Minggu, 16 November 2014

Mengamankan ‘Sang Raja’

Perbankan akan berupaya mati-matian mengamankan likuiditasnya, bahkan lebih dari upaya mereka mengamankan profit. Berbagai strategi diterapkan bank dari menawarkan suku bunga tinggi hingga menarik komisi dari nasabah.

Liquidity is king. Bagi sebuah bank, ungkapan itu sudah menjadi kredo. Perbankan masih bisa merelakan dirinya terekspos risiko kredit, atau risiko reputasi sekalipun, namun tidak akan pernah menganggap enteng ancaman dari susutnya likuiditas. Begitu ada sinyal akan terjadi kekeringan likuiditas, bank akan segera menanggapinya dengan serius.
Seperti yang terjadi sekarang. Ketika pelaku pasar makin waspada dan bersiaga mengantisipasi dampak dari kebijakan penarikan stimulus perekonomian AS, likuiditas di pasar lambat laun menjadi makin seret. Perbankan mulai merasakan dana-dana di pasar sulit di dapat, di saat yang sama mereka tak menurunkan agresifitasnya dalam melempar pinjaman.
Rasio dana dan kredit (LDR) kemudian melonjak cukup tajam. Pada Juli, angka LDR bank umum –berdasarkan data dari Otoritas Jasa Keuangan–mencapai hampir 93 persen, merangkak sejak awal tahun ini. Padahal setahun sebelumnya LDR masih berada di level 89,7 persen. Dengan kondisi itu, perbankan ditengarai banyak menggunakan dana-dana jangka pendek untuk membiayai kredit.
Pardi Sudradjat, Direktur Eksekutif Bankers Association for Risk Management (BARa), mengatakan jika bank menggunakan dana-dana jangka pendek di pasar uang antarbank maka bank membiarkan dirinya masuk dalam risiko besar. “Menggunakan dana jangka pendek interbank untuk membiayai kredit adalah sangat berisiko pada saat likuiditas kering dan ancaman global crisis,” kata dia.
Menahan laju kredit adalah langkah yang paling pas dilakukan oleh pengelola bank saat ini untuk setidaknya memiliki ruang likuiditas yang cukup. Bank sentral dalam aturan terakhir yang diterbitkannya untuk perbankan soal rasio dana dan kredit menggariskan bahwa bank harus mengarahkan LDR ke dalam kisaran 78-92 persen. Jika rasio kredit bank di luar dari level tersebut maka bank sentral akan memberikan sanksi.
“Yang penting (buat bank kini) LDR dibuat sekitar 85 persen dulu, pertumbuhan kredit direm dulu. Jika LDR sudah di level ini maka bank kemudian baru mengupayakan bauran DPK (dana pihak ketiga) dengan fokus memperbesar dana murah,” jelas Pardi.
Bank harus menyimpan aset-aset yang likuid sedemikian rupa sehingga dianggap cukup memenuhi kebutuhan pada saat krisis likuiditas secara spesifik benar-benar terjadi, yang ditandai dengan penarikan dana secara besar-besaran. “Bank akan berupaya keras mengamankan likuiditas at all cost, jika perlu bahkan urusan perolehan laba dilupakan dulu,” kata bankir di salah satu bank pelat merah itu.
Apa yang dikatakan Pardi tidaklah berlebihan, alih-alih itulah yang memang sedang terjadi. Bank sudah menawarkan bunga deposito yang menggiurkan demi menarik dana nasabah atau sekadar mempertahankan yang ada. Saat ini bank-bank menetapkan bunga khusus bagi nasabah-nasabah kelas kakap yang memiliki dana lebih dari Rp2 miliar, yang besarannya bisa mencapai 11 persen. Tentu tidak ada satu bank pun yang akan mengakuinya. Meski demikian Otoritas Jasa Keuangan, lembaga pengawas industri keuangan, mengetahuinya dan buru-buru mengantisipasinya.
"Seperti ini tidak bisa dibiarkan. Jadi kami sedang mendalami sekaligus meminta kepada industri, jangan sampai memasuki jebakan persaingan untuk menaikkan tingkat suku bunga yang dipicu oleh perilaku deposan besar,” kata Ketua Komisioner OJK Muliaman Darmansyah Hadad. 
Menurutnya, kondisi pengetatan likuiditas memang memacu perbankan untuk merayu deposan kakap yang memiliki dana di atas Rp 2 miliar, dengan suku bunga tinggi. Sekadar informasi, suku bunga LPS berada di level 7,75 persen. Namun, perbankan berani mengganjar deposan dengan suku bunga hingga 11 persen.

Strategi Bank
Selain mengiming-imingi nasabah dengan bunga spesial, sejatinya bank sudah mengupayakan ketersediaan likuiditas dengan menarik dana-dananya yang ada di Sertifikat Bank Indonesia. Menurut data otoritas, penempatan dana bank-bank umum pada instrumen itu terus menyusut sejak Januari hingga pertengahan tahun. Jika pada Januari angkanya masih sebesar Rp113,308 triliun maka pada Juni jumlahnya tinggal Rp89,92 triliun, berkurang lebih dari seperlimanya.
Bank-bank negara juga tak kalah agresif menarik dana-dananya di SBI hingga mencapai hampir separo dana yang ada di Januari. Selain itu, keketatan likuiditas karena agresifnya bank menyalurkan kredit berdampak pada strategi bank untuk mencari pendanaan di pasar uang antarbank.
Dalam banyak teori pengelolaan likuiditas, bank dianggap likuid apabila memiliki sejumlah likuiditas atau memegang alat-alat likuid, cash assets (seperti uang kas, rekening pada bank sentral dan bank lainnya) dalam jumlah yang sama dengan jumlah kebutuhan likuiditas yang diperkirakan.
Bank juga memiliki likuiditas kurang dari kebutuhan, tetapi bank memiliki surat-surat berharga yang segera dapat dialihkan menjadi kas, tanpa mengalami kerugian baik sebelum atau sesudah jatuh tempo. Selain itu, memiliki kemampuan untuk memperoleh likuiditas dengan cara menciptakan uang, misalnya dengan menggunakan fasilitas diskonto, interbank call money, penjualan surat berharga dengan repurchase agreement (repo).
Selain itu bank juga memiliki cara lain untuk menarik dana lebih banyak dari nasabah. Bulan lalu, tepat pada 1 November perbankan dan penyedia jaringan transaksi tunai dinilai telah menjalankan rencana menaikkan ongkos transaksi nasabah di mesin tarik tunai atau ATM. Penyedia jaringan seperti ATM Prima, ATM Bersama, dan bank anggota sepakat mengerek tarif transaksi lintas bank di ATM dari tiga jenis transaksi antarbank sebesar 50 persen. Tarif transfer antarbank naik menjadi Rp 7.500 per transaksi dari sebelumnya Rp 5.000. Kemudian, biaya cek saldo di ATM antarbank menjadi Rp 4.000-Rp 4.500 per transaksi dari sebelumnya Rp2.000-Rp3.000. Aktivitas penarikan tunai pun naik menjadi Rp 7.500-Rp 8.000 dari sebelumnya Rp 5.000.
Kenaikan itu disinyalir merupakan cara bank untuk menggenjot pendapatan komisi (fee-based income). Pendapatan ini termasuk di antaranya adalah pendapatan provisi, fee atau komisi yang diterima bank dari pemasaran produk maupun transaksi jasa perbankan yang dibebankan kepada nasabah sehubungan dengan produk dan jasa bank yang dinikmatinya.
Pardi Sudradjat dari BARa berpendapat bahwa strategi yang dilakukan bank untuk mengamankan likuiditas adalah wajar mengingat bank tidak ingin mengambil risiko sedikit pun jika menyangkut likuiditas.
Meski begitu, secara umum keketatan yang ada hanya berasal dari likuiditas pendanaan (funding liquidity) karena, menurut dia, kondisi pasar modal (market liquidity) masih relatif likuid.
“Masalah yang dihadapi bank adalah dana pihak ketiga kurang. Konon DPK separonya ada di luar negeri terutama di Singapura, ini terkait juga dengan kebijakan pajak yang kadang tidak bijak sehingga mendorong orang lebih suka menyimpan di luar negeri,” kata Pardi.
Apa yang diungkapkan Pardi, diamini oleh Direktur Utama Bank Mandiri Budi Gunadi Sadikin. Diakui dia, kondisi likuiditas perbankan di dalam negeri memang saat ini sangat ketat. Alhasil, perbankan nekat memberikan bunga deposito tinggi, bahkan ada yang sampai 11 persen yang biasanya ditawarkan oleh bank-bank besar.
Salah satu alasannya adalah, banyak individu dan perusahaan di Indonesia yang memilih menyimpan uangnya di bank-bank Singapura. “Likuiditas kita ketat karena banyak uang dari individu dan perusahaan Indonesia yang tidak ada di sistem perbankan Indonesia, tapi ada di sistem perbankan Singapura,” kata Budi.
Pada kesempatan itu, Budi juga mengusulkan, untuk mengantisipasi ketatnya likuiditas di perbankan, perlu dibuat tabungan nasional agar semua masyarakat masuk dalam sistem perbankan. Ini bisa mendorong banyaknya dana masyarakat masuk ke perbankan.

Dampak Eksternal
Sejatinya, alarm dari kemungkinan susutnya likuiditas global sudah dibunyikan oleh Dana Moneter Internasional. Direktur Pelaksana IMF Christian Lagarde mengingatkan agar para pemimpin negara di Asia mendorong perubahan struktural untuk memastikan kawasan itu tetap memimpin pertumbuhan global. Pasalnya ada tantangan besar di depan terkait kemungkinan munculnya volatilitas nilai tukar akibat dari pengurangan stimulus ekonomi yang dilakukan bank sentral AS.
Hal itu dikatakan Lagarde beberapa bulan lalu saat menyampaikan proyeksi ekonomi regional untuk kawasan Asia-Pasifik.
“Tingginya tingkat suku bunga dan serangan volatilitas arus modal masih mempengaruhi perekonomian Asia. Di samping itu, ketatnya likuiditas global di tengah pemulihan di negara-negara maju juga akan mengancam perekonomian Asia,” kata dia.
Masalah ketatnya likuiditas global memang merupakan salah satu risiko utama yang dihadapi kawasan Asia tahun ini dan tahun depan. Bahaya lain yang juga perlu diwaspadai adalah perlambatan pertumbuhan China yang jauh dari perkiraan. “Begitu pula dengan pengaruh pertumbuhan ekonomi Jepang yang masih melambat. Meningkatnya ketegangan geopolitik yang mengganggu perdagangan juga harus menjadi perhatian para pemimpin Asia,” kata Lagarde.
IMF memperkirakan ekonomi China akan tumbuh 7,5 persen pada tahun ini dan 7,3 persen pada 2015. Sedangkan ekonomi Jepang diperkirakan bertumbuh 1,4 persen tahun ini dan 1 persen pada tahun depan. Perlambatan ekonomi China tentu akan berdampak terhadap negara yang memiliki hubungan perdagangan bilateral, juga akan mempengaruhi kegiatan ekspor-impor, tak terkecuali Indonesia.
Meski demikian, Asia diyakini mampu menghadapi tantangan ke depan asalkan tetap konsisten dengan program reformasinya. Reformasi sangat penting tidak hanya untuk mempertahankan pertumbuhan di kawasan Asia dalam jangka menengah. “Dalam beberapa kasus untuk menjaga kepercayaan investor dan mengamankan stabilitas keuangan dalam jangka pendek,” ujar Lagarde.
Pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia diperkirakan dua kali lebih cepat dibandingkan negara-negara maju. Sedangkan pertumbuhan di negara emerging (negara berkembang dengan pendapatan menengah), termasuk Cina dan India, diperkirakan tiga kali lebih cepat.
Namun IMF mengingatkan penurunan produktivitas dalam beberapa tahun terakhir. “Kawasan ini harus melakukan reformasi lebih lanjut untuk meningkatkan potensi pertumbuhan dan terus mendorong masuknya investasi asing,” ujar Lagarde.
Peringatan itu bukannya tidak digubris oleh otoritas moneter. Karena sudah sejak jauh-jauh hari
Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo mengutarakan bahwa tahun ini pihaknya akan memfokuskan kerja makroprudensial bank sentral pada upaya memitigasi risiko kredit dan risiko likuiditas perbankan. “Pertumbuhan kredit yang lebih tinggi dari pertumbuhan dana yang dihimpun, menyebabkan meningkatnya risiko likuiditas,” katanya dia, beberapa bulan lalu.
Dalam kondisi likuiditas yang makin sulit saat ini, Agus mengatakan, persaingan antarbank untuk menghimpun dana pihak ketiga semakin ketat. Hal ini, selanjutnya akan mendorong suku bunga jangka pendek. “Ini mengakibatkan adanya risiko suku bunga,” paparnya.
Meski demikian, jelas Agus, secara umum kondisi likuiditas perbankan masih baik. Perlambatan pertumbuhan kredit cukup konsisten dan sesuai dengan kondisi perekonomian Indonesia yang sedang melambat.


Strategi Mengamankan Likuiditas
                                                                        
Untuk menjaga posisi likuiditas dan proyeksi cashflow agar selalu berada dalam posisi aman, terutama dalam kondisi tingkat bunga berfluktuasi, beberapa strategi ini dapat dilakukan oleh bank
- Merperpanjang jatuh tempo semua kewajiban bank, kecuali bila tingkat bunga
cenderung mengalami penurunan
- Melakukan diversifikasi sumber dana bank
- Menjaga keseimbangan jangka waktu asset dan kewajiban
- Memperbaiki posisi likuiditas antara lain mengalihkan asset yang kurang
marketable menjadi lebih marketable.
Sumber: ALCO, oleh Raflus Rax,1996.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar