Bankir diakui memang
profesi yang memiliki kemampuan mengetahui sistem dan siklus bisnis sektor
lainnya. Namun demikian pengetahuannya ini bisa membuatnya menjadi pribadi yang
berbahaya.
Fungsi utama bisnis perbankan sejatinya adalah menghubungkan
mereka yang membutuhkan dana (peminjam) dengan orang-orang dengan kelebihan
dana (penabung). Selagi melakukan itu, bank membayar kembali ke penabung lebih
sedikit dibanding bunga yang dibebankan kepada peminjam. Karena sifatnya
inilah, para pekerja di bank, yang biasa disebut bankir menjadi pihak yang
harus selalu diawasi.
Pada masa kini, hampir seluruh gerak-gerik bankir diawasi
oleh regulasi, dan setiap tindakannya diukur oleh aturan mulai dari
undang-undang, aturan otoritas hingga aturan internal bank. Boleh dibilang
tidak ada satupun sisi dari operasional bank yang luput dari peraturan. Inilah
yang membuat industri perbankan disebut-sebut sebagai highly regulated sector. Malah, kode etik yang dalam profesi lain
hanya berlaku informal, untuk bankir dikukuhkan dalam aturan-aturan yang tegas.
Aturan yang super-ketat itu, akan tetapi, tidak menghalangi
bankir untuk berbuat tidak jujur atau bahkan curang. Sebuah studi dari Nature,
sebuah jurnal ilmiah internasional online,
melakukan tes kepada 128 karyawan sebuah bank internasional besar. Peserta
dibagi dua kelompok, satu kelompok peserta ditanyai tentang pekerjaan mereka
dan perusahaan mereka, untuk mendorong mereka untuk berpikir tentang identitas
mereka sebagai karyawan bank. Setengah lainnya menjawab pertanyaan tentang hobi
mereka.
Para peserta kemudian diminta untuk melemparkan koin sebanyak
sepuluh kali, tanpa diawasi oleh peneliti, dan melaporkan hasilnya. Para bankir
melaporkan hasil sepuluh membalik mereka pada komputer, dan menerima pembayaran
secara otomatis. Mereka bisa mendapatkan uang jika mereka bisa melaporkan telah
mendapatkan lebih banyak sisi kepala dibandingkan sisi ekor –dan mereka bisa
mendapat sampai 200 dollar AS dalam beberapa detik jika bisa mendapatkan seluruh
kepala atau seluruh ekor, dalam semua lemparan koinnya.
Kelompok pertama melaporkan mendapatkan
sisi kepala 58,2 persen dari total –secara signifikan lebih tinggi dari yang diperkirakan
akan terjadi secara kebetulan. Kelompok lainnya melaporkan melemparkan 51,6
persen mendapatkan kepala.
Kelompok pertama, mengatakan bahwa
mereka beruntung mendapatkan persentase itu 58 persen, bahkan hampir
sepersepuluh dari mereka mengklaim penuh hadiah 200 dollar AS yang berarti
telah mendapatkan satu sisi yang sama dalam 10 percobaan, meskipun kemungkinan
terjadinya hal itu satu dari seribu kesempatan.
Percobaan itu seakan menyimpulkan
betapa bankir-bankir memiliki sifat tidak jujur dalam diri mereka ketika
dihadapkan pada kesempatan untuk berbuat hal itu dan memberi keuntungan bagi diri
mereka sendiri.
Kecurangan Santai
Bahkan kecenderungan itu disebut sebagai perilaku tidak
jujur yang biasa dilakukan secara santai, untuk menerjemahkan apa yang ditulis
dalam sebuah artikel Majalah Forbes sebagai casual
dishonesty.
Hampir tiga tahun lalu, majalah itu mengomentari kasus
kecurangan bankir-bankir dari beberapa bank global yang mencoba mengelabui
otoritas dengan mencurangi bunga acuan LIBOR.
LIBOR atau London Inter-Bank Offer Rate adalah suku bunga
pinjaman antarbank yang berpusat di London, Inggris dan menjadi acuan dalam
penentuan suku bunga global. Ada sekitar 16 bank besar asal Eropa, Kanada,
Amerika Serikat dan Jepang yang terlibat dalam penentuan LIBOR.
Otoritas moneter Inggris menetapkan angka LIBOR secara
berkala dan berlaku secara internasional, namun pada Juni 2006 diketahui bahwa
beberapa bank mematok angka LIBOR seenaknya, tentu tanpa sepengetahuan
otoritas.
Secara tersirat, majalah itu mengatakan bahwa sifat serakah
menjadi pemicu yang mendorong bankir-bankir memanipulasi angka LIBOR. Padahal
perbankan telah menawarkan peluang yang cukup besar bagi bankir untuk
memperkaya diri dari proporsi keuntungan bank dan umumnya dari pengambilan
risiko dengan menggunakan uang pihak lain.
Kasus manipulasi suku bunga LIBOR yang mencuat pada akhir
pertengahan 2012, sebenarnya bermula dari investigasi Harian Wall Street
Journal. Dugaan adanya manipulasi ini pertama kali diangkat oleh harian itu
pada Mei 2008 setelah melakukan penelitian atas suku bunga harian LIBOR periode
April 2007 – Mei 2008, yang merupakan periode puncak krisis keuangan global.
The WSJ rupanya curiga karena periode tersebut yang ditandai
dengan gejala perbankan mulai saling tidak percaya satu dengan lainnya, namun
kuotasi suku bunga LIBOR justru lebih rendah dari yang seharusnya.
Rendahnya kuotasi, dimaksudkan agar kondisi bank –terutama
bank-bank besar kelas dunia–sangat bagus dan tidak bersiko sehingga mereka
termasuk Barclays waktu itu, layak meminjam di pasar uang antar bank dengan
suku bunga yang rendah, di tengah semakin seretnya aliran likuiditas di pasar
uang antar-bank. Namun pada 2012 semua terkuak dan Bank Sentral Inggris (BoE)
telah mengambil tindakan.
Menurut Pardi Sudradjat, pakar
manajemen risiko, apa yang terjadi kepada bankir-bankir di luar dalam hal
memanipulasi keadaan untuk keuntungan pribadi tidak menutup kemungkinan terjadi
di Indonesia. Bankir yang sudah bertahun-tahun melakoni pekerjaannya dan sudah
akrab dengan segala aturan di dalamnya, memiliki potensi untuk menghindar dari regulasi
bahkan menabraknya. Akan tetapi untuk menghindari dari hukuman, kebanyakan dari
mereka tak bisa melakukannya.
“Bisa saja (bankir berbuat curang),
apabila bankir tersebut dari tipe yang berpikir bahwa bisnis hanya memerlukan
intuisi, dan risiko hanya dianggap sebagai kepatuhan pada regulasi, tidak
begitu diperlukan untuk upaya pengembangan bisnis,” kata Pardi.
Kasus di Indonesia
Berbagai kasus fraud yang terjadi seakan membuktikan
apa yang dikatakan oleh Pardi. Di Indonesia, kasus-kasus juga tidak sepi untuk
tidak menyebutnya marak dalam beberapa tahun terakhir. Sebut saja kasus
penyelewengan dana nasabah dari seorang private banker Citibank, Malinda Dee
beberapa tahun lalu, yang mencuri duit nasabah dengan cara mengakali
persetujuan pencairan dana dari sang pemilik dana.
Modus pembobolan Citibank yang
dilakukannya terlihat sederhana, memindahkan dana nasabah ke rekening lain
dengan menggunakan blanko kosong. Aksinya berjalan mulus hingga lebih dari
empat tahun. Dari 22 Januari 2007 hingga 7 Februari 2011, Malinda melakukan
dari 64 transaksi dalam rupiah senilai Rp27,36 miliar dan 53 transaksi dollar
AS senilai 2,08 juta. Malinda berhasil memanipulasi kepercayaan kliennya.
Kontrol manajemen terhadapnya juga dikelabui dengan reputasi besarnya dalam menjaring banyak nasabah prioritas.
Terungkapnya skandal Melinda tak
membuat aksi bankir yang mengakali bank berhenti. Setelah itu, karyawan Bank
Jatim terungkap telah terlibat dalam pembobolan dana bank dengan modus
pencairan kredit fiktif senilai Rp50 miliar. Proses hukum untuk aksi yang
terungkap pada April 2012 tersebut terus berjalan hingga setahun lebih.
Di Singapura, ada kecurangan
bankir yang tidak lekang di makan zaman. Aksi seorang bankir, Nick Leeson di
Singapore International Monetary Exchange telah membangkrutkan Baring Plc pada
1995. Baring merupakan bank investasi tertua di Inggris, yang sudah berdiri
sejak tahun 1762 atau berumur 233 tahun saat itu. Nick tercatat membuat
kerugian hingga 862 juta poundsterling (sekitar 1,4 miliar dollar AS atau
setara Rp17,7 triliun).
Kepandaian bankir memang
membuatnya menjadi profesi yang paling menjanjikan sekaligus berbahaya. Jika pengetahuannya
disalurkan dalam jalur yang benar maka dia bisa menjadikan bank maupun
perusahaan bisa berjalan dalam kinerja yang menguntungkan. Sebaliknya, bankir
pun bisa membuat bank atau perusahaan bangkrut dengan kecerdasannya itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar