Ancaman kekeringan likuiditas kembali menghantui sektor
perbankan di tengah langkah normalisasi perekonomian AS. Di saat yang sama bank
belum juga mau mengurangi kecepatannya melempar pinjaman.
Musim panas paling menyengat yang sedang dialami sebagian
besar wilayah Indonesia membuat tanah-tanah mengeras dan sungai-sungai
mengering, orang-orang pun mengeluh. Di
sektor keuangan, musim panas juga tengah terjadi. Perlahan tapi pasti, kondisi
itu membuat persaingan meruncing dan likuiditas mengering, orang-orang di industri
keuangan terutama perbankan pun mulai panik.
Ibarat musim, kekeringan likuiditas juga merupakan sebuah
siklus. Lima tahun lalu, ketika sektor keuangan Amerika Serikat terperosok
dalam jurang krisis akibat sektor perumahannya yang meleleh, dunia ikut
menderita. Saat itu, tepatnya pada 2008, secara dramatis likuiditas di
perusahaan-perusahaan keuangan AS langsung terkuras karena nasabah-nasabahnya
langsung menghindari segala sesuatu yang di dalamnya tercium risiko. Pada Maret
tahun itu juga pendanaan Bear Stearns dan Lehman Brother, susut seperti kolam
yang ingin dibersihkan, hingga ada yang mencapai 90 persen.
Di Indonesia, badai itu terasa juga. Pada awal 2008, dana di
pasar uang tiba-tiba kering karena tidak ada pihak yang mau melepas dananya
meskipun banyak yang meminta hingga memakan korban: Bank Century. Meski,
terbilang selamat perekonomian Indonesia menyisakan masalah politik dari
penyelamatan bank yang kini bernama Bank Mutiara itu.
Dua tahun berlalu, krisis likuiditas datang lagi setelah
sektor keuangan di Eropa goncang yang membuat benua itu memasuki krisis
ekonomi. Beberapa negara Eropa ambruk setelah mengalami krisis utang dan
membuat perekonomin zona Euro rontok. Lagi-lagi Indonesia kena getarannya dan membuat
perang perebutan likuiditas terjadi lagi dengan cara menawarkan bunga deposito
yang waktu itu mencapai 10 persen.
Tahun ini, ancaman itu datang lagi, meski sejatinya alarmnya
sudah menyala sejak tahun lalu. Rencana bank sentral AS (The Federal Reserve)
yang ingin mengakhiri kebijakan stimulus perekonomiannya adalah lonceng
marabahaya bagi perekonomian global. Ditambah lagi dengan rencana dari The Fed
untuk menaikkan suku bunga acuan setelah melihat adanya perbaikan dalam
perekonomian AS.
Sejak tahun lalu berdasarkan voting dari para anggota dewan
gubernur The Fed, diputuskan bahwa program quantitative
easing akan dikurangi dan pada awal 2015, suku bunga akan mulai dinaikkan.
Karena ekspektasi itulah banyak pemilik modal yang
menanamkan dananya di Indonesia mulai bersiaga dengan memindahkan sedikit demi
sedikit dananya atau mengganti portofolio investasinya.
Sekretaris Jenderal Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK)
Raden Pardede menilai bahwa pertanda itu sebagai sebuah sirene yang akan membuat
likuiditas di pasar dalam negeri mengering.
Normalisasi perekonomian AS pada awalnya akan membuat keinginan
untuk memegang aset-aset berdenominasi dollar bertambah sekaligus akan membuat
nilai tukar rupiah makin merana. Saat ini saja rupiah sudah mulai melewati level
12.200 per dollar AS di pasar spot antarbank bulan lalu. Hal itu akan
memberikan efek berantai kepada perbankan terutama pada ketersediaan likuiditas
di pasar.
Terdapat dua macama risiko likuditas yang dihadapi
perbankan, yaitu likuiditas di pasar dan likuiditas pendanaan. Risiko
likuiditas pasar adalah risiko di mana likuiditas pasar memburuk ketika
perbankan membutuhkan pendanaan untuk melanjutkan bisnis. Pendanaan risiko
likuiditas adalah risiko di mana para pemilik dana tidak bersedia memberikan
dananya untuk perbankan dan perbankan dipaksa untuk meningkatkan suku bunga.
Menurut Lasse Heje Pedersen, Profesor Keuangan dari Sekolah
Bisnis Stern di NYU, bentuk yang paling ekstrem dari risiko likuiditas pasar
adalah bahwa pemilik dana tidak mau menawarkan dananya.Seperti dikutip dari
Voxeu, sebuah situs yang berisi analisis dari para ahli keuangan dan ekonom, Pedersen
mengatakan risiko likuiditas pendanaan ekstrem juga terjadi karena bank
kekurangan modal sehingga mereka tidak dapat mendanai diri mereka sendiri.
Kondisi Perbankan
Tanda-tanda kekeringan dana sudah mulai terlihat ketika ‘sengatan
panas’ tahun ini telah membuat para pengelola bank kegerahan. Jumlah dana yang
ditarik dari masyarakat mulai menunjukkan tanda-tanda menurun, di saat yang
sama mereka masih agresif menyalurkan pinjaman. Hasilnya, rasio pinjaman
terhadap dana pihak ketiga terus menanjak dan melewati pagar yang sebelumnya
dibuat oleh otoritas.
Data terakhir yang dirilis otoritas menunjukkan bahwa
keketatan memang sudah terasa sejak awal tahun, bahkan sepanjang setahun
belakangan. Kecepatan penyaluran kredit ternyata tidak bisa diimbangi dengan
kecepatan memperoleh dana, karena memang dana-dana di masyarakat kini sangat
sulit ditarik, jika tidak mau dikatakan mulai mengering.
Tren makin agresifnya bank dalam menyalurkan kredit yang
tidak diimbangi dengan ketersediaan dana di pasar membuat rasio kredit terhadap
pendanaan (LDR) bank terus menanjak. Pada saat perekonomian dalam kondisi
stabil kondisi ini sejatinya sangat positif untuk mendorong pertumbuhan. Akan
tetapi, ketika ekonomi tengah khawatir terhadap pelarian dana karena adanya
ekspektasi membaiknya ekonomi AS, hal itu tentu menjadi ancaman.
Dari data yang dicuplik dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK),
sampai Juli bank-bank asing sangat agresif menyalurkan pinjaman hingga hampir
menyentuh angka 150 persen. Malahan ada satu bank yang ditengarai memiliki
angka LDR melewati 250 persen.
Sementara itu, kinerja bank campuran juga tidak kalah
agresif dalam melempar dana. Berdasarkan data yang sama, hingga Juli kemarin
rasio kreditnya mencapai 135 persen, yang dalam setahun terakhir memang
konsisten naik terus.
Di lain pihak bank-bank umum dan milik negara juga
mencatatkan peningkatan meski tidak setinggi bank asing. Bank-bank nasional
tampaknya lebih patuh kepada arahan otoritas yang sejak tahun lalu meminta
perbankan tidak terlalu bernapsu melempar dana ke nasabah dan menjaga LDR-nya
di kisaran 78-92 persen.
Perbankan pun mengambil langkah instan. Mereka mulai
menawarkan bunga pinjaman yang tinggi agar nasabah tergiur untuk menyimpan dana
sekaligus mempertahankan dana yang ada. Pada dua bulan belakangan hal tersebut
terasa sekali. Sejak awal kuartal kedua, bank-bank sudah berani menawarkan
bunga deposito hingga melewati 10 persen, lebih tinggi dari yang digariskan
oleh otoritas penjamin simpanan sebesar 7,75 persen.
Atas langkah itu, regulator pengawas perbankan bertindak
cepat dengan menerapkan pembatasan suku bunga deposito yang biasanya ditawarkan
kepada nasabah khusus (special rate).
Otoritas Jasa Keuangan mengatakan bahwa perang bunga deposito akan membuat
penilaian investor akan sektor keuangan Indonesia makin buruk. “Kondisi
likuditas perbankan saat ini masih dalam kondisi wajar, jangan sampai ada
persepsi yang mengatakan bahwa perbankan kita kekurangan likuiditas," kata
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Nelson Tampubolon, bulan lalu.
Menawarkan suku bunga tinggi, kata dia, akan menyebabkan
biaya dana atau cost of fund bank
menjadi tinggi. Hal ini akan berisiko terhadap penyaluran kredit dan berdampak
pada terhambatnya pertumbuhan ekonomi. “Informasi beberapa hal yang kita
lakukan berdasarkan kondisi persaingan bunga DPK di bank-bank, yang selama ini
menjadi isu. OJK dan BI menilai, pemberian suku bunga dana sudah tidak wajar
dan akan menyebabkan cost tinggi,
perlambatan dan risko kredit, dan terhambatnya pertumbuhan ekonomi. Untuk itu
maka OJK melalui aksi supervisi akan membatasi suku bunga DPK,” kata Nelson.
Asing Tak Masalah
Jika dilihat lebih seksama, dari data OJK, bank-bank asing
mencatatkan rasio kredit yang sangat mengkhawatirkan di mana angkanya menembus
200 persen. Namun demikian tidak terlihat adanya kekhawatiran yang berlebihan
dari para pengelolanya. Salah satunya adalah Bank Sumitomo Mitsui Indonesia.
Bank campuran ini mencatatkan LDR sebesar sebesar 254,51
persen, pada Juni melonjak dua kali lipat dari periode yang sama tahun
sebelumnya. Parahnya lagi, Bank Sumitomo tidak memiliki simpanan berjenis
tabungan dan hanya memiliki giro dalam komposisi dana pihak ketiganya, yang
mana angkanya terus turun. Kendati demikian, tampaknya bank itu belum terdengar
panik akan keketatan likuiditasnya.
Pardi Sudradjat, Direktur Eksekutif BaRA, sebuah organisasi
bankir dalam bidang manajemen risiko, mengatakan bahwa pada bank asing, angka
LDR yang tinggi tidak lantas membuatnya terekspos risiko likuiditas. “Bank-bank
asing pada umumnya memiliki LDR di atas 200 persen, namun tidak menjadi masalah
likuiditas karena sumber dana bank (banyak) berasal dari pinjaman bank lain,”
kata dia.
Dalam mengukur risiko likuiditas, sebagian bank–terutama
asing–menggunakan rasio internal loan to
funding ratio/LFR), yaitu total pembiayaan dibagi dengan total pendanaan.
Ukuran itu dinilai lebih akurat dalam mengukur risiko likuiditas karena juga
memperhitungkan dana-dana selain dari DPK semisal dari perusahaan induk,
pinjamana antarbank, dll.
Nah, menurut
Pardi, LFR bank-bank yang terafiliasi investor asing pada umumnya sekitar 80 -
85 persen karena mendapat dukungan pinjaman dana dari perusahaan induk. “Masalah
bisa terjadi apabila sumber dana berasal dari pinjaman antar bank jangka pendek
(overnight),” lanjut dia.
Pada umumnya angka LFR memang lebih rendah dari LDR. Apabila
terjadi sebaliknya, ada kemungkinan bank meningkatkan atau memelihara posisi
investasi surat berharga seperti obligasi yang berlebihan dibandingkan dengan
ketersediaan sumber dana di luar dana murah (CASA) dan deposito.
Pardi mengatakan lagi, bahwa langkah mengerek suku bunga
deposito yang dilakukan manajemen bank adalah sebuah langkah wajar. “Bank
memang akan langsung mengamankan risiko likuiditas berapapun biayanya, bahkan
kalau perlu perolehan laba dilupakan dulu,” kata dia.
Soal pembatasan suku bunga yang dilakukan Otoritas Jasa
Keuangan, Pardi mengatakan hal itu tidak efektif karena bank akan mengakalinya
dengan voucher atau gimmick lainnya. Kebijakan seperti itu,
lanjut Pardi hanya akan menekan bank menengah kecil.
Rekomendasi BIS Soal Manajemen Likuiditas
Krisis keuangan pada akhir tahun 2007 hingga 2008 memaksa
Basel Commitee on Banking Supervision (BCBS) dari Bank for International
Settlements (BIS) mengkaji kembali rekomendasi dalam dokumen mengenai Sound
Liquidity Risk Management Practices yang dikeluarkan pada tahun 2000. Hasil
dari rekomendasi itu adalah :
1) Penetapan level toleransi terhadap risiko likuiditas
(liquidity risk tolerance);
2) Pemeliharaan tingkat likuiditas yang memadai, termasuk
pencadangan aset likuid ;
3) Perlunya alokasi biaya, manfaat, risiko likuiditas pada
aktivitas usaha yang
signifikan;
4) Identifikasi dan pengukuran berbagai spektrum risiko
likuiditas, termasuk risiko
likuiditas yang bersumber dari transaksi off balance sheet
(contingent liquidity
risks) ;
5) Desain dan penggunaan skenario stress test yang bersifat
worst case ;
6) Perlunya rencana pendanaan darurat (contingency funding
plan) yang memadai;
7) Pengelolaan likuiditas intra hari (intraday liquidity risk) dan agunan;
8) Pengungkapan publik untuk mendorong disiplin pasar (market discipline)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar