Bank-bank mulai bersiap menjalankan strategi pertumbuhan
anorganik ketika melihat ekspansi bisnis secara internal berhadapan dengan kondisi
ekonomi politik yang cukup berat.
Bisnis –apapun industrinya, kerapkali menghadapi jalan
berbatu dan menanjak. Pada saat itulah perusahaan harus mencari rute baru untuk
ekspansi bisnisnya agar pertumbuhan tetap bisa berlanjut. Bank pun tak berbeda
dengan itu.
Tahun ini, perbankan harus menghadapi tembok tebal nan
terjal dan dibutuhkan jalan alternatif untuk menembusnya demi menjaga
pertumbuhan bisnis. Dampak getaran pasar modal tahun lalu terhadap ekonomi yang
masih terasa hingga sekarang ditambah dengan situasi politik yang mulai
menghangat menjelang pemilihan umum baik legistlatif maupun presiden, membuat
banyak bank menunda ekspansi bisnisnya.
Akan tetapi pengelola bank tetap mendapatkan tuntutan dari
pemegang saham untuk meningkatkan apa yang telah dicapai tahun lalu. Karena
menganggap strategi pertumbuhan yang mengandalkan ekspansi bisnis internal yang
harus menunggu hasilnya secara bertahap tidak bisa efektif tahun ini, maka bank
memutuskan untuk menerapkan strategi pertumbuhan anorganik. Selain itu strategi
anorganik juga digunakan untuk mengamankan sayap-sayap bisnis yang bisa makin
melengkapi layanan bank. Metode pertumbuhan alternatif tersebut bersumber pada
strategi merger dan akuisisi serta join
venture.
Beberapa bank bermodal raksasa sudah terang-terangan akan melakukan
strategi pertumbuhan anorganik tahun ini. Sebut saja Bank Mandiri. Tahun ini,
bank berlogo pita emas ini berambisi mengakuisisi sebuah bank dan asuransi yang
beraset lebih dari Rp1 triliun. Salah satu bank yang ditenggarai masuk dalam pipeline untuk diakuisisi oleh Bank
Mandiri adalah PT Bank Tabungan Negara Tbk (Persero). Sementara target
perusahaan asuransi telah terpenuhi awal tahun ini dengan mengakusisi PT
Asuransi Jiwa Inhealth, anak usaha PT Askes (yang menjadi Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial Kesehatan).
Petinggi bank beraset tergemuk itu mengakui bahwa aksi
mengincar perusahaan lain bertujuan mempercepat pertumbuhan sekaligus
melengkapi jaringan perusahaan. Pahala N. Mansury, Direktur Keuangan dan
Strategi Bank Mandiri, mengatakan pertumbuhan anorganik ini sebenarnya telah
dimasukkan dalam rencana bisnis bank tahun lalu.
Namun karena sejumlah dana untuk tumbuh secara anorganik itu
baru terealisasi penuh tahun ini maka baru dilakukan saat ini. Kabar yang
beredar, bank hasil merger empat bank 15 tahun lalu mengincar Bank BTN,
penguasa kredit perumahan.
Disebutkan setidaknya dana sebesar Rp10 triliun dianggarkan
Bank Mandiri untuk menyiapkan dua aksi akuisisi tersebut. “Pertumbuhan
anorganik merupakan strategi perseroan untuk mempercepat pertumbuhan dan
memperkuat jaringan sebagai sebuah lembaga keuangan terbesar,” kata Pahala.
Bank Mandiri saat ini telah memiliki sejumlah anak usaha yang bergerak di
berbagai industri seperti Bank Syariah Mandiri, Bank Sinar Harapan Bali,
Mandiri Sekuritas, Mandiri Tunas Finance, dan AXA Mandiri.
Selain Mandiri, bank kelas kakap lainnya yang juga bersiap
mengakuisisi perusahaan lain adalah BRI. Bank yang dalam lima tahun terakhir
selalu memimpin perolehan laba industri juga tengah mengincar bank lain yang
memiliki fokus bisnis sama. Isu yang santer beredar, BRI juga mengincar BTN,
selain juga desas-desus akan mengakuisisi Bank Bukopin.
Saat ini, BRI memiliki dua anak usaha anak bank, yakni PT
Bank BRI Syariah dan PT Bank Rakyat Indonesia Agroniaga Tbk. Rencananya, kata
Achmad Baiquni, Direktur Keuangan BRI, BRI Agro akan dimerger dengan bank yang
kini menjadi incaran perseroan agar skala anak usaha menjadi lebih besar.
Ada pula Bank Jawa Barat & Banten (BJB). Bank daerah
yang serius pindah kelas menjadi bank nasional itu juga berencana mengakuisisi
perusahaan asuransi umum dan multifinance
pada tahun ini. Bien Subiantoro, Direktur Utama Bank BJB, mengatakan perseroan
telah menganggarkan dana sebesar Rp 200 miliar untuk akuisisi kedua perusahaan
tersebut. “Kami sudah close to deal,
namun belum bisa kami sebutkan namanya," kata Bien .
Sementara itu, Bank BTN, yang tengah menjadi incaran bank
lain untuk diakuisisi justru telah bersepakat dengan PT Asuransi Jasa Indonesia
(Jasindo) untuk mendirikan perusahaan joint
venture asuransi jiwa. Modal Awal Kedua perusahaan itu menyiapkan dana
sekitar Rp 300 miliar untuk modal awal perusahaan asuransi jiwa. Direktur Utama
BTN Maryono mengungkapkan, BTN tetap ingin menjadi yang mayoritas.
Ambisi juga datang dari Bank Central Asia (BCA). Bank swasta
terbesar ini menargetkan, anak usaha yang bergerak di bidang asuransi jiwa bisa
segera beroperasi di semester pertama tahun ini. BCA juga telah memiliki anak
usaha yang bergerak di bidang asuransi umum, yaitu PT Central Sejahtera Insurance.
BCA terlihat lebih ingin mendirikan perusahaan sendiri
ketimbang mengakuisisi perusahaan asuransi jiwa yang telah ada. Pasalnya, BCA
berniat mengembangkan business model calon anak usahanya tersebut sejak mula
berdiri nanti. “Banyak perusahaan asuransi jiwa yang menawarkan diri kepada
kami untuk joint venture (patungan), tapi kami tidak mau,” imbuh Henry Koenaifi
, Direktur Konsumer BCA. Untuk itu, BCA menyiapkan dana sebesar Rp 100 miliar
untuk modal minimum sesuai ketentuan.
Ambisi untuk tumbuh secara anorganik juga datang dari Bank
Permata. Bank anak usaha Astra International ini berharap bisa merampungkan
transaksi penyertaan saham di Astra Sedaya Finance (ASF), yang merupakan sister company-nya.
Herwidayatmo, Wakil Presiden Direktur Permata, berharap bisa
menyuntikkan penambahan modal di ASF pada tahun ini juga. Dana dari rights issue dan obligasi yang sudah
diterbitkan akan digunakan untuk menambahkan kepemilikan di ASF. Catatan saja,
belum lama ini Bank Permata menerbitkan obligasi subordinasi berkelanjutan
senilai Rp 1 triliun. Dana obligasi sebanyak Rp 800 miliar disuntikan ke ASF.
Keefektifan Anorganik
Dalam sebuah publikasi triwulanan dari McKinsey, disebutkan
bahwa pertumbuhan sebuah perusahaan dibedakan menjadi tiga komponen utama yang
mengukur pertumbuhan negatif dan positif.
Pertama adalah momentum
portofolio. Istilah tersebut berarti pertumbuhan pendapatan organik yang
dicapai perusahaan melalui pertumbuhan segmen pasar, yang mana hal itu terlihat
pada portofolionya. Perusahaan dapat mempengaruhi momentum portofolio dalam
beberapa cara. Salah satunya adalah memilih akuisisi dan divestasi, yang
mempengaruhi eksposur perusahaan untuk menjaga pertumbuhan pasar. Lainnya
adalah menciptakan pertumbuhan untuk pasar misalnya, dengan memperkenalkan
sebuah kategori produk baru. Momentum portofolio (termasuk efek mata uang) juga
berarti sebuah ukuran kinerja strategis.
Kedua, merger dan
akuisisi (M&A), yaitu pertumbuhan anorganik yang dicapai perusahaan ketika
membeli dan menjual revenue-nya lewat
akuisisi atau divestasi.
Ketiga, kinerja
pangsa pasar, yaitu pertumbuhan organik yang dicatat perusahaan dengan
memperoleh atau kehilangan pangsa pasar. “Kami mendefinisikan pangsa pasar
dengan rata-rata tertimbang saham perusahaan dari segmen di mana ia bersaing,”
kata publikasi McKinsey.
Banyak pihak yang sepakat bahwa pertumbuhan dalam operasi
bisnis yang muncul dari merger atau akuisisi bisa lebih cepat daripada
peningkatan kegiatan usaha perusahaan sendiri. Perusahaan yang memilih untuk
tumbuh anorganik dapat memperoleh akses ke pasar baru dan ide-ide segar yang
akan tersedia jika merger dan akuisisi sukses dilaksanakan.
Karena itu pulalah, bankir-bankir di Indonesia cenderung
lebih memilih startegi itu . Berdasarkan hasil survei PwC Indonesia tahun lalu,
sebanyak 46 persen dari responden mengatakan strategi anorganik telah masuk
dalam rencana bisnis bank. Survei ini ditujukan kepada 82 bankir senior dari
berbagai bank, termasuk bank asing. Tingkat representasi responden mencapai 74
persen dari total aset perbankan nasional.
Keuntungan menjalankan strategi anorganik, bank akan memiliki
garis kredit yang lebih kuat dan luas karena nilai gabungan dari kedua usaha. Perusahaan
juga akan mendapatkan keuntungan dari keahlian tambahan dari personil pada
bisnis baru. Bahkan perusahaan dapat menghemat banyak uang untuk memasuki
bisnis baru dibandingkan jika harus mendirikan perusahaan sendiri dari nol.
Meskipun metode ini jauh lebih cepat daripada metode
pertumbuhan organik, pertumbuhan anorganik membawa risiko yang lebih besar. Hal
ini sering sangat mahal untuk membeli sebuah bisnis, bahkan jika bisnis yang
diakuisisi dalam kesulitan keuangan. Karena itu, akuisisi harus direncanakan hati-hati
untuk memastikan bahwa sebuah usaha itu layak dibeli.
Selain itu, ketika menganalisis akuisisi, adalah penting
untuk menyadari bahwa bisnis tidak hanya membeli barang-barang berwujud seperti
karyawan, saham dan bangunan, tetapi juga materi intangible seperti reputasi, kekayaan intelektual, kewajiban dan goodwill. Setelah proses akuisisi
selesai, proses selanjutnya yaitu integrasi harus hati-hati dikelola sehingga
kelancaran transisi berlangsung tanpa kehilangan nilai dalam perusahaan yang
diakuisisi.
Direktur Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI)
Ignatius Soepomo mengatakan bahwa keberhasilan strategi akuisisi tergantung
pada dua pihak, baik yang mengakuisisi atau yang diakuisisi. Dalam jangka
pendek, kata dia, strategi anorganik bisa meningkatkan aset, namun peningkatan
earning merupakan sesuatu yang lain. “Dalam jangka panjang keduanya bisa
terjadi (kenaikan aset dan earning). Tetapi tergantung kesehatan perusahaan
yang diakuisi. Kalau sama-sama bagus, bisa memberikan kontribusi untuk earning,” kata Soepomo.
Jadi, apakah itu strategi ‘membangun dari dalam’ maupun
‘membeli lembaga dari luar’, keduanya bisa sama-sama efektif. Meski begitu,
keduanya memiliki risiko-risiko tersendiri yang harus secara hati-hati
diperhatikan dengan cermat agar bisa berdampak positif kepada perusahaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar