Digital banking saat ini
adalah sebuah keharusan. Gelombangnya tak bisa dielakkan oleh industri
perbankan di Indonesia. Dan otoritas tengah menyiapkan aturan dan segala
sesuatu yang berhubungan dengan era baru di sektor keuangan itu.
Seorang
CEO bank asing terkemuka mengatakan dalam sebuah acara bincang-bincang, bahwa
salah satu tren yang tengah melanda dunia saat ini adalah digitalisasi. Dia
tidak sedang membesar-besarkan fakta, tidak pula mengecilkannya. Dia
menjabarkan apa yang sudah dialami oleh perusahaannya ketika era digitalisasi
sudah tidak bisa dibendung. Bank ini pun kemudian mengeluarkan alat pembayaran
digitalnya sendiri: Citicoin, sebagai respons atas perkembangan digital yang
mau tak mau merambah ke sektor keuangan.
Bersama
masifnya penggunaan telepon pintar, maraknya penggunaan Internet telah membawa
dunia ke fase kemajuan selanjutnya. Menurut data global, selama lima tahun
terakhir pengguna Internet melonjak hingga 128 persen. hal itu tidak terlepas
dari perkembangan teknologi pada smartphone
makin mendukung penyebarluasan Internet.
Saat
ini hampir tidak ada sendi kehidupan yang tidak tersentuh Internet, termasuk
perbankan. Dan hal inilah yang mendorong tsunami digitalisasi di sektor
perbankan. Boleh dibilang, gelombang pertama digitalisasi dunia terjadi di era
80-an, ketika revolusi digital mengubah teknologi mekanik dan elektronik analog
kepada teknologi digital.
Di
dunia perbankan hal itu mulai berdampak pada pertengahan hingga akhir 90-an
ketika industri terutama di Amerika Serikat mengadopsinya dengan menghadirkan call center untuk meningkatkan pelayanan
kepada nasabah. Pada saat itu industri perbankan AS juga tengah melihat
kemunculan online banking.
Gelombang
kedua dimulai pasca 90-an atau awal 2000-an, ketika Internet merebak dan
mencapai puncak ketika gelembung industri dotcom meletus di AS. Ketika itu
istilah Internet banking mulai muncul di AS dan Barat dan kemudian menyebar ke
seantero dunia seiring dengan menjalarnya penggunaan Internet.
Menurut
majalah ekonomi terkemuka, The Economist, kemajuan teknologi saat ini membuat
gelombang ketiga era bank digital terlihat lebih berkelanjutan. “Proliferasi
dan kecanggihan smartphone dan tablet
memungkinkan bank untuk menawarkan layanan yang lebih banyak online,” kata majalah itu. Daripada
harus memilih antara antrian di cabang atau duduk di depan komputer, pelanggan
kini dapat memeriksa saldo atau membayar tagihan menggunakan ponsel mereka
sambil duduk di bus. “Mereka dapat menyimpan cek dengan memotret mereka dan
menerima pembayaran kartu kredit menggunakan ponsel mereka. Akibatnya, jumlah
transaksi yang terjadi di cabang terus merosot.”
Oleh
karena itu, satu dampak yang tidak bisa dielakkan dari perkembangan era
digitalisasi adalah merosotnya jumlah kantor cabang bank. Menurut majalah itu
pula, di artikel yang lain, selama bertahun-tahun jumlah kantor cabang di
negara-negara kaya telah berada di jalan menurun, sebuah tren yang tidak
menunjukkan tanda-tanda untuk mereda. Di Amerika kantor jumlah cabang bank yang
telah lenyap pada 2015 mencapai 1.441 kantor dibandingkan tahun sebelumnya, dan
amblas sebanyak 5.439 kantor dibanding jumlahnya pada masa puncak tahun 2008.
Bahkan
di Eropa telah berdiri bank yang menjalankan semua operasinya dan layanannya
dengan cara digital. Hello Bank! adalah bank digital yang dimiliki oleh BNP
Paribas dan mulai beroperasi pada tahun 2013. Bank yang beroperasi di Perancis,
Belgia, Jerman, Italia dan Austria ini mengklaim bahwa mereka adalah bank pertama
yang menjalankan bank 100 persen secara mobile digital di Eropa (dan dunia).
Indonesia
Di
Indonesia sendiri, jumlah pengguna telepon pintar telah melebih jumlah
penduduknya. Sejak dua-tiga tahun belakangan, penggunaan Internet, yang
disokong kehadiran smartphone sudah menyergap hampir semua sendi kehidupan: booking tiket pesawat, membeli buku atau
musik, membeli barang-barang grosir atau ritel, hingga alat transportasi.
Silakan perpanjang sendiri daftarnya.
Perbankan
di Indonesia sejak tahun 2000-an sudah mulai mengadopsi kemajuan teknologi
lewat Internet dengan menyediakan layanan yang memudahkan transaksi dan bisnis
nasabahnya. Saat itu, istilah Internet
banking mulai diperdengarkan dan kini istilah online banking mulai sering
diperkenalkan.
Meski
gelombang digitalisasi bank terus membesar, namun tidak seperti yang terjadi di
negara maju, jumlah kantor cabang di Indonesia malah terus meningkat, minimal
dalam lima tahun terakhir. Berdasarkan data Statistik Perbankan Indonesia, pada
2015, kantor cabang menjadi 8.383 lebih banyak dari pada jumlahnya di tahun
2011. Bank regional milik pemerintah daerah bahkan melipatgandakan jumlah
cabangnya disepanjang tahun 2011-2015. Bank asing merupakan satu-satunya
golongan bank yang mengurangi jumlah kantornya selama kurun waktu itu hingga
separonya.
Direktur
Utama BNI Syariah punya jawaban mengenai fenomena ini. Menurut Imam Teguh
Saptono, faktor wilayah Indonesia yang luas membuat kebutuhan akan kantor
cabang bank secara fisik masih muncul. “Lebih karena aspek geografis Indonesia
sebagai negara Kepulauan sehingga kehadiran bank secara fisik tetap diperlukan.
Selain itu juga faktor infrastruktur teknologi informasi yang belum merata di
semua wilayah seperti bandwith, jaringan dan lain sebagainya,” kata dia.
Namun
demikian, era menyusutnya jumlah kantor cabang tampaknya akan juga sampai di
Indonesia ketika otoritas perbankan mendorong terus kebijakan branchless banking. Perluasan layanan
bank tanpa harus membuka kantor ini memang sejalan dengan berkembangnya
digitalisasi transaksi perbankan.
Bank
dapat melebarkan sayap layanannya dengan menggandeng orang yang memiliki usaha
legal dan menyelipkan layanan perbankan pada usahanya. Dengan bermodalkan
telepon genggam dan beberapa persyaratan, orang yang disebut agen itu bisa
menerima dana masyarakat dan memberikan pinjaman dalam jumlah tertentu.
Boleh
dibilang strategi branchless banking
merupakan kombinasi antara agent banking
dan mobile banking. Agent banking adalah kegiatan usaha
non-bank termasuk agen keliling atau warung dan toko yang membantu bank
memberikan layanan perbankan. Sedangkan mobile
banking adalah akses layanan perbankan melalui telepon seluler.
Tantangan
Perbankan
bukannya tidak bakal menghadapi ancaman serius seiring maraknya layanan
perbankan digital ini. Menurut Imam dari BNI Syariah, untuk mendorong layanan
digital, industri perbankan menghadapi tantangan yang tak ringan salah satunya
soal literasi masyarakat akan sektor dan lembaga keuangan. “Hambatannya adalah
literasi terhadap IT dan perbankan,” kata dia.
Berdasarkan
survei tahun 2013, Otoritas Jasa Keuangan menemukan bahwa tingkat literasi keuangan
di Indonesia masih sangat rendah dimana hanya 36 persen penduduk berusia di
atas 15 tahun, yang menggunakan jasa lembaga keuangan.
Literasi
bukanlah satu-satunya tantangan bagi era digitalisasi indsutri perbankan,
karena ada yang paling penting dari itu yaitu mitigasi risiko. Saat ini belum
ada pedoman khusus yang mengatur
bergulirnya gelombang digitalisasi itu sekaligus aturan mengenai manajemen
risikonya.
OJK
mengakui hal itu namun tidak berdiam diri. Saat ini pengawas sektor keuangan
tengah mengkaji peraturan dan semua yang berhubungan dengan perbankan digital.
“Kajian itu dilakukan oleh gugus tugas ('task force') yang sudah disahkan sejak
awal Januari 2016 dan ditargetkan bisa menyelesaikan tugas pada tahun
ini," ujar Direktur Departemen Pengawasan Bank (DPB) 3 OJK Jasmi
Adapun
guideline tersebut akan terkait
beberapa hal seperti manajemen risiko, teknologi informasi, bisnis, prosedur
operasional standar dan sumber daya manusia perbankan. Pedoman itu nantinya akan
menjadi satu-satunya acuan mengenai perbankan digital.
Konsep
digitalisasi perbankan menurut OJK sendiri adalah bagaimana nasabah atau
konsumen bisa melakukan apapun dari laman resmi atau ATM bank, termasuk jika ingin
melakukan perdagangan elektronik (e-commerce),
cara jual-beli yang kini tengah marak.
Ya,
digitalisasi yang bagai tsunami memang tak bisa dibendung, yang bisa dilakukan
mungkin berselancar di atasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar