Ada baiknya, mulai kini kita sudah belajar, betapa
mengelu-elukan pemimpin hendaknya secukupnya saja. Kita juga sudah harus
belajar menerima janji manis senormalnya saja. Tidak lebih. Memang sifat
manusia memang menyenangi hal-hal yang dramatis, melankolis dan sedikit lebay. Akan tetapi, fakta yang kita
hadapi sekarang seharusnya sudah mengajarkan kita bahwa enough is enough.
Angka pertumbuhan ekonomi triwulan pertama tahun ini
membuktikan bahwa ekonomi berjalan tanpa sangkut pautnya dengan debat publik
yang biasa memenuhi halaman-halaman media massa, maupun media sosial.
Infrastruktur dan sederet program ekonomi yang sejak masa kampanye didengungkan
akan menjadi jagoan kebijakan yang akan mendongkrak ekonomi, menyediakan
lapangan pekerjaan dan lain-lain, nyatanya nyaris jauh panggang dari pada api.
Angka pertumbuhan ekonomi yang berdasarkan teori seharusnya
bisa lebih tinggi karena pemerintah tidak lagi memiliki beban subsidi dan
seharusnya bisa lebih fokus berlari, nyatanya hanya mencapai 4,7 persen.
Pencapaian ini tentu menjadi pertanda bahwa target ekonomi tahun ini di level
5,7 persen hanya akan berada di awang-awang.
Tak pelak itu membuat banyak kalangan kaget bukan kepalang.
Sumber-sumber pertumbuhan ekonomi yang diharapkan seperti dari ekspor ternyata
tidak menunjukkan kinerja baik. Bahkan ekonom-politisi kritis yang sempat
menghilang dari dunia ekonomi, Dradjat Wibowo mengatakan bahwa tim ekonomi
pemerintahan sekarang, “masih amatiran,".
Kesimpulan ekonom jebolan dari Indef itu tentu menjugkalkan
ekspektasi orang selama ini yang menganggap bahwa tim ekonomi Presiden Joko
Widodo adalah orang-orang profesional karena banyak di antara mereka yang
merupakan lulusan universitas ternama luar negeri.
Akan tetapi tampaknya tetap masih ada yang bisa dijadikan
kambing hitam atas situasi ini. Fokus pemerintah
yang lebih banyak ke sektor hukum, politik dan keamanan membuat perhatian ke
sektor ekonomi tersita. Selain itu program jagoan pemerintah yaitu
infrastruktur juga belum dimulai.
Dua faktor itu yang akan dijadikan alasan melempemnya
pencapaian pertumbuhan ekonomi tiga bulan pertama tahun ini. Dan masih ada
sembilan bulan bagi pemerintah untuk memperbaikinya.
Namun begitu, persoalan lain kemudian muncul dan bisa
membuat fokus pemerintah kembali terbelah ketika Gubernur Bank Sentral
‘berseteru’ dengan orang nomor dua di pemerintahan soal suku bunga acuan.
Jusuf Kalla secara terang-terangan meminta pihak Kebun Sirih
untuk menurunkan suku bunga agar ruang bagi ekonomi untuk bergerak menjadi lebih
besar. Tak pelak komentar yang dianggap sebagai bentuk intervensi pada otoritas
moneter itu membawa nilai tukar rupai melemah lebih dalam lagi.
Agus DW Martowardojo
pun menimpalinya dengan mengatakan bahwa pihaknya tidak bisa diintervensi.
Bahkan yang lebih ‘menyentil’ lagi Agus meminta pejabat jangan terlalu
‘berkoordinasi’ dengan media terkait makn banyaknya berita yang mengkritisi
kinerja bank sentral itu. Perseteruan ini tentu akan mengaburkan lagi fokus
pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar