Senin, 22 September 2014

Pemimpin dan Solusi

Kita sering mengatakan bahwa seorang pemimpin, orang-orang yang hebat, atau mereka yang berhasil dalam kehidupannya sekarang, mampu mencapai posisinya itu, karena jauh sebelumnyasudah  melewati lembah terdalam dari kehidupan itu sendiri. Lalu mereka bangkit dengan kegigihan dan nasib baik. Mereka “adalah orang-orang yang bangkit dari nol,” kata Malcolm Gladwell dalam bukunya Outliers.
Mantan reporter di Koran Washington Post itu, namun demikian, sekaligus juga memberi sanggahan. Orang-orang tersebut mungkin terlihat terlihat melakukan semua itu sendirian hingga bisa berdiri di tempatnya saat ini. “Tetapi sebenarnya mereka tanpa terkecuali, adalah penerima berbagai keuntungan yang tersembunyi, kesempatan yang luar biasa…,” kata Malcolm. Dan saya mungkin bisa menambahkan satu lagi untuk saat ini: bantuan media.
Akan tetapi kita sudah terlanjur mencintai dan mempercayai bahwa memang ‘jagoan’ memang seharusnya muncul dari kesulitan tingkat tinggi dan dengan itu mengantarkannya pada kemampuan untuk ‘menyelamatkan dunia’.
Kita mungkin terlalu romantis dan melankolis dalam menyimpulkan itu, karena terbuai dengan cerita-cerita heroik klasik dalam novel-novel atau film-film yang menggambarkan seseorang yang mampu mencapai kesuksesan dengan kombinasi keberanian dan inisiatif. Bahkan setiap tahun kita juga sering disajikan sederet otobiografi dari para pengusaha, jutawan, selebritas, politisi sukses yang di dalamnya digambarkan bahwa mereka lahir dalam kehidupan sederhana (bahkan sengsara). Dan lalu dengan kegigihan serta bakatnya, mereka kemudian meraih kesuksesan.
Demikian kisah itu didramatisir sedemikian rupa sehingga menampakkan pahlawan kita ini menjadi sosok yang sangat baik dan hampir tak mungkin berbuat kekeliruan. Jika pahlawan kita ini kemudian melakukan sesuatu yang merugikan maka hal itu berarti bukan kesalahannya namun karena kesalahan orang lain yang ditimpakan kepadanya.
Dramatisasi itu kemudian dilakukan dengan menggunakan kekuatan media. Ya, di zaman modern ini, kesuksesan seseorang atau ‘dia’ yang dipuja dan dianggap pahlawan tak akan bisa berhasil tanpa campur tangan media terutama televisi. Bahkan saat ini, medialah yang menciptakan pahlawan itu, dan bisa menentukan siapa pahlawan dan siapa penjahatnya.
Media, dengan kekuatan yang masif pula bisa membuat sesuatu yang tadinya tidak berarti apa-apa menjadi sangat penting bagi masyarakat dengan cara mengulang-ulang hal yang sama. Dengan cara sebaliknya, media bisa menenggelamkan hal yang penting dengan meniadakan hal itu di muka halaman medianya.
Biar begitu, publik masih bisa melihat aura pemimpin yang sebenarnya. Pemimpin adalah dia yang memiliki kemampuan ‘menaiki pohon yang tinggi’ dan melihat kondisi yang terbentang di hadapannya. Dengan itu dia bisa memberikan arah yang benar kepada orang-orang yang dipimpinnya.
Pemimpin adalah jika ada masalah yang datang padanya, yang sebenarnya bukan masalahnya dan bukan pula disebabkan olehnya, dia tetap mampu memberikan solusi atas masalah itu. Dan Indonesia tengah membutuhkan pemimpin seperti itu ketika polemik mengenai subsidi bahan bakar minyak (BBM) kembali muncul dan diulang-ulang oleh media.
Pemimpin sekarang, alias Presiden terpilih perlu membuktikan diri bahwa dia mampu memberikan solusi atas polemik subsidi BBM. Subsidi adalah persoalan yang terus berulang dan akan terus berulang. Selain itu tidak ada yang salah dalam praktik negara memberikan subsidi kepada rakyatnya karena hal itu juga dilakukan oleh negara lain. Jadi bukanlah sesuatu yang ‘haram’ jika pemerintah memberikan subsidi kepada rakyat, sebagaimana ayah kepada anak-anak-anaknya.
Ketimbang melempar-lempar tanggung jawab siapa yang akan menaikkan harga BBM sebagai langkah mencabut subsidi, alangkah lebih baik jika potensi itu digunakan untuk mencari solusi mengurangi beban konsumsi BBM. Pertanyaannya kemudian, apakah solusinya? Saya kira hanya pemerintah melalui Presiden yang bisa menjawabnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar