Gonjang-ganjing gejolak
valuta asing sehingga menekan nilai tukar sejatinya bisa dituntaskan dengan
menerapkan kebijakan kontrol devisa. Meski di Indonesia, hal itu masih
dihindari, negara-negara lain sudah menerapkannya dengan berbagai modifikasi.
Ancaman itu memang begitu
nyata. Kemungkinan hengkangnya dana-dana asing kembali ke negeri Paman Sam
ketika kebijakan normalisasi diterapkan begitu terbuka. Ya, tahun depan adalah
tahun yang menegangkan bagi Bank Indonesia. Otoritas moneter kembali menghadapi
ujian paling penting dalam mengelola moneter ketika The Federal Reserve
diperkirakan akan menaikkan suku bunganya paling cepat pada semester pertama.
Indonesia menghadapi
persoalan pelik terutama dalam mengelola nilai tukar yang menjadi tujuan
tunggal BI, sejak lembaga itu dinyatakan independen. Dalam mengelola kurs dan
menjaga nilai tukar rupiah, BI seperti terdikte oleh investor yang bermain di
pasar uang.
Ketika banyak dana dari luar
yang masuk maka BI akan bersiap menjaga rupiah agar tidak terlalu menguat
dengan cara menyerap dana itu. Sebaliknya, jika banyak dana yang keluar maka BI
akan menjaga rupiah agar tidak anjlok dengan cara melepas cadangannya ke pasar.
Akan
tetapi, cara itu tidak akan bisa diterapkan kontinyu dan konsisten dalam jangka
waktu yang lama. Menurut mantan Gubernur Bank Indonesia, Hartadi Agus Sarwono, BI
paling jauh hanya akan melakukan intervensi ke pasar uang untuk mengendalikan
nilai tukar rupiah. Jika nilai tukar terdepresiasi, BI intervensi agar
permintaan valas bisa terkendali, sebaliknya jika menguat, BI akan turun ke
pasar agar penguatannya terkendali.
Meski
begitu, Hartadi mengakui bahwa strategi itu hanya sementara. “Tetapi sampai
kapan. (kalau terus menerus intervensi) bisa habis (cadangan devisa),” kata
dia.
Oleh karena itu banyak
pengamat, ketika nilai tukar rupiah dalam tren pelemahan, menyarankan agar BI
menerapkan sistem lalu lintas devisa yang lebih terkontrol, alih-alih melanjutkan
sistem devisa bebas.
Namun demikian, Undang-Undang
No 24 tahun 1999 Tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar membuat BI
tidak akan mengambil opsi untuk menerapkan kontrol devisa. Ditambah dengan
Undang-Undang Tentang Bank Indonesia yang terbit di tahun yang sama, sejatinya Bank
sentral menghadapi yang secara teori disebut monetary trilemma atau biasa juga dikenal dengan sebutan impossible trinity. Istilah itu mengacu pada
tiga sistem yang terdiri dari sistem nilai tukar mengambang bebas, sistem devisa
bebas, dan juga independensi bank sentral, yang ketiganya bekerja secara
simultan. Jika salah satunya diubah maka yang lain otomatis akan berubah atau
harus diubah.
Inilah yang disebut-sebut membelenggu
otoritas moneter dalam mengantisipasi adanya gejolak valuta asing secara lebih
komprehensif. Oleh karena itu, sejak dinyatakan independen pada 1999 hingga
saat ini, manajemen kurs yang diterapkan BI dinilai selalu parsial dan hanya
responsif terhadap gejolak di pasar uang.
Akan tetapi beberapa negara
tampaknya lebih berani menerapkan langkah yang lebih ketat dalam mengatur lalu
lintas devisa demi menjaga nilai tukarnya. Bahkan beberapa di antaranya
benar-benar melakukan kontrol devisa.
China
Indonesia bukan satu-satunya
yang menghadapi persoalan pelik terkait lalu lintas devisa yang begitu terbuka
saat ini. China, dalam sepuluh tahun terakhir merupakan salah satu negara yang
mendapatkan arus modal masuk yang cukup besar. Derasnya arus modal masuk ini
kemudian memengaruhi uang beredar di China sehingga meningkatkan tekanan
inflasi. Karena negara Tirai Bambu itu menerapkan sistem nilai tukar managed floating, maka intervensi di
pasar valuta asing secara otomatis dilakukan.
Namun demikian China juga
melakukan cara lain yaitu dengan melakukan sterilisasi. Yuan juga dibiarkan
terapresiasi untuk mengurangi tekanan terhadap inflasi. Selain itu, China juga
mendorong arus modal keluar dengan cara mempermudah ketentuan para investor China
untuk menanamkan modalnya di luar China.
Thailand
Thailand juga pernah
melakukan kebijakan kontrol devisa ketika pemerintahnya terguncang akibat
kudeta dan membuat dana-dana asing hengkang. Saat itu Thailand memaksa
dana-dana asing untuk bertahan di sistem keuangannya selama enam bulan.
Thailand juga melakukan capital
controls baik terkait arus modal masuk dan keluar. Untuk menahan aliran modal
masuk, Thailand menetapkan 15 persen witholding
tax atas pendapatan bunga dan capital gain dari investasi asing dalam
instrumen fixed income. Di sisi lain, untuk mendorong arus modal keluar
Thailand juga mempermudah aturan untuk para investor domestik Thailand untuk
menanamkan modalnya di luar negeri.
Brazil
Brazil menetapkan untuk
menaikkan pajak atas investasi asing pada fixed
income investment dan equity funds
dari 2 persen menjadi 4 persen. Selain itu, Brazil juga meningkatkan pajak
untuk margin dari deposito yang disetorkan investor asing untuk melakukan
transasksi derivatif.
India
India juga melakukan capital control Pemerintah India
menaikkan batas maksimal pembelian foreign institusional investors (FII) dari
10 miliar menjadi 20 miliar dolar AS untuk tiap jenis obligasi. Selain itu,
investasi tersebut hanya dapat dilakukan untuk surat berharga dengan tenor di
atas 5 tahun dan untuk pembangunan infrastruktur.
Singapura
Devisa
terkontrol juga diterapkan oleh Singapura. Negara dengan penduduk kurang dari 6
juta jiwa ini memberlakukan pembatasan maksimal pembelian atau penjualan mata
uangnya sebanyak 5 juta dollar Singapura. Di atas jumlah itu maka nasabah wajib
lapor ke Bank Sentral Singapura yang dikenal dengan nama Monetary Authority of
Singapore (MAS). Dengan demikian, pembelian atau penjualan dalam jumlah banyak mata
uangnya terutama untuk tindakan spekulasi, sudah dapat dideteksi sejak awal
oleh otoritas. Pemerintah Singapura sadar bahwa untuk meredam tindakan
spekulator yang akan menghancurkan ekonominya, maka harus dibuat peraturan yang
sangat ketat dalam permainan valas.
Malaysia
Contoh
yang paling terang dalam penerapan kontrol devisa adalah Malaysia. Negara jiran
terdekat ini melakukan kombinasi sistem devisa yaitu Currency Board System (CBS)
dan Sistem Devisa Terkontrol. CBS diberlakukan mulai tahun 1990-an dengan
menetapkan nilai range minimum dan
maksimum pada ringgit Malaysia yang boleh diperdagangkan dan ditetapkan Bank
Negara Malaysia.
Dan
Sistem Devisa Terkontrol mulai diberlakukan tahun 1998, pada waktu terjadi
serbuan spekulator di Asia Tenggara, melakukan tindakan aturan sandera pada
mata uangnya antara lain dengan mengatakan bahwa semua ringgit yang beredar di
luar negeri (offshore) dinyatakan
tidak laku, kecuali dikembalikan kepada bank sentral.
TIndakan ini mengharuskan
spekulator untuk menjual kembali dollar AS kepada ringgit sehingga mata uang
Malaysia itu selamat dari serbuan asing. Jadi tindakan sistem devisa terkontrol
ini, telah menyelamatkan Malaysia dari krisis keuangan tahun 1998 dan relatif
mengalami dampak yang kecil terhadap gelombang spekulasi.
‘Setengah’ Kontrol Devisa
Indonesia, sejatinya pernah
juga menerapkan kebijakan ‘setengah kontrol devisa’ pada 2008 ketika cadangan
devisa makin menipis karena terus melemahnya kurs rupiah terhadapa dollar AS.
Saat itu, pembelian valas oleh pelaku ekonomi selain bank yang jumlahnya
melebihi 100 ribu dollar AS per bulan harus memiliki kebutuhan yang
mendasarinya atau underlying transaction.
Pelaku ekonomi yang diatur
adalah nasabah individual, badan hukum di Indonesia dan pihak asing. Untuk
pihak asing, aturan tersebut hanya mengatur pembelian dollar AS di pasar spot.
Khusus nasabah individual dan badan hukum diwajibkan melampirkan nomor pajak
wajib pajak (NPWP).
Aturan tersebut diberlakukan
karena dunia saat itu tengah mengalami krisis likuiditas yang ketat, dan BI
terpaksa membatasi pembelian valas untuk mengurangi spekulasi.
Setelah itu BI juga sempat
menerapkan kebijakan meningkatkan giro wajib minimum (GWM) valuta asing. Dalam
aturan GWM untuk valas tersebut, regulator menaikkan rasio setoran wajib bank
dengan dana pihak ketiga berbentuk valas hingga 8 persen dari level sebelumnya
yang masih 1 persen. Hal itu akan diterapkan bertahap yaitu rasio GWM dinaikkan
dari 1 persen menjadi 5 persen pada 1 Maret 2011 dan kemudian dinaikkan lagi
menjadi 8 persen pada 1 Juni 2011.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kebijakan Negara Lain Terkait Arus Devisa
China
- Melakukan sterilized
intervention.
- Yuan dibuat lebih
fleksibel.
- Menurunkan dan memperketat
kuota pinjaman yang dapat diperoleh asing.
- Kebijakan makroprudensial,
stress test, dengan mengarahkan capital inflows ke sektor properti.
- GWM dinaikkan menjadi 20
persen per 25 Maret 2011
- Menaikkan suku bunga +25bps
- Melonggarkan ketentuan
investasi di luar negeri (partial
liberalization).
India
- Menaikkan batas maksimal
pembelian obligasi Pemerintah dari 10 miliar USD menjadi 20 miliar USD.
- Hanya boleh membeli surat
berharga dengan tenor 5 tahun.
- Hanya untuk proyek-proyek
pembangunan infrastruktur.
- Menaikkan suku bunga
+50bps.
Thailand (sebelum 2010)
- Mengenakan 15 persen witholding tax atas pendapatan bunga dan
capital gain investasi.
- Merelaksasi nilai tukar.
- Mengizinkan investor
domestik untuk investasi di luar negeri.
Brazil
- Menaikkan pajak atas
investasi asing (fixed income investment
6 persen dan equity funds 4 persen).
- Menaikkan suku bunga +50bps
Peru
- Sterilisasi mata uang.
- Menaikkan GWM sebesar
+75bps.
Turki
- Menaikkan GWM sebesar 50
bps (menjadi 9,5 persen)
Sumber : Laporan Tahunan Bank
Indonesia 2010
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
Mitos-mitos Terkait Capital Control
Setidaknya
ada empat mitos buruk terkait dampak aliran valas dari dan ke sebuah negara
sehingga otoritas moneter atau Pemerintah harus melakukan capital controls:
1.
Ancaman Apresiasi.
Tekanan
apresiasi terhadap mata uang domestik. Mata uang domestik akan terus menguat
sehingga dapat mengurangi daya saing barang ekpor negara tersebut relatif
terhadap negara lain.
2.
Ancaman Hot Money.
Derasnya
modal masuk hanya bersifat jangka pendek (short term). Dana jangka pendek ini
dapat menyebabkan instabilitas ekonomi karena selain dapat membuat nilai mata
uang domestik menguat secara cepat, hot money juga dapat menimbulkan
instabilitas bahkan krisis pasar keuangan seperti yang terjadi di Asia pada
tahun 1997.
3.
Ancaman Derasnya Modal Masuk (large inflows).
Derasnya
arus modal masuk menuju suatu negara layaknya dua mata pedang. Di satu sisi
dinanti, di sisi lain dibenci. Modal masuk dapat menjadi tambahan modal
sehingga dapat mendorong kinerja ekonomi lebih besar, namun di sisi lain
derasnya modal masuk juga dapat membuat mata uang domestik terapresiasi secara
signifikan sehingga dapat mengurangi daya saing ekpor produk domestik.
4.
Ancaman Otonomi atau Independensi Otoritas Moneter.
Ketika
terjadi fenomena derasnya arus masuk, ada dua opsi yang dapat dilakukan
Pemerintah. Pertama, mengorbankan free capital mobility guna mencapai
kestabilan nilai mata uang domestik. Kedua, membiarkan mobilitas modal secara
bebas, namun mengorbankan nilai mata uang domestik terus terapresiasi.
(Capital
Control: Myth and Rality a Protfolio Approach to Capital Controls, Nicolas E.
Magud, dikutip dari tulisan Dzulfian Syafrian, peneliti Indef)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar