Kamis, 07 Maret 2013

Meniti Langkah Keluar dari Kotak



Bank perlu memiliki lingkungan kerja yang mendukung berkembangnya budaya inovasi. Kondisi tersebut akan menciptakan sebuah bank yang selalu berpikir out of the box demi memenangkan persaingan bisnis.

Tiada yang tak berubah di dunia itu, kecuali perubahan itu sendiri. Penggalan kalimat yang dipercaya dikutip dari Heraclitus, seorang filsuf Yunani yang hidup antara 540-480 SM, sering digunakan untuk memberikan penekanan pada pentingnya perubahan. Dalam kehidupan di muka bumi ini perubahan memang merupakan faktor yang berada di luar kendali manusia. Dalam bisnis pun demikian. Perusahaan yang tidak bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan akan tergilas dengan perubahan.
Oleh karena itu, lembaga bernama bank yang kita lihat sekarang sudah jauh berbeda dengan ketika pertama kali muncul pada abad ke-17. Dahulu, bank hanya memiliki fungsi sebagai tempat masyarakat menyimpan uang, kini tidak ada bank hanya menjalankan fungsi itu. Industri perbankan disebut-sebut sebagai salah satu institusi yang selalu bisa menyesuaikan diri dengan perubahan dalam lingkungan bisnis dan tren.
Lebih dari itu bank juga dituntut untuk bisa memprediksi masa depan karena mengetahu apa yang bakal terjadi di masa yang akan datang tentu sangat berguna bagi bank. Itulah yang diungkapkan dalam sebuah tulisan Axel Liebetrau, seorang konsultan yang terafiliasi dengan Zukunftsinstitut, sebuah lembaga pemberdayaan konsumen di Jerman.
Menurut Axel, masa depan jelas tidak bisa diketahui, namun bank dapat membuat asumsi. Dan lembaga keuangan itu dapat mendapatkannya melalui penelitian dari sebuah tren dan bagaimana hal itu berimplikasi bagi bank.
Pengelola bank tentu tidak bisa mematikan sebelumnya, bahwa pemberian kredit akan menjadi fungsi lain yang tidak bisa dipisahkan dari fungsi menyimpan dana. Namun karena melihat kecenderungan di masyarakat yang juga menginginkan pinjaman dana untuk berbagai kebutuhannya maka bank pun menyediakannya.
Kebiasaan memprediksi apa yang dibutuhkan nasabah dari kebiasaan nasabah terus berlanjut hingga sekarang di saat bank berupaya untuk memenuhi kebutuhan finansial nasabahnya dari A sampai Z sehingga muncullah istilah one stop financial services. Bank tak lagi hanya lembaga intermediasi (perantara antara pemiliki dana dan peminjam), namun juga menyediakan produk asuransi, sekuritas, bahkan bisa menjadi konsultan keuangan bagi nasabahnya. Fenomena priority banking bisa menjelaskan hal itu.
Kini bank dinilai memiliki alat dan metodologi untuk mendukung prediksi bisnis di masa depan. Meski demikian menurut Axel, hal itu tidak mudah diterapkan karena itu tugas jangka menengah dan panjang manajemen yang mempengaruhi beberapa aspek utama dari bank. “(Namun begitu) sebuah budaya inovasi dan terbukanya pendekatan lateral untuk berpikir adalah hal penting untuk menerapkannya,” kata Axel.
Apa yang diungkapkan Axel tak pelak merupakan prasyarat mutlak untuk bertahan dalam bisnis perbankan. Artinya jika ingin memenangkan persaingan maka bank harus memastikan bahwa  mereka memiliki budaya inovasi yang kental dan kebiasaan berpikir out of the box yang tentunya tercermin dari pegawai-pegawainya. Berpikir keluar dari kotak adalah cara berpikir yang berani menerobos liar, keluar dari apa yang umumnya dipikirkan kebanyakan orang. Namun output yang dihasilkannya harus memiliki keunikan, one of a kind.
Kita tentu masih ingat sekitar 10 tahun lalu saat Bank Danamon mulai membidik segmen mikro dengan meluncurkan layanan Danamon Simpan Pinjam (DSP). Saat itu tidak banyak bank besar yang berani memberikan kredit kepada pedagang pasar a la tukang kredit. Tukang kredit adalah kreditur perseorangan yang meminjamkan dana kepada masyarakat kecil dengan cara menyediakan berbagai kebutuhan sehari-hari mereka. Cara penagihannya adalah dengan mendatangi peminjam satu demi satu setiap hari untuk mengumpulkan cicilan yang kadang hanya beberapa ribu rupiah saja.
Bank Danamon berani terjun ke segmen itu, yang biasanya digarap oleh bank perkreditan rakyat. Namun bank yang sahamnya dikuasai investor Singapura itu menyiapkan sistem yang lebih canggih yaitu dengan menggunakan sebuah mesin semacam EDC (electronic data capture). Mesin yang biasanya digunakan untuk memproses transaksi kartu kredit itu dimodifikasi untuk mencatat cicilan harian dari nasabah.
Walhasil, dengan terobosan itu Bank Danamon berhasil men-generate bisnis usaha mikro bahkan mulai bisa mengganggu kemapanan BRI yang selama ini terkenal memimpin pasar kredit mikro.
Ada juga inovasi yang dilakukan BII sewaktu meluncurkan produk tabungan khusus perempuan. Tabungan pertama di Indonesia yang diperuntukkan khusus bagi perempuan ini memang cukup ‘berbeda’ dengan produk tabungan lainnya karena hanya perempuan baik wanita muda, profesional, maupun ibu rumah tangga yang boleh menikmatinya.
Atau produk KPR Smart Saving dari CIMB Niaga. Bank yang mayoritas sahamnya dikuasai investor Malaysia menawarkan produk yangg mengkombinasikan produk KPR dan tabungan. Lewat produk ini nantinya nasabah dapat menggunakan bunga tabungannya untuk mengurangi bunga pinjaman KPR-nya hingga nol persen.
Yang paling mutakhir adalah terobosan yang dilakukan Citibank. Bank asal AS itu sebelumnya dilarang Bank Indonesia menerbitkan kartu kredit selama dua tahun ke depan, sebagai sanksi dari kematian nasabahnya setelah bertemu debt collector. Namun Citibank bisa “keluar dari kotak” dan secara cerdas berinovasi dengan mengeluarkan Citibank Ready Credit (CRC) pada April lalu.
Produk CRC tergolong unik karena merupakan perpaduan kartu kredit dan kredit tanpa angunan (KTA). Mirip kartu kredit karena penghitungan bunga, pembayaran minimal dari total tagihan (minimum payment), pengiriman rincian transaksi (billing statement) ke nasabah setiap bulan, hingga adanya batasan plafon pinjaman adalah sistem yang dipakai dalam kartu kredit.
Namun berbeda dengan kartu kredit, CRC tidak bisa langsung digunakan untuk bertransaksi. Nasabah yang ingin menggunakan CRC harus melakukan tarik tunai ke ATM. 

Proses Perubahan
Akan tetapi, apa yang dilakukan bank-bank tersebut tentu tidak disiapkan dalam satu dua hari. Perlu proses yang panjang dan penelitain mendalam sebelum menemukan ide kreatif itu dan meluncurkannya. Semua harus bermula pada kesadaran individu di internal bank bahwa mereka harus terus berubah, karena tidak akan ada pemikiran out of the box jika tak ada dukungan terhadap perubahan.
Profesor John P Kotter, Guru Besar Leadership dari Harvard Business School, dalam bukunya, Leading Change (1996) dan The Heart of Change (2002), menganjurkan delapan tahap dalam melakukan sebelum bank bisa melakukan terobosan dan perubahan.
Pertama, Establishing A Sense Of Urgency (menetapkan keadaan darurat) ketika berbagai indikasi menunjukkan gejala menurun. Kedua, Creating the Guiding Coalition (membentuk koalisi atau tim yang akan memimpin perubahan).
Ketiga, Developing a Vision and Strategy (membangun visi dan strategi). Keempat, Communicating the Change Vision (mengomunikasikan perubahan visi). Kelima, Empowering Employees for Broad-Based Action (memperlengkapi karyawan dengan tindakan yang beruang lingkup luas).
Keenam, Generating Short-Term Wins (melahirkan kemenangan, keberhasilan jangka pendek). Ketujuh, Consolidating Gains and Producing More Change (mengonsolidasikan keberhasilan-keberhasilan dan melahirkan perubahan-perubahan berikutnya). Kedelapan, Anchoring New Approaches in the Culture (memasukkan pendekatan-pendekatan baru hasil perubahan ke dalam budaya perusahaan).
Jadi, bank manapun yang ingin selalu memenangkan persaingan tentu sudah tahu apa yang harus dilakukan. Tinggal bagaimana mereka menerapkannya.
(ditulis April 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar