Kamis, 11 Desember 2014

Kembalinya Saudara Tua

Investor Jepang menandai ekspansinya ke sektor keunagan Indonesia dengan membeli Bank Mutiara. Meski dianggap lebih besar dari nilai bukunya, penjualan bank tersebut tetap memunculkan pertanyaan.

Masa-masa awal perang dunia kedua, Jepang pernah memaksa Indonesia untuk mengakui mereka sebagai ‘saudara tua’, dan kemudian merampas hampir semua kekayaan yang ada di Tanah Air. Kini saudara tua itu kembali ke Indonesia melalui sektor keuangan dan akan memanfaatkan potensi pasar yang sangat besar menjelang pasar bebas Asia Tenggara.
Pembelian Bank Mutiara oleh J Trust Co, Ltd, holding keuangan asal Jepang, bisa disebut sebagai menghilangkan momok atau membersihkan kerikil dalam sepatu, yang selama ini menghantui pemerintahan.
Sejak penyuntikan dana tepat enam tahun lalu, bank yang semula bernama Bank Century tak pernah lepas dari polemik. Dana Rp6,7 triliun dan ditambah lagi Rp1,4 triliun yang disuntik akhir tahun lalu, membuat bank ini termasuk bank dengan bantuan dana pemerintah terbesar sepanjang sejarah.
Tahun ini, Bank Mutiara berhasil dijual, meski harganya jauh di bawah duit pajak yang diberikan pemerintah kepada bank itu.
Tak bisa dipungkiri bahwa penjualan saat dead line ini menimbulkan pertanyaan lebih lanjut. Lima tahun lalu, pengamat ekonomi yang waktu itu juga menjadi Anggota Komisi Ekonomi dan Keuangan DPR, Dradjad H Wibowo pernah mengatakan bahwa pemerintah akan merugi hingga Rp5 triliun pada saat divestasi saham Bank Mutiara. Harga saham bank itu hanya akan mencapai Rp2 triliun tak lebih pada saat Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) harus mendivestasinya. Artinya dengan ekuitas yang pada 2009 mencapai Rp500 miliar, Dradjad saat itu meramalkan jika nanti dijual maka LPS akan rugi sekitar Rp4,5 triliun hingga Rp5 triliun rupiah.
Apa yang dikatakan Dradjad pada akhirnya terbukti, pemerintah melalui LPS harus melepas Bank Mutiara meski harganya di bawah ‘modal’ yang disuntikan dengan jumlah akumulatif mencapai Rp8,1 triliun.
Ekuitas Bank Mutiara per Desember 2013 sebesar Rp1,3 triliun, dan LPS melepasnya bulan lalu dengan harga Rp4,4 triliun. Pengembalian yang hanya 54 persen dari uang pajak yang disuntikkan kepada bank itu tentu memunculkan pertanyaan. Namun demikian, Kartiko Kartika Wirjoatmodjo, Kepala Eksekutif LPS tampaknya tidak sepakat.
Menurut dia, harga jual itu dihitung berdasarkan nilai buku Bank Mutiara yang saat ini Rp1,3 triliun dan dengan mendapatkan Rp4,4 triliun artinya harganya mencapa 3,5 nilai buku. “Nilai bukunya Mutiara berapa? Rp 1,3 triliun. Padahal injeksinya Rp 8,1 triliun. Ke mana larinya? Itu karena kerugian akumulatif yang terjadi pada saat bank ini dulu diselamatkan,” kata Kartika.
LPS memang wajar mengatakan hal itu karena memang bank itu harus dilepas tahun ini juga jika otoritas tak mau dianggap melanggar undang-undang. Namun demikian, pertanyaan yang harus dijawab adalah mengapa J Trust, mengingat perusahaan itu lebih fokus pada bisnis yang mengedepankan strategi merger dan akuisisi saja, atau bisa dibilang perusahaan broker saja.
Mengenai keputusan itu, Ketua LPS menilai bahwa penawaran dari J Trust adalah yang terbaik dari yang ada. Ditambah lagi perusahaan itu akan membayarnya secara tunai dan mau menanggung potensi risiko di kemudian hari tanpa meminta impunitas. Kelebihan inilah yang memudahkan LPS menjatuhkan pilihan pada J Trust.
Sebelumnya santer terdengar kabar bahwa BRI juga menyatakan minatnya pada Bank Mutiara. Namun demikian dana Rp3 triliun yang disiapkan tidak cukup untuk menaklukan hati pemegang saham.
Enny Sri Hartati, Direktur Indef, lembaga penelitian ekonomi Independen, mengatakan bahwa pertanyaan yang muncul di masyarakat soal siapa J Trust dan mengapa Mutiara dilepas ke perusahaan itu, adalah sesuatu yang wajar. “Publik tentu menduga-duga, apakah ada kesepakatan di belakang meja terkait penjualan itu,” kata dia.
Sektor perbankan adalah sektor yang sangat strategis dan pemerintah, lanjut Enny harus lebih berhati-hati memutuskan pihak-pihak yang bisa menggarap sektor itu. “Jadi pertanyaanya, kenapa harus dikasih kepada asing ketika ada investor lokal yang berminat.” 
Harga seharusnya tidak menjadi patokan utama dalam melepas institusi keuangan kepada pihak asing karena dalam jangka panjang komitmennya tidak bisa dipegang sehingga risiko bakal jadi ajang jual-beli bank sangat besar. “Apalagi perusahaan itu terkesan seperti brokerage,” kata Enny.
Menurut dia, jika perusahaan yang core business-nya bukan di perbankan maka peluang akan dijual kembali ketika sudah untung, sangat besar.
Selain itu, seperti juga pernah dikatakan oleh Dradjad H Wibowo, ekonom sekaligus politisi, Enny juga mengungkapkan bahwa terbuka kemungkinan bahwa dalam pembelian Mutiara ini ada semacam komitmen lain, di bidang ekonomi.  
Sebelumnya, pada akhir tahun lalu, J Trus melalui tangan usahanya J Trust Asia yang berpusat di Singapura, mencaplok 10 persen saham Bank Mayapada, senilai Rp 556,53 miliar. Jepang sudah memiliki bank joint venture di Indonesia lewat Bank Sumitomo Mitsui


Meratakan Jalan
Yang bisa dilihat kasat mata, masuknya J Trust akan meratakan jalan bagi investor-investor Jepang lainnya di sektor riil yang mengincar pasar Indonesia jelang dibukanya perdagangan bebas ASEAN tahun depan. Sebelumnya Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S. Lukman menyatakan bahwa setidaknya ada 10 perusahaan skala besar asal Jepang berminat untuk masuk ke sektor makanan dan minuman. "Menjelang ASEAN Economic Community (AEC) 2015, industri makanan dan minuman di Indonesia akan kedatangan banyak investor dari negara Jepang. Selain pasar yang sudah cukup jenuh di negaranya, ketertarikan investor Jepang untuk ekspansi karena Indonesia diprediksi menjadi pasar terbesar di ASEAN pada 2015," kata Adhi.
Sudah mulai jenuhnya pasar Jepang membuat perusahaannya berbondong memperluas pangsa pasar ke luar negeri yang dinilai masih potensial. Jepang adalah negara yang perekonomian masuk dalam lima besar di mana pajak bisnisnya sudah sangat tinggi dan demografi penduduk yang didominasi usia lanjut.
Perusahaan-perusahaan yang akan merangsek ke Indonesia, kata Gapmmi, antara lain Suntory, Asahi, Glico, Morinaga, Ito En, UHA, Mitsubishi, Yamazaki, dan Kanematsu. Sebagian besar perusahaan tersebut mendirikan perusahaan patungan dengan menggandeng perusahaan makanan minuman yang berdiri sebelumnya di Indonesia. "Morinaga menggandeng Kino Group membentuk perusahaan patungan PT Morinaga Kino Indonesia. Sedangkan Suntory Beverage & Food Limited, perusahaan minuman terbesar kedua di Jepang, menggandeng PT Garudafood Putra Putri Jaya membentuk PT Suntory Garuda Beverage," kata Adhi.
Asahi Group Holdings Southeast Asia Pte Ltd merangkul PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) membentuk PT Indofood Asahi Sukses Beverage. Selain dengan Asahi, Indofood CBP juga membentuk joint venture dengan JC Comsa Corporation, perusahaan asal Jepang yang bergerak di bidang produksi dan pengolahan produk makanan berbahan dasar tepung terigu, food service, serta pengelola jaringan restoran dengan porsi kepemilikan saham mayoritas.
Sedangkan PT Ultrajaya Milk Industry & Trading Company Tbk (ULTJ) membentuk joint venture dengan Ito En Asia Pacific Holdings asal Jepang. Mitsubishi, perusahaan perdagangan terbesar di Jepang, juga menggandeng Alfamart Group untuk memproduksi dan menjual roti di 8.000 jaringan ritel PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk (AMRT). Tidak hanya sampai di situ, perusahaan-perusahaan Jepang yang telah dan akan berekspansi di Indonesia juga akan diperkuat dengan dukungan dari sektor ritel.
Duta Besar Jepang untuk Indonesia Yasuaki Tanizaki mengakui bahwa negaranya akan semakin meningkatkan penanaman modalnya ke Indonesia dan dan tetap menjadi investor terbesar pada 2015. “Banyak negara yang tertarik dengan Indoesia, dan kami sepakat di Indonesia akan banyak peluang untuk investasi. Karena itu, saya berpikir investasi Jepang di Indonesia akan lebih banyak, dan sekarang Jepang menjadi penanam investasi nomor satu di Indonesia," katanya bulan lalu.
Jadi, bersiap-siap saja, karena saudara tua kita itu sudah kembali.




Box

Besar lewat Merger dan Akuisisi

J Trust Co, Ltd merupakan perusahaan yang bergerak pada bidang keuangan, real estate, sistem IT, dan bisnis hiburan yang beroperasi di Jepang dan dunia internasional. J Trust didirikan pada 18 Maret 1977 dengan modal 53,5 miliar yen dan berkantor pusat di Tokyo, Jepang.
J Trus Grup, menyebut diri mereka sendiri sebagai perusahaan yang dengan cepat memperluas bisnisnya sebagai penyedia jasa keuangan ritel yang komprehensif dengan strategi merger dan akuisisi yang agresif serta pembelian utang. Usaha Grup berpusat pada jasa keuangan tetapi juga melibatkan berbagai kegiatan lain dari real estate untuk hiburan, termasuk kegiatan bisnis di luar negeri.
J Trust memiliki keahlian dan pengalaman dalam bisnis pembiayaan konsumen dan kartu kredit. Dibuktikan dengan memiliki anak perusahaan KC Kartu Co, Ltd, yang telah bergerak dalam bisnis kartu kredit dari Rakuten dan Nihon Hosho Co Ltd yang bergerak dalam bisnis pembiayaan konsumen Takefuji Co Ltd (sekarang TFK Co Ltd setelah perusahaan reorganisasi). Grup juga telah memanfaatkan sisi know-how mereka dan juga sumber daya manusia di bidang keuangan ritel untuk memperoleh dan mengoperasikan sebuah bank tabungan dan perusahaan pembiayaan konsumen di Republik Korea.
J Trus berdiri sejak Maret 1977, sebagai lembaga pinjaman untuk usaha kecil dan menengah dan berhasil mengembangkan bisnis tersebut di Jepang.  Namun, lembaga itu terpaksa merampingkan bisnis karena adanya perubahan dalam lingkungan bisnis yang disebabkan oleh masalah Pinjaman Shoko & penurunan batas atas suku bunga berdasarkan Undang-Undang Investasi Investasi pada 2000, dan masalah pengembalian dana klaim yang muncul pada 2006.
Namun demikian, sejak Presiden & CEO Perusahaan, Nobuyoshi Fujisawa, perusahaan itu terus bergerak maju untuk menjadi perusahaan keuangan yang memiliki banyak anak usaha dengan memperoleh sumber daya manajemen dari entitas luar melalui merger dan akuisisi ditambah ekspansi progresif operasi penjaminan kredit.
Pada bulan Oktober 2010, Perseroan menjadi perusahaan induk bertugas mengawasi pengelolaan seluruh Group. Nobuyoshi yang sekaligus menjadi pemegang saham pengendali perusahaan itu sejak 2008, memang sudah mengincar pasar Asia Tenggara, terutama Indonesia sebagai penguasa separo dari pasar itu.
“Memanfaatkan sebagian dari dana yang diperoleh, kami mendirikan J Trust Asia sebagai basis kami untuk kegiatan investasi di Asia Tenggara dan berhasil memperoleh pinjaman perusahaan 2 konsumen di Korea Selatan. Kami melihat upaya-upaya kita terus membuat sudah mulai berbuah hingga Maret 2014,” kata dia di situs resmi perusahaan.
Sebelumnya, untuk mendukung ekspansi bisnisnya, J Trus telah melakukan right issue
untuk meningkatkan modal ke level 100 miliar yen.
Menurut dia, J Trus sudah memasuki tahap kedua dalam rencana pertumbuhan dan pengembangan lebih lanjut. “Seperti yang kami pertimbangkan, salah satu persyaratan bagi kita untuk mencapai pertumbuhan yang signifikan adalah untuk memindahkan bisnis dasar utama kami ke Korea Selatan, negara-negara Asia Tenggara dan negara-negara asing lainnya. Kami aktif melakukan strategi M&A pada berbagai proyek baik di dalam maupun di luar Jepang,” kata Nobuyoshi.
J Trus memiliki sedikitnya 15 anak usaha, termasuk J Trus Asia yang baru berdiri 7 Oktober 2013. Akhir tahun lalu, J Trus Asia telah membeli sebagian saham Bank Mayapada
J Dipercaya Asia akan mengakuisisi 347.832.000 saham Bank Mayapada, 10 persen dari jumlah saham yang beredar, senilai 4,773 juta yen atau lebih dari Rp550 miliar..





Profil J Trust Co (sampai Maret 2014)

Berdiri                                                  18 Maret 1977
Pemegang saham                                  Nobuyoshi Fujisawa 26,55 persen            
                                                              Japan Trustee Services Bank, Ltd.(Trust account) 5,11 pers
                                                              NLHD Co Ltd. *                      5,08 persen   

Modal                                                    53,5 milar yen setara

Revenue from Operations           61,926 miliar yen
Operating Profit               13,745 miliar yen
Ordinary Profit                  13,351 miliar yen
Net Income                        11,145 miliar yen
Total Assets                        334,736 miliar yen
Net Assets                          184,230 miliar yen
Net Worth                          177,263 miliar yen
Capital Adequacy Ratio  53,0 persen.
(konsolidasi)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar