Angka inflasi diprediksi akan lebih tinggi dari yang
ditetapkan otoritas karena banyaknya kejadian yang membuat harga-harga
terdongkrak. Meski demikian hal tersebut juga memberi dampak positif: mendorong
pertumbuhan.
Banyak yang terjadi pada bulan lalu. Setidaknya jika dilihat
dari kaca mata pengelolaan inflasi. Namun hal itu seharusnya sudah bisa
dimitigasi oleh Bank Indonesia, karena tugasnyalah untuk mengarahkan kebijakan
moneter pada kondisi atau perkiraan yang bakal terjadi pada 12 bulan ke depan.
Sepanjang tahun ini BI dipastikan akan berpapasan dengan
banyaknya kejadian yang kemungkinan akan meningkatkan inflasi. Sebut saja
kenaikan tarif listrik, kenaikan upah minimum regional, dan naiknya pengeluaran
masyarakat dan pemerintah menjelang pemilihan umum tahun depan.
Bahkan BI juga harus berhadapan dengan kejadian di luar
skenario. Kenaikan harga daging sapi akhir tahun lalu dan harga bawang merah
dan putih bulan lalu jelas merupakan kejadian di luar prediksi yang bisa
mendongkrak inflasi.
Belum lagi, perkembangan-perkembangan non ekonomi yang
seringkali meningkatkan ekspektasi inflasi publik seperti isu adanya kudeta dan
demonstrasi besar-besarn yang membuat masyarakat khawatir. Hal-hal seperti ini
tak bisa dipungkiri mengancam roda bisnis yang ujung-ujungnya menghampat
perekonomian.
Pada Februari lalu, Badan Pusat Statistik mengumumkan
inflasi sebesar 0,75 persen yang merupakan angka bulanan tertinggi selama 10
tahun terakhir. Sementara inflasi tahunan pada waktu yang sama mencapai 5,31
persen.
Kondisi itu jelas peringatan serius bagi otoritas moneter
yang hingga bulan lalu masih tetap mempertahankan suku bunga acuan di level
5,75 persen, tak bergerak selama setahun terakhir. Tingkat BI Rate tersebut
dinilai masih konsisten dengan sasaran inflasi tahun 2013 dan 2014, sebesar
sebesar 3,5 hingga 5,5 persen.
Agar angka inflasi pada akhir tahun tidak menembus sasaran
yang ditetapkan, Bank Indonesia akan meningkatkan pengawasannya pada
perkembangan harga-harga terutama pada harga pangan (volatile foods). Hal itu dikatakan BI dalam pernyataan resmi pasca
mengumumkan BI Rate bulan lalu. BI juga mengharapkan dukungan kebijakan
pemerintah seperti yang disepakati dalam bauran kebijakan moneter dan
makroprudensial, agar sasaran inflasi bisa tercapai.
BI dan pemerintah memiliki forum koordinasi yang memiliki concern menjaga perkembangan
haraga-harga melalui Tim Pengendalian Inflasi (TPI) dan Tim Pengendalian
Inflasi Daerah (TPID) guna mengamankan pasokan dan distribusi barang.
Menurut Deputi Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo,
pihaknya dan pengelola fiskal untuk menangani kenaikan harga bawang yang sampai
pekan terakhir bulan lalu harganya mulai melandai. BI akan juga bekerja sama
dengan kementerian terkait untuk menangani kenaikan harga bawang ini, agar
pengaruhnya pada inflasi bisa ditekan. “Sejauh ini, tekanan (dari kenaikan
bawang) masih ada. Tapi nanti tergantung komunikasi dengan pemerintah,
bagaimana cara mengatasinya, baik dari pedagang dan sebagainya,” kata Perry.
Pengaruh kenaikan bawang ke inflasi ini, kata Deputi yang
baru saja terpilih bulan lalu, akan sangat ditentukan oleh bagaimana kecepatan
pemerintah dalam menangani kasus ini. Sampai artikel ini ditulis, BI menurut
dia, masih menghitung berapa besar pengaruh kenaikan itu ke inflasi. “Inflasi
dari bawang merah dan bawang putih, memang dari Januari lalu yang merupakan
dampak dari penerapan hortikultura ini memang berpengaruh kepada inflasi. Tapi
kami akan melihat lagi pengaruhnya ke inflasi," kata Perry.
Meski begitu, BI tetap yakin bahwa inflasi yang bulan ini
didorong sektor pangan karena dampak gangguan cuaca dan terbatasnya pasokan
komoditas hortikultura yang berasal dari impor, tidak akan mengganggu target
inflasi tahun ini. Tekanan inflasi karena faktor pangan akan segera mereda
seiring dengan siklus panen yang akan terjadi bulan ini.
Keyakinan tersebut didukung pernyataan dari pemerintah yang
mengatakan bahwa sekarang ini masuk waktu panen. Namun demikian, pemerintah
tetap mewaspadai tekanan inflasi dari sektor lainnya. “Maret-April inflasi diperkirakan rendah,
karena ada panen raya. Nah, nanti
masuk ke siklus lain lagi, bukan volatile
food, tapi jadual sekolah,” kata Menteri Perencanaan Pembangunan
Nasional/Kepala Bappenas, Armida S Alisjahbana.
Setelah itu, siklus inflasi terus meningkat karena memasuki
bulan Ramadhan dan Lebaran yang seperti biasa akan mendongkrak harga-harga di
masyarakat. “Kalau puasa itu bulan Juli, Lebaran pada Agustus. Berarti Juli ada
tantangan lagi," ujar Armida.
Untuk itu, pemerintah kata dia, akan mulai mewaspadai
gejolak yang terjadi pada komponen-komponen pemicu inflasi sejak dini agar inflasi
tidak berlanjut, dan bisa segera tertangani. Pemerintah menargetkan angka
inflasi tahun 4,9 persen yang mana sudah sudah memperhitungkan tarif
listrik, dan dampak kenaikan upah
minimum provinsi (UMP).
Pelaksana tugas Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan
Bambang Brodjonegoro mengatakan, kenaikan upah dapat menjadi salah satu faktor
pemicu melesatnya inflasi pada 2013. "Kami malah lebih concern inflasi itu pengaruh dari upah
minimum provinsi," ujarnya.
Menurut Bambang, dengan kenaikan upah buruh sekitar 40
persen sampai 50 persen, maka diprediksi faktor upah dapat menyumbang inflasi
sekitar 0,2 persen-0,3 persen. “Itu kira-kira pengaruh inflasinya 0,2
persen-0,3 persen, tapi pertumbuhan ekonomi juga bisa bertambah karena daya
beli naik," kata Bambang.
BI Rate dan Rupiah
Sementara itu, penetapan BI Rate sebesar 5,75 persen juga
digunakan BI untuk mengabsorpsi tekanan yang selama ini menimpa nilai tukar
rupiah atas dollar AS. Pada Februari lalu, tekanan depresiasi terhadap rupiah
cenderung mereda sehingga mencapai rata-rata Rp.9.680 per dolar AS.
Menurut data BI, dibandingkan dengan posisi awal tahun, nilai
tukar menguat sebesar 0,31 persen. Kebijakan stabilisasi nilai tukar yang
ditempuh otoritas, termasuk penguatan mekanisme intervensi valuta asing dan
pembentukan referensi nilai tukar rupiah di pasar domestik, mampu meningkatkan
kepercayaan pasar. Selain itu, stabilitas nilai tukar juga didukung dengan
masuknya aliran dana nonresiden ke instrumen rupiah yang mencapai Rp27,6
triliun. “Ke depan, BI terus menjaga stabilitas nilai tukar sesuai dengan kondisi
fundamental perekonomian,” kata pernyataan BI.
Bulan lalu, BI memang tengah membangun skema pertahanan yang
lebih kuat bagi rupiah melalui kuotasi kurs. Istilah itu mengacu pada suatu
pernyataan kesediaan bank melakukan transaksi, jualbeli valas pada suatu kurs
yang diumumkan.
Bank-bank yang menjual valas itu diminta BI membuat kuotasi
kurs harian untuk setiap mata uang yang dilayaninya. Kemudian, BI akan melihat
apakah kuotasi itu ditetapkan sesuai pertimbangan yang tepat sebelum disetujui.
Terakhir, BI akan memantau perdagangannya di pasar valas. “Harga kurs
sebenarnya di tentukan spot. Kuotasi ini menjadi acuan. Skemanya sama persis
dengan Jakarta Interbank Offered Rate
(JIBOR),” kata Halim Alamsyah, Deputi Gubernur BI, Februari lalu.
Pada Januari, rupiah secara rata-rata melemah sebesar 0,22
persen dibanding bulan sebelumnya ke
level Rp9.654 per dollar AS, berdasarkan data BI, melanjutkan pelemahannya di
sepanjang tahun 2012, yang terdepresiasi sebesar 6,9 persen. Pada saat yang
sama, regulator menemukan ‘kambing hitam’ yang melemahkan rupiah yaitu
transaksi non delivery forward (NDF)
yang dilakukan di Singapura.
Meski begitu langkah BI, lewat penetapan suku bunga acuan
mesti didukung oleh otoritas fiskal dalam bentuk respons kebijakan. Pengamat
ekonomi dari Uiversitas Brawijaya, Ahmad Erani Yustika, mengatakan, pemerintah
harus mendukung kebijakan Bank Indonesia mempertahankan suku bunga patokan (BI
Rate) 5,75 persen. "Karena sampai akhir tahun diperkirakan masih ada
tekanan pada nilai tukar rupiah," kata dia.
