Rabu, 27 September 2017

Di Ambang Perang Likuiditas

Strategi fiskal pemerintah dalam menarik dana masyarakat akan direspons bank dengan langkah menerbitkan obligasi sebagai mitigasi risiko likuiditas. Apakah ini pertanda pertempuran perebutan likuiditas akan dimulai?

Ketika dalam beberapa tahun belakangan –setelah krisis keuangan global berkecamuk– pembuat  kebijakan memegang kendali perekonomian, pelaku sektor keuangan tidak lantas berhenti was-was. Peran pemerintah yang kian dominan acapkali tidak sejalan dengan tujuan mereka sendiri untuk melindungi sektor keuangan dari krisis, saat kebijakan yang ditelurkannya malah membuat perebutan likuiditas makin sengit.
                Di Indonesia, selisih jalan antara kebijakan fiskal dan keinginan pelaku sektor keuangan sudah berlangsung sejak tahun lalu. Tahun ini, keinginan pemerintah untuk menyelamatkan fiskal sekaligus menggerakkan ekonomi malah memunculkan benih-benih ‘pertempuran’ di ranah likuiditas.
                Kementerian Keuangan telah memobilisasi kebijakan untuk menyerap lebih banyak dana masyarakat sejak tahun lalu guna membiayai anggaran sekaligus menambal defisit yang membesar. Pada APBN 2017, belanja pemerintah ditetapkan sebesar Rp2.080,5 triliun sementara pendapatan ditargetkan sebesar Rp1.750,3 triliun. Sehingga ada defisit yang tak terhindarkan sebesar Rp330,2 triliun atau mencapai 2,4 persen dari pendapatan nasional.
                Upaya pemerintah untuk menutup defisit dibarengi dengan keinginan untuk menjalankan proyek-proyek infrastruktur yang memakan dana besar. Jadilah bendahara negara rajin menerbitkan surat utang negara serta pinjaman dari luar negeri. “Untuk menutup defisit bersumber dari utang dan non utang. Pembiayaan utang berasal dari penerbitan surat berharga negara (SBN) serta pinjaman domestik dan luar negeri,” kata Basuki Purwadi, Kepala Pusat Kebijakan Sektor Keuangan Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan.
                Total nilai penerbitan SBN sampai dengan akhir kuartal pertama 2017 sudah mencapai Rp 265,77 triliun. Jumlah tersebut setara dengan 38,71 persen dari target bruto penerbitan SBN sepanjang tahun ini yang senilai Rp 684,8 triliun. Pemerintah melalui Kementerian Keuangan memang telah menetapkan strategi prefunding untuk belanja fiskal 2017 dengan cara menerbitkan obligasi negara dan juga menggali pendapatan dari pajak.
                Tak pelak strategi fiskal pemerintah itu menohok perbankan yang pada satu sisi sedang membutuhkan likuiditas dari masyarakat, terutama pada tahun ini ketika risiko likuiditas di mata para pengelolanya sedang meningkat. Sejak tahun lalu sejatinya bank sudah mengeluhkan kebijakan front loading dari pemerintah yang dianggap bertubrukan dengan kebutuhan bank dalam menyerap dana masyarakat. Padahal di saat yang sama, otoritas perbankan tengah mendesak bank untuk menurunkan suku bunga hingga ke level single digit.
                Tahun ini mau tak mau perbankan harus bersiap menghadapi persaingan dengan pemerintah dalam berburu likuiditas. Apalagi tahun ini pemerintah diperkirakan akan lebih agresif dalam menerbitkan aturan-aturan pajak baru untuk menggenjot pendapatan.
“Bersiap-siap saja nanti ada pajak-pajak yang kreatif dan inovatif dari pemerintah. Ada pajak apartemen nganggur, pajak lahan tidak produktif, pajak cukai plastik, pajak transaksi e-commerce. Bahkan akan ada pajak selebgram, selebritas di medsos,” kata peneliti Indef Bhima Yudhistira Adhinegara.
                Selain kebijakan anggaran pemerintah, perbankan juga tidak luput dari ancaman lain dari sisi ekonomi global. Bank sentral AS sudah diperkirakan akan menaikkan suku bunga acuannya dua kali pada tahun ini. Kenaikan Fed Rate, kata Bhima akan meningkatkan ancaman terhadap keluarnya dana asing yang berpotensi melemahkan nilai tukar rupiah. “Untuk meminimalisir efek kenaikan Fed Rate secara bertahap di tahun 2017 diprediksi Bank Indonesia akan cenderung mempertahankan atau bahkan menaikkan suku bunga acuan,” kata dia.
                Dan jika yang dipilih BI adalah menaikkan suku bunga acuan, hampir bisa dipastikan bank akan makin menderita lagi dalam upaya memperebutkan likuiditas masyarakat. Di sisi lain, yield yang ditawarkan SBN juga relatif tinggi yaitu antara 8-9 persen sehingga ketika bank mau menarik dana masyarakat maka bunga yang ditawarkan juga harus lebih menarik lagi.
Bhima menambahkan bahwa waktu penerbitan SBN juga menjadi isu krusial bagi pelaku perbankan karena seringkali berdekatan dengan penerbitan instrumen deposito atau surat utang bank. “Kondisi miss-koordinasi antara kebijakan fiskal dan moneter mengakibatkan perbankan saling berebut dana, pada akhirnya cost of fund perbankan menjadi mahal,” kata dia.

Penderitaan Perbankan
                Sementara itu, perbankan masih merasakan kesusahan dalam mengelola likuiditasnya akibat pertumbuhan kredit yang selalu lebih tinggi dari pertumbuhan dana pihak ketiga sejak 2004.
Hal itu tentu saja membuat rasio pinjaman dan kredit (LDR) meningkat tajam dari 58,1 persen pada 2004 menjadi 90,5 pada akhir 2016. “Dengan proyeksi pertumbuhan kredit dan DPK, LDR diperkirakan akan mencapai 92 persen pada tahun 2019,” kata Ahmad Siddik Badruddin, Direktur Manajemen Risiko dan Kepatuhan Bank Mandiri, pada Seminar mengenai likuiditas yang digelar Majalah Stabilitas awal Mei lalu.
                Proyeksi pertumbuhan kredit pada tahun ini juga lebih besar dari pertumbuhan pendanaan di mana angkanya 13,5 persen berbanding 12,5 persen.
                Dia melanjutkan, tahun ini ada dua faktor utama yang akan mempengaruhi likuiditas perbankan yaitu kebijakan pengelolaan anggaran pemerintah dan aliran modal asing. Kebijakan fiskal seperti penarikan pajak, belanja pemerintah dan juga penerbitan SBN akan langsung membuat likuiditas di masyarakat dan juga yang dikelola perbankan akan terpengaruhi.
                Penarikan pajak yang intensif sudah barang tentu akan mengurangi dana masyarakat dan akhirnya mengikis dana perbankan. Sebaliknya belanja pemerintah akan menambah pasokan likuiditas, karenanya peningkatan dalam belanja sangat diharapan oleh perbankan. “Tahun ini akan ada tambahan likuiditas sebesar Rp157 triliun dari belanja pemerintah. Kami harapkan pemerintah mengeluarkan belanjanya secara merata sepanjang tahun, tidak seperti biasanya hanya besar di ujung tahun,” kata Siddik.
                Sementara itu, ancaman eksternal terkait capital outflow juga mulai meningkat di saat kepemilikan asing pada surat berharga baik obligasi maupun equity meningkat. Berdasarkan data dari Bank Mandiri arus modal asing di pasar domestik sepanjang Jan-Apr 2017 mencapai Rp99,8 triliun, terdiri atas Rp22,3 triliun di pasar saham dan Rp77,4 triliun di pasar SBN.
                Akan tetapi, kalangan perbankan mengakui bahwa likuiditas akan menghadapi tantangan berat tahun ini. Selain karena kondisi pertumbuhan DPK yang makin tipis jika dibandingkan dengan pertumbuhan kredit, ada pula tantangan lain: aturan Otoritas Jasa Keuangan.
                Sejak tahun lalu OJK mengeluarkan aturan yang mengharuskan penempatan dana kelolaan asuransi dan dana pensiun di instrumen SBN melalui POJK No 1/2016. Aturan tersebut berdampak kepada penurunan alokasi dana asuransi dan dana pensiun di instrumen-instrumen deposito perbankan.
                Pasca aturan itu, perbankan cukup menderita karena terjadi pengalihan di portofolio deposito yang dipegang asuransi dan dana pensiun. Portofolio asuransi di perbankan dalam bentuk DPK turun dari 23 persen menjadi 15 persen. Sementara di dana pensiun turun dari 31 persen menjadi 21 persen. “Secara langsung, hal ini akan mempengaruhi likuiditas perbankan,” kata Siddik.
                Dengan tantangan likuiditas yang ada di hadapan perbankan, tak berlebihan jika para pengelolanya mempersiapkan strategi untuk mendapatkan dana demi mengamankan diri. Menurut Panji Irawan, Direktur Keuangan BNI, bank harus sudah mulai memitigasi risiko likuiditas dengan strategi front loading. “This is the time for bank to do the fund rising,” kata dia.
                BNI dan beberapa bank sudah menerapkan strategi ini dengan menerbitkan obligasi rupiah dengan mekanisme penerbitan umum berkelanjutan. Berkelanjutan adalah salah satu variasi baru dari obligasi, dimana OJK memberikan keleluasaan kepada perusahaan untuk untuk menerbitkan obligasi dalam kurun waktu dua tahun, dengan cukup hanya satu kali meminta izin pernyataan efektif.
                Strategi front loading dari perbankan tampaknya akan marak dalam beberapa bulan ke depan, sehingga persaingan dalam menarik dana nasabah akan makin ketat di saat pemerintah juga tidak mengendurkan langkahnya dalam menarik pajak. Dan ‘perang’ antara bank dan pemerintah dalam mendapatkan likuiditas sudah di ambang pintu.
(dipublikasikan Mei-Juni 2017)


1 komentar:

  1. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    BalasHapus