Kamis, 11 Desember 2014

Kenapa tidak 'Capital Control' Saja?



Gonjang-ganjing gejolak valuta asing sehingga menekan nilai tukar sejatinya bisa dituntaskan dengan menerapkan kebijakan kontrol devisa. Meski di Indonesia, hal itu masih dihindari, negara-negara lain sudah menerapkannya dengan berbagai modifikasi.

Ancaman itu memang begitu nyata. Kemungkinan hengkangnya dana-dana asing kembali ke negeri Paman Sam ketika kebijakan normalisasi diterapkan begitu terbuka. Ya, tahun depan adalah tahun yang menegangkan bagi Bank Indonesia. Otoritas moneter kembali menghadapi ujian paling penting dalam mengelola moneter ketika The Federal Reserve diperkirakan akan menaikkan suku bunganya paling cepat pada semester pertama.
Indonesia menghadapi persoalan pelik terutama dalam mengelola nilai tukar yang menjadi tujuan tunggal BI, sejak lembaga itu dinyatakan independen. Dalam mengelola kurs dan menjaga nilai tukar rupiah, BI seperti terdikte oleh investor yang bermain di pasar uang.
Ketika banyak dana dari luar yang masuk maka BI akan bersiap menjaga rupiah agar tidak terlalu menguat dengan cara menyerap dana itu. Sebaliknya, jika banyak dana yang keluar maka BI akan menjaga rupiah agar tidak anjlok dengan cara melepas cadangannya ke pasar.
Akan tetapi, cara itu tidak akan bisa diterapkan kontinyu dan konsisten dalam jangka waktu yang lama. Menurut mantan Gubernur Bank Indonesia, Hartadi Agus Sarwono, BI paling jauh hanya akan melakukan intervensi ke pasar uang untuk mengendalikan nilai tukar rupiah. Jika nilai tukar terdepresiasi, BI intervensi agar permintaan valas bisa terkendali, sebaliknya jika menguat, BI akan turun ke pasar agar penguatannya terkendali.
Meski begitu, Hartadi mengakui bahwa strategi itu hanya sementara. “Tetapi sampai kapan. (kalau terus menerus intervensi) bisa habis (cadangan devisa),” kata dia.
Oleh karena itu banyak pengamat, ketika nilai tukar rupiah dalam tren pelemahan, menyarankan agar BI menerapkan sistem lalu lintas devisa yang lebih terkontrol, alih-alih melanjutkan sistem devisa bebas.
Namun demikian, Undang-Undang No 24 tahun 1999 Tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar membuat BI tidak akan mengambil opsi untuk menerapkan kontrol devisa. Ditambah dengan Undang-Undang Tentang Bank Indonesia yang terbit di tahun yang sama, sejatinya Bank sentral menghadapi yang secara teori disebut monetary trilemma atau biasa juga dikenal dengan sebutan impossible trinity. Istilah itu mengacu pada tiga sistem yang terdiri dari sistem nilai tukar mengambang bebas, sistem devisa bebas, dan juga independensi bank sentral, yang ketiganya bekerja secara simultan. Jika salah satunya diubah maka yang lain otomatis akan berubah atau harus diubah.
Inilah yang disebut-sebut membelenggu otoritas moneter dalam mengantisipasi adanya gejolak valuta asing secara lebih komprehensif. Oleh karena itu, sejak dinyatakan independen pada 1999 hingga saat ini, manajemen kurs yang diterapkan BI dinilai selalu parsial dan hanya responsif terhadap gejolak di pasar uang.
Akan tetapi beberapa negara tampaknya lebih berani menerapkan langkah yang lebih ketat dalam mengatur lalu lintas devisa demi menjaga nilai tukarnya. Bahkan beberapa di antaranya benar-benar melakukan kontrol devisa.

China

Indonesia bukan satu-satunya yang menghadapi persoalan pelik terkait lalu lintas devisa yang begitu terbuka saat ini. China, dalam sepuluh tahun terakhir merupakan salah satu negara yang mendapatkan arus modal masuk yang cukup besar. Derasnya arus modal masuk ini kemudian memengaruhi uang beredar di China sehingga meningkatkan tekanan inflasi. Karena negara Tirai Bambu itu menerapkan sistem nilai tukar managed floating, maka intervensi di pasar valuta asing secara otomatis dilakukan.
Namun demikian China juga melakukan cara lain yaitu dengan melakukan sterilisasi. Yuan juga dibiarkan terapresiasi untuk mengurangi tekanan terhadap inflasi. Selain itu, China juga mendorong arus modal keluar dengan cara mempermudah ketentuan para investor China untuk menanamkan modalnya di luar China.

Thailand
Thailand juga pernah melakukan kebijakan kontrol devisa ketika pemerintahnya terguncang akibat kudeta dan membuat dana-dana asing hengkang. Saat itu Thailand memaksa dana-dana asing untuk bertahan di sistem keuangannya selama enam bulan.
Thailand juga melakukan capital controls baik terkait arus modal masuk dan keluar. Untuk menahan aliran modal masuk, Thailand menetapkan 15 persen witholding tax atas pendapatan bunga dan capital gain dari investasi asing dalam instrumen fixed income. Di sisi lain, untuk mendorong arus modal keluar Thailand juga mempermudah aturan untuk para investor domestik Thailand untuk menanamkan modalnya di luar negeri.

Brazil
 Brazil menetapkan untuk menaikkan pajak atas investasi asing pada fixed income investment dan equity funds dari 2 persen menjadi 4 persen. Selain itu, Brazil juga meningkatkan pajak untuk margin dari deposito yang disetorkan investor asing untuk melakukan transasksi derivatif.

India
India juga melakukan capital control Pemerintah India menaikkan batas maksimal pembelian foreign institusional investors (FII) dari 10 miliar menjadi 20 miliar dolar AS untuk tiap jenis obligasi. Selain itu, investasi tersebut hanya dapat dilakukan untuk surat berharga dengan tenor di atas 5 tahun dan untuk pembangunan infrastruktur.

Singapura
Devisa terkontrol juga diterapkan oleh Singapura. Negara dengan penduduk kurang dari 6 juta jiwa ini memberlakukan pembatasan maksimal pembelian atau penjualan mata uangnya sebanyak 5 juta dollar Singapura. Di atas jumlah itu maka nasabah wajib lapor ke Bank Sentral Singapura yang dikenal dengan nama Monetary Authority of Singapore (MAS). Dengan demikian, pembelian atau penjualan dalam jumlah banyak mata uangnya terutama untuk tindakan spekulasi, sudah dapat dideteksi sejak awal oleh otoritas. Pemerintah Singapura sadar bahwa untuk meredam tindakan spekulator yang akan menghancurkan ekonominya, maka harus dibuat peraturan yang sangat ketat dalam permainan valas.

Malaysia
Contoh yang paling terang dalam penerapan kontrol devisa adalah Malaysia. Negara jiran terdekat ini melakukan kombinasi sistem devisa yaitu Currency Board System (CBS) dan Sistem Devisa Terkontrol. CBS diberlakukan mulai tahun 1990-an dengan menetapkan nilai range minimum dan maksimum pada ringgit Malaysia yang boleh diperdagangkan dan ditetapkan Bank Negara Malaysia.
Dan Sistem Devisa Terkontrol mulai diberlakukan tahun 1998, pada waktu terjadi serbuan spekulator di Asia Tenggara, melakukan tindakan aturan sandera pada mata uangnya antara lain dengan mengatakan bahwa semua ringgit yang beredar di luar negeri (offshore) dinyatakan tidak laku, kecuali dikembalikan kepada bank sentral.
TIndakan ini mengharuskan spekulator untuk menjual kembali dollar AS kepada ringgit sehingga mata uang Malaysia itu selamat dari serbuan asing. Jadi tindakan sistem devisa terkontrol ini, telah menyelamatkan Malaysia dari krisis keuangan tahun 1998 dan relatif mengalami dampak yang kecil terhadap gelombang spekulasi.

‘Setengah’ Kontrol Devisa
Indonesia, sejatinya pernah juga menerapkan kebijakan ‘setengah kontrol devisa’ pada 2008 ketika cadangan devisa makin menipis karena terus melemahnya kurs rupiah terhadapa dollar AS. Saat itu, pembelian valas oleh pelaku ekonomi selain bank yang jumlahnya melebihi 100 ribu dollar AS per bulan harus memiliki kebutuhan yang mendasarinya atau underlying transaction.
Pelaku ekonomi yang diatur adalah nasabah individual, badan hukum di Indonesia dan pihak asing. Untuk pihak asing, aturan tersebut hanya mengatur pembelian dollar AS di pasar spot. Khusus nasabah individual dan badan hukum diwajibkan melampirkan nomor pajak wajib pajak (NPWP).
Aturan tersebut diberlakukan karena dunia saat itu tengah mengalami krisis likuiditas yang ketat, dan BI terpaksa membatasi pembelian valas untuk mengurangi spekulasi.
Setelah itu BI juga sempat menerapkan kebijakan meningkatkan giro wajib minimum (GWM) valuta asing. Dalam aturan GWM untuk valas tersebut, regulator menaikkan rasio setoran wajib bank dengan dana pihak ketiga berbentuk valas hingga 8 persen dari level sebelumnya yang masih 1 persen. Hal itu akan diterapkan bertahap yaitu rasio GWM dinaikkan dari 1 persen menjadi 5 persen pada 1 Maret 2011 dan kemudian dinaikkan lagi menjadi 8 persen pada 1 Juni 2011.

  
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Kebijakan Negara Lain Terkait Arus Devisa


China

- Melakukan sterilized intervention.
- Yuan dibuat lebih fleksibel.
- Menurunkan dan memperketat kuota pinjaman yang dapat diperoleh asing.
- Kebijakan makroprudensial, stress test, dengan mengarahkan capital inflows ke sektor properti.
- GWM dinaikkan menjadi 20 persen per 25 Maret 2011
- Menaikkan suku bunga +25bps
- Melonggarkan ketentuan investasi di luar negeri (partial liberalization).


India

- Menaikkan batas maksimal pembelian obligasi Pemerintah dari 10 miliar USD menjadi 20 miliar USD.
- Hanya boleh membeli surat berharga dengan tenor 5 tahun.
- Hanya untuk proyek-proyek pembangunan infrastruktur.
- Menaikkan suku bunga +50bps.


Thailand (sebelum 2010)
- Mengenakan 15 persen witholding tax atas pendapatan bunga dan capital gain investasi.
- Merelaksasi nilai tukar.
- Mengizinkan investor domestik untuk investasi di luar negeri.

Brazil

- Menaikkan pajak atas investasi asing (fixed income investment 6 persen dan equity funds 4 persen).
- Menaikkan suku bunga +50bps

Peru

- Sterilisasi mata uang.
- Menaikkan GWM sebesar +75bps.


Turki
- Menaikkan GWM sebesar 50 bps (menjadi 9,5 persen)

Sumber : Laporan Tahunan Bank Indonesia 2010

-------------------------------------------------------------------------------------------------------                                                                                                           

Mitos-mitos Terkait Capital Control

Setidaknya ada empat mitos buruk terkait dampak aliran valas dari dan ke sebuah negara sehingga otoritas moneter atau Pemerintah harus melakukan capital controls:

1. Ancaman Apresiasi.

Tekanan apresiasi terhadap mata uang domestik. Mata uang domestik akan terus menguat sehingga dapat mengurangi daya saing barang ekpor negara tersebut relatif terhadap negara lain.

2. Ancaman Hot Money.

Derasnya modal masuk hanya bersifat jangka pendek (short term). Dana jangka pendek ini dapat menyebabkan instabilitas ekonomi karena selain dapat membuat nilai mata uang domestik menguat secara cepat, hot money juga dapat menimbulkan instabilitas bahkan krisis pasar keuangan seperti yang terjadi di Asia pada tahun 1997.

3. Ancaman Derasnya Modal Masuk (large inflows).

Derasnya arus modal masuk menuju suatu negara layaknya dua mata pedang. Di satu sisi dinanti, di sisi lain dibenci. Modal masuk dapat menjadi tambahan modal sehingga dapat mendorong kinerja ekonomi lebih besar, namun di sisi lain derasnya modal masuk juga dapat membuat mata uang domestik terapresiasi secara signifikan sehingga dapat mengurangi daya saing ekpor produk domestik.

4. Ancaman Otonomi atau Independensi Otoritas Moneter.

Ketika terjadi fenomena derasnya arus masuk, ada dua opsi yang dapat dilakukan Pemerintah. Pertama, mengorbankan free capital mobility guna mencapai kestabilan nilai mata uang domestik. Kedua, membiarkan mobilitas modal secara bebas, namun mengorbankan nilai mata uang domestik terus terapresiasi.

(Capital Control: Myth and Rality a Protfolio Approach to Capital Controls, Nicolas E. Magud, dikutip dari tulisan Dzulfian Syafrian, peneliti Indef)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar