Rabu, 10 April 2013

Berkah Inflasi yang Tersembunyi


Angka inflasi diprediksi akan lebih tinggi dari yang ditetapkan otoritas karena banyaknya kejadian yang membuat harga-harga terdongkrak. Meski demikian hal tersebut juga memberi dampak positif: mendorong pertumbuhan.


Banyak yang terjadi pada bulan lalu. Setidaknya jika dilihat dari kaca mata pengelolaan inflasi. Namun hal itu seharusnya sudah bisa dimitigasi oleh Bank Indonesia, karena tugasnyalah untuk mengarahkan kebijakan moneter pada kondisi atau perkiraan yang bakal terjadi pada 12 bulan ke depan.
Sepanjang tahun ini BI dipastikan akan berpapasan dengan banyaknya kejadian yang kemungkinan akan meningkatkan inflasi. Sebut saja kenaikan tarif listrik, kenaikan upah minimum regional, dan naiknya pengeluaran masyarakat dan pemerintah menjelang pemilihan umum tahun depan.
Bahkan BI juga harus berhadapan dengan kejadian di luar skenario. Kenaikan harga daging sapi akhir tahun lalu dan harga bawang merah dan putih bulan lalu jelas merupakan kejadian di luar prediksi yang bisa mendongkrak inflasi.
Belum lagi, perkembangan-perkembangan non ekonomi yang seringkali meningkatkan ekspektasi inflasi publik seperti isu adanya kudeta dan demonstrasi besar-besarn yang membuat masyarakat khawatir. Hal-hal seperti ini tak bisa dipungkiri mengancam roda bisnis yang ujung-ujungnya menghampat perekonomian.
Pada Februari lalu, Badan Pusat Statistik mengumumkan inflasi sebesar 0,75 persen yang merupakan angka bulanan tertinggi selama 10 tahun terakhir. Sementara inflasi tahunan pada waktu yang sama mencapai 5,31 persen.
Kondisi itu jelas peringatan serius bagi otoritas moneter yang hingga bulan lalu masih tetap mempertahankan suku bunga acuan di level 5,75 persen, tak bergerak selama setahun terakhir. Tingkat BI Rate tersebut dinilai masih konsisten dengan sasaran inflasi tahun 2013 dan 2014, sebesar sebesar 3,5 hingga 5,5 persen.
Agar angka inflasi pada akhir tahun tidak menembus sasaran yang ditetapkan, Bank Indonesia akan meningkatkan pengawasannya pada perkembangan harga-harga terutama pada harga pangan (volatile foods). Hal itu dikatakan BI dalam pernyataan resmi pasca mengumumkan BI Rate bulan lalu. BI juga mengharapkan dukungan kebijakan pemerintah seperti yang disepakati dalam bauran kebijakan moneter dan makroprudensial, agar sasaran inflasi bisa tercapai.
BI dan pemerintah memiliki forum koordinasi yang memiliki concern menjaga perkembangan haraga-harga melalui Tim Pengendalian Inflasi (TPI) dan Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) guna mengamankan pasokan dan distribusi barang.
Menurut Deputi Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, pihaknya dan pengelola fiskal untuk menangani kenaikan harga bawang yang sampai pekan terakhir bulan lalu harganya mulai melandai. BI akan juga bekerja sama dengan kementerian terkait untuk menangani kenaikan harga bawang ini, agar pengaruhnya pada inflasi bisa ditekan. “Sejauh ini, tekanan (dari kenaikan bawang) masih ada. Tapi nanti tergantung komunikasi dengan pemerintah, bagaimana cara mengatasinya, baik dari pedagang dan sebagainya,” kata Perry.
Pengaruh kenaikan bawang ke inflasi ini, kata Deputi yang baru saja terpilih bulan lalu, akan sangat ditentukan oleh bagaimana kecepatan pemerintah dalam menangani kasus ini. Sampai artikel ini ditulis, BI menurut dia, masih menghitung berapa besar pengaruh kenaikan itu ke inflasi. “Inflasi dari bawang merah dan bawang putih, memang dari Januari lalu yang merupakan dampak dari penerapan hortikultura ini memang berpengaruh kepada inflasi. Tapi kami akan melihat lagi pengaruhnya ke inflasi," kata Perry.
Meski begitu, BI tetap yakin bahwa inflasi yang bulan ini didorong sektor pangan karena dampak gangguan cuaca dan terbatasnya pasokan komoditas hortikultura yang berasal dari impor, tidak akan mengganggu target inflasi tahun ini. Tekanan inflasi karena faktor pangan akan segera mereda seiring dengan siklus panen yang akan terjadi bulan ini.
Keyakinan tersebut didukung pernyataan dari pemerintah yang mengatakan bahwa sekarang ini masuk waktu panen. Namun demikian, pemerintah tetap mewaspadai tekanan inflasi dari sektor lainnya.  “Maret-April inflasi diperkirakan rendah, karena ada panen raya. Nah, nanti masuk ke siklus lain lagi, bukan volatile food, tapi jadual sekolah,” kata Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Armida S Alisjahbana.
Setelah itu, siklus inflasi terus meningkat karena memasuki bulan Ramadhan dan Lebaran yang seperti biasa akan mendongkrak harga-harga di masyarakat. “Kalau puasa itu bulan Juli, Lebaran pada Agustus. Berarti Juli ada tantangan lagi," ujar Armida.
Untuk itu, pemerintah kata dia, akan mulai mewaspadai gejolak yang terjadi pada komponen-komponen pemicu inflasi sejak dini agar inflasi tidak berlanjut, dan bisa segera tertangani. Pemerintah menargetkan angka inflasi tahun 4,9 persen yang mana sudah sudah memperhitungkan tarif listrik,  dan dampak kenaikan upah minimum provinsi (UMP).
Pelaksana tugas Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, kenaikan upah dapat menjadi salah satu faktor pemicu melesatnya inflasi pada 2013. "Kami malah lebih concern inflasi itu pengaruh dari upah minimum provinsi," ujarnya.
Menurut Bambang, dengan kenaikan upah buruh sekitar 40 persen sampai 50 persen, maka diprediksi faktor upah dapat menyumbang inflasi sekitar 0,2 persen-0,3 persen. “Itu kira-kira pengaruh inflasinya 0,2 persen-0,3 persen, tapi pertumbuhan ekonomi juga bisa bertambah karena daya beli naik," kata Bambang.

BI Rate dan Rupiah
Sementara itu, penetapan BI Rate sebesar 5,75 persen juga digunakan BI untuk mengabsorpsi tekanan yang selama ini menimpa nilai tukar rupiah atas dollar AS. Pada Februari lalu, tekanan depresiasi terhadap rupiah cenderung mereda sehingga mencapai rata-rata Rp.9.680 per dolar AS.
Menurut data BI, dibandingkan dengan posisi awal tahun, nilai tukar menguat sebesar 0,31 persen. Kebijakan stabilisasi nilai tukar yang ditempuh otoritas, termasuk penguatan mekanisme intervensi valuta asing dan pembentukan referensi nilai tukar rupiah di pasar domestik, mampu meningkatkan kepercayaan pasar. Selain itu, stabilitas nilai tukar juga didukung dengan masuknya aliran dana nonresiden ke instrumen rupiah yang mencapai Rp27,6 triliun. “Ke depan, BI terus menjaga stabilitas nilai tukar sesuai dengan kondisi fundamental perekonomian,” kata pernyataan BI.
Bulan lalu, BI memang tengah membangun skema pertahanan yang lebih kuat bagi rupiah melalui kuotasi kurs. Istilah itu mengacu pada suatu pernyataan kesediaan bank melakukan transaksi, jual­beli valas pada suatu kurs yang diumumkan.
Bank-bank yang menjual valas itu diminta BI membuat kuotasi kurs harian untuk setiap mata uang yang dilayaninya. Kemudian, BI akan melihat apakah kuotasi itu ditetapkan sesuai pertimbangan yang tepat sebelum disetujui. Terakhir, BI akan memantau perdagangannya di pasar valas. “Harga kurs sebenarnya di tentukan spot. Kuotasi ini menjadi acuan. Skemanya sama persis dengan Jakarta Interbank Offered Rate (JIBOR),” kata Halim Alamsyah, Deputi Gubernur BI, Februari lalu.
Pada Januari, rupiah secara rata-rata melemah sebesar 0,22 persen dibanding  bulan sebelumnya ke level Rp9.654 per dollar AS, berdasarkan data BI, melanjutkan pelemahannya di sepanjang tahun 2012, yang terdepresiasi sebesar 6,9 persen. Pada saat yang sama, regulator menemukan ‘kambing hitam’ yang melemahkan rupiah yaitu transaksi non delivery forward (NDF) yang dilakukan di Singapura.
Meski begitu langkah BI, lewat penetapan suku bunga acuan mesti didukung oleh otoritas fiskal dalam bentuk respons kebijakan. Pengamat ekonomi dari Uiversitas Brawijaya, Ahmad Erani Yustika, mengatakan, pemerintah harus mendukung kebijakan Bank Indonesia mempertahankan suku bunga patokan (BI Rate) 5,75 persen. "Karena sampai akhir tahun diperkirakan masih ada tekanan pada nilai tukar rupiah," kata dia.
Langkah yang bisa dilakukan pemerintah adalah, dengan menjaga momentum investasi, mempertahankan konsumsi rumah tangga dan meningkatkan penyerapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Dengan begitu, pertumbuhan ekonomi bisa mencapai target yang dipatok pemerintah sebelumnya di kisaran 6,6 persen hingga 6,8 persen.

Inflasi vs Pertumbuhan
Sementara itu, ekonom Standard Chartered, Erick Sugandi, memperkirakan, ekonomi bisa tumbuh 6,5 persen hingga akhir tahun karena terdongkrak konsumsi pemilihan umum. "Ada belanja tambahan dari kebutuhan Pemilu pada kuartal 4 tahun 2013 dan kuartal 1 tahun 2014," ujarnya.
Menurut prediksi Standard Chartered yang dipublikasikan pertengahan Maret, angkan inflasi kemungkinan akan lebih tinggi pada tahun ini karena berbagai alasan. Di antaranya adalah kenaikan tarif dasar listrik 15 persen tahun ini, kenaikan awal sebesar 4,3 persen sudah dilaksanakan pada Januari, yang akan diikuti oleh kenaikan lebih lanjut pada bulan April, Juli, dan Oktober.
Upah minimum juga sudah dinaikkan pada Januari berbarengan dengan kenaikan signifikan pada beberapa harga pangan. Selanjutnya, tekanan dari konsumsi rumah tangga yang akan meningkat selama Ramadhan yangberlangsung pada kuartal ketiga dan pengeluaran terkait pemilihan umum pada kuartal keempat akan mendorong inflasi lebih tinggi.
“Dengan asumsi pemerintah tidak menaikkan harga bensin bersubsidi, kita inflasi proyek sebesar 5,5 persen year on year pada akhir 2013, pada batas atas dari kisaran target BI 3,5 persen -5,5 persen, dan naik dari 4,3 persen pada akhir 2012,” kata Eric pada publikasi itu. “Artinya inflasi rata-rata sebesar 5,2 persen  pada 2013, naik dari 4,3 persen pada 2012.”
Meskipun inflasi lebih cepat, Standard Charterd memproyeksi bahwa pertumbuhan PDB riil akan meningkat dari 6,2 persen pada 2012 menjadi 6,5 persen pada 2013 dan 6,8 persen pada tahun 2014. Hal itu didorong oleh konsumsi rumah tangga (sekitar 55 persen dari PDB) dan investasi. “Kenaikan inflasi kemungkinan akan memiliki dampak minimal terhadap daya beli rumah tangga, di saat pendapatan rumah tangga juga meningkat, dibantu oleh kenaikan upah minimum dan kenaikan gaji tahunan bagi pegawai negeri sipil,” kata Eric.
Bank Indonesia tentu tak kalah optimisnya dengan Eric. Selain yakin bahwa inflasi akan terkendali, bank sentral juga memperkirakan perekonomian bisa bertumbuh 6,2 persen pada kuartal pertama tahun ini. “Dengan didukung oleh konsumsi domestik,” kata juru bicara Bank Indonesia, Difi Ahmad Johansyah, dalam siaran pers.
Menurut BI, konsumsi tumbuh cukup kuat sejalan dengan keyakinan konsumen dan daya beli masyarakat yang membaik. Sementara itu, berbagai indikator menunjukkan moderasi pertumbuhan investasi khususnya pada investasi nonbangunan di tengah investasi sektor bangunan yang masih cukup kuat.
Indikasi moderasi tersebut juga terlihat pada melandainya pertumbuhan impor, khususnya impor barang modal. Di sisi lain, kinerja ekspor ke berbagai negara mitra dagang utama, khususnya China, America Serikat (AS) dan India, diprakirakan membaik. Untuk keseluruhan tahun 2013, setelah memperhitungkan aktivitas ekonomi pada triwulan-triwulan selanjutnya, termasuk pengeluaran untuk persiapan Pemilu 2014, pertumbuhan ekonomi diprakirakan akan cenderung mengarah ke batas bawah kisaran 6,3 persen-6,8 persen.
Memang banyak yang terjadi sepanjang bulan lalu, dan bakal lebih banyak yang terjadi pada bulan-bulan setelahnya. Meski mendorong inflasi, namun semua itu juga menjadi penolong bagi pertumbuhan ekonomi.



Figure 1: Perkiraan Makroekonomi Indonesia
         2012       2013F    2014F
GDP (riil % y/y)                                  6.2          6.5          6.8
CPI (% rerata th)                               4.3          5.2          5.1
Policy rate (%)*                                 5.75        5.75        6.25
USD-IDR*                                        9.793     9.500     8.900
Transaksi Berjalan (% GDP)              -2.8        -1.5        -0.6
Neraca Fiskal  (% GDP)                   -1.8        -1.6        -1.7
* akhir periode;
Sumber: Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, Standard Chartered Research

Tidak ada komentar:

Posting Komentar