Minggu, 16 November 2014

Ketika Sungai Mulai Mengering

Ancaman kekeringan likuiditas kembali menghantui sektor perbankan di tengah langkah normalisasi perekonomian AS. Di saat yang sama bank belum juga mau mengurangi kecepatannya melempar pinjaman.

Musim panas paling menyengat yang sedang dialami sebagian besar wilayah Indonesia membuat tanah-tanah mengeras dan sungai-sungai mengering,  orang-orang pun mengeluh. Di sektor keuangan, musim panas juga tengah terjadi. Perlahan tapi pasti, kondisi itu membuat persaingan meruncing dan likuiditas mengering, orang-orang di industri keuangan terutama perbankan pun mulai panik.
Ibarat musim, kekeringan likuiditas juga merupakan sebuah siklus. Lima tahun lalu, ketika sektor keuangan Amerika Serikat terperosok dalam jurang krisis akibat sektor perumahannya yang meleleh, dunia ikut menderita. Saat itu, tepatnya pada 2008, secara dramatis likuiditas di perusahaan-perusahaan keuangan AS langsung terkuras karena nasabah-nasabahnya langsung menghindari segala sesuatu yang di dalamnya tercium risiko. Pada Maret tahun itu juga pendanaan Bear Stearns dan Lehman Brother, susut seperti kolam yang ingin dibersihkan, hingga ada yang mencapai 90 persen.
Di Indonesia, badai itu terasa juga. Pada awal 2008, dana di pasar uang tiba-tiba kering karena tidak ada pihak yang mau melepas dananya meskipun banyak yang meminta hingga memakan korban: Bank Century. Meski, terbilang selamat perekonomian Indonesia menyisakan masalah politik dari penyelamatan bank yang kini bernama Bank Mutiara itu.
Dua tahun berlalu, krisis likuiditas datang lagi setelah sektor keuangan di Eropa goncang yang membuat benua itu memasuki krisis ekonomi. Beberapa negara Eropa ambruk setelah mengalami krisis utang dan membuat perekonomin zona Euro rontok. Lagi-lagi Indonesia kena getarannya dan membuat perang perebutan likuiditas terjadi lagi dengan cara menawarkan bunga deposito yang waktu itu mencapai 10 persen.
Tahun ini, ancaman itu datang lagi, meski sejatinya alarmnya sudah menyala sejak tahun lalu. Rencana bank sentral AS (The Federal Reserve) yang ingin mengakhiri kebijakan stimulus perekonomiannya adalah lonceng marabahaya bagi perekonomian global. Ditambah lagi dengan rencana dari The Fed untuk menaikkan suku bunga acuan setelah melihat adanya perbaikan dalam perekonomian AS.
Sejak tahun lalu berdasarkan voting dari para anggota dewan gubernur The Fed, diputuskan bahwa program quantitative easing akan dikurangi dan pada awal 2015, suku bunga akan mulai dinaikkan.
Karena ekspektasi itulah banyak pemilik modal yang menanamkan dananya di Indonesia mulai bersiaga dengan memindahkan sedikit demi sedikit dananya atau mengganti portofolio investasinya.
Sekretaris Jenderal Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) Raden Pardede menilai bahwa pertanda itu sebagai sebuah sirene yang akan membuat likuiditas di pasar dalam negeri mengering.
Normalisasi perekonomian AS pada awalnya akan membuat keinginan untuk memegang aset-aset berdenominasi dollar bertambah sekaligus akan membuat nilai tukar rupiah makin merana. Saat ini saja rupiah sudah mulai melewati level 12.200 per dollar AS di pasar spot antarbank bulan lalu. Hal itu akan memberikan efek berantai kepada perbankan terutama pada ketersediaan likuiditas di pasar.
Terdapat dua macama risiko likuditas yang dihadapi perbankan, yaitu likuiditas di pasar dan likuiditas pendanaan. Risiko likuiditas pasar adalah risiko di mana likuiditas pasar memburuk ketika perbankan membutuhkan pendanaan untuk melanjutkan bisnis. Pendanaan risiko likuiditas adalah risiko di mana para pemilik dana tidak bersedia memberikan dananya untuk perbankan dan perbankan dipaksa untuk meningkatkan suku bunga.
Menurut Lasse Heje Pedersen, Profesor Keuangan dari Sekolah Bisnis Stern di NYU, bentuk yang paling ekstrem dari risiko likuiditas pasar adalah bahwa pemilik dana tidak mau menawarkan dananya.Seperti dikutip dari Voxeu, sebuah situs yang berisi analisis dari para ahli keuangan dan ekonom, Pedersen mengatakan risiko likuiditas pendanaan ekstrem juga terjadi karena bank kekurangan modal sehingga mereka tidak dapat mendanai diri mereka sendiri.

Kondisi Perbankan
Tanda-tanda kekeringan dana sudah mulai terlihat ketika ‘sengatan panas’ tahun ini telah membuat para pengelola bank kegerahan. Jumlah dana yang ditarik dari masyarakat mulai menunjukkan tanda-tanda menurun, di saat yang sama mereka masih agresif menyalurkan pinjaman. Hasilnya, rasio pinjaman terhadap dana pihak ketiga terus menanjak dan melewati pagar yang sebelumnya dibuat oleh otoritas.
Data terakhir yang dirilis otoritas menunjukkan bahwa keketatan memang sudah terasa sejak awal tahun, bahkan sepanjang setahun belakangan. Kecepatan penyaluran kredit ternyata tidak bisa diimbangi dengan kecepatan memperoleh dana, karena memang dana-dana di masyarakat kini sangat sulit ditarik, jika tidak mau dikatakan mulai mengering.
Tren makin agresifnya bank dalam menyalurkan kredit yang tidak diimbangi dengan ketersediaan dana di pasar membuat rasio kredit terhadap pendanaan (LDR) bank terus menanjak. Pada saat perekonomian dalam kondisi stabil kondisi ini sejatinya sangat positif untuk mendorong pertumbuhan. Akan tetapi, ketika ekonomi tengah khawatir terhadap pelarian dana karena adanya ekspektasi membaiknya ekonomi AS, hal itu tentu menjadi ancaman.
Dari data yang dicuplik dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sampai Juli bank-bank asing sangat agresif menyalurkan pinjaman hingga hampir menyentuh angka 150 persen. Malahan ada satu bank yang ditengarai memiliki angka LDR melewati 250 persen.
Sementara itu, kinerja bank campuran juga tidak kalah agresif dalam melempar dana. Berdasarkan data yang sama, hingga Juli kemarin rasio kreditnya mencapai 135 persen, yang dalam setahun terakhir memang konsisten naik terus.
Di lain pihak bank-bank umum dan milik negara juga mencatatkan peningkatan meski tidak setinggi bank asing. Bank-bank nasional tampaknya lebih patuh kepada arahan otoritas yang sejak tahun lalu meminta perbankan tidak terlalu bernapsu melempar dana ke nasabah dan menjaga LDR-nya di kisaran 78-92 persen.
Perbankan pun mengambil langkah instan. Mereka mulai menawarkan bunga pinjaman yang tinggi agar nasabah tergiur untuk menyimpan dana sekaligus mempertahankan dana yang ada. Pada dua bulan belakangan hal tersebut terasa sekali. Sejak awal kuartal kedua, bank-bank sudah berani menawarkan bunga deposito hingga melewati 10 persen, lebih tinggi dari yang digariskan oleh otoritas penjamin simpanan sebesar 7,75 persen.
Atas langkah itu, regulator pengawas perbankan bertindak cepat dengan menerapkan pembatasan suku bunga deposito yang biasanya ditawarkan kepada nasabah khusus (special rate). Otoritas Jasa Keuangan mengatakan bahwa perang bunga deposito akan membuat penilaian investor akan sektor keuangan Indonesia makin buruk. “Kondisi likuditas perbankan saat ini masih dalam kondisi wajar, jangan sampai ada persepsi yang mengatakan bahwa perbankan kita kekurangan likuiditas," kata Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Nelson Tampubolon, bulan lalu.
Menawarkan suku bunga tinggi, kata dia, akan menyebabkan biaya dana atau cost of fund bank menjadi tinggi. Hal ini akan berisiko terhadap penyaluran kredit dan berdampak pada terhambatnya pertumbuhan ekonomi. “Informasi beberapa hal yang kita lakukan berdasarkan kondisi persaingan bunga DPK di bank-bank, yang selama ini menjadi isu. OJK dan BI menilai, pemberian suku bunga dana sudah tidak wajar dan akan menyebabkan cost tinggi, perlambatan dan risko kredit, dan terhambatnya pertumbuhan ekonomi. Untuk itu maka OJK melalui aksi supervisi akan membatasi suku bunga DPK,” kata Nelson.
                                        
Asing Tak Masalah

Jika dilihat lebih seksama, dari data OJK, bank-bank asing mencatatkan rasio kredit yang sangat mengkhawatirkan di mana angkanya menembus 200 persen. Namun demikian tidak terlihat adanya kekhawatiran yang berlebihan dari para pengelolanya. Salah satunya adalah Bank Sumitomo Mitsui Indonesia.
Bank campuran ini mencatatkan LDR sebesar sebesar 254,51 persen, pada Juni melonjak dua kali lipat dari periode yang sama tahun sebelumnya. Parahnya lagi, Bank Sumitomo tidak memiliki simpanan berjenis tabungan dan hanya memiliki giro dalam komposisi dana pihak ketiganya, yang mana angkanya terus turun. Kendati demikian, tampaknya bank itu belum terdengar panik akan keketatan likuiditasnya.
Pardi Sudradjat, Direktur Eksekutif BaRA, sebuah organisasi bankir dalam bidang manajemen risiko, mengatakan bahwa pada bank asing, angka LDR yang tinggi tidak lantas membuatnya terekspos risiko likuiditas. “Bank-bank asing pada umumnya memiliki LDR di atas 200 persen, namun tidak menjadi masalah likuiditas karena sumber dana bank (banyak) berasal dari pinjaman bank lain,” kata dia.
Dalam mengukur risiko likuiditas, sebagian bank–terutama asing–menggunakan  rasio internal loan to funding ratio/LFR), yaitu total pembiayaan dibagi dengan total pendanaan. Ukuran itu dinilai lebih akurat dalam mengukur risiko likuiditas karena juga memperhitungkan dana-dana selain dari DPK semisal dari perusahaan induk, pinjamana antarbank, dll.
Nah, menurut Pardi, LFR bank-bank yang terafiliasi investor asing pada umumnya sekitar 80 - 85 persen karena mendapat dukungan pinjaman dana dari perusahaan induk. “Masalah bisa terjadi apabila sumber dana berasal dari pinjaman antar bank jangka pendek (overnight),” lanjut dia.
Pada umumnya angka LFR memang lebih rendah dari LDR. Apabila terjadi sebaliknya, ada kemungkinan bank meningkatkan atau memelihara posisi investasi surat berharga seperti obligasi yang berlebihan dibandingkan dengan ketersediaan sumber dana di luar dana murah (CASA) dan deposito.
Pardi mengatakan lagi, bahwa langkah mengerek suku bunga deposito yang dilakukan manajemen bank adalah sebuah langkah wajar. “Bank memang akan langsung mengamankan risiko likuiditas berapapun biayanya, bahkan kalau perlu perolehan laba dilupakan dulu,” kata dia.
Soal pembatasan suku bunga yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan, Pardi mengatakan hal itu tidak efektif karena bank akan mengakalinya dengan voucher atau gimmick lainnya. Kebijakan seperti itu, lanjut Pardi hanya akan menekan bank menengah kecil.



Rekomendasi BIS Soal Manajemen Likuiditas

Krisis keuangan pada akhir tahun 2007 hingga 2008 memaksa Basel Commitee on Banking Supervision (BCBS) dari Bank for International Settlements (BIS) mengkaji kembali rekomendasi dalam dokumen mengenai Sound Liquidity Risk Management Practices yang dikeluarkan pada tahun 2000. Hasil dari rekomendasi itu adalah :
1) Penetapan level toleransi terhadap risiko likuiditas (liquidity risk tolerance);
2) Pemeliharaan tingkat likuiditas yang memadai, termasuk pencadangan aset likuid ;
3) Perlunya alokasi biaya, manfaat, risiko likuiditas pada aktivitas usaha yang
signifikan;
4) Identifikasi dan pengukuran berbagai spektrum risiko likuiditas, termasuk risiko
likuiditas yang bersumber dari transaksi off balance sheet (contingent liquidity
risks) ;
5) Desain dan penggunaan skenario stress test yang bersifat worst case ;
6) Perlunya rencana pendanaan darurat (contingency funding plan) yang memadai;
7) Pengelolaan likuiditas intra hari (intraday liquidity risk) dan agunan;
8) Pengungkapan publik untuk mendorong disiplin pasar (market discipline)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar