Masa-masa
kejayaan bank miliki keluarga tampaknya akan segera berakhir setelah regulator
menerbitkan aturan pembatasan saham. Benarkah demikian?
Sebuah bank mungkin
akan mampu bertahan selama seratusan tahun. Akan tetapi pendirinya tidak. Meski
demikian anak cucu dari founding father
bank tersebut masih bisa menikmati kepemilikannya dan melihat bank itu tetap
beroperasi jika memang bank itu masih bertahan. Akan tetapi skenario itu bisa
saja tak berjalan jika regulator tidak menginginkannya karena suatu hal.
Di
Indonesia, bank-bank yang didirikan oleh seseorang atau sebuah keluarga memang
terhitung masih banyak. Gelombang mendirikan bank-bank yang dimiliki oleh satu
keluarga yang menguasai bisnis sejatinya terjadi pada akhir 80-an setelah
pemerintah mengeluarkan paket deregulasi pada Oktober 1988 (yang dikenal dengan
pakto 88). Dengan ‘hanya’ bermodal Rp10 miliar, seseorang bisa dengan mudah mendirikan
bank.
Namun
sepuluh tahun berselang banyak di antara mereka yang kolaps bersamaan dengan
krisis ekonomi. Sebut saja, Bank Andromeda milik Bambang Trihatmodjo putra
Presiden Soeharto, atau Bank Pacific milik Ponco Sutowo. Selain itu, ada pula Bank
Jakarta milik pengusaha pribumi kondang Probosutedjo atau Bank Industri milik Titiek
Prabowo, putri Presiden Soeharto. Jangan lupakan pula Bank Nusa Nasional milik
keluarga Bakrie dan Bank Harapan Sentosa milik pengusaha Hendra Rahardja.
‘Kematian’
bank keluarga malah sudah terjadi sejak tahun 1992 saat Bank Summa milik Edward
Soeryadjaya, anak sulung Williem Soeryadjaya, pendiri Astra dilikuidasi.
Akan tetapi,
setelah krisis ekonomi dinyatakan berlalu, minat para pemilik dana kakap untuk
mendirikan bank di Indonesia tumbuh lagi. Bahkan minat itu tak surut meski Bank
Indonesia memperketatnya dengan meningkatkan persyaratan modal hingga Rp3
triliun.
Apa yang
membuat para pemodal sangat tertarik mendirikan bank di Indonesia? Jawaban yang
pasti dari pertanyaan itu adalah karena ada potensi pasar yang sangat besar.
Dengan jumlah penduduk mencapai 240 juta
jiwa dan lebih dari dua pertiga belum memiliki rekening bank, Indonesia adalah
pasar yang sangat besar.
Dari jumlah
penduduk di atas 15 tahun yang jumlahnya sekitar 239,9 juta, hanya 19,6 persen yang
memiliki rekening di bank yaitu 15,3 persen untuk rekening simpanan sebesar dan
8,5 persen kredit. "Indonesia termasuk tertinggal di antara ASEAN,"
ujar anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Firdaus Djaelani.
Hingga saat
ini otoritas keuangan di Tanah Air terus mengampanyekan program financial inclusion agar makin banyak
orang Indonesia yang memiliki akses ke perbankan.
Selain
potensi yang besar, keuntungan dari kegiatan bisnis bank pun tak kalah
berkilau. Masih relatif tingginya suku bunga di Indonesia membuat keuntungan
dari menjalankan bisnis ini sangat besar. Padahal suku bunga acuan (BI Rate)
sudah terpangkas signifikan hingga ke level terendah sepanjang masa di 5,75
persen. Meski demikian suku bunga kredit masih juga tinggi. Dalam lima tahun
terakhir rata-rata spread suku bunga
rupiah perbankan nasional berada dalam kisaran 4,63 persen-6,88 persen,
sementara rata-rata spread suku bunga
dollar AS sebesar 2,41 persen-7,33 persen. Sebagai perbandingan, Net Interest
Spread negara ASEAN seperti Singapura, Malaysia, dan Vietnam masing-masing pada
kisaran 4,90 persen, 3,30 persen, dan 2,83 persen.
Dengan
memberikan bunga kredit antara 10-13 persen bahkan bisa mencapai lebih dari 20
persen untuk kredit mikro, maka sudah bisa dibayangkan besarnya keuntungan yang
bisa dikantongi pemilik bank.
Hal itu bisa
dilihat pula pada selisih bunga bersih (net interest margin/ NIM). Hingga paro
pertama 2012, net interest margin
bank umum masih bertengger di level 5 persen lebih. Dengan spread yang lebar tersebut, tak mengherankan jika perbankan
nasional berhasil membukukan laba tinggi. Return
on Assets Ratio dari 80 bank mencapai lebih dari 1,5 persen, dengan
rata-rata bank umum mencapai 3,11 persen.
Laba bersih
bank umum hingga Agustus 2012 tumbuh 23,8 persen (year on year) menjadi Rp 59,72 triliun, menurut Statistik Perbankan
Indonesia. Peningkatan laba bersih ini ditopang pendapatan bunga bersih
perbankan.
Pada periode
Januari-Agustus 2012, pendapatan bunga bersih perbankan meningkat 17 persen
menjadi Rp 132,99 triliun dari Rp 113,62 triliun pada periode yang sama 2011.
Sementara itu, pendapatan non-bunga naik tipis menjadi Rp 83,24 triliun hingga
Agustus 2012 dari Rp 83,17 triliun pada periode yang sama tahun lalu. Tahun
lalu, laba perbankan mencapai Rp75 triliun, naik 31 persen dibandingkan tahun
sebelumnya. Rata-rata pertumbuhan perbankan mencapai 23,29 persen per tahun.
Dengan
pertumbuhan laba yang konsisten dalam beberapa tahun, pemilik modal mana yang
tak tergiur untuk memiliki bank di Indonesia. Oleh sebab itulah tidak terlalu
mengherankan jika pasca masa restrukturisasi, banyak investor yang ingin
memiliki bank di Indonesia.
Apalagi
aturan mendirikan bank berdasarkan Undang-Undang No.7 tahun 1992 masih relatif
longgar. Bahkan orang asing atau badan hukum dari negera lain boleh memiliki
bank di Indonesia dengan kepemilikan saham hingga 99 persen.
Akhir Kejayaan
Akan tetapi
sejak Juli lalu, bank sentral menerbitkan aturan mengenai pembatasan
kepemilikan saham di sebuah bank. Kebijakan itu tampaknya akan menjadi titik
awal dari berakhirnya kejayaan bank keluarga. Mungkin kalimat itu terlalu
tendesius karena aturan tidak menghilangkan sama sekali kepemilikan individu
atau sebuah keluarga di sebuah bank.
Dalam aturan
tersebut, investor diperbolehkan menguasai bank maksimal 20 hingga 40 persen
dengan rincian investor individu atau keluarga 20 persen, institusi nonkeuangan
30 persen, dan institusi keuangan 40 persen. Batasan individu dan keluarga ini
meningkat ke 25 persen untuk bank syariah.
Awalanya
banyak yang menduga bahwa regulasi tersebut diterbitkan untuk mendepak investor
asing dari sektor perbankan nasional. Karena bank-bank asing terus gencar
menyerbu Indonesia dengan mengakuisisi bank-bank nasional yang kesulitan modal.
Apalagi beberapa waktu sebelum aturan itu keluar bank raksasa Singapura, DBS
Group Holdings yang berencana mengakuisisi Bank Danamon.
Namun setelah
aturan itu keluar, gantian yang cemas adalah bank-bank yang dikendalikan sebuah
keluarga atau konglomerasi. Jika bank-bank itu gagal memenuhi standar BI,
mereka bisa terpaksa menjual sebagian kepemilikan. “Pada awalnya, investor
asing yang khawatir. Sekarang, para keluarga yang khawatir,” kata Fauzi Ichsan,
ekonom senior Standard Chartered Bank. “Ini peralihan yang tak terduga.”
Apa yang
dilontarkan oleh ekonom yang saat ini duduk dalam jajaran direksi itu memang
tidak berlebihan. Bank Indonesia memang berniat mengurangi penguasaan individu
atau satu keluarga dalam sebuah bank karena risikonya yang besar.
Deputi
Gubernur BI Muliaman D Hadad beberapa saat setelah aturan itu keluar mengatakan
secara terang-terangan bahwa tujuan aturan ini untuk mengikis potensi moral hazard pemilik bank. Pengalaman
masa lalu memang telah membuktikan bahwa kebanyakan bank nasional yang bangkrut
lebih disebabkan karena dana nasabahnya dicuri pemilik bank. Atau praktik
penyaluran kredit kepada pihak terkait (insider
lending) yang melewati ambang batas maksimum pemberian kredit (BMPK) yang memicu
kredit macet besar-besaran dan membuat bank bangkrut. Kasus likuidasi Bank
Summa pada 1992 akibat kredit macet senilai Rp1,4 triliun seperti disebutkan di
awal tulisan serta likudiasi 16 bank pada 1998 bisa menjadi contoh.
Sejak tahun
2005 pemerintah bahkan telah melikuidasi 27 bank, di mana sebagian besar bank
perkreditan rakyat. Bank yang dicabut izinnya tersebut hampir seluruhnya
dikarenakan moral hazard dari
pengurus dan pemiliknya yang merupakan keluarga sendiri.
Saat ini terdapat
sekitar dua puluhan bank nasional yang mayoritas kepemilikannya dipegang oleh
satu individu atau keluarga baik yang berstatus sebagai perusahaan publik
maupun nonpublik. Dengan memperkecil limit kepemilikan saham oleh individu di
sebuah bank, BI berharap bank-bank keluarga tersebut akan mendivestasikan
sebagian sahamnya. Dengan demikian kepemilikan akan lebih beragam, lebih-lebih
lagi kalau lebih banyak saham yang dimiliki publik. Logikanya, struktur
kepemilikan yang terdiversifikasi pada beberapa pemegang saham akan membuat
manajemen dan operasional bank makin transparan.
"Dari
sekitar 120 bank yang belum go public,
masih banyak yang dimiliki family. Akan
memudahkan otoritas kalau bank lebih terbuka karena disclosure yang lebih kuat," ujar BI Muliaman yang saat ini
menjadi pejabat Otoritas Jasa Keuangan, pengawas tertinggi lembaga keuangan.
Meski
begitu, aturan itu tetap saja berisiko ditelikung oleh keluarga atau individu
pemilik bank yang cerdik. Mereka bisa saja memanfaatkan celah aturan ini dengan
saling tukar kepemilikan bank dengan keluarga yang lain. Misalnya begini,
pemegang saham mayoritas Bank A, Bank B dan Bank C, wajib mengurangi
kepemilikan mereka. Ketiga investor ini lalu bersepakat menukar saham mereka di
masing-masing bank agar sesuai aturan. Pemegang saham mayoritas di Bank A akan
menyerahkan sebagian sahamnya ke pemilik Bank B dan Bank C. Begitu pula
sebaliknya, sehingga saling memiliki dan saling bergantung sama lain.
Benarkah
bisa begitu? Mudah-mudahan tidak.
Box
Aturan
Pendirian Bank di Indonesia berdasarkan UU No7 1992
Dalam pasal
3 disebutkan :
1) Bank hanya dapat didirikan dan melakukan
kegiatan usaha dengan izin Direksi Bank Indonesia.
2) Bank hanya dapat didirikan oleh:
a) WNI dan/atau Badan Hukum Indonesia; atau
b) WNI dan/atau Badan Hukum Indonesia dengan
WNA dan/atau Badan Hukum Asing secara kemitraan.
Selanjutnya
dalam pasal 4 disebutkan:
1) Modal disetor untuk mendirikan Bank
ditetapkan sekurang-kurangnya sebesar Rp 3.000.000.000,00 (tiga triliun
rupiah);
2) Modal disetor bagi Bank yang berbentuk
hukum Koperasi adalah simpanan pokok, simpanan wajib, dan hibah sebagaimana
diatur dalam undang-undang tentang Perkoperasian;
3) Modal disetor yang berasal dari warga
Negara asing dan/atau badan hukum asing, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
angka (2) huruf b setinggi-tingginya sebesar 99 % (Sembilan puluh sembilah
persen) dari modal disetor bank.