Pengalaman buruk krisis moneter membayangi Bank Indonesia
ketika melihat utang valas korporasi terus menanjak. Upaya otoritas moneter
untuk meredam potensi gejolak valas dilakukan dengan mewajibkan korporasi untuk
memperketat utang mereka.
Ketika dunia terhantam krisis global lima tahun lalu, hampir
semua bank sentral bereaksi menurunkan suku bunga demi menggerakkan
perekonomian. Bahkan beberapa bank sentral menawarkan bunga nyaris nol persen.
Sementara, di saat yang sama, di Indonesia, suku bunga yang ditawarkan masih di
level 6,50 persen.
Sampai 2013, situasi tersebut tidak berubah di negara-negara
maju namun suku bunga Bank Indonesia menjadi 7,50 persen. Dan tahun depan,
ketika bank sentral AS diprediksi akan menaikkan suku bunga karena
perekonomiannya mulai normal, dipastikan BI Rate akan dikerek lagi.
Perbedaan suku bunga yang cukup mencolok yang sudah
berlangsung lebih dari lima tahun itu digunakan pelaku bisnis untuk mencari
pendanaan ke luar negeri. Bahkan praktik ini juga diikuti oleh penyelenggaran
negara.
Sejak tahun 2006, gejala peningkatan utang luar negeri
pemerintah plus bank sentral dan juga korporasi mulai terlihat. Hal itu
kemudian menjadi tren dan terus meningkat. Bahkan pada 2010, utang pemerintah
melonjak mencapai puncaknya, ketika pada 2012 utang swasta juga mengalami hal
yang sama. (lihat grafik).
"Perusahaan besar yang mempunyai akses keluar, akan
meminta pinjaman ke luar negeri. Suku bunga yang ditawarkan kurang dari 1
persen. Rendahnya suku bunga yang membuat perusahaan swasta tergiur mengambil
(peluang itu)," kata Hendri Saparini, pengamat ekonomi dari Econit.
Tak pelak, sektor perbankan kemudian mulai mengekor strategi
ini ketikan BI mengeluarkan aturan soal penghapusan batasan saldo utang luar
negeri jangka pendek bank yang terbit 2008. Di beleid sebelumnya yang terbit 2005, batasan utang adalah 30 persen
dari modal bank. Karena aturan ini hanya berlaku maksimal satu tahun maka tahun
2009 menjadi tahun ketika bank memaksimalkan utang valuta asing dari luar
negeri tanpa batas.
Pemerintah sendiri, melalui Tim Kajian Lintas Direktorat
Kedeputian Pendanaan Pembangunan Nasional telah menyimpulkan bahwa perbedaan
suku bunga dalam negeri dan suku bunga luar negeri juga menjadi faktor
pendorong sektor swasta untuk meminjam dana dari luar negeri. “Tersedianya
instrumen dana luar negeri dengan tingkat bunga lebih rendah dari pada tingkat
bunga dalam negeri ini menyebabkan sektor swasta kurang memperhatikan prinsip
kehati-hatian dalam pemanfaatan dana luar negeri,” kata laporan itu.
Lembaga think tank pembangunan, Bappenas menemukan indikasi
bahwa praktik utang swasta belakangan ini berpotensi memberi masalah kepada
perekonomian di masa yang akan datang. Di antaranya adalah penggunaan utang
jangka pendek untuk membiayai investasi jangka panjang (maturity gap). Selain itu, banyak dari utang tersebut digunakan
untuk membiayai proyek yang tidak menghasilkan devisa (currency mismatch). Yang terakhir dan yang paling krusial adalah
tidak dilakukannya lindung nilai (hedging) terhadap utang luar negeri.
Utang luar negeri swasta yang terus meningkat tentu
menimbulkan dampak pada peningkatan kewajiban pembayaran kembali. Jika suatu
saat nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat melemah, maka kewajiban
pembayaran utang luar negeri swasta juga akan melonjak sehingga bisa
memberikan tekanan kepada neraca pembayaran. Inilah yang
pernah kita alami 16 tahun lalu.
Pengalaman Eropa
Seperti lemak, utang yang tertimbun makin lama akan menjadi
penyakit mematikan bagi perekonomian. Eropa pernah merasakan ketika lemak-lemak
itu berubah menjadi wabah yang melumpuhkan beberapa negara anggota Uni Eropa.
Krisis utang di Eropa bermula dari kecerobohan Yunani dalam
mengelola anggaran yang sudah terjadi sejak beberapa tahun lalu. Negara kecil
dengan jumlah penduduk sekira 11,5 juta jiwa ini terus-menerus menerbitkan
surat utang berbunga tinggi, terutama setelah Bank Sentral Eropa (ECB)
mengendurkan persyaratan kriteria penerbitan surat utang (quantitative easing).
Pada 2010, Eropa terhentak karena Yunani dinilai default
karena membumbungnya utang yang disertai oleh pelemahan mata uang. Krisis
ekonomi yang melanda Yunani menimbulkan efek domino. Berturut-turut ekonomi
Irlandia, Portugal, Italia, dan Spanyol terguncang. Dampak krisis ini juga
terasa ke Indonesia melalui jalur keuangan dan jalur perdagangan. Jalur
keuangan terlihat dari anjloknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Jalur
perdagangan terlihat melalui penurunan ekspor.
Menurut data Bank Sentral Eropa, antara 2007 dan 2013 rasio
utang pemerintah terhadap PDB di zona euro meningkat dari 66 persen menjadi 93
persen. bahkan kenaikan lebih dramatis terjadi di negara-negara pinggiran Eropa
seperti Yunani rasio meningkat menjadi 175 persen dan di Portugal yang naik
menjadi 129 persen.
Di Indonesia, meski kondisinya tidak separah Eropa, namun
kecenderungan peningkatannya tidak bisa dipandang sebelah mata. Angkanya memang
masih berada di kisaran 30 persen, namun jika diperas lagi maka rasio utang
luar negeri Indonesia jangka pendek berdasarkan waktu sisa terhadap cadangan
devisa pada triwulan kedua 2014 mencapai 54,49 persen. Kondisi ini patut
diwaspadai karena peningkatan rasio terus terjadi dan sejak triwulan pertama
2013 berada di atas 50 persen.
Sementara itu, kemampuan membayar utang yang tercermin dari debt service ratio terus meningkat dari
tahun ke tahun. Jika pada 2006 angkanya masih di bawah 20 persen maka pada
tahun ini melonjak lebih dari dua kali lipatnya, menjadi 48 persen.
Yang lebih mengerikan lagi, posisi utang luar negeri swasta
per September lalu sudah melampaui jumlah utang pemerintah. Utang swasta
berjumlah 159,3 miliar dollar AS atau sudah mencapai 54,5 persen dari total.
Sedangkan utang publik berjumlah 132,9 dollar AS atau sebesar 45,5 persen.
Untuk sektor swasta, utang luar negeri terpusat di sektor
keuangan, industri pengolahan, dan pertambangan. Posisi utang luar negeri
ketiga sektor tersebut masing-masing sebesar 46,6 miliar dollar AS, 32,5 miliar
dollar AS, dan dan 25,8 miliar dollar AS.
Alarm bagi BI
Bagi Bank Indonesia, cukuplah krisis moneter 97-98 menjadi
satu-satunya pengalaman terkelam Indonesia dalam mengelola perekonomian. Karena
sejak saat itu otoritas moneter mulai membereskan dan menerbitkan regulasi yang
ditujukan untuk memperkuat landasan ekonomi, terutama terkait pengaturan valuta
asing.
Misi itu diperkuat dengan terbitnya Undang-Undang Tentang
Bank Indonesia yang memberikan lembaga itu wewenang untuk menjaga tujuan
tunggal yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai tukar. Dengan tugas yang
disematkan kepadanya, BI tentu tidak ingin main-main untuk membiarkan nilai
tukar rupiah bergerak diombang-ambingkan pasar dan investor.
Dan kini tugas BI itu menemukan momentumnya ketika posisi
utang luar negeri swasta terus meningkat. Kondisi itu juga berpapasan dengan
kemungkinan menguatnya mata uang dollar AS ketika negara Paman Sam
menormalisasi kebijakan ekonominya pasca krisis yang dialaminya sejak 2008.
Otoritas yang kini hanya mengawasi moneter dan sektor
makroprudensial memandang hal itu sebagai lampu alarm yang menyala. Karena
begitu dollar AS menguat ketika The Federal Reserve menaikkan bunga yang
diprediksi terjadi tahun depan, maka dalam waktu yang singkat nilai tukar
rupiah akan karam. Selanjutnya, mimpi buruk –yang semua orang di Indonesia tak mau mengalaminya
lagi– akan datang.
Agus DW Martowardojo, yang saat ini menjadi orang nomor satu
di otoritas moneter, tentu tidak ingin justru pada masanya terjadi krisis
ekonomi. Hal itu tentu menjadi catatan buruk bagi kariernya yang cemerlang dan
lebih dari itu akan membuat upaya para pendahuluny menjadi tak berarti di
tangannya.
Oleh karena itu, mulai pertengahan tahun ini, BI bergerilya
kepada hampir semua pihak untuk mempersiapkan aturan mengenai pengelolaan nilai
tukar yang lebih baik. Salah satu yang menjadi concern BI adalah soal lindung nilai atau hedging utang luar negeri.
Kemudian hasil gerilya itu terlihat pada Peraturan Bank
Indonesia No.16/20/PBI/2014. Dalam aturan itu, meminta kepada semua perusahaan
yang memiliki utang dalam negeri untuk melakukan hedging, rating, dan juga menghitung rasio-rasio yang dianggap bisa
memberi gambaran mengenai kondisi pinjamannya. Otoritas moneter mewajibkan
korporasi nonbank yang memiliki utang luar negeri untuk memenuhi tiga hal yaitu
pertama, rasio lindung nilai minimum
untuk memitigasi risiko nilai tukar. Kedua,
rasio likuditas valas minimum untuk memitigasi risiko likuiditas. Ketiga, peringkat utang minimum untuk
memitigasi risiko. Dalam aturan itu, untuk pertama kalinya juga mengatur utang
luar negeri yang dilakukan perusahaan swasta nonbank.
BI memang terlihat sangat khawatir terhadap perkembangan
utang terkini dan membuat bayang-bayang krisis 97-98 muncul dengan jelas.
“Kalau tidak, seperti tahun 1997-1998. Nanti gagal bayar, tidak bisa
diperpanjang,” kata Agus. Sebagai catatan, sejak 2006 hingga 2014, utang luar
negeri swasta lebih didominasi oleh tenor jangka pendek yaitu antara 1-3 tahun.
Kepentingan Sendiri
Bank sentral terang-terangan mengingatkan pengusaha agar
mempertimbangkan kondisi perekonomian global pada saat meminjam dana dari luar
negeri, terutama saat ini. Dunia tengah harap-harap cemas menantikan langkah
bank sentral AS menaikkan suku bunga (Fed Rate) tahun depan yang diprediksi
akan mendongkrak suku bunga seluruh dunia.
Bahkan mulai beberapa bulan belakangan, negara-negara di
seluruh dunia sudah mulai pasang kuda-kuda mengantisipasi langkah The Fed. Bank
sentral Jepang misalnya, yang malah meluncurkan kebijakan quantitative easing dengan mengguyur sektor keuangannya dengan dana
triliunan yen. Hal itu dilakukan agar perekonomiannya bisa tetap berjalan meski
tertatih-tatih serta menghindari kontraksi ekonomi menjadi lebih buruk lagi.
Bank sentral lainnya, sudah bersiap menaikkan suku bunganya
sementara yang lain sudah melakukannya. Inggris tampaknya tinggal menunggu
waktu saja untuk menaikkan bunga, sementara BI sudah melakukannya saat
menggelar rapat dadakan lima hari setelah rapat rutin terjadwal pada 13 November.
Majalah The Economist menulis, adanya rencana normalisasi
kebijakan ekonomi The Fed membuat kebijakan-kebijakan bank sentral di seluruh
dunia menjadi terpecah-pecah. Bank-bank sentral di negara maju dinilai tidak
lagi bertindak bersama-sama. Padahal ketika krisis keuangan pecah pada 2007-08,
sebagian besar bank sama-sama melonggarkan kebijakan moneter secara signifikan.
“Kini pemerintah-pemerintah itu memutuskan, setiap orang untuk dirinya
sendiri,” tulis The Economist.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar