Senin, 06 Oktober 2014

Senjakala Inflation Targeting?

Efektifitas kebijakan pengendalian harga lewat penetapan target inflasi oleh otoritas moneter mulai pudar, ditandai oleh rencana perubahan kebijakan oleh bank sentral Selandia Baru. Bagaimana dengan Indonesia?

Dalam perekonomian, setiap jasa atau produk selalu memiliki waktu kedaluwarsa, mungkin begitu pula dengan kebijakan yang dimiliki oleh bank sentral. Sejak 1999 setelah keluarnya Undang-Undang Tentang Bank Sentral, negara mengamanatkan Bank Indonesia untuk mencapai dan menjaga kestabilan nilai rupiah sebagai tujuan tunggal.
Untuk mencapai mandat itu, BI kemudian menggunakan Inflation Targeting Framework (ITF) sebagai kerangka kebijakan moneter. Kerangka ITF ini dicirikan dengan penetapan target inflasi yang diumumkan kepada publik dan inflasi merupakan tujuan utama kebijakan moneter. Implementasi ITF di Indonesia menekankan pentingnya pengendalian ekspektasi inflasi agar terjangkar ke target
inflasi jangka panjang yang rendah dan stabil sekitar 3 persen agar kompetitif dengan negara lain.
Kebijakan penetapan target inflasi sejatinya dipelopori oleh Bank Sentral Selandia Baru, ketika negara itu menerapkannya sekitar 25 tahun lalu. Selepas itu, ITF banyak diikuti oleh otoritas di negara-negara lain di dunia, termasuk Indonesia sejak awal dekade 2000-an.
Akan tetapi, ibarat sebuah produk atau layanan keuangan, kebijakan itu pun tampaknya mulai memasuki masa kedaluwarsanya, ketika sang pionirnya diberitakan mulai akan menarik diri. Penyebabnya adalah perubahan politik yang tengah berhembus di negara ujung Benua Australia itu di saat Partai Buruh, sebagai oposisi utama menginginkan bank sentral untuk menargetkan defisit transaksi berjalan selain inflasi sebagai tujuan kebikajan moneter. Malahan, partai oposisi juga meminta bank sentral menggunakan iuran pensiun sebagai alat kebijakan baru.
Negeri Kiwi itu memang tengah mengalami kondisi tingkat suku bunga yang tinggi dan mata uangnya tengah terdepresiasi. “Mata uang kami dinilai terlalu tinggi dan kami punya tingkat suku bunga yang secara struktural lebih tinggi dari seluruh dunia,” kata juru bicara keuangan Partai Buruh David Parker dalam artikel seperti dikutip di Bloomberg. “Sudah waktunya untuk mengingatkan diri kita bahwa pengendalian inflasi bertujuan untuk mendukung ekonomi yang lebih kuat dan tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi, dan bukan berakhir di situ (pengendalian inflasi).”
The Reserve Bank of New Zealand adalah bank sentral pertama di antara negara-negara maju yang telah menaikkan suku bunga acuan tahun ini. Kebijakan itu kemudian membuat dollar Kiwi over value dan membuat sektor usaha di negara itu kalah dalam persaingan bisnis.
Oleh karena itu, dalam janji kampanyenya, Partai Buruh berjanji untuk menurunkan suku bunga dan melemahkan nilai tukar dengan cara memperluas tujuan kebijakan dari RBNZ yang sebelumnya sudah tertulis dalam Undang-Undang mengenai Bank Sentral pada 1989.
Selandia Baru juga telah mengalami defisit current account selama 40 tahun yang selalu ditutup dengan dengan pinjaman luar negeri karena tabungan domestik terlalu rendah.
Untuk membantu memperbaiki ketidakseimbangan tabungan (saving gap), Partai Buruh akan mewajibkan tabungan rencana pensiun dan secara bertahap meningkatkan tingkat kontribusinya menjadi 4,5 persen dari pendapatan dari sebelumnya yang hanya 3 persen.
Bahkan RBNZ kemungkinan menggunakan pendekatan baru dalam mengelola perekonomian dengan memperkenalkan alat baru yang disebut Tingkat Tabungan Variabel (Variable Savings Rate), yang dapat digunakan sebagai pengganti suku bunga untuk membatasi atau merangsang pengeluaran rumah tangga.
"Saya belum pernah mendengar atau membaca tentang hal seperti itu digunakan di tempat lain,” kata Profesor Allan Meltzer, penulis sejarah Federal Reserve AS. "Itu bagi saya, yang paling buruk dari fine tuning," kata dia seperti dikutip dari Bloomberg.
Apa yang dihadapi Selandia Baru sejatinya juga terjadi di Indonesia. Selama dua tahun terakhir, kebijakan suku bunga rendah telah ditinggalkan otoritas pasca pergantian pimpinan dari Darmin Nasution, mantan birokrat, ke Agus DW Martowardojo, mantan bankir.
Selama empat tahun masa jabatannya di Thamrin, Darmin berupaya mengarahkan BI Rate ke level terendah. Saat dia pensiun dari BI, bunga acuan dibawanya ke level terendahnya sepanjang masa di angka 5,75 persen, dari level saat dia masuk di angka 6,50 persen.
Sementara Agus, sesaat setelah dipilih jadi Gubernur BI dan memimpin rapat dewan gubernur pada Juni tahun lalu, mantan menkeu itu langsung menaikkan BI Rate dari level rendah yang sudah dipertahankan Darmin. Sepanjang kepemimpinannya, mantan Dirut Bank Mandiri sudah mendongkrak BI Rate hingga 150 basis poin. Hal itu dilakukan ketika perekonomian tengah diancam oleh inflasi yang dinilai makin sulit dikendalikan oleh kebijakan inflation targeting.
Selain itu, Indonesia juga mengalami defisit neraca transaksi berjalan mulai tahun lalu. Di akhir tahun 2013 angka defisit menyentuh 1,98 persen dari Produk Domestik Bruto, padahal beberapa bulan sebelumnya defisit masih sebesar 4,4 persen.
Sementara nilai tukar juga terus melemah mendekati level 12.000 per dollar AS, dan tak mau beranjak dari level itu sejak awal tahun ini, memukul industri manufaktur yang banyak mengimpor bahan baku.
Lalu apakah itu berarti kemangkusan kebijakan penetapan target inflasi yang diterapkan BI sudah mulai pudar? Menurut mantan Deputi Gubernur BI Bidang Moneter dan Ekonomi Global, Hartadi Agus Sarwono, kebijakan ITF yang dicetuskan dan dipraktikkan pertama kali oleh RBNZ memang tengah memasuki tahap penting dalam penerapannya di Selandia Baru setelah dianggap tidak berhasil mendorong perekonomian. Kebijakan suku bunga tidak direspons secara cepat dan memadai oleh pelaku ekonomi yang akhirnya membuat kemangkusannya dalam mengarahkan inflasi menjadi rendah. “RBNZ mulai mengindikasikan bahwa mereka mulai akan fleksibel dalam penerapan kebijakan ITF, hal itu sudah diungkapkan oleh pejabatnya,” kata Hartadi.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Direktorat Penelitian dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia disimpulkan bahwa keterlambatan respons suku bunga akan menyebabkan lintasan inflasi yang lebih tinggi dan bahkan bisa melebihi target inflasi. Konsekuensinya adalah untuk membawa inflasi ke depan agar kembali terjangkar ke target inflasi diperlukan kenaikan suku bunga yang lebih tinggi. Hal ini pada gilirannya akan berdampak terhadap melambatnya pertumbuhan ekonomi. Kondisi ini akan menimbulkan trade off inflasi dan output yang lebih tinggi sehingga akan membawa dampak terhadap target inflasi.
Dalam penelitian yang dipublikasikan dalam Jurnal Moneter BI Januari 2011 itu, dikatakan bahwa respons yang lambat itu pada akhirnya akan menyebabkan pencapaian target inflasi yang lebih lama dengan lintasan suku bunga yang lebih tinggi serta biaya disinflasi yang lebih tinggi.
Menurut riset itu, dilihat dari sisi strategi pencapaian target inflasi yang rendah dan stabil di Indonesia, menunjukkan bahwa dalam kondisi kebijakan moneter yang belum sepenuhnya kredibel
(imperfect credibility) maka bank sentral cenderung melakukan proses disinflasi secara
gradual.
Jika kebijakan moneter belum sepenuhnya kredibel maka upaya bank sentral untuk segera mencapai inflasi yang rendah dalam waktu yang singkat akan berimplikasi pada peningkatan suku bunga yang sangat tinggi (too tight) sehingga akan menciptakan fluktuasi output dan nilai tukar yang sangat besar.

ITF yang Fleksibel
BI memang sudah menyadari bahwa kebijakan moneter melalui suku bunga memang menghadapi risiko respons yang tidak sesuai dengan rencana. Ditambah lagi dengan kondisi ketatnya likuiditas
global yang terus berlangsung pasca rencana bank sentral AS yang ingin mengurangi suntikan dana dalam program quantitative easing (QE) membuat semua otoritas negara-negara dunia selalu waspada. Beberapa negara, termasuk Selandia Baru dan Indonesia terkena dampaknya hingga kini.
“Masalah Likuiditas global telah menjadi isu yang penting sehingga negara-negara yang menggunakan kebijakan ITF tidak lagi bisa melihat bahwa inflasi menjadi satu-satunya main anchor, ujar Hartadi, yang kini Direktur Utama Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia. “Ujungnya memang inflasi tapi bank sentral tidak bisa lagi melihat hanya inflasi saja.”
BI, ketika Hartadi masih menjadi deputi gubernur, sudah melihat bahwa memang kebijakan ITF tidak hanya berujung pada inflasi saja, tetapi harus juga berimbas pada pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, BI sudah ‘memodifikasi’ ITF menjadi lebih fleksibel.
Dalam menerapkan kebijakan inflation targeting, negara-negara penganutnya harus juga menerapkan kebijakan nilai tukar mengambang (free-floating exchange rate) dan juga kebijakan devisa bebas (free capital flow) yang kerap disebut impossible triangle. Jika salah satu diubah maka yang lain harus berubah pula.
Nah, karena tugas mengelola inflasi tidak bisa diutak-atik lagi karena sudah diatur dalam Undang-Undang Bank Sentral, maka BI memodifikasi kebijakan nilai tukar dan kebijakan lalu lintas modal.
Bank sentral kerap mengintervensi pasar jika fluktuasi mata uang dianggap terlalu tajam dan perlu diperhalus (smoothing). Istilah resminya, BI memperkuat strategi operasi moneter untuk mensterilkan likuiditas yang dihasilkan dari intervensi nilai tukar dan untuk mencegah dampak yang tidak semestinya dari modal masuk jangka pendek.
BI juga sudah mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan investor untuk menahan dana yang ditempatkannya selama enam bulan yang kemudian diubah menjadi tiga bulan. Otoritas juga telah memperpanjang tenor instrumen moneter SBI dengan tujuan menahan dana-dana itu sehingga tidak cepat keluar dari Indonesia.
Di sisi lain BI juga mengumumkan bahwa yang menjadi concern-nya adalah inflasi inti (core inflasi) yang nantinya jika bergejolak akan direspons dengan kebijakan suku bunga. Sementara itu untuk mengelola inflasi yang berasal dari kenaikan harga yang ditentukan pemerintah atau yang berasal dari kekurangan suplai karena faktor alam, BI membentuk Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) yang berada di seluruh daerah kabupaten di Indonesia.
Dengan kalimat lain, BI kata Hartadi, sudah menyiapkan satu set kebijakan yang membuat inflation targeting di Indonesia lebih fleksibel yang disebut bauran kebijakan. Kebijakan itu meliputi mempertahankan nilai tukar yang fleksibel dengan intervensi pasar uang yang selektif, meningkatkan strategi operasi moneter, dan melakukan manajemen arus modal.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar