Selasa, 22 Oktober 2013

Krisis Ekonomi dan Posisi yang Berputar

Bumi selalu berputar, begitupun kehidupan yang ada di dalamnya. Karena putaran itulah suatu kejadian kerapkali berulang dan berulang. Begitu pula dengan krisis ekonomi dunia. Menurut Luthfi Hamidi dalam buku The Crisis (2012), jika konstelasi ekonomi yang ada sekarang ini terus dipertahankan maka krisis akan selalu berulang, bahkan siklusnya akan makin cepat.
Apa yang diungkapkan buku itu memang tidaklah berlebihan. Krisis di zaman ekonomi modern sepanjang abad 20 lalu, terjadi dalam siklus 20 tahunan. Misalnya krisis ekonomi yang terjadi tahun 30-an atau ternama dengan sebutan The Great Depresion, kemudian dua dekade berselang terjadi juga krisis pada tahun 50-an, dan disusul tahun 70-an. Krisis siklus 20 tahunan berikutnya adalah krisis ekonomi di akhir 90-an yang menjungkirbalikkan ekonomi RI.
Setelah itu, siklus krisis yang membawa angin resesi ekonomi tampaknya mulai berputar lebih cepat menjadi 10 tahun. Hal itu ditandai dengan krisis ekonomi dunia yang berawal dari pecahnya gelembung properti di Amerika Serikat pada tahun 2008.
Dan kini, seperti yang ditulis dalam buku The Crisis, siklus kejatuhan ekonomi terasa lebih cepat lagi. Pada tahun ini,  percik-percik krisis sudah mulai meletup yang ditandai dengan kembalinya aset-aset dollar ke rumahnya di AS sana. Perekonomian di banyak negara termasuk Indonesia mulai guncang. Pertumbuhan melemah, nilai tukar melorot, dan aset-aset domestik yang anjlok menjadi beberapa indikator yang bisa dilihat.
Meski begitu, krisis yang berada di depan mata saat ini sebenarnya membawa pesan positif karena itu adalah pertanda resesi dunia yang berlangsung sejak 2008 akan segera usai. Ya, berbeda dengan krisis 2008 yang disebabkan oleh ambruknya ekonomi AS, turbulensi tahun ini justru disebabkan membaiknya ekonomi negeri Paman Sam itu. Kendati demikian dua-duanya membawa kisruh ekonomi yang mengkhawatirkan dunia.
Akan tetapi, krisis tak melulu soal kesusahan dan kesedihan. Krisis juga membawa kelucuan dan keunikan tersendiri. Pada krisis 2008, di Kanada, muncul minuman beralkohol yang disebut ”Bailout Bitter” dengan tagline-nya ”bitter ale for bitter times” (minuman pahit di kala waktu yang pahit).
Kejadian unik juga sempat terjadi di India ketika muncul berita menghebohkan yang mengabarkan adanya pasangan muslim India yang melakukan ijab kabul melalui telepon. Prosesi suci tersebut dilakukan karena  pengantin pria yang tinggal di luar negeri tidak memiliki uang untuk pulang. Seluruh penduduk desa turut menyaksikan peristiwa itu. Penghulu mengaktifkan mode speaker phone dalam sesi itu.
Di Rusia, krisis finansial global 2008 berdampak pada penurunan tingkat konsumsi vodka yang cukup tajam. Menurut data Asosiasi Minuman Beralkohol Nasional, pasokan vodka saat ini enam kali lebih banyak dari biasanya. Vodka merupakan minuman yang dikategorikan sebagai minuman nasional yang ditemukan dan dikonsumsi sejak abad ke-14. Bahkan vodka dianggap sebagai “air kehidupan”.

Anak Buah jadi Komandan
Krisis kali ini juga membawa keunikan sendiri bagi otoritas di Tanah Air. Indonesia memang sudah lebih siap untuk menghadapi krisis 2013 ini –jika memang sudah disimpulkan demikian. Saat ini pemerintah memiliki Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK), yang berisi semua otoritas perekonomian yang ada di negeri ini. Apalagi dengan berdirinya Otoritas Jasa Keuangan, Indonesia kini dianggap memiliki kemampuan lebih baik dalam menangkal risiko terburuk dari krisis keuangan.
Tiga otoritas utama di dalam forum penangkal krisis itu adalah Kementerian Keuangan, Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Satu anggota lagi adalah Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Nah, seperti juga roda ekonomi yang terus bergerak dan berputar, orang-orang di belakang kendali otoritas-otoritas itu juga berputar, bergeser dan berubah. Putaran itu menggeser orang-orang di dalamnya, bahkan membawa seseorang yang tadinya di bawah menjadi di atas.
Pada 2008, Agus DW Martowardojo masih menjabat sebagai Direktur Utama Bank Mandiri. Artinya, saat itu dia masih menjadi pihak yang diawasi oleh Bank Indonesia, masih sering dipanggil ke Thamrin terkait kegiatan pengawasan dan pengaturan perbankan.
Namun sejak Mei 2013, lelaki kelahiran Amsterdam, Belanda, 57 tahun lalu itu, telah menjadi orang nomor satu di Bank Indonesia. Dengan kalimat lain, lulusan Universitas Indonesia itu berputar dari yang tadinya diawasi bank sentral menjadi pihak yang mengawasi –setidaknya sampai 2014.
Bahkan, sebelumnya, sejak 2010, mantan direktur utama di beberapa bank nasional itu juga sempat menjabat sebagai Menteri Keuangan. Saat itu, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang OJK, Agus Martowardojo, selaku  Menteri Keuangan adalah koordinator dalam Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan.
Sementara itu, Muliaman D Hadad, pada 2008 lalu masih mengawasi perbankan karena posisinya sebagai Deputi Gubernur BI. Kemudian pada 2012, mantan Direktur Penelitian dan Pengaturan Perbankan di BI itu dipilih parlemen untuk menakhodai otoritas baru yang menjadi watchdog bagi seluruh lembaga keuangan dan juga pasar modal di Tanah Air. Posisinya meningkat dari hanya mengawasi bank saja, menjadi semua lembaga keuangan yang ada.
Chatib Basri lain lagi. Saat krisis global 2008 berkecamuk, dia ditunjuk sebagai penasehat khusus Menteri Keuangan. Artinya saat itu Chatib masih menjadi ‘orang luar’ di jajaran Kementerian Keuangan. Namun pada Mei 2013, mantan kepala lembaga penelitian ekonomi di UI ini ditunjuk menjadi Menteri Keuangan menggantikan Agus Martowardojo.
Chatib yang juga sempat memimpin Badan Koordinasi Pasar Modal, kini berubah dari anak buah menjadi komandan. Ya, Chatib, saat ini menjadi koordinator dalam forum penangkal dan mitigator krisis yang mana semua otoritas berkumpul untuk mengambil peran. Sebagai Menteri Keuangan, seperti diamanatkan dalam undang-undang, Chatib adalah koordinator forum tersebut yang di dalamnya ada Gubernur BI dan Ketua OJK serta LPS.
Pada saat memimpin forum itulah muncul kondisi yang boleh dibilang unik. Chatib, sebagai orang yang paling ‘muda dan junior’ justru menjadi ketua dalam forum pengendali sistem keuangan nasional itu. Di dalam forum itu Chatib harus berhadapan dengan senior-seniornya. Selain pernah menjadi subordinat dari salah satu seniornya itu, dalam soal umur, Chatib juga menjadi yang paling muda.
Chatib yang kini berusia 48 tahun lulus kuliah pada 1992. Sedangkan Agus Martowardojo yang berumur 57, lulus di tahun 1984, berbarengan dengan Muliaman D Hadad, 53 tahun. Ketiganya kuliah di kampus yang sama, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Oleh karena itu dalam rapat-rapat –dan tentunya dalam penentuan keputusan krisis keuangan di Indonesia– boleh  dibilang peran dan kedudukan Chatib Basri berada di atas dua seniornya itu.
Kita memang tak boleh menyimpulkan bahwa Chatib akan sedikit ‘minder’ saat berhadapan dengan dua seniornya itu di dalam ruang rapat FKSSK. Meski harus berhadap-hadapan dengan mantan atasan serta seniornya itu Chatib kemungkinan tidak akan merasa inferior dalam forum tersebut karena memiliki kompetensi kuat di bidang makroekonomi,
Bahkan Muliaman sempat memuji ‘juniornya’ itu ketika terpilih menjadi menteri keuangan. “Chatib memiliki kompetensi dan kapabilitas yang baik. Salah satunya, karena Chatib menguasai makroekonomi secara mendalam, yang menjadi peran utama Kementerian Keuangan dalam forum tersebut. Kerja antara OJK dan Kemenkeu dalam FKSSK bisa berjalan baik,” komentar dia.
Namun demikian, di Indonesia, tak bisa dinafikan begitu saja bahwa senioritas masih sangat kental berperan dalam proses menelurkan sebuah keputusan. Sikap ewuh pakewuh seringkali menjadi kerikil-kerikil penghalang dalam menghasilkan sebuah keputusan penting. Kondisi itu bisa mendorong kemungkinan terjadinya pengambilan keputusan di luar forum yang resmi.
Akan tetapi bolehlah kita berharap, bahwa ketiga otoritas itu (plus LPS) bisa mendahulukan kepentingan perekonomian nasional ketimbang harus tersandung persoalan senioritas dan ewuh pakewuh. Jadi, biarlah kondisi itu menjadi kisah unik saja bagi kita semua dalam menghadapi situasi turbulensi –yang mudah-mudah tidak menjadi krisis keuangan– ini.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar