Efektifitas kebijakan pengendalian harga lewat penetapan
target inflasi oleh otoritas moneter mulai pudar, ditandai oleh rencana
perubahan kebijakan oleh bank sentral Selandia Baru. Bagaimana dengan
Indonesia?
Dalam perekonomian, setiap jasa atau produk selalu memiliki
waktu kedaluwarsa, mungkin begitu pula dengan kebijakan yang dimiliki oleh bank
sentral. Sejak 1999 setelah keluarnya Undang-Undang Tentang Bank Sentral,
negara mengamanatkan Bank Indonesia untuk mencapai dan menjaga kestabilan nilai
rupiah sebagai tujuan tunggal.
Untuk mencapai mandat itu, BI kemudian menggunakan Inflation
Targeting Framework (ITF) sebagai kerangka kebijakan moneter. Kerangka ITF ini
dicirikan dengan penetapan target inflasi yang diumumkan kepada publik dan
inflasi merupakan tujuan utama kebijakan moneter. Implementasi ITF di Indonesia
menekankan pentingnya pengendalian ekspektasi inflasi agar terjangkar ke target
inflasi jangka panjang yang rendah dan stabil sekitar 3
persen agar kompetitif dengan negara lain.
Kebijakan penetapan target inflasi sejatinya dipelopori oleh
Bank Sentral Selandia Baru, ketika negara itu menerapkannya sekitar 25 tahun
lalu. Selepas itu, ITF banyak diikuti oleh otoritas di negara-negara lain di
dunia, termasuk Indonesia sejak awal dekade 2000-an.
Akan tetapi, ibarat sebuah produk atau layanan keuangan,
kebijakan itu pun tampaknya mulai memasuki masa kedaluwarsanya, ketika sang
pionirnya diberitakan mulai akan menarik diri. Penyebabnya adalah perubahan
politik yang tengah berhembus di negara ujung Benua Australia itu di saat Partai
Buruh, sebagai oposisi utama menginginkan bank sentral untuk menargetkan
defisit transaksi berjalan selain inflasi sebagai tujuan kebikajan moneter.
Malahan, partai oposisi juga meminta bank sentral menggunakan iuran pensiun
sebagai alat kebijakan baru.
Negeri Kiwi itu memang tengah mengalami kondisi tingkat suku
bunga yang tinggi dan mata uangnya tengah terdepresiasi. “Mata uang kami
dinilai terlalu tinggi dan kami punya tingkat suku bunga yang secara struktural
lebih tinggi dari seluruh dunia,” kata juru bicara keuangan Partai Buruh David
Parker dalam artikel seperti dikutip di Bloomberg. “Sudah waktunya untuk
mengingatkan diri kita bahwa pengendalian inflasi bertujuan untuk mendukung
ekonomi yang lebih kuat dan tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi, dan bukan
berakhir di situ (pengendalian inflasi).”
The Reserve Bank of New Zealand adalah bank sentral pertama
di antara negara-negara maju yang telah menaikkan suku bunga acuan tahun ini.
Kebijakan itu kemudian membuat dollar Kiwi over value dan membuat sektor usaha
di negara itu kalah dalam persaingan bisnis.
Oleh karena itu, dalam janji kampanyenya, Partai Buruh
berjanji untuk menurunkan suku bunga dan melemahkan nilai tukar dengan cara
memperluas tujuan kebijakan dari RBNZ yang sebelumnya sudah tertulis dalam Undang-Undang
mengenai Bank Sentral pada 1989.
Selandia Baru juga telah mengalami defisit current account selama 40 tahun yang
selalu ditutup dengan dengan pinjaman luar negeri karena tabungan domestik
terlalu rendah.
Untuk membantu memperbaiki ketidakseimbangan tabungan (saving gap), Partai Buruh akan
mewajibkan tabungan rencana pensiun dan secara bertahap meningkatkan tingkat
kontribusinya menjadi 4,5 persen dari pendapatan dari sebelumnya yang hanya 3
persen.
Bahkan RBNZ kemungkinan menggunakan pendekatan baru dalam
mengelola perekonomian dengan memperkenalkan alat baru yang disebut Tingkat
Tabungan Variabel (Variable Savings Rate), yang dapat digunakan sebagai
pengganti suku bunga untuk membatasi atau merangsang pengeluaran rumah tangga.
"Saya belum pernah mendengar atau membaca tentang hal
seperti itu digunakan di tempat lain,” kata Profesor Allan Meltzer, penulis
sejarah Federal Reserve AS. "Itu bagi saya, yang paling buruk dari fine
tuning," kata dia seperti dikutip dari Bloomberg.
Apa yang dihadapi Selandia Baru sejatinya juga terjadi di
Indonesia. Selama dua tahun terakhir, kebijakan suku bunga rendah telah
ditinggalkan otoritas pasca pergantian pimpinan dari Darmin Nasution, mantan
birokrat, ke Agus DW Martowardojo, mantan bankir.
Selama empat tahun masa jabatannya di Thamrin, Darmin
berupaya mengarahkan BI Rate ke level terendah. Saat dia pensiun dari BI, bunga
acuan dibawanya ke level terendahnya sepanjang masa di angka 5,75 persen, dari
level saat dia masuk di angka 6,50 persen.
Sementara Agus, sesaat setelah dipilih jadi Gubernur BI dan
memimpin rapat dewan gubernur pada Juni tahun lalu, mantan menkeu itu langsung
menaikkan BI Rate dari level rendah yang sudah dipertahankan Darmin. Sepanjang kepemimpinannya,
mantan Dirut Bank Mandiri sudah mendongkrak BI Rate hingga 150 basis poin. Hal
itu dilakukan ketika perekonomian tengah diancam oleh inflasi yang dinilai
makin sulit dikendalikan oleh kebijakan inflation
targeting.
Selain itu, Indonesia juga mengalami defisit neraca
transaksi berjalan mulai tahun lalu. Di akhir tahun 2013 angka defisit
menyentuh 1,98 persen dari Produk Domestik Bruto, padahal beberapa bulan
sebelumnya defisit masih sebesar 4,4 persen.
Sementara nilai tukar juga terus melemah mendekati level
12.000 per dollar AS, dan tak mau beranjak dari level itu sejak awal tahun ini,
memukul industri manufaktur yang banyak mengimpor bahan baku.
Lalu apakah itu berarti kemangkusan kebijakan penetapan
target inflasi yang diterapkan BI sudah mulai pudar? Menurut mantan Deputi
Gubernur BI Bidang Moneter dan Ekonomi Global, Hartadi Agus Sarwono, kebijakan
ITF yang dicetuskan dan dipraktikkan pertama kali oleh RBNZ memang tengah
memasuki tahap penting dalam penerapannya di Selandia Baru setelah dianggap
tidak berhasil mendorong perekonomian. Kebijakan suku bunga tidak direspons
secara cepat dan memadai oleh pelaku ekonomi yang akhirnya membuat
kemangkusannya dalam mengarahkan inflasi menjadi rendah. “RBNZ mulai
mengindikasikan bahwa mereka mulai akan fleksibel dalam penerapan kebijakan
ITF, hal itu sudah diungkapkan oleh pejabatnya,” kata Hartadi.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Direktorat
Penelitian dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia disimpulkan bahwa keterlambatan
respons suku bunga akan menyebabkan lintasan inflasi yang lebih tinggi dan
bahkan bisa melebihi target inflasi. Konsekuensinya adalah untuk membawa
inflasi ke depan agar kembali terjangkar ke target inflasi diperlukan kenaikan
suku bunga yang lebih tinggi. Hal ini pada gilirannya akan berdampak terhadap
melambatnya pertumbuhan ekonomi. Kondisi ini akan menimbulkan trade off inflasi dan output yang lebih
tinggi sehingga akan membawa dampak terhadap target inflasi.
Dalam penelitian yang dipublikasikan dalam Jurnal Moneter BI
Januari 2011 itu, dikatakan bahwa respons yang lambat itu pada akhirnya akan
menyebabkan pencapaian target inflasi yang lebih lama dengan lintasan suku
bunga yang lebih tinggi serta biaya disinflasi yang lebih tinggi.
Menurut riset itu, dilihat dari sisi strategi pencapaian
target inflasi yang rendah dan stabil di Indonesia, menunjukkan bahwa dalam
kondisi kebijakan moneter yang belum sepenuhnya kredibel
(imperfect credibility)
maka bank sentral cenderung melakukan proses disinflasi secara
gradual.
Jika kebijakan moneter belum sepenuhnya kredibel maka upaya
bank sentral untuk segera mencapai inflasi yang rendah dalam waktu yang singkat
akan berimplikasi pada peningkatan suku bunga yang sangat tinggi (too tight) sehingga akan menciptakan
fluktuasi output dan nilai tukar yang sangat besar.
ITF yang Fleksibel
BI memang sudah menyadari bahwa kebijakan moneter melalui
suku bunga memang menghadapi risiko respons yang tidak sesuai dengan rencana.
Ditambah lagi dengan kondisi ketatnya likuiditas
global yang terus berlangsung pasca rencana bank sentral AS
yang ingin mengurangi suntikan dana dalam program quantitative easing (QE) membuat semua otoritas negara-negara dunia
selalu waspada. Beberapa negara, termasuk Selandia Baru dan Indonesia terkena
dampaknya hingga kini.
“Masalah Likuiditas global telah menjadi isu yang penting
sehingga negara-negara yang menggunakan kebijakan ITF tidak lagi bisa melihat
bahwa inflasi menjadi satu-satunya main
anchor,” ujar Hartadi, yang kini
Direktur Utama Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia. “Ujungnya memang
inflasi tapi bank sentral tidak bisa lagi melihat hanya inflasi saja.”
BI, ketika Hartadi masih menjadi deputi gubernur, sudah
melihat bahwa memang kebijakan ITF tidak hanya berujung pada inflasi saja,
tetapi harus juga berimbas pada pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, BI sudah
‘memodifikasi’ ITF menjadi lebih fleksibel.
Dalam menerapkan kebijakan inflation targeting, negara-negara penganutnya harus juga
menerapkan kebijakan nilai tukar mengambang (free-floating exchange rate) dan juga kebijakan devisa bebas (free capital flow) yang kerap disebut
impossible triangle. Jika salah satu diubah maka yang lain harus berubah pula.
Nah, karena tugas
mengelola inflasi tidak bisa diutak-atik lagi karena sudah diatur dalam
Undang-Undang Bank Sentral, maka BI memodifikasi kebijakan nilai tukar dan
kebijakan lalu lintas modal.
Bank sentral kerap mengintervensi pasar jika fluktuasi mata
uang dianggap terlalu tajam dan perlu diperhalus (smoothing). Istilah resminya, BI memperkuat strategi operasi
moneter untuk mensterilkan likuiditas yang dihasilkan dari intervensi nilai
tukar dan untuk mencegah dampak yang tidak semestinya dari modal masuk jangka
pendek.
BI juga sudah mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan
investor untuk menahan dana yang ditempatkannya selama enam bulan yang kemudian
diubah menjadi tiga bulan. Otoritas juga telah memperpanjang tenor instrumen
moneter SBI dengan tujuan menahan dana-dana itu sehingga tidak cepat keluar
dari Indonesia.
Di sisi lain BI juga mengumumkan bahwa yang menjadi
concern-nya adalah inflasi inti (core inflasi) yang nantinya jika bergejolak
akan direspons dengan kebijakan suku bunga. Sementara itu untuk mengelola
inflasi yang berasal dari kenaikan harga yang ditentukan pemerintah atau yang
berasal dari kekurangan suplai karena faktor alam, BI membentuk Tim Pengendali
Inflasi Daerah (TPID) yang berada di seluruh daerah kabupaten di Indonesia.
Dengan kalimat lain, BI kata Hartadi, sudah menyiapkan satu
set kebijakan yang membuat inflation targeting di Indonesia lebih fleksibel
yang disebut bauran kebijakan. Kebijakan itu meliputi mempertahankan nilai
tukar yang fleksibel dengan intervensi pasar uang yang selektif, meningkatkan
strategi operasi moneter, dan melakukan manajemen arus modal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar