Kamis, 11 Desember 2014

Menghadapi Trauma Krisis

Pengalaman buruk krisis moneter membayangi Bank Indonesia ketika melihat utang valas korporasi terus menanjak. Upaya otoritas moneter untuk meredam potensi gejolak valas dilakukan dengan mewajibkan korporasi untuk memperketat utang mereka.


Ketika dunia terhantam krisis global lima tahun lalu, hampir semua bank sentral bereaksi menurunkan suku bunga demi menggerakkan perekonomian. Bahkan beberapa bank sentral menawarkan bunga nyaris nol persen. Sementara, di saat yang sama, di Indonesia, suku bunga yang ditawarkan masih di level 6,50 persen.
Sampai 2013, situasi tersebut tidak berubah di negara-negara maju namun suku bunga Bank Indonesia menjadi 7,50 persen. Dan tahun depan, ketika bank sentral AS diprediksi akan menaikkan suku bunga karena perekonomiannya mulai normal, dipastikan BI Rate akan dikerek lagi.
Perbedaan suku bunga yang cukup mencolok yang sudah berlangsung lebih dari lima tahun itu digunakan pelaku bisnis untuk mencari pendanaan ke luar negeri. Bahkan praktik ini juga diikuti oleh penyelenggaran negara.
Sejak tahun 2006, gejala peningkatan utang luar negeri pemerintah plus bank sentral dan juga korporasi mulai terlihat. Hal itu kemudian menjadi tren dan terus meningkat. Bahkan pada 2010, utang pemerintah melonjak mencapai puncaknya, ketika pada 2012 utang swasta juga mengalami hal yang sama. (lihat grafik).
"Perusahaan besar yang mempunyai akses keluar, akan meminta pinjaman ke luar negeri. Suku bunga yang ditawarkan kurang dari 1 persen. Rendahnya suku bunga yang membuat perusahaan swasta tergiur mengambil (peluang itu)," kata Hendri Saparini, pengamat ekonomi dari Econit.
Tak pelak, sektor perbankan kemudian mulai mengekor strategi ini ketikan BI mengeluarkan aturan soal penghapusan batasan saldo utang luar negeri jangka pendek bank yang terbit 2008. Di beleid sebelumnya yang terbit 2005, batasan utang adalah 30 persen dari modal bank. Karena aturan ini hanya berlaku maksimal satu tahun maka tahun 2009 menjadi tahun ketika bank memaksimalkan utang valuta asing dari luar negeri tanpa batas.
Pemerintah sendiri, melalui Tim Kajian Lintas Direktorat Kedeputian Pendanaan Pembangunan Nasional telah menyimpulkan bahwa perbedaan suku bunga dalam negeri dan suku bunga luar negeri juga menjadi faktor pendorong sektor swasta untuk meminjam dana dari luar negeri. “Tersedianya instrumen dana luar negeri dengan tingkat bunga lebih rendah dari pada tingkat bunga dalam negeri ini menyebabkan sektor swasta kurang memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam pemanfaatan dana luar negeri,” kata laporan itu.
Lembaga think tank pembangunan, Bappenas menemukan indikasi bahwa praktik utang swasta belakangan ini berpotensi memberi masalah kepada perekonomian di masa yang akan datang. Di antaranya adalah penggunaan utang jangka pendek untuk membiayai investasi jangka panjang (maturity gap). Selain itu, banyak dari utang tersebut digunakan untuk membiayai proyek yang tidak menghasilkan devisa (currency mismatch). Yang terakhir dan yang paling krusial adalah tidak dilakukannya lindung nilai (hedging) terhadap utang luar negeri.
Utang luar negeri swasta yang terus meningkat tentu menimbulkan dampak pada peningkatan kewajiban pembayaran kembali. Jika suatu saat nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat melemah, maka kewajiban pembayaran utang luar negeri swasta juga akan melonjak sehingga bisa
memberikan tekanan kepada neraca pembayaran. Inilah yang pernah kita alami 16 tahun lalu.

Pengalaman Eropa
Seperti lemak, utang yang tertimbun makin lama akan menjadi penyakit mematikan bagi perekonomian. Eropa pernah merasakan ketika lemak-lemak itu berubah menjadi wabah yang melumpuhkan beberapa negara anggota Uni Eropa.
Krisis utang di Eropa bermula dari kecerobohan Yunani dalam mengelola anggaran yang sudah terjadi sejak beberapa tahun lalu. Negara kecil dengan jumlah penduduk sekira 11,5 juta jiwa ini terus-menerus menerbitkan surat utang berbunga tinggi, terutama setelah Bank Sentral Eropa (ECB) mengendurkan persyaratan kriteria penerbitan surat utang (quantitative easing).
Pada 2010, Eropa terhentak karena Yunani dinilai default karena membumbungnya utang yang disertai oleh pelemahan mata uang. Krisis ekonomi yang melanda Yunani menimbulkan efek domino. Berturut-turut ekonomi Irlandia, Portugal, Italia, dan Spanyol terguncang. Dampak krisis ini juga terasa ke Indonesia melalui jalur keuangan dan jalur perdagangan. Jalur keuangan terlihat dari anjloknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Jalur perdagangan terlihat melalui penurunan ekspor.
Menurut data Bank Sentral Eropa, antara 2007 dan 2013 rasio utang pemerintah terhadap PDB di zona euro meningkat dari 66 persen menjadi 93 persen. bahkan kenaikan lebih dramatis terjadi di negara-negara pinggiran Eropa seperti Yunani rasio meningkat menjadi 175 persen dan di Portugal yang naik menjadi 129 persen.
Di Indonesia, meski kondisinya tidak separah Eropa, namun kecenderungan peningkatannya tidak bisa dipandang sebelah mata. Angkanya memang masih berada di kisaran 30 persen, namun jika diperas lagi maka rasio utang luar negeri Indonesia jangka pendek berdasarkan waktu sisa terhadap cadangan devisa pada triwulan kedua 2014 mencapai 54,49 persen. Kondisi ini patut diwaspadai karena peningkatan rasio terus terjadi dan sejak triwulan pertama 2013 berada di atas 50 persen.
Sementara itu, kemampuan membayar utang yang tercermin dari debt service ratio terus meningkat dari tahun ke tahun. Jika pada 2006 angkanya masih di bawah 20 persen maka pada tahun ini melonjak lebih dari dua kali lipatnya, menjadi 48 persen.
Yang lebih mengerikan lagi, posisi utang luar negeri swasta per September lalu sudah melampaui jumlah utang pemerintah. Utang swasta berjumlah 159,3 miliar dollar AS atau sudah mencapai 54,5 persen dari total. Sedangkan utang publik berjumlah 132,9 dollar AS atau sebesar 45,5 persen.
Untuk sektor swasta, utang luar negeri terpusat di sektor keuangan, industri pengolahan, dan pertambangan. Posisi utang luar negeri ketiga sektor tersebut masing-masing sebesar 46,6 miliar dollar AS, 32,5 miliar dollar AS, dan dan 25,8 miliar dollar AS.

Alarm bagi BI
Bagi Bank Indonesia, cukuplah krisis moneter 97-98 menjadi satu-satunya pengalaman terkelam Indonesia dalam mengelola perekonomian. Karena sejak saat itu otoritas moneter mulai membereskan dan menerbitkan regulasi yang ditujukan untuk memperkuat landasan ekonomi, terutama terkait pengaturan valuta asing.
Misi itu diperkuat dengan terbitnya Undang-Undang Tentang Bank Indonesia yang memberikan lembaga itu wewenang untuk menjaga tujuan tunggal yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai tukar. Dengan tugas yang disematkan kepadanya, BI tentu tidak ingin main-main untuk membiarkan nilai tukar rupiah bergerak diombang-ambingkan pasar dan investor.
Dan kini tugas BI itu menemukan momentumnya ketika posisi utang luar negeri swasta terus meningkat. Kondisi itu juga berpapasan dengan kemungkinan menguatnya mata uang dollar AS ketika negara Paman Sam menormalisasi kebijakan ekonominya pasca krisis yang dialaminya sejak 2008.
Otoritas yang kini hanya mengawasi moneter dan sektor makroprudensial memandang hal itu sebagai lampu alarm yang menyala. Karena begitu dollar AS menguat ketika The Federal Reserve menaikkan bunga yang diprediksi terjadi tahun depan, maka dalam waktu yang singkat nilai tukar rupiah akan karam. Selanjutnya, mimpi buruk –yang  semua orang di Indonesia tak mau mengalaminya lagi– akan datang.
Agus DW Martowardojo, yang saat ini menjadi orang nomor satu di otoritas moneter, tentu tidak ingin justru pada masanya terjadi krisis ekonomi. Hal itu tentu menjadi catatan buruk bagi kariernya yang cemerlang dan lebih dari itu akan membuat upaya para pendahuluny menjadi tak berarti di tangannya.
Oleh karena itu, mulai pertengahan tahun ini, BI bergerilya kepada hampir semua pihak untuk mempersiapkan aturan mengenai pengelolaan nilai tukar yang lebih baik. Salah satu yang menjadi concern BI adalah soal lindung nilai atau hedging utang luar negeri.
Kemudian hasil gerilya itu terlihat pada Peraturan Bank Indonesia No.16/20/PBI/2014. Dalam aturan itu, meminta kepada semua perusahaan yang memiliki utang dalam negeri untuk melakukan hedging, rating, dan juga menghitung rasio-rasio yang dianggap bisa memberi gambaran mengenai kondisi pinjamannya. Otoritas moneter mewajibkan korporasi nonbank yang memiliki utang luar negeri untuk memenuhi tiga hal yaitu pertama, rasio lindung nilai minimum untuk memitigasi risiko nilai tukar. Kedua, rasio likuditas valas minimum untuk memitigasi risiko likuiditas. Ketiga, peringkat utang minimum untuk memitigasi risiko. Dalam aturan itu, untuk pertama kalinya juga mengatur utang luar negeri yang dilakukan perusahaan swasta nonbank.
BI memang terlihat sangat khawatir terhadap perkembangan utang terkini dan membuat bayang-bayang krisis 97-98 muncul dengan jelas. “Kalau tidak, seperti tahun 1997-1998. Nanti gagal bayar, tidak bisa diperpanjang,” kata Agus. Sebagai catatan, sejak 2006 hingga 2014, utang luar negeri swasta lebih didominasi oleh tenor jangka pendek yaitu antara 1-3 tahun.

Kepentingan Sendiri
Bank sentral terang-terangan mengingatkan pengusaha agar mempertimbangkan kondisi perekonomian global pada saat meminjam dana dari luar negeri, terutama saat ini. Dunia tengah harap-harap cemas menantikan langkah bank sentral AS menaikkan suku bunga (Fed Rate) tahun depan yang diprediksi akan mendongkrak suku bunga seluruh dunia.
Bahkan mulai beberapa bulan belakangan, negara-negara di seluruh dunia sudah mulai pasang kuda-kuda mengantisipasi langkah The Fed. Bank sentral Jepang misalnya, yang malah meluncurkan kebijakan quantitative easing dengan mengguyur sektor keuangannya dengan dana triliunan yen. Hal itu dilakukan agar perekonomiannya bisa tetap berjalan meski tertatih-tatih serta menghindari kontraksi ekonomi menjadi lebih buruk lagi.
Bank sentral lainnya, sudah bersiap menaikkan suku bunganya sementara yang lain sudah melakukannya. Inggris tampaknya tinggal menunggu waktu saja untuk menaikkan bunga, sementara BI sudah melakukannya saat menggelar rapat dadakan lima hari setelah rapat rutin terjadwal pada 13 November.
Majalah The Economist menulis, adanya rencana normalisasi kebijakan ekonomi The Fed membuat kebijakan-kebijakan bank sentral di seluruh dunia menjadi terpecah-pecah. Bank-bank sentral di negara maju dinilai tidak lagi bertindak bersama-sama. Padahal ketika krisis keuangan pecah pada 2007-08, sebagian besar bank sama-sama melonggarkan kebijakan moneter secara signifikan. “Kini pemerintah-pemerintah itu memutuskan, setiap orang untuk dirinya sendiri,” tulis The Economist.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar