yang disodorkan oleh negara-negara maju. Pemerintah mengaku akan memilah mana konsep yang bisa dilaksanakan mana yang tidak. Staf Khusus Presiden bidang Lingkungan Agus Purnomo berpendapat Indonesia tidak perlu dipaksa-paksa menggunakan teknologi berbasis green economy. Indonesia, kata dia, sudah melakukan green economy dan green growth sebatas kemampuan yang dimiliki. “Kita memang harus selalu waspada terhadap upaya negara maju memasarkan produk dan teknologi mereka melalui berbagai cara. Kepentingan nasional harus selalu diutamakan, termasuk menerapkan green economy,” kata Agus.
Biar begitu lanjut Agus, Indonesia tidak pernah alergi dengan teknologi yang diproduksi negara-negara maju sepanjang teknologi yang ditawarkan tersebut bagus dan murah dan memang dibutuhkan. Jika teknologi itu dibutuhkan maka pemerintah akan menggunakannya namun tetap mempertimbangkan nilai keekonomiannya. “Jika nilai teknologinya mahal, kemudian tidak ekonomis, malah menciptakan ketergantungan, kita mesti hindari,” tegas Agus. “Apalagi jika harus mengeluarkan biaya untuk membeli teknologi dari negara maju.”
Kembali ke buku Economic Hitman karya John Perkins. Diceritakan di sana bahwa pada tahun 90-an, banyak negara berkembang menjadi lebih makmur dengan resep dari negara maju dan “bantuan” investasi asing. Tapi tentu ada juga yang tidak berhasil dan terlilit utang kepada investor. Namun di penghujung 90-an, negara berkembang terkena krisis ekonomi karena eksposur beban utangnya. Lalu negara-negara maju memberi kuliah mengenai pengelolaan ekonomi yang lebih pruden sambil terus meminjami uang.
Walaupun berdarah-darah, beberapa negara berkembang kembali pada jalur pertumbuhan. Namun tetap saja yang mendapat keuntungan adalah negara-negara kaya. Kini, banyak dari negara-negara maju tengah dililit krisis dan mereka tampaknya mulai mendesakkan apa yang dinamakan green economy dan green growth

Tidak ada komentar:

Posting Komentar