Langkah yang bisa dilakukan pemerintah adalah, dengan
menjaga momentum investasi, mempertahankan konsumsi rumah tangga dan
meningkatkan penyerapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Dengan begitu,
pertumbuhan ekonomi bisa mencapai target yang dipatok pemerintah sebelumnya di
kisaran 6,6 persen hingga 6,8 persen.
Inflasi vs
Pertumbuhan
Sementara itu, ekonom Standard Chartered, Erick Sugandi,
memperkirakan, ekonomi bisa tumbuh 6,5 persen hingga akhir tahun karena
terdongkrak konsumsi pemilihan umum. "Ada belanja tambahan dari kebutuhan
Pemilu pada kuartal 4 tahun 2013 dan kuartal 1 tahun 2014," ujarnya.
Menurut prediksi Standard Chartered yang dipublikasikan
pertengahan Maret, angkan inflasi kemungkinan akan lebih tinggi pada tahun ini karena
berbagai alasan. Di antaranya adalah kenaikan tarif dasar listrik 15 persen
tahun ini, kenaikan awal sebesar 4,3 persen sudah dilaksanakan pada Januari,
yang akan diikuti oleh kenaikan lebih lanjut pada bulan April, Juli, dan
Oktober.
Upah minimum juga sudah dinaikkan pada Januari berbarengan
dengan kenaikan signifikan pada beberapa harga pangan. Selanjutnya, tekanan
dari konsumsi rumah tangga yang akan meningkat selama Ramadhan yangberlangsung
pada kuartal ketiga dan pengeluaran terkait pemilihan umum pada kuartal keempat
akan mendorong inflasi lebih tinggi.
“Dengan asumsi pemerintah tidak menaikkan harga bensin bersubsidi,
kita inflasi proyek sebesar 5,5 persen year
on year pada akhir 2013, pada batas atas dari kisaran target BI 3,5 persen
-5,5 persen, dan naik dari 4,3 persen pada akhir 2012,” kata Eric pada
publikasi itu. “Artinya inflasi rata-rata sebesar 5,2 persen pada 2013, naik dari 4,3 persen pada 2012.”
Meskipun inflasi lebih cepat, Standard Charterd memproyeksi
bahwa pertumbuhan PDB riil akan meningkat dari 6,2 persen pada 2012 menjadi 6,5
persen pada 2013 dan 6,8 persen pada tahun 2014. Hal itu didorong oleh konsumsi
rumah tangga (sekitar 55 persen dari PDB) dan investasi. “Kenaikan inflasi kemungkinan
akan memiliki dampak minimal terhadap daya beli rumah tangga, di saat
pendapatan rumah tangga juga meningkat, dibantu oleh kenaikan upah minimum dan
kenaikan gaji tahunan bagi pegawai negeri sipil,” kata Eric.
Bank Indonesia tentu tak kalah optimisnya dengan Eric.
Selain yakin bahwa inflasi akan terkendali, bank sentral juga memperkirakan
perekonomian bisa bertumbuh 6,2 persen pada kuartal pertama tahun ini. “Dengan
didukung oleh konsumsi domestik,” kata juru bicara Bank Indonesia, Difi Ahmad
Johansyah, dalam siaran pers.
Menurut BI, konsumsi tumbuh cukup kuat sejalan dengan
keyakinan konsumen dan daya beli masyarakat yang membaik. Sementara itu,
berbagai indikator menunjukkan moderasi pertumbuhan investasi khususnya pada
investasi nonbangunan di tengah investasi sektor bangunan yang masih cukup
kuat.
Indikasi moderasi tersebut juga terlihat pada melandainya
pertumbuhan impor, khususnya impor barang modal. Di sisi lain, kinerja ekspor
ke berbagai negara mitra dagang utama, khususnya China, America Serikat (AS)
dan India, diprakirakan membaik. Untuk keseluruhan tahun 2013, setelah
memperhitungkan aktivitas ekonomi pada triwulan-triwulan selanjutnya, termasuk
pengeluaran untuk persiapan Pemilu 2014, pertumbuhan ekonomi diprakirakan akan
cenderung mengarah ke batas bawah kisaran 6,3 persen-6,8 persen.
Memang banyak yang terjadi sepanjang bulan lalu, dan bakal
lebih banyak yang terjadi pada bulan-bulan setelahnya. Meski mendorong inflasi,
namun semua itu juga menjadi penolong bagi pertumbuhan ekonomi.
Figure 1: Perkiraan Makroekonomi Indonesia
2012 2013F 2014F
GDP (riil % y/y) 6.2
6.5 6.8
CPI (% rerata th) 4.3 5.2 5.1
Policy rate (%)* 5.75
5.75 6.25
USD-IDR* 9.793 9.500 8.900
Transaksi Berjalan (% GDP) -2.8
-1.5 -0.6
Neraca Fiskal (% GDP) -1.8 -1.6 -1.7
* akhir periode;
Sumber: Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, Standard
Chartered Research
Tidak ada komentar:
Posting Komentar