Kita sering mengatakan bahwa seorang
pemimpin, orang-orang yang hebat, atau mereka yang berhasil dalam kehidupannya sekarang, mampu mencapai posisinya
itu, karena –jauh sebelumnya– sudah melewati lembah terdalam dari kehidupan itu
sendiri. Lalu mereka bangkit dengan kegigihan dan nasib baik. Mereka “adalah
orang-orang yang bangkit dari nol,” kata Malcolm Gladwell dalam bukunya
Outliers.
Mantan reporter di Koran Washington Post
itu, namun demikian, sekaligus juga memberi sanggahan. Orang-orang tersebut
mungkin terlihat terlihat melakukan semua itu sendirian hingga bisa berdiri di
tempatnya saat ini. “Tetapi sebenarnya mereka tanpa terkecuali, adalah penerima
berbagai keuntungan yang tersembunyi, kesempatan yang luar biasa…,” kata
Malcolm. Dan saya mungkin bisa menambahkan satu lagi untuk saat ini: bantuan media.
Akan tetapi kita sudah terlanjur mencintai
dan mempercayai bahwa memang ‘jagoan’ memang seharusnya muncul dari kesulitan tingkat tinggi dan dengan itu mengantarkannya
pada kemampuan untuk ‘menyelamatkan dunia’.
Kita mungkin terlalu romantis dan
melankolis dalam menyimpulkan itu, karena terbuai dengan cerita-cerita heroik
klasik dalam novel-novel atau film-film yang menggambarkan seseorang yang mampu
mencapai kesuksesan dengan kombinasi keberanian dan inisiatif. Bahkan setiap
tahun kita juga sering disajikan sederet otobiografi dari para pengusaha,
jutawan, selebritas, politisi sukses yang di dalamnya digambarkan bahwa mereka
lahir dalam kehidupan sederhana (bahkan sengsara). Dan lalu dengan kegigihan
serta bakatnya, mereka kemudian meraih kesuksesan.
Demikian kisah itu didramatisir sedemikian
rupa sehingga menampakkan pahlawan kita ini menjadi sosok yang sangat baik dan
hampir tak mungkin berbuat kekeliruan. Jika pahlawan kita ini kemudian melakukan
sesuatu yang merugikan maka hal itu berarti bukan kesalahannya namun karena
kesalahan orang lain yang ditimpakan kepadanya.
Dramatisasi itu kemudian dilakukan dengan
menggunakan kekuatan media. Ya, di zaman modern ini, kesuksesan seseorang atau
‘dia’ yang dipuja dan dianggap pahlawan tak akan bisa berhasil tanpa campur
tangan media terutama televisi. Bahkan saat ini, medialah yang menciptakan
pahlawan itu, dan bisa menentukan siapa pahlawan dan siapa penjahatnya.
Media, dengan kekuatan
yang masif pula bisa membuat sesuatu yang tadinya tidak berarti apa-apa menjadi
sangat penting bagi masyarakat dengan cara mengulang-ulang hal yang sama.
Dengan cara sebaliknya, media bisa menenggelamkan hal yang penting dengan
meniadakan hal itu di muka halaman medianya.
Biar begitu, publik masih bisa melihat aura
pemimpin yang sebenarnya. Pemimpin adalah dia yang memiliki kemampuan ‘menaiki
pohon yang tinggi’ dan melihat kondisi yang terbentang di hadapannya. Dengan
itu dia bisa memberikan arah yang benar kepada orang-orang yang dipimpinnya.
Pemimpin adalah jika ada masalah yang
datang padanya, yang sebenarnya bukan masalahnya dan bukan pula disebabkan
olehnya, dia tetap mampu memberikan solusi atas masalah itu. Dan Indonesia tengah membutuhkan pemimpin seperti
itu ketika polemik mengenai subsidi bahan bakar minyak (BBM) kembali muncul dan
diulang-ulang oleh media.
Pemimpin sekarang, alias
Presiden terpilih perlu membuktikan diri bahwa dia mampu memberikan solusi atas
polemik subsidi BBM. Subsidi adalah persoalan yang terus berulang dan akan
terus berulang. Selain itu tidak ada yang salah dalam praktik negara memberikan
subsidi kepada rakyatnya karena hal itu juga dilakukan oleh negara lain. Jadi
bukanlah sesuatu yang ‘haram’ jika pemerintah memberikan subsidi kepada rakyat,
sebagaimana ayah kepada anak-anak-anaknya.
Ketimbang melempar-lempar
tanggung jawab siapa yang akan menaikkan harga BBM sebagai langkah mencabut
subsidi, alangkah lebih baik jika potensi itu digunakan untuk mencari solusi mengurangi
beban konsumsi BBM. Pertanyaannya kemudian, apakah solusinya? Saya kira hanya
pemerintah melalui Presiden yang bisa menjawabnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar