Layanan bank tanpa kantor menjadi solusi untuk membuat
program keuangan inklusif berhasil. Meski demikian ada sederet potensi masalah
yang bisa timbul dari layanan ini yang seharusnya diantisipasi otoritas
keuangan.
Di zaman serba tanpa batas dan terbuka, akses adalah hal
terpenting. Di dunia keuangan pun demikian. Hampir semua negara di dunia
menginginkan semua rakyatnya memiliki akses ke lembaga keuangan. Kemudian
muncullah layanan yang dikenal dengan nama branchless
banking (BB). Istilah yang mengacu pada layanan bank tanpa harus melalui
kantornya sejatinya sudah muncul lebih dari lima tahun lalu. Bahkan di Inggris
praktik yang lekat dengan penggunaan teknologi informasi itu sudah mulai muncul
sejak awal 90-an.
Bagi Indonesia, booming
telepon selular dan kemudian terbentuknya otoritas pengawas lembaga keuangan
menjadi momentum munculnya layanan BB yang diawali oleh program inklusi
keuangan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang berdiri pada awal 2013, sudah
memastikan bahwa harus makin banyak masyarakat yang menggunakan jasa lembaga
keuangan.
Tantangan program inklusi keuangan sangatlah berat karena
menurut survei OJK, dari 100 orang hanya tak lebih dari 22 orang yang
mengetahui tentang produk, jasa dan lembaga keuangan. Selain itu, luasnya
wilayah Indonesia yang terdiri dari lebih dari 17.000 pulau menjadi kesulitan
terbesar buat bank mendirikan kantor layanannya di setiap pelosok negeri.
BB tak pelak merupakan strategi ampuh untuk mengatasi
tantangan-tantangan keuangan di atas, apalagi melihat bukti bahwa kepemilikan
telepon selular sudah melebih jumlah penduduk yang mencapai 250 juta jiwa.
Dengan menggandeng pihak ketiga yang disebut agen, OJK ingin
masyarakat yang belum menggunakan jasa keuangan formal dan sudah memiliki
ponsel bisa menikmati produk dan jasa keuangan seperti tabungan, pinjaman dan
asuransi.
BB sejatinya merupakan program lanjutan dari kebijakan
inklusi keuangan yang sudah digulirkan sewaktu otoritas masih di tangan Bank
Indonesia. Pada 2010, BI meluncurkan program Ayo ke Bank dan pada pertengahan
2012 meluncurkan Strategi Nasional Keuangan Inklusif. Ketika OJK terbentuk pada
2013, dilaksanakan pilot project BB yang melibatkan lima bank dan dua
perusahaan telekomunikasi. “Produk yang dimunculkan adalah e-money dan produk basic
saving account (BSA), kredit mikro dan asuransi mikro,” kata Sri Rahayu
Widodo, Deputi Komisioner Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK.
Tahun ini program yang lebih formal disebut Laku Pandai
(kependekan dari Layanan Keuangan Tanpa Kantor dalam Rangka Keuangan Inklusif)
sampai pada tahap yang krusial. OJK hampir secara maraton, bulan lalu roadshow ke ujung-ujung wilayah
Indonesia untuk menancapkan program Laku Pandai.
Pada tahap awal, program tersebut digerakkan oleh empat bank
yaitu Bank Rakyat Indonesia, Bank Mandiri, Bank Tabungan Pensiunan Nasional,
dan Bank Central Asia. Dan sepanjang tahun ini, ditargetkan akan ada lebih dari
128 ribu agen yang bisa melayani jasa perbankan sederhana seperti BSA, kredit
atau pembiayaan kepada nasabah mikro, dan produk keuangan lainnya; seperti
asuransi mikro. “Jika 13 bank lain mulai ikut menjalankan program Laku Pandai
tahun ini, diperkirakan jumlah agen Laku Pandai mencapai 350 ribu, dengan
cakupan 75 persen wilayah di seluruh Indonesia," katanya.
Laku Pandai dinilai bisa menjadi
obat mujarab agar industri keuangan yang selama ini terkonsentrasi di Pulau
Jawa akan lebih tersebar. “Selama ini industri jasa keuangan lebih
terkonsentrasi di Jawa. Sementara itu, akses masyarakat terhadap jasa keuangan
di wilayah lain seperti kawasan Indonesia Timur terbatas. "Makanya kami
meluncurkan branchless banking pertama di Papua,” kata Muliaman D Hadad, Ketua
Dewan Komisioner OJK.
Sisi Gelap
Meskipun demikian, OJK dan perbankan harus mewaspadai sisi
gelap dari program BB dan belajar dari pengalaman negara-negara lain yang sudah
terlebih dahulu menerapkannya. Salah satunya adalah risiko dari keberadaan
agen. Agen yang akan menjadi perwakilan lembaga keuangan tentu memiliki akses
kepada data-data nasabah meski hanya sebagian kecil, atas perannya sebagai
perantara bank dan nasabah dalam pemberian layanan keuangan.
“Risiko terbesar adalah operasional karena dalam branchless
banking karena ini melibatkan sangat banyak agen yang bisa bermasalah,” ujar
Ekonom Indef, Aviliani.
Risiko selanjutnya adalah risiko hukum dan kepatuhan para
agen, dalam memberikan layanan kepada nasabah. Aviliani menyontohkan, seperti
dalam layanan kredit apabila data nasabah dihilangkan agen, bagaimana debitor
mengembalikan pinjamannya. “Jadi, agen yang salah, tetapi yang kena adalah
bank. Jadi ada risiko reputasi,” kata dia.
Sementara itu Profesor Gerhard Coetze dari Universitas
Pretoria di Afrika Selatan, berdasarkan praktik di kawasan Afrika, ada beberapa
risiko yang terkait dengan praktik BB. Salah satunya adalah soal turn over yang tinggi dari layanan
melalui koresponden ini. “Turn over
branchless banking di Kenya, mencapai 30 persen dari PDB-nya dan itu akan
menghapus Kenya dari peta ekonomi global,” kata dia. Turn over itu terutama berasal dari keluar masuknya rekening
tabungan baru.
Selain itu menurut Direktur Pusat
Inklusi Keuangan di Afrika Selatan itu, akan ada over indebted (utang yang terlalu besar), ekploitasi atas orang-orang
oleh agen, dan persoalan provisi dari pinjaman-pinjaman yang diberikan oleh
kepanjangan tangan bank akibat praktik branchless
banking. “Dengan layanan itu, Anda (bank) bisa menyediakan pinjaman kepada
orang-orang yang bahkan Anda belum pernah melihatnya,” sambung dia.
Bahkan yang paling mengancam
adalah risiko sistemik dari layanan tersebut. “Kita bahkan belum bisa
mengira-ngira apa risiko sistemik dari branchless
banking,” kata dia yang dikutip dari laman resmi Gordon Institute of
Business Science.
Javaid S, Direktur dan Kepala
Sistem Informasi (Banking &
Branchless Banking) Tameer Microfinance Bank, di Pakistan mengatakan bahwa
risiko layanan BB sejatinya sama dengan risiko yang muncul di tangan teller di
kantor bank konvensional seperti risiko kredit, risiko operasional, risiko
hukum, risiko likuiditas dan risiko reputasi.
Untuk menanggulanginya
risiko-risiko itu semua lembaga keuangan harus memiliki penilaian yang tepat
dari agen dan juga kelayakan kredit dari mereka. Di samping itu struktur limit
kredit yang tepat juga harus didefinisikan untuk agen dan nasabah. “Untuk
mengurangi risiko, lembaga keuangan harus memiliki mekanisme keluhan ganti rugi
yang tepat dan harus memastikan komunikasi yang tepat dari keluhan ganti rugi
yang disusun kepada pelanggan itu,” kata dia seperti dikutip dari sebuah laman
profesi.
Praktik Global
Di Kenya, program BB sangat didominasi oleh industri
telekomunikasi. Sebuah operator terbesar di negara Afrika itu mempelopori
program yang bisa mengirimkan uang dari satu bagian negeri ke bagian lain hanya
dalam hitungan detik dalam layanan yang dinamakan M-PESA.
Layanan dasar perbankan bisa diberikan oleh seorang agen
penjual pulsa yang mendaftar menjadi agen branchles banking yang bisa menerima
dan membayar uang tunai. Ada sekitar 100.000 pedagang pulsa di Kenya yang sudah
menjadi agen, melebihi jumlah cabang bank yang ada di negara itu yang mencapai
840 dan menghasilkan 12 juta nasabah baru.
Di Meksiko, salah satu banknya yaitu Wal-Mart Bank
menggunakan 1.000 toko Wal-Mart (total 18.000 tempat penjualan) sebagai agen
untuk menawarkan kepada nasabah beberapa jasa keuangan, termasuk deposito dan
pembayaran. Selain itu, Banamex sebuah bank yang dimiliki Citigroup di Meksiko
juga memiliki lebih dari 4.800 agen perbankan memberikan layanan atas nama lembaga
tersebut.
Di Pakistan, praktik BB sudah dimulai sejak 2007 dan setahun
berikutnya bank sentralnya menerbitkan aturan awal untuk layanan tersebut. Di
negara tersebut hampir semua program pemerintah selalu disesuaikan atau dikaitkan
dengan layanan perbankan tanpa mengharuskan kehadiran bank langsung di depan
masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar