Senin, 04 Juni 2018

Amunisi Baru Kejar Setoran


Peraturan pengganti undang-undang yang diterbitkan pemerintah bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara dari pajak setelah target amnesti pajak meleset. Aturan itu juga dikeluarkan untuk menghindari Indonesia dari sanksi organisasi ekonomi global terkait pertukaran informasi pajak


Sejatinya bukanlah hal yang mengagetkan jika pemerintah akhirnya mengeluarkan aturan pengganti undang-undang untuk memperoleh akses informasi ke nasabah terkait masalah perpajakan Mei lalu. Itu karena pemerintah tengah terdesak dari berbagai arah.
Program Pengampunan Pajak yang berakhir Maret tidak menemui hasil seperti yang diharapkan, memaksa pembuat kebijakan memutar otak mencari sumber tambahan pendapat untuk mengongkosi belanja. Sumber tersebut ternyata tetap ada di sektor pajak yang berasal dari wajib pajak yang lolos dalam amnesti pajak.
Selain itu, Indonesia sudah kadung terikat janji di organisasi OECD untuk ikut dalam kerja sama pertukaran informasi otomatis (Automatic Exchange of Information) dalam bidang perpajakan. Dalam perjanjian itu seluruh anggota Forum Global diwajibkan memiliki kerangka aturan lengkap yang mendukung pertukaran informasi itu sebelum 30 Juni 2017.
Terkati prasyarat itu, pemerintah sudah menghitung, mustahil pihaknya bisa memenuhi tengat itu jika mengandalkan penerbitan undang-undang yang harus mengikutsertakan parlemen. Selain akan memakan waktu yang tidak sebentar, sekarang saja hanya ada satu dari empat undang-undang soal pajak yang masuk prioritas pembahasan tahun ini.
Oleh karena itu langkah pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang alias Perppu No 1 Tahun 2017 Tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan Mei lalu menjadi solusi cepat. Petugas pajak, dengan aturan itu, memiliki lisensi mengakses informasi keuangan mengenai data nasabah, sesuatu yang tadinya dilindungi aturan kerahasiaan bank.
Keinginan tersebut sudah lama dipendam Direktorat Jenderal Pajak karena selalu menabrak tembok tebal “Kerahasiaan Nasabah” ketika ingin melacak harta kekayaan nasbah yang disinyalir pengemplang pajak. Kini pintu itu sudah dibuka pemerintah dengan Perppu, minimal sudah dilobangi.
Pemerintah terang-terangan mengatakan bahwa tujuan Perppu itu adalah untuk penguatan basis perpajakan dalam rangka memenuhi target penerimaan pajak, dan juga menjaga keberlanjutan efektivitas kebijakan pengampunan pajak. Pemerintah sekaligus menunjukkan bahwa apa yang disampaikan ketika sosialisasi Amnesti Pajak bukan isapan jempol dan hanya untuk menakut-nakuti wajib pajak saja.
Masih ingat dalam ingatan ketika Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla mengatakan agar para pemilik dana kakap yang menyimpan dana di luar negeri ikut Program Tax Amnesty. Namun jika mereka membandel, pemerintah tetap akan mengetahui dana yang mereka sembunyikan untuk menghindari pajak. “Kenapa itu (mengungkapkan aset dan membayar tebusan) dilakukan sekarang (tahun lalu)? Karena apabila dilakukan dua tahun lagi, maka yang melanggar itu jadi musuh bersama dunia," kata Wapres tahun lalu.
Sementara itu, Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan, mengakui bahwa Perppu itu juga untuk memenuhi komitmen internasional bagi negara-negara yang bersepakat mengikuti kerja sama perpajakan antar negara. Negara atau yurisdiksi yang melaksanakan komitmen itu mesti memiliki aturan perundang-undangan tentang akses otoritas perpajakan terhadap informasi keuangan dan standar pelaporan dan sistem transmisi pertukaran informasi.
Automatic Exchange of Information (AEOI) adalah kerja sama di antara 139 negara (per 17 Januari 2017) yang tergabung dalam Global Forum untuk saling membuka data finansial di negara masing-masing. Tujuan pelaksanaan AEOI adalah untuk mengurangi kemungkinan praktik menghindari pajak yang kerap dilakukan wajib pajak kakap. Ketika akses data terbuka, suatu negara dapat melacak wajib pajaknya yang menaruh uang di luar negeri.
Menurut Sri Mulyani berujar dari sejumlah negara tersebut, 50 negara mulai melaksanakan komitmen itu pada September 2017, sementara sisanya bakal melaksanakannya mulai September 2018. “Untuk setiap negara yang memutuskan melaksanakan pada 2017, harus memiliki seluruh aturan yang disyaratkan pada tahun 2016. Begitu pula untuk negara yang berkomitmen melaksanakan pada 2018, harus memiliki seluruh aturan pada 2017,” kata dia.

Konsekuensi
Dengan keluarnya Perppu itu, pemerintah boleh dikatakan memiliki peluru tambahan untuk mengejar wajib pajak dan mengupayakan mencapai target pajak tahun ini yang ditetapkan mencapai Rp 1.307 triliun. Pemerintah tampaknya masih penasaran untuk mengincar pajak dari wajib pajak perseorangan yang berasal dari deposito.
                “Tujuan utama Perppu ini jelas untuk meningkatkan pendapatan negara melalui penerimaan pajak. Namun seperti yang kita ketahui bahwa banyak pendapatan atau kekayaan dari perorangan di Indonesia disimpan dalam bentuk deposito, sehingga sekarang inilah yang ingin dikejar pemerintah,” kata Sayed Musaddiq, Partner SIGC (SKHA Institute for Global Competitiveness), konsultan ekonomi, bank dan manajemen berbasis di Jakarta.
                Menurut dia, pemerintah memang masih kekurangan uang dalam membiayai pembangunan di tengah target pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Kondisi fiskal diakui memang sangat berat, ketika berhadapan dengan target pajak yang hampir selalu meleset dan tingkat kepatuhan pajak Indonesia masih rendah. “Harapannya dengan diberlakukan aturan ini, tingkat kepatuhan pajak meningkat dan penerimaan negara juga bisa meningkat,” kata Sayed.
                Keputusan pemerintah menerbitkan Perppu setelah menerapkan Program Pengampunan Pajak, dinilai dia, sudah cukup fair sebagai pemberian kesempatan bagi wajib pajak untuk ‘bersih-bersih’. Atau minimal peringatan buat wajib pajak yang masih berpikir untuk tidak mau mematuhi keinginan pemerintah.
                Sayed juga menyoroti potensi moral hazard dari aturan darurat ini karena terbuka peluang penyalahgunaan data nasabah. Untuk itu perlu aturan lain yang bisa meminimalisir kemungkinan tersebut. “Perppu tersebut tidak bisa langsung dijalankan sebelum ada aturan turunannya yang mengatur tata cara pembukaan data nasabah sehingga tidak rawan penyalahgunaan data,” kata dia.
Dalam Pasal 2 ayat 3 aturan itu disebutkan bahwa laporan yang disampaikan kepada otoritas pajak sedikitnya meliputi identitas pemegang rekening, nomor rekening, identitas lembaga jasa keuangan, saldo atau nilai rekening, dan penghasilan yang terkait dengan rekening keuangan.
                Jadi nantinya Direktorat Pajak hanya akan menerima hasil laporan yang terdiri dari minimal lima hal tersebut. Dengan kalimat yang lebih jernih, otoritas pajak tidak dapat mengakses sistem keuangan secara langsung, tidak dapat melihat aliran dana masuk dan keluar dari rekening nasabah, bahkan juga tidak bisa sewaktu-waktu melihat saldo rekening nasabah.
                Dalam pasal 3 ayat 3 dikatakan bahwa Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak paling lama tiga puluh hari sebelum batas waktu berakhirnya periode pertukaran informasi keuangan antara Indonesia dengan negara atau yurisdiksi lain berdasarkan perjanjian internasional di bidang perpajakan.
Selain menerima laporan, Kantor Pajak berwenang untuk meminta informasi dan/atau bukti atau keterangan dari lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain. Dan informasi itu akan digunakan menjadi basis data perpajakan.
Sementara itu, berdasarkan perjanjian dengan OECD, Indonesia akan menerima konsekuensi tak menyenangkan jika terlambat atau gagal mematuhi komitmen pertukaran informasi perpajakan tersebut. Peringkat Indonesia di Global Forum otomatis akan melorot dan selanjutnya akan menghambat perbaikan iklim investasi yang sedang dibangun pemerintah. Apalagi sejumlah lembaga keuangan global sudah memakai peringkat yang dikeluarkan oleh Global Forum sebagai dasar untuk kebijakan investasi mereka.
Hal ini tentu dihindari pemerintah apalagi karena baru saja lembaga pemeringkat S&P mengerek rating utang pemerintah RI menjadi investment grade. Pemerintah Indonesia dianggap sudah mengambil langkah dan pengukuran yang diperlukan terkait belanja dan pendapatan (APBN) guna menstabilkan keuangan negara.

(DIPUBLIKASIKAN PADA MEI 2017)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar