Rabu, 10 April 2013

Menguji Ikhtiar BI


Bank Indonesia akan memberlakukan benchmark margin bunga bersih perbankan. Meski dilakukan untuk menurunkan bunga kredit yang dinilai masih tinggi, kalangan perbankan masih menentangnya.

Boleh dibilang sejak akhir 2008 lalu, perbankan tidak lagi mengikuti apa yang diinginkan Bank Indonesia, terutama soal suku bunga. Saat itu, BI yang mulai rajin menurunkan suku bunga acuan tidak direspons oleh bank meski tenggang waktu yang biasanya dibutuhkan bank untuk menurunkan bunga kredit terlampaui.
Saat itu BI Rate yang berada pada posisi tertingginya di 9,50 persen mulai diturunkan. Namun bank yang seharusnya sudah mulai mengikuti kebijakan itu setelah tiga sampai enam bulan, tidak juga menurunkan bunga kredit.
Meski begitu, BI memakluminya karena di saat bersamaan perekonomian tengan menghadapi kisruh subprime mortgage. Saat itu dunia mulai mengobral kebijakan yang bertujuan untuk melindungi perekonomian dalam negerinya masing-masing agar tidak terhempas dampak kolapsnya kredit perumahaan AS. Apalagi masih di akhir 2008, perekonomian nasional juga terhenyak oleh kasus bailout Bank Century. BI menerima alasan bahwa saat itu bank terancam kekeringan likuiditas.  
Kemudian di saat perekonomian mulai memasuki tahap recovery pada 2010, ekonomi global diganggu instabilitas politik di Jazirah Arab yang menekan harga minyak dunia. Tak cukup sampai di situ, persoalan fiskal yang membelit kawasan Portugal, Italia, Irlandia Greece, dan Spanyol (PIIGS)  bergerak menjadi krisis dan memicu ekonomi Eropa memanas. Meski tak terlalu besar, krisis Eropa itu berpotensi mengganggu ekonomi Indonesia.
Potensi gangguan krisis Eropa direspons BI dengan memangkas BI Rate 25 basis poin ke level 6,50 persen untuk pertama kalinya pada 11 Oktober 2011 setelah bertahan selama sembilan bulan. Langkah ini dilakukan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dengan mempertimbangkan kemungkinan inflasi yang tetap berada di bawah 5 persen. Akan tetapi sekali lagi bank tidak memberikan respons seperti yang seharusnya.
Bank sentral tentu tidak tinggal diam. BI lalu melansir aturan yang mewajibkan seluruh bank mengumumkan suku bunga utamanya atau prime lending rate kepada masyarakat melalui media massa. Kebijakan itu bertujuan agar masyarakat bisa melihat bank mana yang memberikan suku bunga kompetitif sehingga kemudian pengusaha bisa memilih bank yang menawarkan tingkat suku bunga kredit paling rendah.
Dengan begitu meningkatnya permintaan kredit pada bank yang memberikan bunga kompetitif akan diikuti oleh bank lain jika tidak ingin ditinggal nasabah. “Kewajiban mengumumkan prime lending rate akan mendorong kompetisi yang sehat di antara bank. Ke depan, hal ini akan meningkatkan efisiensi bank-bank di Indonesia yang selanjutnya akan dapat bersaing dengan perbankan di kawasan Asia,” kata Gubernur BI Darmin Nasution saat itu.

Benchmark NIM
Dengan langkah itu, suku bunga kredit memang agak menurun mengikuti arahan bank sentral. Kendati begitu, angkanya masih dua digit padahal BI Rate saat ini sudah berada di level 5,75 persen terendah sepanjang sejarah. Untuk menekan bunga kredit ke level yang lebih rendah, otoritas kemudian meluncurkan regulasi baru yaitu menetapkan acuan (benchmark) bagi penentuan margin bunga bersih (net interest margin/ NIM) perbankan.
NIM adalah selisih antara bunga yang diterima setelah diperhitungkan dengan dasar pengenaan pajak dengan biaya bunga.
Direktur Penelitian dan Pengaturan Perbankan BI Irwan Lubis mengatakan BI mengeluarkan aturan benchmark NIM untuk menurunkan bunga kredit perbankan yang masih tinggi. Benchmark ditetapkan berdasarkan rata-rata industri sesuai bank umum kelompok usaha (BUKU).
Dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/26/2012 tentang izin berjenjang atau multiple lisence, BI mengatur kegiatan usaha dan jaringan kantor bank berdasarkan modal inti bank. Berdasarkan modal inti tersebut, bank dikelompokkan dalam empat kelompok usaha yakni Buku 1 bermodal inti kurang dari Rp1 triliun, BUKU 2 dengan modal inti Rp1-5 triliun, BUKU 3 sebesar Rp5-30 triliun, dan BUKU 4 diatas Rp30 triliun.
Bank wajib menyampaikan rencana tindak penyesuaian kegiatan usaha, margin bunga bersih, dan pemenuhan kewajiban penyaluran kredit atau pembiayaan produktif, paling lambat akhir Maret 2013. BI akan melihat rencana tindak (action plan) itu dengan pertimbangan NIM. "Bank yang NIM masih di atas rata-rata, harus punya action plan menurunkannya dan ada insentif dan disinsentif," tegas Irwan.
Menurut Irwan, benchmark NIM ini tidak akan dipublikasikan karena hanya digunakan sebagai pedoman pengawasan intrenal BI dalam bentuk surat edaran internal.
Menanggapi rencana BI tersebut, Persatuan Bank Umum Nasional (Perbanas) meminta bank sentral memikirkan ulang hal tersebut. Sebabnya, penerapan benchmark NIM ini dikhawatirkan akan menekan pertumbuhan perbankan.
Menurut Ketua bidang Pengkajian Perbanas Raden Pardede, BI harus mempertimbangkan tingkat risiko penyaluran kredit perbankan karena aturan tersebut. “Misalnya bank BRI memiliki NIM tinggi karena risiko kreditnya tinggi yakni kredit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Demikian juga dengan tingkat risiko kredit bank BTPN dan Bank Danamon yang NIM-nya masih tinggi. Artinya karakteristik setiap bank berbeda-beda,” jelas dia.
Bahkan, pelaku perbankan menilai penawaran bunga kredit di pasar sudah cukup kompetitif sampai saat ini, sehingga memungkinkan penurunan biaya dana yang mendukung penurunan NIM. BRI mengaku menargetkan tahun ini memangkas NIM 10 basis poin, kemudian Bank Danamon yang mengupayakan penurunan NIM ke level 9,7 persen.
Hingga akhir 2012, Bank Danamon mencatat posisi NIM di level 10,2 persen, meningkat dibanding 9,6 persen pada akhir 2011. Menurut Chief Financial Officer Bank Danamon Vera Eve Lim, kenaikan NIM terjadi seiring dengan penurunan biaya dana khususnya di deposito yang turun 6 persen dari Rp51,62 triliun menjadi Rp48,55 triliun. Sementara suku bunga kredit tercatat mengalami penurunan 20 basis poin dari 15 persen menjadi 14,8 persen. Sementara biaya dana turun 1,2 persen dari 5,7 persen menjadi 4,5 persen.
Oleh sebab itu, dengan melihat data Danamon, Raden menyarankan agar otoritas juga melihat upaya bank dalam meningkatkan efisiensinya. "Bank juga menggunakan profitnya untuk peningkatan modal. Tujuannya adalah ekspansi usaha," ungkap dia.
Ekspansi usaha perbankan, kata Raden, sangat penting untuk meningkatkan kapitalisasinya sehingga siap bersaing di kawasan. Saat ini, kendati produk domestik bruto (PDB) Indonesia terbesar, mencapai sekitar 40 persen di ASEAN, tidak ada bank lokal yang menjadi terbesar di kawasan itu. Singapura yang merupakan negara terkecil di ASEAN yang menempatkan banknya sebagai terbesar di kawasan ini, yakni DBS Group.
Pada Desember 2012, DBS mempunyai total aset sekitar Rp 2.784,44 triliun. Jumlah itu sekitar 4,4 kali lipat dari aset Bank Mandiri yang sebesar Rp 635,62 triliun. Mandiri merupakan badan usaha milik negara (BUMN) dan memiliki aset terbesar di industri perbankan Indonesia.
DBS mampu menarik dana masyarakat Rp 1.902,12 triliun dan menyalurkan kredit Rp 1.677,64 triliun. Jumlah simpanan itu sekitar 3,9 kali lipat dari DPK Bank Mandiri sebesar Rp 482,92 triliun. Namun, kredit yang disalurkan DBS mencapai 4,3 kali lipat dari kredit Mandiri sebesar Rp 388,83 triliun akhir tahun lalu.
Tingginya NIM di Indonesia juga membuat keuntungan bank makin besar. Bank Mandiri misalnya yang mampu meraup laba bersih Rp 15,5 triliun tahun lalu. NIM Mandiri sepanjang tahun 2012 mencapai 5,58 persen.
Tingginya kemampuan mencetak laba inilah yang membuat saham-saham perbankan di Indonesia menjadi favorit, diburu investor asing maupun lokal.

Angsa Emas
Maka dari itu, pejabat Perbanas Raden Pardede mewanti-wanti agar BI berhati-hati dalam menerapkan acuan NIM bagi perbankan. Hal tersebut akan berisiko mengikis keunggulan yang selama ini dimiliki perbankan di Indonesia. “Ini akan menjadi tragedi seperti memotong angsa bertelur emas,” kata dia.
Menurut Raden, biarkan saja keunggulan itu membantu peningkatan modal maupun kapitalisasi pasar emiten perbankan Indonesia. Hal itu juga akan menambah amunisi untuk bersaing dan bank nasional bisa tumbuh menjadi terbesar di ASEAN.
Sesuai data statistik perbankan Bank Indonesia (BI), NIM bank-bank umum di Tanah Air masih berada di atas 5 persen. NIM tertinggi terdapat pada kategori bank-bank umum swasta nasional non devisa sebesar 8,84 persen. Sedangkan secara masing-masing bank, ada bank yang masih mematok NIM diatas 10 persen misalnya Bank Tabungan Pensiunan Negara (BTPN) dengan NIM 13 persen.
Lantas apa yang menyebabkan NIM perbankan masih tinggi? Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Mirza Adityaswara mengatakan terdapat dua hal yang memungkinkan NIM menjadi tinggi. Pertama, kata Mirza, adalah biaya dana (cost of fund) yang rendah dan kedua adalah suku bunga kredit yang tinggi.
Bagi sektor yang kurang kompettif, kata dia, bank akan memberikan bunga kredit yang tinggi. Termasuk di dalamnya adalah sektor kredit mikro, yang bunganya masih di kisara 20 persen - 30 persen. Namun, jika semakin banyak orang berkompetisi masuk di kredit mikro dengan sendirinya membuat bunga kredit mikro merendah,” kata Mirza,
Hanya saja, Mirza berpendapat, kurang tepat apabila kinerja perbankan hanya dinilai dari tingginya NIM. Menurut Mirza, fungsi intermediasi perbankan harusnya menjadi acuan penilaian dari kinerja sektor perbankan. Kalau bank itu tidak menyalurkan kredit, hanya beli SBI, nah itu bisa disalahkan. Misalnya, NIM nya tinggi tapi hanya beli SBI," tegas Mirza.
Sementara itu, Ekonom Bank Mandiri Destry Damayanti menegaskan, NIM sebaiknya tidak dilihat dari nilai absolutnya atau angka yang tertera, tetapi cost of fund. Dia menguraikan, dengan level cost of fund 5,5 persen untuk suku bunga sekitar 11 persen, berarti NIM-nya sekira 5,5 persen. “Nah NIM 5,5 persen itu berapa kalinya cost of fund? Kan cuma satu kalinya," papar Destry.
Dia membandingkan dengan NIM perbankan di Singapura. Rata-rata biaya dana perbankan di Singapura sekitar 0,3 persen dengan besaran bunga kredit 3 persen. Dengan demikian NIM perbankan di Singapura berkiar sekira 2,5 persen. Artinya, posisi NIM 2,5 persen itu lebih tinggi 8 kali dibanding cost of fund yang sebesar 0,3 persen.
Bagi Direktur Utama PT Bank Mandiri Tbk Zulkifli Zaini menilai NIM yang tinggi merupakan hal bagus bagi perbankan dalam negeri. Alasannya, ini menjadi gimik bagi investor untuk menanamkan modalnya di Tanah Air.
Dia juga menampik anggapan yang menyebutkan bahwa NIM yang tinggi disebabkan oleh tingkat suku bunga kredit yang sangat tinggi. Menurutnya, yang menjadi kunci adalah biaya dana atau cost of fund. Jika cost of fund turun namun NIM tidak berubah, maka bunga kreditnya turun. “Jadi yang penting itu menurunkan cost of fund," jelas Zulkifli.
Namun demikian, Direktur Riset Ekonomi Grup Departemen Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia Endy Dwi Tjahjono berpendapat berbeda. Menurut dia, tingginya NIM kurang menarik investor masuk ke Indonesia. Sebabnya, NIM yang tinggi membuat biaya investasi lebih mahal oleh karena tingginya suku bunga kredit.



 Tabel NIM, Pendapatan Bunga dan Aset


                                                            2012                                                                            2013
            Jan       Feb      Mar     Apr      Mei      Jun       Jul        Ags      Sep      Okt      Nov      Des
NIM (%)6,06    5,40     5,15     5,31     5,33     5,38     5,41     5,43     5,45     5,48     5,48     5,49     5,53
- Pendapatan bunga bersih 183.471   169.889           176.666           183.510           185.970 189.115         191.240             192.862           195.023           196.860           198.231 200.338         218.105
- Rata-rata total aset produktif 3.028.268     3.143.660        3.429.746        3.454.767        3.486.112        3.516.358             3.534.925        3.551.432        3.575.594        3.595.175        3.618.565        3.648.741        3.944.435



Tidak ada komentar:

Posting Komentar