Dalam setiap diskusi mengenai potensi ekonomi di dunia,
Indonesia selalu menjadi topik pembahasan. Tak terkecuali potensi asuransi.
Dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia dan masih banyak yang belum
memiliki asuransi, Indonesia jelas menjadi pasar menggiurkan.
Bahkan di saat industri asuransi negara-negara Barat terluka
akibat krisis global dalam lima tahun terakhir, bisnis di Indonesia tetap
melaju kencang. Dalam 10 tahun terakhir pertumbuhannya selalu mencapai dua
digit. Malahan pertumbuhan premi asuransi jiwa rata-rata (CAGR–compounded average growth rate) selama
lima tahun pada periode tahun 2006–2010—angkanya mencapai 30 persen.
Meski begitu, masyarakat Indonesia tetap termasuk dalam
kategori un-insured. Menurut
penelitian dari periset yang dikutip dari majalah The Economist, penetrasi asuransi Indonesia masih sangat minim
yaitu sebesar 0,9 persen dari produk domestik bruto (PDB). Angka itu paling
kecil dibanding dengan negara jiran seperti Malaysia (3,3 persen), Thailand
(2,9 persen), Singapura (5,7 persen).
Tahun ini, pelaku industri pun masih tetap optimistis bahwa
bisnis akan tetap tumbuh dua digit, meski dibayangi beberapa tantangan. Lembaga
pemeringkatan global Fitch Ratings pun berani menilai bahwa prospek asuransi
baik sektor jiwa maupun kerugian di Indonesia pada 2013 akan stabil dengan
pertumbuhan pendapatan premi yang berkelanjutan.
Fitch, seperti dikutip Asia Insurance Review, mengatakan
prospek stabil untuk industri asuransi tahun ini didorong oleh meningkatnya
pendapatan nasional dan bertambahnya jumlah orang kaya di Indonesia. Hal itu
akan berhadapan dengan penetrasi pasar dalam negeri yang sangat kurang, dan
meningkatnya kesadaran risiko katastropik.
Apa yang dikatakan lembaga rating global itu tidaklah
berlebihan. Pasalnya pada saat krisis global 2008 yang paling menghantam
industri asuransi saja, Indonesia masih mengalami pertumbuhan dua digit. Meski
setelah itu sempat melemah, namun pertumbuhannya tetap bertahan di level dua
digit.
Menurut Hendrisman Rahim, Ketua Umum Asosiasi Asuransi Jiwa
Indonesia (AAJI), fakta tersebut memang meningkatkan optimisme di kalangan
pelaku industri. Untuk mempertahankan kecepatan pertumbuhan tersebut asosiasi
akan meningkatkan sosialisasi asuransi kepada masyarakat. “Pendorong
pertumbuhan yang tinggi itu adalah membaiknya kondisi ekonomi dan naiknya daya
beli masyarakat. Termasuk semakin meleknya masyarakat akan pentingnya
asuransi,” kata dia.
Tahun ini bisnis asuransi jiwa diprediksi akan mencatatkan
pertumbuhan premi sebesar 25-30 persen.
Sementara itu, asuransi kerugian juga tidak kalah
optimistis. Julian Noor, Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia
(AAUI), mengatakan bahwa pertumbuhan premi asuransi umum akan berada di angka
22-23 persen. Stabilnya perekonomian
nasional, sehingga mengerek porsi belanja negara akan mendorong kinerja bisnis
asuransi.
Tahun ini, anggaran belanja negara direncanakan sebesar Rp
1.657,9 triliun, naik 7,1 persen dibandingkan 2012. Hal itu berarti proyek yang
membutuhkan jaminan risiko akan bertambah.
Selain anggaran negara, pelaku asuransi umum juga membidik
peningkatan anggaran daerah (APBD). Menurut Julian, kesadaran pemerintah daerah
(pemda) mengasuransikan aset-aset mereka terus meningkat. Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta
menjadi pelopor, yakni melelang penjaminan aset tahun depan, pemda lain
diperkirakan akan mengikuti.
Dorongan pertumbuhan asuransi umum juga berasal dari
langkah Otoritas Jasa Keuangan (OJK),
yang membuat tarif referensi asuransi properti dan kebakaran. "Tarif
referensi akan membuat lini asuransi properti dan kebakaran kembali
berkontribusi maksimal dengan persaingan sehat," kata Julian.
Di sisi lain, perusahaan asuransi juga sudah bisa
menyesuaikan diri dengan aturan uang muka pada pembelian kendaraan secara
kredit yang diberlakukan tahun lalu.
Bagaimana dengan asuransi syariah? Meskipun pangsanya baru 4
persen dari total industri asuransi, pertumbuhan asuransi syariah cukup pesat.
Jenis asuransi yang mulai dikenal sejak bank syariah naik pamor pada awal
2000-an itu meningkat hingga 10 kali lipatnya dengan peningkatan premi
rata-rata di atas 30 persen pada periode 2006-2012.
Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) berani
memperkirakan pertumbuhan industri asuransi syariah pada 2013 mencapai 30-40
persen. Dan tahun depan diperkirakan akan menjadi puncak pertumbuhan asuransi
syariah di Indonesia.
Pertumbuhan ini didorong oleh bertambahnya satu perusahaan
asuransi syariah akibat dua aturan baru di industri. Kedua aturan tersebut
adalah modal minimal perusahaan dan spin
off unit usaha syariah perusahaan asuransi.
Tahun ini, beberapa perusahaan sedang gencar-gencarnya
melakukan persiapan spin off. Salah
satunya adalah unit usaha syariah Asuransi Manulife. Manulife berencana akan
melakukan spin off pada 2014 dengan persiapan sepanjang 2013.
Berbeda dengan Manulife, Adira Insurance baru akan melakukan
spin off bila perusahaan sudah
membukukan premi Rp 250 miliar. Hal ini bertujuan agar perusahaan bisa
membiayai operasionalnya sendiri.
Tantangan Industri
Akan tetapi, bukan berarti industri asuransi akan melenggang
mulus mencapai target yang diinginkan pelaku. Setidaknya ada beberapa hal yang
berpotensi mengganjal skenario optimistis industri.
Pertama adalah
aturan modal minimum yang harus dipenuhi perusahaan sebesar Rp70 miliar pada
2012 dan menjadi Rp100 miliar pada 2014. Regulasi tak pelak akan mengerem
ekspansi perusahaan dan mendorong konsolidasi pasar lebih ketat.
Menurut lembaga Fitch, dampak dari kebijakan itu, jumlah
pemain industri diprediksi akan menyusut karena asuransi yang lebih kecil dan
lebih lemah akan bergabung dengan perusahaan lain untuk memenuhi persyaratan
modal baru atau dipaksa untuk keluar dari pasar. Meski demikian dalam jangka
panjang, aturan itu akan membantu perusahaan mengembangkan kesadaran risiko
yang lebih besar dan meningkatkan kemampuan mereka untuk mengelola sumber
permodalan.
Ketentuan itu juga ibarat panggilan kepada investor asing
untuk memasuki pasar Indonesia. Selain karena daya tarik itu, ada juga faktor
pendorong yang berasal dari lesunya pertumbuhan pasar asuransi di negara macam
Amerika Serikat, Jepang dan Korea Selatan. Apalagi dengan batas kepemilikan
asing yang mencapai di atas 90 persen, jauh lebih tinggi daripada di
negara-negara Asia lainnya, tentu investor akan memilih Indonesia.
Kedua, tantangan
yang mungkin menghambat pertumbuhan asuransi adalah penerapan standar akutansi
internasional atau International Financial Result Standard (IFRS) untuk laporan
keuangan tahun 2012.
Simulasi Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
(Bapepam-LK), menunjukkan penerapan aturan ini akan mengakibatkan liabilitas
atau kewajiban perusahaan meningkat sehingga memperlemah ekuitas atau struktur
permodalan. Hal itu tentu saja bakal membuat industri asuransi harus menambah
modal lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar