Kamis, 11 Desember 2014

Sirene Krisis

Sirene krisis sejatinya sudah menyala, meski mungkin tingkat kewaspadaannya masih siaga 2. Namun, Bank Indonesia –sejak  memperoleh independensinya pada 1999–tak mau mengambil risiko sedikitpun akan munculnya krisis walaupun itu masih berupa gejala atau pertanda. Adalah rencana bank sentral AS yang tahun depan akan mengembalikan kebijakannya ke jalur normal, yang menjadi pemicunya. Hal itu sudah cukup menjadi alarm bahwa ekonomi global akan kembali bergejolak. Karenanya Bank Indonesia, yang kehilangan taji pegawasan perbankannya tahun ini, langsung bergegas menyiapkan diri mengantisipasinya.
Akan tetapi yang sibuk menyiapkan diri terlihat hanya otoritas moneter saja, sementara pemerintah, sebagai otoritas fiskal terlihat adem ayem. Pemerintahan baru yang terbentuk Oktober lalu tampaknya masih sibuk mengutak-atik masalah fiskal dan berupaya menambalnya anggaran.
Padahal Kementerian Keuangan sejatinya sudah harus bahu membahu menyiapkan langkah antisipasi dan mitigasi krisis. Menteri Keuangan adalah salah satu anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan bersama BI, Lembaga Penjamin Simpanan, dan Otoritas Jasa Keuangan.
Pemerintah berencana akan menerbitkan obligasi pada tahun depan untuk menutup kebutuhan anggaran, dan lebih dari separonya akan diterbitkan sebelum semester satu berakhir. Meski strategi front loading itu mempertimbangkan kemungkinan dampak normalisasi kebijakan AS, tetapi tujuannya bukan untuk mengantisipasi krisis.
Malahan strategi pemerintah yang mengandalkan pertumbuhan ekonomi tahun depan pada investasi langsung juga dianggap berbahaya. Menurut Bank Dunia, strategi itu akan menambah tambahan beban impor, padahal Indonesia masih memiliki masalah pada Neraca Transaksi Berjalan.
Kondisi itu justru akan makin menambah kekhawatiran, bahwa krisis akibat normalisasi ekonomi AS, akan makin nyata.
Trauma krisis sejatinya bukan hanya dirasakan oleh Bank Indonesia, sebagai garda terdepan urusan moneter, tetapi juga seluruh rakyat Indonesia. Akibat krisis 16 tahun lalu, masyarakat Indonesia seperti masuk dalam zaman kegelapan ekonomi. Indikator-indikator ekonomi pun hampir semua terperosok. Belum lagi, kerugian sosial yang tak terhitung yang dialami masyarakat sepanjang kurun waktu 98 hingga 2000-an awal. Jadi jangan bilang, kalau menyiapkan antisipasi krisis, bukan urusan pemerintah.
Pemerintah, dalam demokrasi modern yang diadopsi banyak negara di dunia, sejatinya adalah pihak yang diserahi tugas untuk mengurusi hal-hal terkait masalah yang disepakati merupakan masalah publik. Jadi ketika ada masalah terkait keamanan, kesejahteraan masyarakat dan hukum, serta hal lain, pemerintah tidak bisa dan tidak boleh lepas tangan.
Pemerintah boleh merasa tidak mampu mengurus semua rakyatnya (meskipun tidak pernah akan dikatakan), namun setidaknya pemerintah memiliki sistem dan kemauan yang bertujuan mengurus seluruh rakyatnya.
Pemerintah juga seharusnya tidak menggunakan posisi –bahkan asumsi sekalipun, sebagai individual, rumah tangga, atau bahkan perusahaan sekalipun dalam mengurus rakyatnya.
Nah, sekarang perekonomian kita dihadapkan pada kemungkinan terjadinya gejolak global. Pemerintah, selain memikirkan persoalan fiskal, perlu juga dipikirkan masalah jaring pengaman sektor keuangan agar rakyat nanti jika tertimpa krisis (mudah-mudahan jangan) masih sempat merasakan kehadiran negara.
Undang-undang yang rancangannya masih mangkrak itu, karenanya perlu dibicarakan lagi, dan secepatnya diterbitkan. Karena kebanyakan rakyat Indonesia butuh itu, karena mereka tidak mengerti pertanda soal krisis baik berupa sirene maupun alarm, apalagi harus mengerti defisit anggaran.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar