Senin, 07 April 2014

Tumbuh Anorganik di Tahun Politik

Bank-bank mulai bersiap menjalankan strategi pertumbuhan anorganik ketika melihat ekspansi bisnis secara internal berhadapan dengan kondisi ekonomi politik yang cukup berat.

Bisnis –apapun industrinya, kerapkali menghadapi jalan berbatu dan menanjak. Pada saat itulah perusahaan harus mencari rute baru untuk ekspansi bisnisnya agar pertumbuhan tetap bisa berlanjut. Bank pun tak berbeda dengan itu.
Tahun ini, perbankan harus menghadapi tembok tebal nan terjal dan dibutuhkan jalan alternatif untuk menembusnya demi menjaga pertumbuhan bisnis. Dampak getaran pasar modal tahun lalu terhadap ekonomi yang masih terasa hingga sekarang ditambah dengan situasi politik yang mulai menghangat menjelang pemilihan umum baik legistlatif maupun presiden, membuat banyak bank menunda ekspansi bisnisnya. 
Akan tetapi pengelola bank tetap mendapatkan tuntutan dari pemegang saham untuk meningkatkan apa yang telah dicapai tahun lalu. Karena menganggap strategi pertumbuhan yang mengandalkan ekspansi bisnis internal yang harus menunggu hasilnya secara bertahap tidak bisa efektif tahun ini, maka bank memutuskan untuk menerapkan strategi pertumbuhan anorganik. Selain itu strategi anorganik juga digunakan untuk mengamankan sayap-sayap bisnis yang bisa makin melengkapi layanan bank. Metode pertumbuhan alternatif tersebut bersumber pada strategi merger dan akuisisi serta join venture.
Beberapa bank bermodal raksasa sudah terang-terangan akan melakukan strategi pertumbuhan anorganik tahun ini. Sebut saja Bank Mandiri. Tahun ini, bank berlogo pita emas ini berambisi mengakuisisi sebuah bank dan asuransi yang beraset lebih dari Rp1 triliun. Salah satu bank yang ditenggarai masuk dalam pipeline untuk diakuisisi oleh Bank Mandiri adalah PT Bank Tabungan Negara Tbk (Persero). Sementara target perusahaan asuransi telah terpenuhi awal tahun ini dengan mengakusisi PT Asuransi Jiwa Inhealth, anak usaha PT Askes (yang menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan).
Petinggi bank beraset tergemuk itu mengakui bahwa aksi mengincar perusahaan lain bertujuan mempercepat pertumbuhan sekaligus melengkapi jaringan perusahaan. Pahala N. Mansury, Direktur Keuangan dan Strategi Bank Mandiri, mengatakan pertumbuhan anorganik ini sebenarnya telah dimasukkan dalam rencana bisnis bank tahun lalu.
Namun karena sejumlah dana untuk tumbuh secara anorganik itu baru terealisasi penuh tahun ini maka baru dilakukan saat ini. Kabar yang beredar, bank hasil merger empat bank 15 tahun lalu mengincar Bank BTN, penguasa kredit perumahan.
Disebutkan setidaknya dana sebesar Rp10 triliun dianggarkan Bank Mandiri untuk menyiapkan dua aksi akuisisi tersebut. “Pertumbuhan anorganik merupakan strategi perseroan untuk mempercepat pertumbuhan dan memperkuat jaringan sebagai sebuah lembaga keuangan terbesar,” kata Pahala. Bank Mandiri saat ini telah memiliki sejumlah anak usaha yang bergerak di berbagai industri seperti Bank Syariah Mandiri, Bank Sinar Harapan Bali, Mandiri Sekuritas, Mandiri Tunas Finance, dan AXA Mandiri.
Selain Mandiri, bank kelas kakap lainnya yang juga bersiap mengakuisisi perusahaan lain adalah BRI. Bank yang dalam lima tahun terakhir selalu memimpin perolehan laba industri juga tengah mengincar bank lain yang memiliki fokus bisnis sama. Isu yang santer beredar, BRI juga mengincar BTN, selain juga desas-desus akan mengakuisisi Bank Bukopin.
Saat ini, BRI memiliki dua anak usaha anak bank, yakni PT Bank BRI Syariah dan PT Bank Rakyat Indonesia Agroniaga Tbk. Rencananya, kata Achmad Baiquni, Direktur Keuangan BRI, BRI Agro akan dimerger dengan bank yang kini menjadi incaran perseroan agar skala anak usaha menjadi lebih besar.
Ada pula Bank Jawa Barat & Banten (BJB). Bank daerah yang serius pindah kelas menjadi bank nasional itu juga berencana mengakuisisi perusahaan asuransi umum dan multifinance pada tahun ini. Bien Subiantoro, Direktur Utama Bank BJB, mengatakan perseroan telah menganggarkan dana sebesar Rp 200 miliar untuk akuisisi kedua perusahaan tersebut. “Kami sudah close to deal, namun belum bisa kami sebutkan namanya," kata Bien .
Sementara itu, Bank BTN, yang tengah menjadi incaran bank lain untuk diakuisisi justru telah bersepakat dengan PT Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo) untuk mendirikan perusahaan joint venture asuransi jiwa. Modal Awal Kedua perusahaan itu menyiapkan dana sekitar Rp 300 miliar untuk modal awal perusahaan asuransi jiwa. Direktur Utama BTN Maryono mengungkapkan, BTN tetap ingin menjadi yang mayoritas.
Ambisi juga datang dari Bank Central Asia (BCA). Bank swasta terbesar ini menargetkan, anak usaha yang bergerak di bidang asuransi jiwa bisa segera beroperasi di semester pertama tahun ini. BCA juga telah memiliki anak usaha yang bergerak di bidang asuransi umum, yaitu PT Central Sejahtera Insurance.
BCA terlihat lebih ingin mendirikan perusahaan sendiri ketimbang mengakuisisi perusahaan asuransi jiwa yang telah ada. Pasalnya, BCA berniat mengembangkan business model calon anak usahanya tersebut sejak mula berdiri nanti. “Banyak perusahaan asuransi jiwa yang menawarkan diri kepada kami untuk joint venture (patungan), tapi kami tidak mau,” imbuh Henry Koenaifi , Direktur Konsumer BCA. Untuk itu, BCA menyiapkan dana sebesar Rp 100 miliar untuk modal minimum sesuai ketentuan.
Ambisi untuk tumbuh secara anorganik juga datang dari Bank Permata. Bank anak usaha Astra International ini berharap bisa merampungkan transaksi penyertaan saham di Astra Sedaya Finance (ASF), yang merupakan sister company-nya.
Herwidayatmo, Wakil Presiden Direktur Permata, berharap bisa menyuntikkan penambahan modal di ASF pada tahun ini juga. Dana dari rights issue dan obligasi yang sudah diterbitkan akan digunakan untuk menambahkan kepemilikan di ASF. Catatan saja, belum lama ini Bank Permata menerbitkan obligasi subordinasi berkelanjutan senilai Rp 1 triliun. Dana obligasi sebanyak Rp 800 miliar disuntikan ke ASF.

Keefektifan Anorganik
Dalam sebuah publikasi triwulanan dari McKinsey, disebutkan bahwa pertumbuhan sebuah perusahaan dibedakan menjadi tiga komponen utama yang mengukur pertumbuhan negatif dan positif.
Pertama adalah momentum portofolio. Istilah tersebut berarti pertumbuhan pendapatan organik yang dicapai perusahaan melalui pertumbuhan segmen pasar, yang mana hal itu terlihat pada portofolionya. Perusahaan dapat mempengaruhi momentum portofolio dalam beberapa cara. Salah satunya adalah memilih akuisisi dan divestasi, yang mempengaruhi eksposur perusahaan untuk menjaga pertumbuhan pasar. Lainnya adalah menciptakan pertumbuhan untuk pasar misalnya, dengan memperkenalkan sebuah kategori produk baru. Momentum portofolio (termasuk efek mata uang) juga berarti sebuah ukuran kinerja strategis.
Kedua, merger dan akuisisi (M&A), yaitu pertumbuhan anorganik yang dicapai perusahaan ketika membeli dan menjual revenue-nya lewat akuisisi atau divestasi.
Ketiga, kinerja pangsa pasar, yaitu pertumbuhan organik yang dicatat perusahaan dengan memperoleh atau kehilangan pangsa pasar. “Kami mendefinisikan pangsa pasar dengan rata-rata tertimbang saham perusahaan dari segmen di mana ia bersaing,” kata publikasi McKinsey.
Banyak pihak yang sepakat bahwa pertumbuhan dalam operasi bisnis yang muncul dari merger atau akuisisi bisa lebih cepat daripada peningkatan kegiatan usaha perusahaan sendiri. Perusahaan yang memilih untuk tumbuh anorganik dapat memperoleh akses ke pasar baru dan ide-ide segar yang akan tersedia jika merger dan akuisisi sukses dilaksanakan.
Karena itu pulalah, bankir-bankir di Indonesia cenderung lebih memilih startegi itu . Berdasarkan hasil survei PwC Indonesia tahun lalu, sebanyak 46 persen dari responden mengatakan strategi anorganik telah masuk dalam rencana bisnis bank. Survei ini ditujukan kepada 82 bankir senior dari berbagai bank, termasuk bank asing. Tingkat representasi responden mencapai 74 persen dari total aset perbankan nasional.
Keuntungan menjalankan strategi anorganik, bank akan memiliki garis kredit yang lebih kuat dan luas karena nilai gabungan dari kedua usaha. Perusahaan juga akan mendapatkan keuntungan dari keahlian tambahan dari personil pada bisnis baru. Bahkan perusahaan dapat menghemat banyak uang untuk memasuki bisnis baru dibandingkan jika harus mendirikan perusahaan sendiri dari nol.
Meskipun metode ini jauh lebih cepat daripada metode pertumbuhan organik, pertumbuhan anorganik membawa risiko yang lebih besar. Hal ini sering sangat mahal untuk membeli sebuah bisnis, bahkan jika bisnis yang diakuisisi dalam kesulitan keuangan. Karena itu, akuisisi harus direncanakan hati-hati untuk memastikan bahwa sebuah usaha itu layak dibeli.
Selain itu, ketika menganalisis akuisisi, adalah penting untuk menyadari bahwa bisnis tidak hanya membeli barang-barang berwujud seperti karyawan, saham dan bangunan, tetapi juga materi intangible seperti reputasi, kekayaan intelektual, kewajiban dan goodwill. Setelah proses akuisisi selesai, proses selanjutnya yaitu integrasi harus hati-hati dikelola sehingga kelancaran transisi berlangsung tanpa kehilangan nilai dalam perusahaan yang diakuisisi.
Direktur Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Ignatius Soepomo mengatakan bahwa keberhasilan strategi akuisisi tergantung pada dua pihak, baik yang mengakuisisi atau yang diakuisisi. Dalam jangka pendek, kata dia, strategi anorganik bisa meningkatkan aset, namun peningkatan earning merupakan sesuatu yang lain. “Dalam jangka panjang keduanya bisa terjadi (kenaikan aset dan earning). Tetapi tergantung kesehatan perusahaan yang diakuisi. Kalau sama-sama bagus, bisa memberikan  kontribusi untuk earning,” kata Soepomo.
Jadi, apakah itu strategi ‘membangun dari dalam’ maupun ‘membeli lembaga dari luar’, keduanya bisa sama-sama efektif. Meski begitu, keduanya memiliki risiko-risiko tersendiri yang harus secara hati-hati diperhatikan dengan cermat agar bisa berdampak positif kepada perusahaan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar