Sirene krisis sejatinya sudah menyala, meski mungkin tingkat
kewaspadaannya masih siaga 2. Namun, Bank Indonesia –sejak memperoleh independensinya pada 1999–tak mau
mengambil risiko sedikitpun akan munculnya krisis walaupun itu masih berupa
gejala atau pertanda. Adalah rencana bank sentral AS yang tahun depan akan
mengembalikan kebijakannya ke jalur normal, yang menjadi pemicunya. Hal itu
sudah cukup menjadi alarm bahwa ekonomi global akan kembali bergejolak.
Karenanya Bank Indonesia, yang kehilangan taji pegawasan perbankannya tahun
ini, langsung bergegas menyiapkan diri mengantisipasinya.
Akan tetapi yang sibuk menyiapkan diri terlihat hanya otoritas
moneter saja, sementara pemerintah, sebagai otoritas fiskal terlihat adem ayem.
Pemerintahan baru yang terbentuk Oktober lalu tampaknya masih sibuk
mengutak-atik masalah fiskal dan berupaya menambalnya anggaran.
Padahal Kementerian Keuangan sejatinya sudah harus bahu
membahu menyiapkan langkah antisipasi dan mitigasi krisis. Menteri Keuangan adalah
salah satu anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan bersama BI, Lembaga
Penjamin Simpanan, dan Otoritas Jasa Keuangan.
Pemerintah berencana akan menerbitkan obligasi pada tahun
depan untuk menutup kebutuhan anggaran, dan lebih dari separonya akan diterbitkan
sebelum semester satu berakhir. Meski strategi front loading itu mempertimbangkan kemungkinan dampak normalisasi
kebijakan AS, tetapi tujuannya bukan untuk mengantisipasi krisis.
Malahan strategi pemerintah yang mengandalkan pertumbuhan
ekonomi tahun depan pada investasi langsung juga dianggap berbahaya. Menurut
Bank Dunia, strategi itu akan menambah tambahan beban impor, padahal Indonesia
masih memiliki masalah pada Neraca Transaksi Berjalan.
Kondisi itu justru akan makin menambah kekhawatiran, bahwa
krisis akibat normalisasi ekonomi AS, akan makin nyata.
Trauma krisis sejatinya bukan hanya dirasakan oleh Bank
Indonesia, sebagai garda terdepan urusan moneter, tetapi juga seluruh rakyat
Indonesia. Akibat krisis 16 tahun lalu, masyarakat Indonesia seperti masuk
dalam zaman kegelapan ekonomi. Indikator-indikator ekonomi pun hampir semua
terperosok. Belum lagi, kerugian sosial yang tak terhitung yang dialami
masyarakat sepanjang kurun waktu 98 hingga 2000-an awal. Jadi jangan bilang,
kalau menyiapkan antisipasi krisis, bukan urusan pemerintah.
Pemerintah, dalam demokrasi modern yang diadopsi banyak
negara di dunia, sejatinya adalah pihak yang diserahi tugas untuk mengurusi
hal-hal terkait masalah yang disepakati merupakan masalah publik. Jadi ketika
ada masalah terkait keamanan, kesejahteraan masyarakat dan hukum, serta hal
lain, pemerintah tidak bisa dan tidak boleh lepas tangan.
Pemerintah boleh merasa tidak mampu mengurus semua rakyatnya
(meskipun tidak pernah akan dikatakan), namun setidaknya pemerintah memiliki
sistem dan kemauan yang bertujuan mengurus seluruh rakyatnya.
Pemerintah juga seharusnya tidak menggunakan posisi –bahkan
asumsi sekalipun, sebagai individual, rumah tangga, atau bahkan perusahaan
sekalipun dalam mengurus rakyatnya.
Nah, sekarang
perekonomian kita dihadapkan pada kemungkinan terjadinya gejolak global.
Pemerintah, selain memikirkan persoalan fiskal, perlu juga dipikirkan masalah
jaring pengaman sektor keuangan agar rakyat nanti jika tertimpa krisis
(mudah-mudahan jangan) masih sempat merasakan kehadiran negara.
Undang-undang yang rancangannya masih mangkrak itu,
karenanya perlu dibicarakan lagi, dan secepatnya diterbitkan. Karena kebanyakan
rakyat Indonesia butuh itu, karena mereka tidak mengerti pertanda soal krisis
baik berupa sirene maupun alarm, apalagi harus mengerti defisit anggaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar