Tren digitalisasi dalam
operasional dan layanan perbankan dinilai akan membuat bank-bank di Indonesia
ikut lebur di dalamnya. Namun demikian ada kiat-kiat agar bank tidak menjadi gila
hanya karena ingin dikatakan sebagai perbankan yang sudah masuk kategori
digital bank.
Sebelum krisis keuangan, bank-bank
di global sangat bergantung pada leverage
keuangan untuk menciptakan nilai tambah bagi pemegang saham. Hari ini, iklim
ekonomi, peningkatan intervensi otoritas dalam bentuk peraturan dan tantangan
kompetitif memaksa bank untuk mengurangi leverage itu dan mencari sumber-sumber
pendapatan lain.
Perkembangan ini, menurut
PWC, lembaga konsultasi keuangan global ternama, akan memaksa sektor keuangan
untuk mencari model baru dan ketika perkembangan teknologi tengah memuncak,
digital akan memainkan peran penting pada pencarian itu.
“Digital akan memainkan peran
penting dalam mencapai strategi ini. Preferensi
untuk digital sekarang
meresap di semua segmen pelanggan, secara global, dan khususnya bagi Generasi Y,”
kata riset lembaga itu yang dipublikasikan. Gen Y adalah generasi yang mengacu
pada orang-orang yang lahir pada 1980-an dan 1990-an.
Bahkan kata riset itu lagi, kelompok
ini, sekarang di ambang memutuskan hubungan dengan layanan perbankan yang
konservatif, karena perkembangan teknologi digital yang sudah menyebar ke
hampir semua segi kehidupan mereka.
Di Indonesia, gelombang itu
juga sudah sampai. Setelah beberapa bank pasang kuda-kuda menyambutnya sejak
tahun lalu, tahun ini akan makin banyak bank yang siap berselancar di gelombang
digitalisasi perbankan.
Bahkan
dengan fakta bahwa pengguna telepon selular (ponsel) di Indonesia, menurut data
riset Accenture, yang sudah mencapai 308 juta, ketika penduduk Indonesia
berjumlah 255,5 juta orang, maka tidak ada kata “nanti” lagi bagi perbankan
jika tidak ingin kalah bersaing. Bank tentu akan berlomba-lomba menggapai
potensi nasabah dan juga memenangkan persaingan di masa depan
Menurut
Managing Director Financial Services Lead Accenture Indonesia Meliza Rusli,
beberapa bank sudah mulai menyiapkan penerapan digital banking sejak tahun lalu. “Kendala yang paling sering
ditemui adalah kesiapan teknologi. Mereka bingung harus menyatukan usaha bank
tradisional mereka dengan bank digital atau memisahkan kedua unit ini menjadi
dua unit usaha yang berbeda,” kata dia.
Pernyataan
Meliza bukan omong kosong belaka. Sejak tahun lalu, salah satu bank terbesar di
Indonesia, BNI sudah merintis strategi going
digital. Strategi itu berbarengan dengan rencana bank-bank yang terus
memperbanyak sayap bisnis dengan mendirikan anak usaha di bidang keuangan
selain perbankan. Pendek kata sekarang muncul kecenderungan perubahan yang tak
bisa ditawar dari bentuk bank tradisional menjadi bank digital. “Dulu kami
tidak pernah membayangkan kalau kita itu akan terkoneksi dengan yang namanya
gadget. Ini era digital native untuk
generasi masa depan,” kata Direktur Operasional dan IT BNI, Bob Tyasika Ananta,
kepada Stabilitas beberapa waktu lalu.
Dia menuturkan, pertumbuhan transaksi
perbankan lewat internet tiap tahunnya mencapai 28 persen. Maka fokus perbankan
untuk saat ini adalah menyediakan kebutuhan nasabah dalam transaksi online
tersebut. “Kami akan improve
digitalisasi untuk pelanggan. Seperti electronic
channel, electronic banking transaction, dan electronic e-commerce, dan mobile
banking,” ujarnya.
Melihat
animo perbankan yang besar, otoritas pun segera bergerak. Sebagaimana fungsinya
sebagai pengawas, maka regulator tidak ingin fenomena ini berakhir buruk bagi
iklim ekonomi secara keseluruhan dan menyiapkan regulasi untuk memitigasi
risiko yang mungkin timbul.
Bulan
lalu, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengaku tengah menyiapkan
beragam kebijakan agar gelombang digital banking tidak membawa bencana pada
sektor keuangan. “Ada banyak peraturan yang menjadi dasar BI dalam membuat
kebijakan," ujar Farida Peranginangin, Direktur Grup Kebijakan dan Sistem
Pembayaran Bank Indonesia dalam sebuah diskusi.
Undang-undang
Bank Indonesia memang memberi wewenang BI untuk mengatur sistem pembayaran dan
juga makro-ekonomi agar tetap mendukung perekonomian. menjadi dasar BI sebagai
bank sentral dalam membuat kebijakan.
Sementara
itu, Direktur Grup Pengawas Spesial III Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Jasmi
mengatakan OJK pun tengah menyiapkan aturan manajemen risiko terkait dengan
pengembangan perbankan menuju era digital. "Perbankan harus ikut berubah
atau nanti dimuseumkan. OJK sekarang menyiapkan manajemen risiko seperti apa
yang harus disiapkan saat memasuki digitalisasi perbankan," ujar Jasmi.
Mengoptimalkan Digitalisasi
Menjadi digital tidak harus
berarti menggelontorkan puluhan bahkan ratusan miliar investasi baru atau membiarkan
adanya pergolakan sengit di divisi IT. Memang investasi yang cukup besar tak
diragukan lagi diperlukan di beberapa area, tapi secara umum, banyak elemen
bank yang dinilai sudah ada dan mendukung strategi untuk digitalisasi. Bank
hanya perlu memanfaatkan mereka lebih baik dan berinvestasi dalam hal-hal yang
yang memang dibutuhkan.
Tunde
Olanrewaju, Kepala Kantor McKinsey London, sebagaimana dikutip dari
McKinsey.com bulan lalu, menuliskan setidaknya ada tiga strategi agar bank
tidak ‘menjadi gila’ karena keinginan menjadi bank digital.
Pertama,memaksimalkan
penggunaan teknologi yang ada. Banyak bank telah banyak menggunakan sistem imaging dan alur kerja, layanan daring, software kapasitas manajemen, sistem respon
suara interaktif, serta konektivitas dan teknologi manajemen kerja lainnya.
Tapi banyak bank belum menggunakan semua itu secara luas atau semestinya. Sebuah
bank di Eropa, misalnya, memasang sebuah platform
baru dalam resolusi pencitraan tinggi (high resolution imaging) tapi tidak
pernah sepenuhnya memaksimalkan penggunaannya. “Pegawai pada layanan pelanggan
terus mengirim laporan melalui fax, dan kualitas gambar yang buruk menyebabkan
inefisiensi yang signifikan dalam proses bisnis di hilir,” tulis Tunde.
Kedua, menerapkan
intervensi teknologi ringan. Bank dapat meningkatkan keuntungan kinerja yang
signifikan dengan investasi kecil kepada hal-hal yang memang dibutuhkan.
Contohnya termasuk penyebaran yang lebih luas dari penggunaan formulir
elektronik (e-forms) dan sistem alur kerja (work-flow systems), yang dapat diimplementasikan
relatif cepat, kadang-kadang malah tanpa harus mengintegrasikan sistem itu ke
dalam arsitektur kompleks dari teknologi yang sudah ada.
“Relationship manager dan kepala
bagian kredit di satu bank, misalnya, bisa berdiskusi dengan bagian TI untuk
merancang aplikasi yang simpel dan permohonan pinjaman secara online yang user-friendly. Bentuknya secara otomatis
menyesuaikan dengan input data dan panduan bagian kredit yang proses risikonya harus
diikuti,” jelas Tunde.
Sebuah bank Eropa lain mempercepat
keputusan KPR dengan mengutak-atik aplikasi yang ada untuk mengikuti aturan
standar, seperti batas minimum uang muka dan data rating, yang memungkinkan
aplikasi untuk dinilai dan diarahkan lebih cepat, dengan sedikit intervensi
manual.
Ketiga, fokuskan
strategi digitalisasi pada beberapa tujuan yang selektif. Akan ada tempat di
mana Anda perlu untuk mengejar investasi transformasi yang lebih mengena pada
kinerja. Namun, alih-alih mencoba untuk mengotomatisasi setiap aspek dari suatu
proses atau produk, fokuskan saja pada beberapa yang bisa mendorong kapasitas paling
besar dan memberikan keuntungan terbesar. Jangan membangun kerajaan digital
berkilauan hanya agar dikatakan telah menjadi bank digital.
Salah satu bank Eropa yang melakukan
pemetaan sistematis dari prosesnya untuk diarahkan pada otomatisasi, menemukan kurang
dari sepuluh proses saja yang mewakili sebagian besar pekerjaan yang biasa
dilakukan karyawan. Di area-area inilah, bank bisa memulai investasi lebih
radikal, memensiunkan platform lama, menggelar
solusi digital baru, dan menciptakan kembali cara proses kerja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar