Minggu, 16 November 2014

Menunggu Sinyal

Saat ini hampir seluruh perekonomian dunia menantikan apa yang akan dilakukan bank sentral AS dalam rangka menormalisasi kebijakan moneternya. Bagi otoritas Indonesia, persiapannya tampaknya tidak terlalu memuaskan.

Sejak memasuki awal abad ke-21, Amerika adalah momok bagi perekonomian dunia. Ketika negara perekonomian terbesar di dunia itu berjalan ke arah pertumbuhan maka sebagian besar negara di dunia akan terkena imbasnya. Seperti yang terjadi kini.
Setelah ekonomi AS terjerembab dalam krisis akibat turbulensi dari sektor perumahannya sendiri, setiap perkembangan di negara itu selalu menjadi isu global. September lalu, pada rapat Komite Pasar Terbuka AS (FOMC), bank sentral AS disebut-sebut mulai menyinggung soal exit strategy dari kebijakan yang selama enam tahun terakhir dijalankan.
The Federal Reserve berencana melepas kepemilikan surat-surat berharga yang dibelinya dalam upaya mengguyur pasar dengan dana miliaran dollar AS. The Fed juga memberikan sinyal akan memperketat kebijakan moneternya dengan menaikkan suku bunga acuan yang sudah bertahan selama enam tahun di level 0-0,25 persen. Semuanya, besar kemungkinan akan dijalankan paling telat awal tahun depan.
Saat ini pertumbuhan ekonomi AS memang mulai bergerak ke arah normal, dan sudah terjadi dalam beberapa bulan belakangan. Dalam sebuah laporan The Fed, yang dikutip dari kantor berita internasional, dari 12 distrik, enam di antaranya mengalami kinerja perekonomian moderat, lima daerah tumbuh dengan kecepatan sedang, dan di Distrik Boston, pertumbuhannya masih bervariasi.
Tingkat pengangguran, indikator utama ekonomi AS, turun ke level terendah dalam enam tahun, yakni 5,9 persen, dan pertumbuhan pekerjaan bergerak solid tahun ini dengan rata-rata penyerapan lapangan kerja mencapai 227.000 setiap bulan. Namun, masih ada 9,3 juta orang yang secara resmi tercatat sebagai pengangguran.
Dinamika kebijakan moneter di AS hampir selalu berdampak pada sejumlah mata uang utama di dunia. Di Indonesia, kondisi tersebut, tak pelak membuat aliran dana-dana investor mancanegara mulai berubah arah, alias berbalik kembali ke AS. Seperti yang terjadi di Indonesia. Bulan lalu saja, hengkangnya dana-dana dari hedge fund dan investor follower membuat nilai tukar rupiah menembus level psikologis Rp12.000 per dollar AS, dan bursa saham selalu fluktuatif.
“Rupiah melemah itu banyak faktor. Dari kondisi perkembangan di luar negeri yang masih masih risk on risk off kita melihat di AS mempunyai perkembangan yang langsung berdampak pada negara-negara dunia termasuk negara berkembang, termasuk Indonesia,” kata Gubernur Bank Indonesia Agus DW Martowardojo.
Agus tak memungkiri bahwa rencana The Fed menaikkan tingkat suku bunga acuan memberi sentimen negatif kepada pasar di Indonesia. Pelaku pasar global yang khawatir ekonomi dunia melambat dan kinerja perusahaan internasional yang kurang baik memicu arus dana asing keluar dari Indonesia.
Selain faktor eksternal, hal lain yang membuat pelaku pasar banyak melarikan dananya ke luar adalah panasnya politik Indonesia yang belum sepenuhnya mereda. Sementara itu, faktor dalam negeri seperti inflasi dan neraca transaksi berjalan juga memberikan pengaruh yang cukup signifikan.
Empat bulan belakangan, situasi politik nasional memang hampir mendidih karena kontestasi pemilihan presiden yang hanya menghadirkan dua calon. Proses yang cukup panjang dan berliku telah membuat investor khawatir mengenai prospek ekonomi Indonesia.
Indikator-indikator perekonomian mengalami fluktuasi dengan kecenderungan melemah seperti indeks saham dan nilai tukar. Sementara lainnya, seperti inflasi dan juga neraca transaksi berjalan relatif masih berada di tingkat yang kurang menyenangkan.
Namun demikian, pengamat ekonomi dan keuangan Yanuar Rizki tidak sepakat jika pelemahan beberapa indikator ekonomi dan pasar disebabkan oleh faktor politik. Menurut dia, hal itu mutlak disebabkan oleh ekspektasi terhadap kebijakan ekonomi global khususnya bank sentral AS. “Dulu waktu gaduh soal Century (2008), kenapa rupiah malah menguat. Ada yang bilang market sudah dewasa. Jika sekarang karena panasnya pilpres apakah market jadi anak-anak lagi,” kata Yanuar.
Menurut dia, penguatan dan pelemahan rupiah lebih dipengaruhi kebijakan uang beredar global. Jadi jika saat ini rupiah kembali melemah memang tengah dalam proses rebalancing karena adanya perubahan kebijakan di negara-negara maju khususnya AS. “Faktor politik memang ada pengaruhnya, tetapi bukan itu pemicunya,” kata Yanuar.

Pertumbuhan Tertekan
Atas risiko yang mengintai akibat rencana otoritas Negeri Paman Sam, Bank Dunia kemudian memangkas proyeksi laju pertumbuhan ekonomi global. Bahkan lembaga donor yang kental dengan dominasi kepentingan AS itu juga memprediksi bahwa Indonesia akan menjadi salah satu negara dengan perekonomian paling rentan terhadap penarikan dana asing saat The Fed menaikkan suku bunganya.
Indonesia, hingga saat ini masih terbelenggu oleh defisit transaksi berjalan dan juga utang jangka pendek yang jumlah keduanya mencapai 10 persen dari produk domestik bruto (PDB). Kedua faktor tersebut berjumlah 77 persen dari total cadangan devisa negara. Peningkatan level utang perusahaan yang cepat menyebabkan kenaikan suku bunga dalam waktu cepat dapat menghasilkan likuiditas dan solusi bagi beberapa kreditor di industri dengan kapasitas berlebih.
Sebaliknya, India justru menjadi negara dengan perekonomian unggul di Asia. Pertumbuhan ekonomi India tercatat berada di kisaran 5,6 persen tahun ini dan dapat meningkat hingga 6,4 persen tahun depan. Bahkan Bank Dunia melihat potensi pertumbuhan ekonomi India hingga level 7 persen pada tahun berikutnya.
Malahan pertumbuhan ekonomi nasional bisa saja makin tertekan ketika rencana kenaikkan harga bahan bakar minyak direalisasikan pemerintah baru. Wacana itu memang diperkirakan tinggal menunggu waktu karena Presiden Joko Widodo menghadapi ruang anggaran yang cukup ketat.
Room untuk meningkatkan anggaran nasional cuma tinggal sedikit,” kata Hartadi Agus Sarwono, mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia.
Defisit anggaran pemerintah pusat berada di level 2,21 persen dan defisit anggaran daerah diperkirakan berada di angka 0,3 persen sehingga jika dijumlah angka defisit total adalah sekitar 2,5 persen. Karena total batas defisit yang dibolehkan menurut undang-undang keuangan negara adalah 3 pesen, maka pemerintah baru hanya bisa menarik dana menutup defisit hanya sebesar kurang 0,5 persen, yaitu hanya kurang dari Rp25 triliun.
“Anggaran yang ada sekarang juga belum memperlihatkan program prioritas pemerintahan baru (Jokowi-Jusuf Kalla),” kata Hartadi yang juga menjabat sebagai Advisory Regional IMF Group.
Pemerintah baru, dinilai dia, akan mengincar sumber pembiayaan dalam negeri dengan menerbitkan obligasi demi mengamankan anggarannya. Saat ini saja sedang gencar ditawarkan Obligasi Ritel Indonesia (ORI) Seri 11 oleh Kementerian Keuangan. Hal itu tentu menjadi tantangan tersendiri buat perbankan.
“Semakin besar sumber pembiayaan dalam negeri maka negara dan bank akan berebutan dana nasabah,” kata Hartadi, yang kini menjadi Direktur Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI).
Kondisi itu tentu akan menambah persaingan memperebutkan dana pihak ketiga dan akan menjadi pemicu keketatan likuiditas yang lebih intensif lagi di sektor keuangan nasional. Saat ini saja bank-bank sudah menawarkan suku bunga di atas 10 persen untuk nasabah khusus yang bersedia menyimpan dananya sebagai deposito. Perang suku bunga, dengan itu, pun pecah dan menambah risiko likuiditas bagi perbankan.

Ancaman Krisis
Bank memang lebih concern terhadap risiko likuiditas ketimbang hal lainnya semisal risko kredit atau bahkan ancaman turunnya laba. Karena berdasarkan pengalaman tidak ada kejadian yang membuat bank harus tutup karena risiko kredit atau ancama turunnya laba, namun sebaliknya banyak bank yang tutup karena masalah likuiditas.
Maka dari itu, likuiditas yang mengetat merupakan ancaman serius bagi perekonomian nasional. Beberapa pihak mendesak diterbitkan Undang-Undang tentang Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK) yang sudah dua tahun mangkrak.
Tak kurang dari Menteri Keuangan M Chatib Basri (saat ini sudah mantan), yang meminta aturan tersebut diterbitkan segera.  Chatib menekankan urgensi kehadiran UU JPSK, terutama mengingat adanya normalisasi kebijakan moneter AS. “Kalau ada guncangan kita bisa mencegah supaya krisis enggak terjadi. Salah satu yang kita butuhkan ya UU JPSK,” kata dia bulan lalu.
Menurut dia, bank sentral AS akan memastikan Fed Fund Rate akan ada di posisi 1,375 persen pada akhir tahun depan dari posisi saat ini yang bertengger di posisi 0,25 persen.
Hal ini diprediksi akan memicu pembalikan dana asing dari emerging market, termasuk Indonesia, kembali ke negara maju seiring dengan perbaikan prospek ekonomi AS.
Padahal, saat ini komposisi investasi asing di Indonesia cukup besar. Bahkan, di pasar surat utang komposisi investor asing sempat melampaui 37 persen, tertinggi sepanjang sejarah.
Saat ini untuk mengantisipasi krisis, pemerintah berpegangan pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) pada 2008 meski setelah itu pemerintah merancang UU JPSK sejak dua tahun lalu.
Aturan tentang JPSK ditujukan sebagai suatu mekanisme pengamanan sistem keuangan dari kondisi krisis yang mencakup pencegahan dan penanganan krisis.
Aturan itu sekaligus menjadi dasar pembentukan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Anggotanya terdiri atas Menteri Keuangan sebagai ketua merangkap anggota dan Gubernur Bank Indonesia sebagai anggota. KKSK itulah yang melaksanakan fungsi kebijakan pencegahan dan penanganan krisis.

Antisipasi Bank Sentral
Banyak pengamat memprediksi bahwa kenaikan bunga acuan AS akan terjadi pada kuartal kedua atau ketiga tahun depan, meski pihak otoritas AS mengatakan terbuka kemungkinan akaan dinaikkan lebih cepat.
Gubernur, The Federal Reserve Janet Yellen sebelumnya mengatakan, seperti dikutip AFP, di depan kongres, The Fed bisa menaikkan suku bunga acuan lebih cepat dari perkiraan sebelumnya, jika pasar terus mencatatkan perbaikan yang solid. Saat ini angka pengangguran di Amerika Serikat sudah turun 1,5 persen dibandingkan tahun lalu dan berada pada posisi 6,1 persen.
Angka pertumbuhan lapangan kerja pada semester pertama tahun ini, memperlihatkan langkah kuat dibandingkan tahun lalu. Namun demikian, Yellen mengaku masih prihatin dengan bursa tenaga kerja yang menurutnya masih melemah secara signifikan.
Saat ini suku bunga acuan (Fed rate) masih berada di level 0,25 persen sejak ditetapkan pada Desember 2008, sebagai upaya untuk mendorong pemulihan ekonomi.
"Jika pasar tenaga kerja terus membaik lebih cepat daripada perkiraan komite sehingga konvergensi lebih cepat menuju tujuan ganda kami, kenaikan suku bunga acuan kemungkinan akan terjadi lebih awal dan lebih cepat dari perkiraan," kata Yellen.
Sementara itu Bank Indonesia sudah pasang kuda-kuda mengantisipasi dampak terburuk dari kebijakan The Fed dalam menormalisasi perekonomiannya yang dimulai dengan tapering off lalu mengerek bunga acuannya.
Gubernur BI, Agus DW Martowardojo mengatakan, pihaknya sudah mempersiapkan tantangan dalam satu tahun ke depan terkait potensi kenaikan Fed Fund Rate. “Sekarang ini suku bunga Fed ada di 0-0,25 persen. Namun, dengan adanya tapering off nanti di 2015 mulai ada bunga meningkat dan akan berdampak juga pada tingkat bunga dunia yang meningkat,” kata dia.
Salah satu persiapan menghadapi perubahan itu adalah meningkatkan koordinasi dengan pemerintah dalam banyak hal. “Jadi BI mempersiapkan diri, bahkan dengan pertemuan koordinasi dengan pemerintah, kami sudah mendiskusikan ini. Secara umum kami mempersiapkan diri dengan baik,” kata Agus.
BI akan melakukan bauran kebijakan moneter dan tak hanya mengandalkan kebijakan BI Rate. Bank sentral hingga kini telah mengeluarkan kebijakan selain suku bunga yaitu loan to value, mengetatkan loan to deposit ratio dan menoleransi depresiasi nilai tukar untuk mendorong ekspor dan menekan impor. Selain itu, BI juga memperbaiki transaksi berjalan hingga fundamental ekonomi Indonesia kuat.
“BI tetap akan melakukan bauran kebijakan tidak harus suku bunga, namun tidak usah khawatir karena BI pada waktu membuat kebijakan tentu memperhatikan dampak ke semua sektor,” kata Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar