Rabu, 16 Maret 2016

‘Tsunami’ Digital Banking

Digital banking saat ini adalah sebuah keharusan. Gelombangnya tak bisa dielakkan oleh industri perbankan di Indonesia. Dan otoritas tengah menyiapkan aturan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan era baru di sektor keuangan itu.


Seorang CEO bank asing terkemuka mengatakan dalam sebuah acara bincang-bincang, bahwa salah satu tren yang tengah melanda dunia saat ini adalah digitalisasi. Dia tidak sedang membesar-besarkan fakta, tidak pula mengecilkannya. Dia menjabarkan apa yang sudah dialami oleh perusahaannya ketika era digitalisasi sudah tidak bisa dibendung. Bank ini pun kemudian mengeluarkan alat pembayaran digitalnya sendiri: Citicoin, sebagai respons atas perkembangan digital yang mau tak mau merambah ke sektor keuangan.
Bersama masifnya penggunaan telepon pintar, maraknya penggunaan Internet telah membawa dunia ke fase kemajuan selanjutnya. Menurut data global, selama lima tahun terakhir pengguna Internet melonjak hingga 128 persen. hal itu tidak terlepas dari perkembangan teknologi pada smartphone makin mendukung penyebarluasan Internet.
Saat ini hampir tidak ada sendi kehidupan yang tidak tersentuh Internet, termasuk perbankan. Dan hal inilah yang mendorong tsunami digitalisasi di sektor perbankan. Boleh dibilang, gelombang pertama digitalisasi dunia terjadi di era 80-an, ketika revolusi digital mengubah teknologi mekanik dan elektronik analog kepada teknologi digital.
Di dunia perbankan hal itu mulai berdampak pada pertengahan hingga akhir 90-an ketika industri terutama di Amerika Serikat mengadopsinya dengan menghadirkan call center untuk meningkatkan pelayanan kepada nasabah. Pada saat itu industri perbankan AS juga tengah melihat kemunculan online banking.
Gelombang kedua dimulai pasca 90-an atau awal 2000-an, ketika Internet merebak dan mencapai puncak ketika gelembung industri dotcom meletus di AS. Ketika itu istilah Internet banking mulai muncul di AS dan Barat dan kemudian menyebar ke seantero dunia seiring dengan menjalarnya penggunaan Internet.
Menurut majalah ekonomi terkemuka, The Economist, kemajuan teknologi saat ini membuat gelombang ketiga era bank digital terlihat lebih berkelanjutan. “Proliferasi dan kecanggihan smartphone dan tablet memungkinkan bank untuk menawarkan layanan yang lebih banyak online,” kata majalah itu. Daripada harus memilih antara antrian di cabang atau duduk di depan komputer, pelanggan kini dapat memeriksa saldo atau membayar tagihan menggunakan ponsel mereka sambil duduk di bus. “Mereka dapat menyimpan cek dengan memotret mereka dan menerima pembayaran kartu kredit menggunakan ponsel mereka. Akibatnya, jumlah transaksi yang terjadi di cabang terus merosot.”
Oleh karena itu, satu dampak yang tidak bisa dielakkan dari perkembangan era digitalisasi adalah merosotnya jumlah kantor cabang bank. Menurut majalah itu pula, di artikel yang lain, selama bertahun-tahun jumlah kantor cabang di negara-negara kaya telah berada di jalan menurun, sebuah tren yang tidak menunjukkan tanda-tanda untuk mereda. Di Amerika kantor jumlah cabang bank yang telah lenyap pada 2015 mencapai 1.441 kantor dibandingkan tahun sebelumnya, dan amblas sebanyak 5.439 kantor dibanding jumlahnya pada masa puncak tahun 2008.
Bahkan di Eropa telah berdiri bank yang menjalankan semua operasinya dan layanannya dengan cara digital. Hello Bank! adalah bank digital yang dimiliki oleh BNP Paribas dan mulai beroperasi pada tahun 2013. Bank yang beroperasi di Perancis, Belgia, Jerman, Italia dan Austria ini mengklaim bahwa mereka adalah bank pertama yang menjalankan bank 100 persen secara mobile digital di Eropa (dan dunia).

Indonesia
Di Indonesia sendiri, jumlah pengguna telepon pintar telah melebih jumlah penduduknya. Sejak dua-tiga tahun belakangan, penggunaan Internet, yang disokong kehadiran smartphone  sudah menyergap hampir semua sendi kehidupan: booking tiket pesawat, membeli buku atau musik, membeli barang-barang grosir atau ritel, hingga alat transportasi. Silakan perpanjang sendiri daftarnya.
Perbankan di Indonesia sejak tahun 2000-an sudah mulai mengadopsi kemajuan teknologi lewat Internet dengan menyediakan layanan yang memudahkan transaksi dan bisnis nasabahnya. Saat itu, istilah Internet banking mulai diperdengarkan dan kini istilah online banking mulai sering diperkenalkan.
Meski gelombang digitalisasi bank terus membesar, namun tidak seperti yang terjadi di negara maju, jumlah kantor cabang di Indonesia malah terus meningkat, minimal dalam lima tahun terakhir. Berdasarkan data Statistik Perbankan Indonesia, pada 2015, kantor cabang menjadi 8.383 lebih banyak dari pada jumlahnya di tahun 2011. Bank regional milik pemerintah daerah bahkan melipatgandakan jumlah cabangnya disepanjang tahun 2011-2015. Bank asing merupakan satu-satunya golongan bank yang mengurangi jumlah kantornya selama kurun waktu itu hingga separonya.
Direktur Utama BNI Syariah punya jawaban mengenai fenomena ini. Menurut Imam Teguh Saptono, faktor wilayah Indonesia yang luas membuat kebutuhan akan kantor cabang bank secara fisik masih muncul. “Lebih karena aspek geografis Indonesia sebagai negara Kepulauan sehingga kehadiran bank secara fisik tetap diperlukan. Selain itu juga faktor infrastruktur teknologi informasi yang belum merata di semua wilayah seperti bandwith, jaringan dan lain sebagainya,” kata dia.
Namun demikian, era menyusutnya jumlah kantor cabang tampaknya akan juga sampai di Indonesia ketika otoritas perbankan mendorong terus kebijakan branchless banking. Perluasan layanan bank tanpa harus membuka kantor ini memang sejalan dengan berkembangnya digitalisasi transaksi perbankan.
Bank dapat melebarkan sayap layanannya dengan menggandeng orang yang memiliki usaha legal dan menyelipkan layanan perbankan pada usahanya. Dengan bermodalkan telepon genggam dan beberapa persyaratan, orang yang disebut agen itu bisa menerima dana masyarakat dan memberikan pinjaman dalam jumlah tertentu.
Boleh dibilang strategi branchless banking merupakan kombinasi antara agent banking dan mobile banking. Agent banking adalah kegiatan usaha non-bank termasuk agen keliling atau warung dan toko yang membantu bank memberikan layanan perbankan. Sedangkan mobile banking adalah akses layanan perbankan melalui telepon seluler.

Tantangan
Perbankan bukannya tidak bakal menghadapi ancaman serius seiring maraknya layanan perbankan digital ini. Menurut Imam dari BNI Syariah, untuk mendorong layanan digital, industri perbankan menghadapi tantangan yang tak ringan salah satunya soal literasi masyarakat akan sektor dan lembaga keuangan. “Hambatannya adalah literasi terhadap IT dan perbankan,” kata dia.
Berdasarkan survei tahun 2013, Otoritas Jasa Keuangan menemukan bahwa tingkat literasi keuangan di Indonesia masih sangat rendah dimana hanya 36 persen penduduk berusia di atas 15 tahun, yang menggunakan jasa lembaga keuangan.
Literasi bukanlah satu-satunya tantangan bagi era digitalisasi indsutri perbankan, karena ada yang paling penting dari itu yaitu mitigasi risiko. Saat ini belum ada pedoman  khusus yang mengatur bergulirnya gelombang digitalisasi itu sekaligus aturan mengenai manajemen risikonya.
OJK mengakui hal itu namun tidak berdiam diri. Saat ini pengawas sektor keuangan tengah mengkaji peraturan dan semua yang berhubungan dengan perbankan digital. “Kajian itu dilakukan oleh gugus tugas ('task force') yang sudah disahkan sejak awal Januari 2016 dan ditargetkan bisa menyelesaikan tugas pada tahun ini," ujar Direktur Departemen Pengawasan Bank (DPB) 3 OJK Jasmi
Adapun guideline tersebut akan terkait beberapa hal seperti manajemen risiko, teknologi informasi, bisnis, prosedur operasional standar dan sumber daya manusia perbankan. Pedoman itu nantinya akan menjadi satu-satunya acuan mengenai perbankan digital.
Konsep digitalisasi perbankan menurut OJK sendiri adalah bagaimana nasabah atau konsumen bisa melakukan apapun dari laman resmi atau ATM bank, termasuk jika ingin melakukan perdagangan elektronik (e-commerce), cara jual-beli yang kini tengah marak.
Ya, digitalisasi yang bagai tsunami memang tak bisa dibendung, yang bisa dilakukan mungkin berselancar di atasnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar