Rabu, 10 April 2013

Asuransi di Tengah Beragam Tantangan

Industri asuransi masih menghadapi tantangan yang cukup berat tahun ini, meski diyakin tetap akan mencatatkan pertumbuhan. Potensi pasar yang besar akan berhadapan dengan ketatnya aturan dan bertambahnya pesaing.


Dalam setiap diskusi mengenai potensi ekonomi di dunia, Indonesia selalu menjadi topik pembahasan. Tak terkecuali potensi asuransi. Dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia dan masih banyak yang belum memiliki asuransi, Indonesia jelas menjadi pasar menggiurkan.
Bahkan di saat industri asuransi negara-negara Barat terluka akibat krisis global dalam lima tahun terakhir, bisnis di Indonesia tetap melaju kencang. Dalam 10 tahun terakhir pertumbuhannya selalu mencapai dua digit. Malahan pertumbuhan premi asuransi jiwa rata-rata (CAGR–compounded average growth rate) selama lima tahun pada periode tahun 2006–2010—angkanya mencapai 30 persen.
Meski begitu, masyarakat Indonesia tetap termasuk dalam kategori un-insured. Menurut penelitian dari periset yang dikutip dari majalah The Economist, penetrasi asuransi Indonesia masih sangat minim yaitu sebesar 0,9 persen dari produk domestik bruto (PDB). Angka itu paling kecil dibanding dengan negara jiran seperti Malaysia (3,3 persen), Thailand (2,9 persen), Singapura (5,7 persen).
Tahun ini, pelaku industri pun masih tetap optimistis bahwa bisnis akan tetap tumbuh dua digit, meski dibayangi beberapa tantangan. Lembaga pemeringkatan global Fitch Ratings pun berani menilai bahwa prospek asuransi baik sektor jiwa maupun kerugian di Indonesia pada 2013 akan stabil dengan pertumbuhan pendapatan premi yang berkelanjutan.
Fitch, seperti dikutip Asia Insurance Review, mengatakan prospek stabil untuk industri asuransi tahun ini didorong oleh meningkatnya pendapatan nasional dan bertambahnya jumlah orang kaya di Indonesia. Hal itu akan berhadapan dengan penetrasi pasar dalam negeri yang sangat kurang, dan meningkatnya kesadaran risiko katastropik.
Apa yang dikatakan lembaga rating global itu tidaklah berlebihan. Pasalnya pada saat krisis global 2008 yang paling menghantam industri asuransi saja, Indonesia masih mengalami pertumbuhan dua digit. Meski setelah itu sempat melemah, namun pertumbuhannya tetap bertahan di level dua digit.
Menurut Hendrisman Rahim, Ketua Umum Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), fakta tersebut memang meningkatkan optimisme di kalangan pelaku industri. Untuk mempertahankan kecepatan pertumbuhan tersebut asosiasi akan meningkatkan sosialisasi asuransi kepada masyarakat. “Pendorong pertumbuhan yang tinggi itu adalah membaiknya kondisi ekonomi dan naiknya daya beli masyarakat. Termasuk semakin meleknya masyarakat akan pentingnya asuransi,” kata dia.
Tahun ini bisnis asuransi jiwa diprediksi akan mencatatkan pertumbuhan premi sebesar 25-30 persen.
Sementara itu, asuransi kerugian juga tidak kalah optimistis. Julian Noor, Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), mengatakan bahwa pertumbuhan premi asuransi umum akan berada di angka 22-23 persen. Stabilnya  perekonomian nasional, sehingga mengerek porsi belanja negara akan mendorong kinerja bisnis asuransi.
Tahun ini, anggaran belanja negara direncanakan sebesar Rp 1.657,9 triliun, naik 7,1 persen dibandingkan 2012. Hal itu berarti proyek yang membutuhkan jaminan risiko akan bertambah.
Selain anggaran negara, pelaku asuransi umum juga membidik peningkatan anggaran daerah (APBD). Menurut Julian, kesadaran pemerintah daerah (pemda) mengasuransikan aset-aset mereka terus meningkat.  Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menjadi pelopor, yakni melelang penjaminan aset tahun depan, pemda lain diperkirakan akan mengikuti.
Dorongan pertumbuhan asuransi umum juga berasal dari langkah  Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang membuat tarif referensi asuransi properti dan kebakaran. "Tarif referensi akan membuat lini asuransi properti dan kebakaran kembali berkontribusi maksimal dengan persaingan sehat," kata Julian.
Di sisi lain, perusahaan asuransi juga sudah bisa menyesuaikan diri dengan aturan uang muka pada pembelian kendaraan secara kredit yang diberlakukan tahun lalu.
Bagaimana dengan asuransi syariah? Meskipun pangsanya baru 4 persen dari total industri asuransi, pertumbuhan asuransi syariah cukup pesat. Jenis asuransi yang mulai dikenal sejak bank syariah naik pamor pada awal 2000-an itu meningkat hingga 10 kali lipatnya dengan peningkatan premi rata-rata di atas 30 persen pada periode 2006-2012.
Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) berani memperkirakan pertumbuhan industri asuransi syariah pada 2013 mencapai 30-40 persen. Dan tahun depan diperkirakan akan menjadi puncak pertumbuhan asuransi syariah di Indonesia.
Pertumbuhan ini didorong oleh bertambahnya satu perusahaan asuransi syariah akibat dua aturan baru di industri. Kedua aturan tersebut adalah modal minimal perusahaan dan spin off unit usaha syariah perusahaan asuransi.
Tahun ini, beberapa perusahaan sedang gencar-gencarnya melakukan persiapan spin off. Salah satunya adalah unit usaha syariah Asuransi Manulife. Manulife berencana akan melakukan spin off pada 2014 dengan persiapan sepanjang 2013.
Berbeda dengan Manulife, Adira Insurance baru akan melakukan spin off bila perusahaan sudah membukukan premi Rp 250 miliar. Hal ini bertujuan agar perusahaan bisa membiayai operasionalnya sendiri.

Tantangan Industri
Akan tetapi, bukan berarti industri asuransi akan melenggang mulus mencapai target yang diinginkan pelaku. Setidaknya ada beberapa hal yang berpotensi mengganjal skenario optimistis industri.
Pertama adalah aturan modal minimum yang harus dipenuhi perusahaan sebesar Rp70 miliar pada 2012 dan menjadi Rp100 miliar pada 2014. Regulasi tak pelak akan mengerem ekspansi perusahaan dan mendorong konsolidasi pasar lebih ketat.
Menurut lembaga Fitch, dampak dari kebijakan itu, jumlah pemain industri diprediksi akan menyusut karena asuransi yang lebih kecil dan lebih lemah akan bergabung dengan perusahaan lain untuk memenuhi persyaratan modal baru atau dipaksa untuk keluar dari pasar. Meski demikian dalam jangka panjang, aturan itu akan membantu perusahaan mengembangkan kesadaran risiko yang lebih besar dan meningkatkan kemampuan mereka untuk mengelola sumber permodalan.
Ketentuan itu juga ibarat panggilan kepada investor asing untuk memasuki pasar Indonesia. Selain karena daya tarik itu, ada juga faktor pendorong yang berasal dari lesunya pertumbuhan pasar asuransi di negara macam Amerika Serikat, Jepang dan Korea Selatan. Apalagi dengan batas kepemilikan asing yang mencapai di atas 90 persen, jauh lebih tinggi daripada di negara-negara Asia lainnya, tentu investor akan memilih Indonesia.
Kedua, tantangan yang mungkin menghambat pertumbuhan asuransi adalah penerapan standar akutansi internasional atau International Financial Result Standard (IFRS) untuk laporan keuangan tahun 2012.
Simulasi Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK), menunjukkan penerapan aturan ini akan mengakibatkan liabilitas atau kewajiban perusahaan meningkat sehingga memperlemah ekuitas atau struktur permodalan. Hal itu tentu saja bakal membuat industri asuransi harus menambah modal lagi.
Ketiga, adalah risiko-risiko yang menempel pada perusahaan asuransi saat ini. seperti halnya bank asuransi juga menghadapi beberapa risiko utama seperti risiko kredit, risiko pasar, risiko stratejik, risiko regulasi dan risiko operasional. “Di samping itu juga ada risiko inheren yang khas yang disebut risiko aktuarial, yaitu kerugian yang terjadi ketika polis asuransi yang diterbitkan mengakibatkan klaim yang lebih besar dari yang diperkirakan,” ujar Gayatri Rawit Angreni, pakar manajemen risiko.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar