Perbankan akan berupaya mati-matian mengamankan
likuiditasnya, bahkan lebih dari upaya mereka mengamankan profit. Berbagai
strategi diterapkan bank dari menawarkan suku bunga tinggi hingga menarik
komisi dari nasabah.
Liquidity is king.
Bagi sebuah bank, ungkapan itu sudah menjadi kredo. Perbankan masih bisa
merelakan dirinya terekspos risiko kredit, atau risiko reputasi sekalipun,
namun tidak akan pernah menganggap enteng ancaman dari susutnya likuiditas.
Begitu ada sinyal akan terjadi kekeringan likuiditas, bank akan segera
menanggapinya dengan serius.
Seperti yang terjadi sekarang. Ketika pelaku pasar makin
waspada dan bersiaga mengantisipasi dampak dari kebijakan penarikan stimulus
perekonomian AS, likuiditas di pasar lambat laun menjadi makin seret. Perbankan
mulai merasakan dana-dana di pasar sulit di dapat, di saat yang sama mereka tak
menurunkan agresifitasnya dalam melempar pinjaman.
Rasio dana dan kredit (LDR) kemudian melonjak cukup tajam.
Pada Juli, angka LDR bank umum –berdasarkan data dari Otoritas Jasa
Keuangan–mencapai hampir 93 persen, merangkak sejak awal tahun ini. Padahal
setahun sebelumnya LDR masih berada di level 89,7 persen. Dengan kondisi itu, perbankan
ditengarai banyak menggunakan dana-dana jangka pendek untuk membiayai kredit.
Pardi Sudradjat, Direktur Eksekutif Bankers Association for
Risk Management (BARa), mengatakan jika bank menggunakan dana-dana jangka
pendek di pasar uang antarbank maka bank membiarkan dirinya masuk dalam risiko
besar. “Menggunakan dana jangka pendek interbank
untuk membiayai kredit adalah sangat berisiko pada saat likuiditas kering dan
ancaman global crisis,” kata dia.
Menahan laju kredit adalah langkah yang paling pas dilakukan
oleh pengelola bank saat ini untuk setidaknya memiliki ruang likuiditas yang
cukup. Bank sentral dalam aturan terakhir yang diterbitkannya untuk perbankan
soal rasio dana dan kredit menggariskan bahwa bank harus mengarahkan LDR ke
dalam kisaran 78-92 persen. Jika rasio kredit bank di luar dari level tersebut
maka bank sentral akan memberikan sanksi.
“Yang penting (buat bank kini) LDR dibuat sekitar 85 persen
dulu, pertumbuhan kredit direm dulu. Jika LDR sudah di level ini maka bank
kemudian baru mengupayakan bauran DPK (dana pihak ketiga) dengan fokus
memperbesar dana murah,” jelas Pardi.
Bank harus menyimpan aset-aset yang likuid sedemikian rupa sehingga
dianggap cukup memenuhi kebutuhan pada saat krisis likuiditas secara spesifik
benar-benar terjadi, yang ditandai dengan penarikan dana secara besar-besaran.
“Bank akan berupaya keras mengamankan likuiditas at all cost, jika perlu bahkan urusan perolehan laba dilupakan
dulu,” kata bankir di salah satu bank pelat merah itu.
Apa yang dikatakan Pardi tidaklah berlebihan, alih-alih
itulah yang memang sedang terjadi. Bank sudah menawarkan bunga deposito yang
menggiurkan demi menarik dana nasabah atau sekadar mempertahankan yang ada.
Saat ini bank-bank menetapkan bunga khusus bagi nasabah-nasabah kelas kakap
yang memiliki dana lebih dari Rp2 miliar, yang besarannya bisa mencapai 11
persen. Tentu tidak ada satu bank pun yang akan mengakuinya. Meski demikian
Otoritas Jasa Keuangan, lembaga pengawas industri keuangan, mengetahuinya dan
buru-buru mengantisipasinya.
"Seperti ini tidak bisa dibiarkan. Jadi kami sedang
mendalami sekaligus meminta kepada industri, jangan sampai memasuki jebakan
persaingan untuk menaikkan tingkat suku bunga yang dipicu oleh perilaku deposan
besar,” kata Ketua Komisioner OJK Muliaman Darmansyah Hadad.
Menurutnya, kondisi pengetatan likuiditas memang memacu
perbankan untuk merayu deposan kakap yang memiliki dana di atas Rp 2 miliar,
dengan suku bunga tinggi. Sekadar informasi, suku bunga LPS berada di level
7,75 persen. Namun, perbankan berani mengganjar deposan dengan suku bunga
hingga 11 persen.
Strategi Bank
Selain mengiming-imingi nasabah dengan bunga spesial,
sejatinya bank sudah mengupayakan ketersediaan likuiditas dengan menarik
dana-dananya yang ada di Sertifikat Bank Indonesia. Menurut data otoritas,
penempatan dana bank-bank umum pada instrumen itu terus menyusut sejak Januari
hingga pertengahan tahun. Jika pada Januari angkanya masih sebesar Rp113,308
triliun maka pada Juni jumlahnya tinggal Rp89,92 triliun, berkurang lebih dari
seperlimanya.
Bank-bank negara juga tak kalah agresif menarik dana-dananya
di SBI hingga mencapai hampir separo dana yang ada di Januari. Selain itu,
keketatan likuiditas karena agresifnya bank menyalurkan kredit berdampak pada
strategi bank untuk mencari pendanaan di pasar uang antarbank.
Dalam banyak teori pengelolaan likuiditas, bank dianggap
likuid apabila memiliki sejumlah likuiditas atau memegang alat-alat likuid, cash assets (seperti uang kas, rekening
pada bank sentral dan bank lainnya) dalam jumlah yang sama dengan jumlah
kebutuhan likuiditas yang diperkirakan.
Bank juga memiliki likuiditas kurang dari kebutuhan, tetapi
bank memiliki surat-surat berharga yang segera dapat dialihkan menjadi kas,
tanpa mengalami kerugian baik sebelum atau sesudah jatuh tempo. Selain itu,
memiliki kemampuan untuk memperoleh likuiditas dengan cara menciptakan uang,
misalnya dengan menggunakan fasilitas diskonto, interbank call money, penjualan surat berharga dengan repurchase agreement (repo).
Selain itu bank juga memiliki cara lain untuk menarik dana
lebih banyak dari nasabah. Bulan lalu, tepat pada 1 November perbankan dan
penyedia jaringan transaksi tunai dinilai telah menjalankan rencana menaikkan
ongkos transaksi nasabah di mesin tarik tunai atau ATM. Penyedia jaringan
seperti ATM Prima, ATM Bersama, dan bank anggota sepakat mengerek tarif
transaksi lintas bank di ATM dari tiga jenis transaksi antarbank sebesar 50
persen. Tarif transfer antarbank naik menjadi Rp 7.500 per transaksi dari
sebelumnya Rp 5.000. Kemudian, biaya cek saldo di ATM antarbank menjadi Rp
4.000-Rp 4.500 per transaksi dari sebelumnya Rp2.000-Rp3.000. Aktivitas
penarikan tunai pun naik menjadi Rp 7.500-Rp 8.000 dari sebelumnya Rp 5.000.
Kenaikan itu disinyalir merupakan cara bank untuk menggenjot
pendapatan komisi (fee-based income).
Pendapatan ini termasuk di antaranya adalah pendapatan provisi, fee atau komisi
yang diterima bank dari pemasaran produk maupun transaksi jasa perbankan yang
dibebankan kepada nasabah sehubungan dengan produk dan jasa bank yang
dinikmatinya.
Pardi Sudradjat dari BARa berpendapat bahwa strategi yang
dilakukan bank untuk mengamankan likuiditas adalah wajar mengingat bank tidak
ingin mengambil risiko sedikit pun jika menyangkut likuiditas.
Meski begitu, secara umum keketatan yang ada hanya berasal
dari likuiditas pendanaan (funding
liquidity) karena, menurut dia, kondisi pasar modal (market liquidity) masih relatif likuid.
“Masalah yang dihadapi bank adalah dana pihak ketiga kurang.
Konon DPK separonya ada di luar negeri terutama di Singapura, ini terkait juga
dengan kebijakan pajak yang kadang tidak bijak sehingga mendorong orang lebih
suka menyimpan di luar negeri,” kata Pardi.
Apa yang diungkapkan Pardi, diamini oleh Direktur Utama Bank
Mandiri Budi Gunadi Sadikin. Diakui dia, kondisi likuiditas perbankan di dalam
negeri memang saat ini sangat ketat. Alhasil, perbankan nekat memberikan bunga
deposito tinggi, bahkan ada yang sampai 11 persen yang biasanya ditawarkan oleh
bank-bank besar.
Salah satu alasannya adalah, banyak individu dan perusahaan
di Indonesia yang memilih menyimpan uangnya di bank-bank Singapura. “Likuiditas
kita ketat karena banyak uang dari individu dan perusahaan Indonesia yang tidak
ada di sistem perbankan Indonesia, tapi ada di sistem perbankan Singapura,”
kata Budi.
Pada kesempatan itu, Budi juga mengusulkan, untuk
mengantisipasi ketatnya likuiditas di perbankan, perlu dibuat tabungan nasional
agar semua masyarakat masuk dalam sistem perbankan. Ini bisa mendorong
banyaknya dana masyarakat masuk ke perbankan.
Dampak Eksternal
Sejatinya, alarm dari kemungkinan susutnya likuiditas global
sudah dibunyikan oleh Dana Moneter Internasional. Direktur Pelaksana IMF
Christian Lagarde mengingatkan agar para pemimpin negara di Asia mendorong
perubahan struktural untuk memastikan kawasan itu tetap memimpin pertumbuhan
global. Pasalnya ada tantangan besar di depan terkait kemungkinan munculnya
volatilitas nilai tukar akibat dari pengurangan stimulus ekonomi yang dilakukan
bank sentral AS.
Hal itu dikatakan Lagarde beberapa bulan lalu saat menyampaikan
proyeksi ekonomi regional untuk kawasan Asia-Pasifik.
“Tingginya tingkat suku bunga dan serangan volatilitas arus
modal masih mempengaruhi perekonomian Asia. Di samping itu, ketatnya likuiditas
global di tengah pemulihan di negara-negara maju juga akan mengancam
perekonomian Asia,” kata dia.
Masalah ketatnya likuiditas global memang merupakan salah
satu risiko utama yang dihadapi kawasan Asia tahun ini dan tahun depan. Bahaya
lain yang juga perlu diwaspadai adalah perlambatan pertumbuhan China yang jauh
dari perkiraan. “Begitu pula dengan pengaruh pertumbuhan ekonomi Jepang yang
masih melambat. Meningkatnya ketegangan geopolitik yang mengganggu perdagangan
juga harus menjadi perhatian para pemimpin Asia,” kata Lagarde.
IMF memperkirakan ekonomi China akan tumbuh 7,5 persen pada
tahun ini dan 7,3 persen pada 2015. Sedangkan ekonomi Jepang diperkirakan
bertumbuh 1,4 persen tahun ini dan 1 persen pada tahun depan. Perlambatan
ekonomi China tentu akan berdampak terhadap negara yang memiliki hubungan
perdagangan bilateral, juga akan mempengaruhi kegiatan ekspor-impor, tak
terkecuali Indonesia.
Meski demikian, Asia diyakini mampu menghadapi tantangan ke
depan asalkan tetap konsisten dengan program reformasinya. Reformasi sangat
penting tidak hanya untuk mempertahankan pertumbuhan di kawasan Asia dalam
jangka menengah. “Dalam beberapa kasus untuk menjaga kepercayaan investor dan
mengamankan stabilitas keuangan dalam jangka pendek,” ujar Lagarde.
Pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia diperkirakan dua kali
lebih cepat dibandingkan negara-negara maju. Sedangkan pertumbuhan di negara
emerging (negara berkembang dengan pendapatan menengah), termasuk Cina dan
India, diperkirakan tiga kali lebih cepat.
Namun IMF mengingatkan penurunan produktivitas dalam
beberapa tahun terakhir. “Kawasan ini harus melakukan reformasi lebih lanjut
untuk meningkatkan potensi pertumbuhan dan terus mendorong masuknya investasi
asing,” ujar Lagarde.
Peringatan itu bukannya tidak digubris oleh otoritas moneter.
Karena sudah sejak jauh-jauh hari
Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo mengutarakan
bahwa tahun ini pihaknya akan memfokuskan kerja makroprudensial bank sentral
pada upaya memitigasi risiko kredit dan risiko likuiditas perbankan. “Pertumbuhan
kredit yang lebih tinggi dari pertumbuhan dana yang dihimpun, menyebabkan
meningkatnya risiko likuiditas,” katanya dia, beberapa bulan lalu.
Dalam kondisi likuiditas yang makin sulit saat ini, Agus
mengatakan, persaingan antarbank untuk menghimpun dana pihak ketiga semakin
ketat. Hal ini, selanjutnya akan mendorong suku bunga jangka pendek. “Ini
mengakibatkan adanya risiko suku bunga,” paparnya.
Meski demikian, jelas Agus, secara umum kondisi likuiditas
perbankan masih baik. Perlambatan pertumbuhan kredit cukup konsisten dan sesuai
dengan kondisi perekonomian Indonesia yang sedang melambat.
Strategi Mengamankan Likuiditas
Untuk menjaga posisi likuiditas dan proyeksi cashflow agar
selalu berada dalam posisi aman, terutama dalam kondisi tingkat bunga
berfluktuasi, beberapa strategi ini dapat dilakukan oleh bank
- Merperpanjang jatuh tempo semua kewajiban bank, kecuali
bila tingkat bunga
cenderung mengalami penurunan
- Melakukan diversifikasi sumber dana bank
- Menjaga keseimbangan jangka waktu asset dan kewajiban
- Memperbaiki posisi likuiditas antara lain mengalihkan asset yang kurang
marketable menjadi
lebih marketable.
Sumber: ALCO, oleh Raflus Rax,1996.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar