Edukasi keuangan merupakan program penting dalam mendongkrak
literasi keuangan. Dan permainan-permainan yang didesain untuk memberi
pemahaman mengenai produk dan layanan keuangan adalah ujung tombaknya.
Negara berkembang selalu menjadi contoh tentang bagaimana ketertinggalan
dalam bidang ekonomi bisa dilihat dan disaksikan. Di sana bisa dilihat jurang
yang cukup lebar, yang membedakannya dengan yang sudah berkembang. Namun
demikian untuk soal literasi keuangan, keduanya tidak terlalu berbeda jauh.
Negara-negara maju ternyata juga memiliki masalah dengan tingkat melek keuangan
warganya, seperti halnya di negara-negara berkembang.
Ya, tingkat literasi keuangan memang menjadi masalah yang bisa
disaksikan di semua negara. Sebut saja Amerika Serikat, sang adidaya
perekonomian ini baru memulai program literasi keuangan yang resmi diinisiasi
oleh negara yaitu ketika Presiden George Bush berkuasa pada 2008.
Pada Januari tahun itu, pemerintahan Bush menunjuk John
Bryant, seorang pegiat pendidikan keuangan, untuk menjadi wakil ketua di Dewan
Literasi Keuangan di AS. John, selama bertahun-tahun aktif memberikan edukasi
soal keuangan di AS dan sejak 1992 mendirikan organisasi non profit yang dinamakan
HOPE. Organisasi itu bertujuan memberi orang miskin yang merupakan bagian
paling parah dari AS bimbingan bukan bantuan materi melalui pendidikan
keuangan, dan pengetahuan mengenai dasar perbankan. Dewan itu sendiri dipimpin
oleh Charles Schwab, mantan pimpinan sebuah perusahaan pialang.
Pendirian badan yang mengelola program literasi keuangan AS itu
adalah bagian dari respons krisis keuangan saat itu yang disebabkan ambruknya
sektor perumahan. Saat itu, banyak dari masyarakat yang meminjam uang yang tidak
mengerti akan risiko dari tindakannya itu, seperti tidak menyadari bahwa
pembayaran bulanan mereka akan naik jika suku bunga naik.
Bahkan berdasarkan studi dari Annamaria Lusardi dari The
George Washington University
School of Business yang dikutip dari Finra, sebuah yayasan
pendidikan buat investor, literasi keuangan di negara-negara maju juga masih
rendah.
Data melek finansial yang dirangkum dari hasil penelitian
Lusardi pada 2013 menyimpulkan bahwa di delapan negara yang sudah berkembang,
terdapat kesamaan bahwa masyarakatnya masih banyak yang buta keuangan.
Di Amerika Serikat, hanya 30 persen dari populasi mampu
menjawab dengan benar semua tiga pertanyaan yang diajukan dalam survei Lusardi.
Salah satu pertanyaan dalam penelitian itu adalah: jika Anda memiliki 100 dollar
AS dalam rekening tabungan dan tingkat bunga 2 persen per tahun. Setelah lima
tahun, berapa banyak yang Anda akan memiliki dalam rekening jika Anda mendiamkan
uang itu?
Hasil yang sama ditemukan di Jerman, Belanda, Swedia, Italia,
Jepang dan Selandia Baru, negara-negara di mana pasar keuangan berkembang
dengan baik. Juga di Rusia, negara di mana pasar keuangan berubah dengan cepat.
Merancang Permainan
Indonesia juga punya masalah
yang sama soal literasi keuangan, bahkan lebih pelik. Berdasarkan survei yang
dilakukan Otoritas Jasa Keuangan 2013, tingkat literasi keuangan masyarakat
masih sangat rendah, hanya sekitar 2 dari 10 orang yang disurvei mengetahui
tentang lembaga dan produk keuangan.
Karena itu tidaklah berlebihan
jika di tahun yang sama, lembaga pengawas industri keuangan, mendesak agar
seluruh pihak terutama perusahaan jasa keuangan ikut mengedukasi masyarakat
Indonesia. OJK sudah menerbitkan aturan yang mewajibkan seluruh lembaga
keuangan memiliki program edukasi keuangan untuk nasabah dan non-nasabahnya
dalam rangka mendorong tingkat melek keuangan.
Kini hampir semua bank memiliki
program edukasi keuangan, selain untuk mendongkrak tingkat literasi bank juga
ingin ada keuntungan buat dirinya seperti bertambahnya nasabah atau
meningkatnya penjualan produk. Akan tetapi yang perlu diperhatikan adalah
seberapa efektif program itu untuk untuk meningkatkan kecerdasan masyarakat
mengingat persoalan finansial adalah bidang yang rumit bahkan oleh mereka yang
sudah bergelar sarjana sekalipun.
Hampir semua bank, oleh karena
itu meluncurkan program edukasi berupaya permainan. Pengelola bank paham bahwa
mengajarkan persoalan-persoalan rumit melalui cara menyenangkan semisal lewat
permainan sangat efektif. Metode quantum
learning, yang dikembangkan oleh ahli-ahli pendidikan lebih dari satu
dasawarsa lalu yang salah satunya mendorong cara belajar dengan menciptakan
pengalaman virtual, juga menyimpulkan betapa efektifnya permainan dalam
menanamkan pelajaran.
Atas dasar itulah orang-orang
yang biasa bergelut dalam industri keuangan ini membuat sebuah pendekatan yang
lebih ‘ramah’ untuk masyarakat yang memang belum mengenal lembaga keuangan,
apalagi produk-produknya. Caranya adalah dengan membawa mereka seolah-olah
sedang berhadapan dengan kenyataan bahwa mereka tengah menggunakan
produk-produk keuangan sesungguhnya.
Seperti yang dilakukan raksasa
keuangan Citibank di Indonesia. Lembaga keuangan asal AS ini menggunakan media
pertunjukan drama sebagai sarana mengedukasi anak-anak dan remaja perihal
keuangan. Pertunjukan teater yang berjudul ‘Petualangan Agen Penny’ menampilkan
tokoh dua agen khusus, yaitu Agen Penny dan Will Power, yang akan membantu
siswa memahami cara mengelola keuangan, dari membuat anggaran sederhana,
mengatur pengeluaran, serta kebiasaan menabung.
Atau juga oleh Visa
Internasional. Penyedia layanan sistem pembayaran ini menggandeng Marvel
Comics, penerbit cerita bergambar terkemuka AS untuk meluncurkan komik The
Avengers: Saving. The Day. Komik ini
mengisahkan bagaimana para pahlawan super, termasuk Spider-Man, Iron Man, Thor,
Hulk dan Black Widow, berjuang mencegah dan membekuk pelaku perampokan bank
oleh musuh bebuyutan mereka sambil mempelajari hal-hal berharga tentang
mengelola keuangan pribadi.
Visa juga berkolaborasi dengan Asosiasi
Kartu Kredit Indonesia (AKKI) membuat situs program edukasi pengelolaan
keuangan, www.practicalmoneyskills.co.id.
Bahkan lembaga itu juga menggunakan pendekatan permainan sepak bola, olah raga
yang digemari di hampir seluruh negara di dunia.
Bank nasional juga tak mau kalah.
Adalah Bank BNI yang sudah setahun belangan ini mempopulerkan apa yang
dinamakan Financial Board Game,
sebuah permainan mirip monopoli yang selama ini dikenal luas masyarakat sebagai
permainan memupuk kekayaan. Menurut Alwas Kurniadi Yarman, Kepala Divisi Wealth
Management BNI, papan permainan ini memang didesain agar bisa mengasah
ketrampilan dan melatih kecerdasan nasabah dalam mengelola keuangan untuk secara
menyenangkan.
“BNI Financial Board Game ini
bukan sekedar permainan biasa, kita bisa belajar banyak hal tentang bagaimana
mengelola keuangan-investasi-asuransi sampai sedekah, yang jika dilatih secara
rutin akan mampu mempertajam financial
IQ kita,” kata Alwas.
Menjamin Stabilitas
Keterlibatan bank-bank untuk
melakukan edukasi nasabah soal keuangan memang sudah diharuskan oleh otoritas. Saking
pentingnya literasi keuangan, aturan pertama yang diterbitkan OJK ketika
lembaga itu resmi berdiri pada 2013 adalah kewajiban pelaku jasa keuangan untuk
melaporkan edukasi keuangan yang dilakukan pada setiap tahun berjalan. Program
edukasi keuangan juga harus disebutkan pada Rencana Bisnis Bank (RBB) yang
dibuat tiap tahun dan direvisi dipertengahan tahunnya. Bank juga harus
melaporkan perkembangan dari program tersebut kepada OJK mulai September ini. Dalam
laporan itu ada rincian, apa programnya, siapa target audiennya, di mana,
berapa kali dalam sebulan dan lain-lain.
Program edukasi masyarakat untuk
meningkatkan literasi keuangan, efektif berlaku Agustus lalu, meski aturannya
sudah keluar tahun lalu. Otoritas memberi kesempatan lembaga keuangan untuk
mempersiapkannya terlebih dahulu selama setahun.
Otoritas memiliki beberapa alasan
mengapa harus menggandeng dan mewajibkan industri dalam mengedukasi masyarakat
perihal lembaga dan produk keuangan. Pertama,
sudah barang tentu OJK tidak bisa melakukan sendirian mengingat luasnya wilayah
dan banyaknya jumlah orang di Indonesia. “Kami tidak bisa melakukan sendirian,
kami ada keterbatasan, jadi kami harus bekerja sama dengan seluruh sektor
melalui asosiasi,” kata Sri Rahayu Widodo, Deputi Komisioner OJK Bidang Edukasi
dan Perlindungan Konsumen.
Kedua, agar tidak muncul kecurigaan jikalau OJK hanya akan
mempromosikan produk dari beberapa bank. Pada saat edukasi seringkali nasabah
langsung bertanya produk apa saja yang bisa dia beli atau miliki. Nah, di saat inilah keberadaan asosiasi
atau lembaga keuangan menemukan perannya dan bukan otoritas. “Kami tak boleh
menjadi bagian dari promosi produk-produk sebuah lembaga keuangan, itu tugasnya
lembaga,” kata Sri Rahayu yang akrab dipanggil Wiwi.
Mengenai munculnya cara edukasi
lewat beragam permainan yang diciptakan bank, OJK mengatakan hal itu merupakan
strategi masing-masing lembaga. Meski begitu, Wiwi sependapat bahwa games, role play, dan strategi
pendidikan keuangan yang bersifat ringan memang sejalan dengan tujuan agar
lebih banyak masyarakat yang paham keuangan.
Di OJK sendiri memiliki beberapa
permainan edukasi untuk anak-anak seperti yang bisa diunduh di
http://sikapiuangmu.ojk.go.id/. Di antaranya games ‘Puzzle Tabunganku’, yang mana
anak-anak diajari mengenai manfaat menabung dan dapat belajar mengelola dan
menghargai uang yang dimilikinya. Ada pula permainan ‘Ayo Menabung’, yang
mengandalkan kecepatan memindahkan uang-uang koin ke dalam celengan. Makin
banyak koin yang dikumpulkan makin besar jumlah uang yang akan dimiliki untuk
bisa membeli barang di toko. Terakhir, yaitu permainan ‘Temukan Produknya’.
Game ini berusaha mengenalkan produk-produk keuangan dengan mendorong anak-anak
menemukan nama produk yang tersembunyi pada benda-benda yang terdapat di dalam
gambar. Permainan-permainan ini memang didesain agar pengguna bisa lebih
memahami produk dan layanan keuangan.
Otoritas yakin betul bahwa
meningkatnya literasi keuangan Tanah Air akan menjadi jembatan emas untuk mendorong
perekonomian tumbuh lebih stabil dan berkesinambungan. Jika setiap keluarga di
Indonesia memiliki tingkat melek keuangan yang mumpuni maka sistem keuangan
dijamin akan lebih stabil. “Ada hubungan erat antara perencanaan keuangan
keluarga dengan stabilisasi sistem keuangan. Keluarga akan menjadi tulang
punggung perekonomian,” kata Wiwi.
Elizabeth A Duke, salah satu
Gubernur The Federal Reserve (The Fed) pernah
menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif antara perencanaan keuangan
keluarga dengan stabilitas sistem keuangan. Sebagai salah satu pilar
perekonomian, kesehatan keuangan setiap keluarga akan memberikan pengaruh
terhadap kesehatan keuangan negara secara keseluruhan. Elizabeth adalah anggota
Dewan Gubernur The Fed sejak 2008, perempuan ketujuh dalam jajaran Gubernur
bank sentral AS. Pada Juli 2013 dia mengumumkan pengunduran dirinya dari dewan.
Sementara
itu, menurut Agus Sugiarto, Direktur Program Strategis Literasi Keuangan OJK,
dari sisi makro manfaat literasi keuangan juga sangat
penting, karena semakin tinggi tingkat literasi keuangan masyarakat, maka
semakin banyak masyarakat yang akan menggunakan produk dan jasa keuangan.
Konsekuensinya adalah semakin tinggi pula potensi transaksi keuangan yang
terjadi sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan maupun
menciptakan pemerataan pendapatan dan keadilan.
“Dengan semakin meningkatnya
literasi keuangan masyarakat, diharapkan semakin banyak masyarakat yang
menabung dan berinvestasi, yang pada akhirnya akhirnya menjadi salah satu
sumber pembiayaan pembangunan,” kata Agus.
Dan jika program ini berhasil
bukan tidak mungkin Indonesia akan berdiri sejajar negara maju dalam hal tingkat
kecerdasan keuangan masyarakatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar