Senin, 07 April 2014

BANGKIT UNTUK TERPURUK?

Penguatan rupiah yang didongkrak oleh spekulan diprediksi akan kembali kikis pada Juni, di saat bank sentral AS mengeluarkan kebijakan pengurangan stimulus ekonomi. Pasar keuangan yang masih dangkal menjadi penyebab utama.

Orang yang memegang dollar AS sejak Desember tahun lalu hingga sekarang tentu sudah berhitung rugi penurunan nilai kurs. Sejak awal tahun lalu hingga pertengahan Maret, rupiah sudah menguat sekitar 7 persen, merupakan yang tertinggi di Asia. Penguatan tersebut mengagetkan banyak pihak termasuk otoritas sendiri.
Keberhasilan pemerintah dan bank sentral melewati fase kritis dalam perlambatan pertumbuhan tahun lalu disebut-sebut adalah penyebab munculnya optimisme terhadap perekonomian. Otoritas moneter bahkan mulai bersiap-siap untuk menaikkan proyeksi ekonomi tahun ini ke tingkat yang lebih tinggi.
Beberapa data yang dipublikasikan oleh bank sentral maupun biro statistik memperlihatkan adanya perbaikan, yang membuat dana-dana asing mulai berdatangan. Defisit transaksi berjalan yang awal tahun sudah di level 3,2 persen, memasuki triwulan pertama kondisinya terus membaik, malahan bank sentral memproyeksikan bisa sampai di angka 2,5 persen dari PDB.
Yield surat utang negara, di sisi lain, yang terus menanjak terus mengundang green-back untuk masuk. Sejak awal 2013 hingga 26 Desember lalu terjadi kenaikan 320 basis poin (bps) pada Surat Utang Negara (SUN) bertenor 10 tahun. Tahun ini sentimen positif terhadap pasar obligasi negara berlanjut setelah diprediksi akan terus memberikan return yang menarik.
Modal masuk pun makin deras setelah pemerintah melepas obligasi berdenominasi dollar AS yang listing di pasar modal New York, Januari lalu. Kondisi itu jelas makin membuat investor asing membanjiri dollar AS di pasar dalam negeri.
Pada Januari, Kementerian Keuangan telah menjual dua seri SUN dengan denominasi valuta asing atau yang kerap disebut global bond, yakni seri RI0124 dengan tenor 10 tahun, dan seri RI0144 dengan tenor 30 tahun. “Strategi itu memang cost-nya tinggi yakni bunga yang diberikan tinggi, namun cukup menyerap dan membuat dollar banjir di dalam negeri,” kata Yanuar Rizki, seorang pengamat pasar keuangan.
Selain itu, tingkat inflasi yang terus melandai dan ketiadaan rencana menaikkan administered price –setidaknya oleh pemerintah saat ini –juga membuat sentimen positif itu makin berkembang. Inflasi tahun ini diperkirakan di kisaran 5,03 persen, lebih rendah daripada inflasi 2013 yang mencapai 8,38 persen. Di sisi lain, defisit neraca transaksi berjalan akan semakin menyempit dengan kebijakan pembatasan impor. Di luar inflasi, besaran BI Rate juga akan mendukung minat asing terhadap obligasi di saat Bank Indonesia diperkirakan akan terus mempertahankan level 7,5 persen dalam beberapa bulan ke depan.
Menurut prediksi Assistant Vice President Head of Debt Research Danareksa Sekuritas, Yudistira Slamet nilai tukar rupiah terhadap dollar AS akan menguat, menjadi di kisaran Rp10.500 per dollar AS. Dengan estimasi tersebut, yield SUN seri acuan bertenor 10 tahun diperkirakan berada di kisaran 7,73 persen.
Indonesia, sepanjang Januari-Maret memang tengah diliputi ‘suasana pagi yang cerah’, apalagi setelah bulan lalu nama Joko Widodo, Gubernur DKI Jakarta resmi  dicalonkan menjadi presiden pada pemilihan umum tahun ini. Mantan walikota Solo yang kariernya meroket setelah menjadi orang nomor satu di Jakarta itu memang tengah menikmati euforia dukungan dari sebagian besar media massa. Tak pelak pencalonannya itu mengangkat kurs rupiah dan indeks.
Sesaat setelah pengumuman Gubernur Jakarta yang akrab disapa Jokowi itu, perdagangan saham dan valas menggeliat. Pada akhir pekan kedua Maret, indeks saham ditutup meningkat 3,23 persen ke level 4.878,643, sementara nilai tukar rupiah menguat dari Rp11.400 menjadi Rp 11.255 per dollar AS.
Penguatan tersebut meneruskan sentimen positif pada mata uang RI itu awal tahun. Pada pertengahan tahun lalu, rupiah sempat dihajar capital outflow yang tiba-tiba saja terjadi dan membuat kurs saat itu terus merosot dari level Rp9.500 menjadi Rp12.500 per dollar AS.
Menurut data riset Stabilitas, kinerja rupiah dalam sebulan terakhir terbilang cukup fantastis. Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS telah menguat 6,33 persen. Kinerja tersebut jelas melegakan banyak pihak mengingat sejak menembus level psikologis Rp12.000 pada 27 November 2013, pertama kali sejak Maret 2009, nilai rupiah terus terdepresiasi. Struktur transaksi berjalan yang sangat bergantung pada modal asing dinilai telah menggerogoti kapasitas kontrol moneter dalam mengelola rupiah.

Risiko Melemah Mendadak

Namun demikian, hampir bisa dipastikan hal itu tidak akan menjadikan tahun ini menjadi tahunnya rupiah. Kolam sektor keuangan yang masih dangkal membuat penguatan itu dianggap penuh kerapuhan. Pasar uang Indonesia sangat rentan berfluktuasi di saat dana-dana asing jangka pendek masih dibolehkan untuk keluar-masuk seenaknya. Penguatan yang terjadi sepanjang triwulan pertama ini dalam sekejap bisa luruh ketika dana-dana di pasar uang hengkang.
Keadaan di pasar saham setali tiga uang. Saham-saham perbankan nasional kini lebih banyak dikuasai oleh pemodal asing. Bahkan saham bank-bank milik pemerintah yang beredar di publik lebih dari 80 persennya dimiliki asing.
Kondisi ini sangat rentan ketika muncul isu negatif mengenai perekonomian Indonesia, maupun kebijakan makro dari ekonomi utama dunia. Dengan kalimat lain, ekonomi Indonesia menghadapi risiko kurs yang bersumber dari kebijakan negara lain. Risiko itu muncul karena kerugian pada saat terjadinya apresiasi atau depresiasi mata uang asing.
Salah satu isu yang akan dihadapi adalah kebijakan makroekonomi AS terkait tapering off pasca terpilihnya Ketua The Fed yang baru Janet Yellen menggantikan Ben Bernanke. Pada paparan pertama Janet di hadapan parlemen AS, Guru Besar dan ekonom Emeritus di University of California, Berkeley's Haas School of Business itu mengungkapkan bahwa dalam jangka pendek kebijakan AS akan menggugurkan dana-dana asing yang ada di beberapa negara, termasuk Indonesia.
Menurut laporan dari Dewan Gubernur Kebijakan Moneter The Fed, bahwa emerging market akan makin volatile sebagai dampak dari kebijakan penghentian pelonggaran moneter (quantitative easing) dan juga karena kejadian-kejadian domestik. Dewan The Fed mengatakan bahwa ada tanda-tanda bahwa investor telah memilah-milah di antara ekonomi-ekonomi di emerging market.
“Investor tampak sudah memilah-milah, berdasarkan kerapuhan ekonomi negara-negara itu,” demikian Laporan Kebijakan Moneter yang disampaikan The Fed ke Parlemen.
Laporan The Fed yang juga menyertakan indek kerapuhan ekonomi menyatakan, “Brazil, India, Afrika Selatan dan Turki adalah di antara beberapa negara yang tampaknya akan sangat terimbas (kebijakan tapering off).”
Kebijakan atau rencana itu jelas menjadi peringatan dini buat otoritas Indonesia untuk segera bersiap-siap menghadapi kemungkinan pelarian modal dalam beberapa bulan ke depan. Yanuar Rizki, analis pasar keuangan mengatakan peringatan dari The Fed itu memberikan kesempatan kepada kelima negara tersebut agar bisa menyiapkan mitigasi dan kebijakan jangka pendek.
Menurut dia, yang terjadi saat ini, investor pasar uang, yang kebanyakan adalah spekulan jangka pendek, tengah mencoba mengerek rupiah terus ke posisi yang paling tinggi. Tujuannya tentu ketika rupiah ambruk jika kebijakan The Fed jadi dilaksanakan, mereka akan mengeruk keuntungan dari margin yang lebar.
“Investor yang banyak di Indonesia merupakan spekulan dengan berbagai aksi spekulasinya. Ketika dollar AS melemah terhadap rupiah yang dilakukan spekulan ini adalah belanja sebanyak mungkin, dan terus mencoba menekan dollar AS ke level bawah,” kata Yanuar.
Bank Indonesia, meski demikian, tentu sudah menyadari risiko tersebut. Kendati uang panas yang masuk ke pasar keuangan dalam negeri jumlahnya besar dan semestinya cukup untuk membawa rupiah ke posisi yang lebih kuat dari sekarang, namun BI selalu mengawalnya sehingga penguatan rupiah berlangsung secara bertahap.
BI tentu mafhum  bahwa dalam beberapa bulan terakhir, pasar terus diramaikan dengan kekhawatiran pembalikan modal akibat kebijakan tapering-off dari The Fed. Di sisi lain,bank sentral juga was-was terkait kinerja neraca perdagangan dengan spread yang terus menyempit sejak akhir tahun 2011.
Oleh sebab itulah, BI terus memantau perkembangan menit per menit pasar uang dan segera turun ketika dibutuhkan. Sepanjang Desember tahun lalu hingga Februari kemarin kegiatan operasi moneter pun terlihat ada sedikit lonjakan. Dalam periode tersebut BI mengintervensi pasar uang rata-rata sebesar 24,28 miliar dollar AS, sedikit lebih tinggi dibanding periode September-November 2013 yang mencapai 22,85 miliar dollar AS.
Menurut Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia Tirta Segara, bank sentral saat ini terus konsentrasi pada inflasi dan defisit transaksi berjalan. “Kami akan tetap menjaga kondisi ekonomi kita tetap stabil, jadi kan investor itu konsentrasi dengan inflasi, pemerintah konsentrasi dengan CAD (current account defisit),” kata Tirta.
Sepanjang tahun lalu, defisit transaksi berjalan terus membesar dan mencapai 4,4 persen di akhir tahun. Total defisit pada tahun 2013 sebesar 28,45 miliar dollar AS, naik 16,51 persen dari tahun 2012. Pada tahun ini BI menyatakan defisit neraca transaksi berjalan akan mencapai 2 persen.
Data Januari 2014 menunjukan neraca perdagangan membukukan defisit 431 juta dollar AS, jauh lebih besar dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang sebesar 75 juta dollar AS. Ekspor turun 5,79 persen (year-on-year) menjadi 14,48 miliar dollar AS sementara impor turun 3,46 persen menjadi 14,92 miliar dollar AS.
Sementara itu, aset portofolio pasar modal asing bertambah cukup signifikan pada Januari-Februari 2014. Aset dalam bentuk saham bertambah Rp110,78 triliun atau setara 9,23 miliar dollar AS. Aset obligasi (obligasi korporasi dan pemerintah) turun 986 ribu dollar AS pada Januari, namun naik 10,48 juta dollar AS pada Februari. Aset surat berharga negara (termasuk Repo SUN) bertambah Rp5,32 triliun (437 juta dollar AS) pada Januari dan Rp16,17 triliun (1,37 miliar dollar AS). Sementara pada Sertifikat Bank Indonesia (SBI) jumlahnya mencapai 241 juta dollar AS.
Lalu pertanyaannya sampai kapan apresiasi rupiah ini terus berlangsung? Menurut Yanuar, kondisi itu bisa berlangsung hingga Juni 2014 di saat bank sentral AS menggelar rapat moneter dewan gubernur, dan memutuskan suatu kebijakan. “Kita lihat apakah on track untuk tapering dan menaikkan suku bunga. Jika benar terjadi maka outlflow dalam tempo singkat akan terjadi di rupiah," kata dia.
Jadi, sementara ini silakan dulu nikmati penguatan rupiah terhadap dollar AS minimal hingga Juni.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar