Awal tahun, banyak optimisme yang muncul setelah setahun
sebelumnya perekonomian berada dalam masa suram. Pertumbuhan ekonomi tahun lalu
yang hanya mencapai 4,7 persen dipercaya akan melejit kembali ke level 5
persen, bahkan 7 persen di tahun-tahun berikutnya. Setidaknya itulah optimisme
Presiden Joko Widodo ketika kampanye dan di awal-awal memangku jabatan
presiden.
Akan tetapi, belum sampai satu bulan optimisme itu tampaknya
mulai meredup. Satu persatu berita tidak mengenakkan mengenai perekonomian
Indonesia datang lagi. Dimulai ketika Ford, raksasa otomotif asal Amerika
Serikat mengumumkan untuk menarik investasinya di Indonesia dengan menutup
pabrik dan menghentikan penjualan langsung produk-produknya.
Parahnya lagi, perusahaan asing lain juga akan mengikuti
langkah Ford. Sebut saja Sandoz Indonesia yang berencana menutup bisnisnya
mulai Maret 2016 dan akan me-lay off ratusan pegawainya, Chevron Indonesia yang
kabarnya tengah mempertimbangkan mem-PHK 1.700 an orang.
Tak cuma itu dua ‘raksasa’ elektronik Jepang yakni Panasonic
dan Toshiba juga telah mengumumkan menutup pabriknya di Indonesia awal tahun
ini. Akibatnya akan ada gelombang pemutusan hubungan kerja sekitar 2.500
karyawan. Sampai penulis membuat catatan ini, beberapa perusahaan dikabarkan
juga sudah bersiap-siap merumahkan karyawannya.
Dampak dari pemecatan ribuan karyawan itu tentu akan
menambah barisan pengangguran di Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik
jumlah pengangguran di Indonesia pada Agustus 2015 sebanyak 7,56 juta orang,
bertambah 320 ribu orang dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
Kondisi itu memang tidak bisa
dibilang remeh. Apalagi di tengah risiko eksternal ketika The Federal Reserve
tengah melakukan pengetatan dan harga minyak bumi dunia yang terus terjerembab.
Jika risiko-risiko itu muncul di tengah sinyal kesuraman ekonomi nasional maka
yang muncul adalah kerentanan ekonomi kita makin memuncak, apalagi ketika ada
pembalikan arus modal. Dan rute ke arah itu bukanlah perkiraan kosong belaka.
Belum lagi ditambah dengan kondisi defisit transaksi berjalan yang masih
terbilang besar dan kecenderungan peningkatan utang luar negeri.
Berdasarkan laporan dari
Institute of International Finance, arus keluar modal bersih dari pasar negara
berkembang sepanjang tahun 2015 bahkan lebih besar dari yang diperkirakan oleh
lemabag itu sebelumnya. Asosiasi lembaga keuangan global itu memperkirakan
jumlah arus keluar modal bersih (termasuk arus masuk yang tidak tercatat
ditangkap oleh kesalahan bersih dan kelalaian) mencapai 735 miliar dollar AS,
naik dari arus keluar berjumlah 111 miliar
dollar AS pada 2014.
Seperti diketahui, perekonomian
kita paling takut dengan kemungkinan atau kejadian hengkangnya modal-modal
asing secara bersamaan. Kita memiliki pengalaman traumatik dengan hal itu
seperti yang terjadi di tahun 1998 yang tak mungkin bisa dilupakan.
Akan tetapi tampaknya, pemerintah
tetap bersikap optimistis seperti biasanya, seperti seharusnya. Dan bagi kita,
masyarakat, yang bisa dilakukan hanya berharap. Mudah-mudahan ini seperti film happy ending, yang pada awalnya penonton
disuguhkan kisah kesedihan dan duka namun di akhir cerita, semuanya berbahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar