Rabu, 16 Maret 2016

Meratakan Jalan

Penurunan suku bunga acuan dan setoran wajib moneter oleh Bank Indonesia dinilai akan membuat risiko likuiditas sedikit termitigasi. Meski begitu, bank tidak lantas harus jor-joran mendongkrak pertumbuhan pinjaman.
                        
Perjalanan perekonomian kita pada 2015 memang berat karena di sepanjang jalan banyak sekali aral melintang dan diperparah dengan mesin mobil ekonomi yang masih lemah. Perlambatan ekonomi tahun lalu pun tak bisa dielakkan dan berdampak pada perbankan dengan meningkatnya kredit bermasalah.
Untuk menyelamatkan performanya, bank harus menyisihkan dananya sebagai pencadangan kredit karena jika tidak maka angka kredit macetnya akan melonjak. Akan tetapi pilihan tindakan itu harus dibayar dengan berkurangnya laba perusahaan.
Sejatinya, potensi kenaikan non performing loan (NPL) perbankan sudah terlihat sejak kuartal kedua tahun lalu, persis setelah pelemahan pertumbuhan ekonomi kuartal pertama baru saja diumumkan. Berdasarkan data Lembaga Penjamin Simpanan, pada April 2015, pertumbuhan NPL nominal naik menjadi 33,8 persen dari 12,2 persen pada periode sama 2014. Artinya, jumlah nominal kredit yang termasuk kategori bermasalah, angkanya naik signifikan. Sementara untuk rasio NPL sepanjang 2015, LPS memperkirakan angkanya akan mencapai 2,7 persen.
“Angka 2,7 persen tersebut perlu mendapat perhatian lebih karena ada kencenderungan nilai NPL meningkat dua kali lipat dalam rentang tahun 2013-2015. Selain itu, yang perlu diwaspadai juga adalah melambatnya dana pihak ketiga (DPK),” kata Dewan Komisioner LPS, Destry Damayanti.
Kondisi tersebut jelas merupakan alarm bagi munculnya risiko likuiditas. Pasalnya, menurut aturan bank wajib menyisihkan dana untuk meng-cover kredit macet itu dalam bentuk PPAP (Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif) yang pada 2006 istilah itu diubah menjadi CKPN (Cadangan Kerugian Penurunan Nilai Aset Keuangan).
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan sepanjang pada Desember 2015, jumlah CKPN melonjak hampir 30 persen dibanding setahun sebelumnya. Dari Rp 90,454 triliun menjadi Rp116,54 triliun.
“Jika keadaan tersebut terjadi, likuiditas akan semakin ketat yang menyebabkan perlambatan pertumbuhan padahal bank harus mengelurakan kredit lebih cepat. Akibatnya bank sulit menurunkan suku bunga,” jelas Destry.     
Akan tetapi, melonjaknya pencadangan juga bukan satu-satunya ancaman bagi likuiditas perbankan. Tahun lalu likuiditas bank juga tergerus karena penarikan dana yang cukup besar dari nasabah untuk membayar pajak dan keperluan lain di akhir tahun.
Hal itu diakui oleh Direktur Utama Bank Mandiri Budi Gunadi Sadikin yang mengatakan, pada akhir tahun lalu perseroan mengalami pengetatan likuiditas akibat dana simpanan ditarik oleh nasabah untuk membayar pajak.
Tanda-tanda risiko likuiditas sudah mulai tercium menjelang tutup tahun 2015 ketika, berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan, rasio pinjaman terhadap simpanan (loan to deposit ratio/LDR) perbankan nasional mencapai 90,48 persen.

Menepis Ancaman
Tampaknya Bank Indonesia sudah bisa membaca gelagat akan mengetatnya likuiditas perbankan tahun ini. Oleh karena itu bukanlah kebetulan jika BI memutuskan untuk menurunkan kembali bunga acuan pada Rapat Dewan Gubernur pada Februari, kedua kali secara berturut-turut pada tahun ini. Tidak cuma menurunkan BI Rate, bank sentral juga menurunkan rasio giro wajib minimum bank-bank sebesar 1 persen menjadi 6,5 persen.
BI memang memaksudkan kebijakan itu untuk mendorong tersedianya likuiditas mengingat pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) pada Desember 2015 tercatat sebesar 7,3 persen (setahunan), lebih rendah dari pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 7,7 persen (setahunan).
Oleh karena Dua langkah itu dipercaya akan menambah pasokan likuiditas yang beredar di pasar keuangan. Jika keputusan penurunan BI Rate harus menunggu transmisi kepada penurunan suku bunga yang akan meningkatkan penyaluran kredit, maka penurunan GWM akan segera menambah likuiditas. BI berani memperkirakan bahwa kebijakan itu akan memberikan dampak positif terhadap perbankan karena akan ada peningkatan likuiditas sampai dengan Rp 34 triliun.
"GWM akan membuat likuiditas meningkat Rp 34 triliun. Tentu bagi bank, ini akan menjadi peluang untuk lebih efektifikan penyaluran dana kredit ke depannya," kata Gubernur BI Agus Martowardojo dalam konferensi pers usai Rapat Dewan Gubernur (RDG) Februari lalu.
Agus juga menambahkan, jika tanpa penurunan GWM, kredit perbankan diperkirakan naik menjadi 12,5 persen tahun ini dari posisi sekarang 10,5 persen. Maka dengan penurunan ini, maka perkiraan kredit perbankan dapat mencapai level 14 persen.
Dalam pengumuman resminya pasca penurunan BI Rate, otoritas mengatakan akan menjaga kondisi likuiditas dalam perekonomian agar cukup untuk mendukung penyaluran kredit lebih lanjut. Dan, untuk mendukung transmisi penurunan suku bunga kebijakan, struktur suku bunga operasi moneter (term structure) juga diturunkan sesuai dengan kondisi likuiditas di masing-masing tenor.
Sementara itu dana-dana asing yang mulai masuk lagi juga akan memompa likuiditas di dalam negeri. Dana-dana asing itu sudah menguatkan nilai tukar rupiah dalam beberapa bulan belakangan ini. Selama triwulan keempat tahun lalu, menurut data BI, rupiah menguat sebesar 6,27 persen secara point to point (ptp) dan mencapai level Rp 13.785 per dollar AS. Penguatan terus berlanjut hingga Januari 2016. Rupiah berhasil menguat 0,1 persen (ptp) dan ditutup di level Rp.13.775 per dollar AS pada akhir Januari.
“Tren apresiasi rupiah ditopang oleh meningkatnya aliran masuk modal asing, terutama ke pasar surat berharga negara. Hal itu didorong oleh persepsi positif investor terhadap arah perekonomian Indonesia, seiring dengan penurunan BI Rate, paket kebijakan Pemerintah untuk memperbaiki iklim investasi, serta semakin efektifnya implementasi berbagai proyek infrastruktur,” kata Tirta Segara, Juru Bicara BI.
Pengamat mengakui bahwa apa yang dilakukan bank sentral memang untuk meratakan jalan bisnis perbankan tahun ini. Bank, tahun ini, didorong untuk meningkatkan penyaluran kredit yang pada tahun lalu nyaris hanya satu digit. Pelemahan ekonomi yang dianggap berlalu ditambah dengan potensi maraknya proyek-proyek besar dari pemerintah seharusnya bisa membuat bank bergerak menyalurkan dana lebih besar lagi.
Oleh karena itu, menurunkan suku bunga menjadi ‘perintah tak tertulis’ BI kepada perbankan untuk mendongkrak pinjaman. “Bank tidak perlu lagi khawatir akan ancaman risiko likuiditas dengan adanya kebijakan penurunan BI Rate dan penurunan GWM,” kata Gayatri Rawit Angreni, pakar manajemen risiko.
Meski begitu ancaman likuiditas, kata mantan Direktur BRI itu, tidak lantas sirna begitu saja. Apalagi jika bank membaca tanda BI itu sebagai isyarat untuk jor-joran kredit sehingga tumbuh dua kali lipat dibanding 2015. “Kalau kemudian kredit melesat jadi 20 persen, ya masih ada ancaman risiko likuiditas. Apalagi kalau kredit konsumtif yang tumbuh. Ibaratnya pertumbuhannya sebagian besar hanya untuk menambal pengurangan plafon yang terus menurun,” kata Gayatri.
Idealnya menurut dia, kredit tahun ini tumbuh sebesar 12 persen.

Laba Tertekan
Menyisihkan sebagian dana sebagai strategi untuk meng-cover kredit macet sudah barang tentu akan mengurangi laba bank. Tidak mengherankan jika langkah itu pada akhirnya membuat pertumbuhan laba perbankan menjadi berkurang bahkan mandeg.
Salah satu bank yang merasakan dampaknya adalah Bank BNI. Bank berlogo 46 ini mencatat penurunan laba dengan membukukan laba bersih sebesar Rp 9,1 triliun di sepanjang 2015, turun 15,9 persen dibanding tahun sebelumnya.
Sang Direktur Utama sendiri mengakui bahwa, perolehan laba bersih menyusut karena cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) meningkat 101,4 persen menjadi Rp 7,3 triliun.
Kenaikan dana cadangan ini imbas dari kenaikan rasio kredit bermasalah. "BNI meningkatkan CKPN hingga coverage ratio naik ke 140,4 persen dari 130,1 persen di tahun lalu. Namun, laba sebelum pencadangan naik 10,4 persen menjadi Rp 18,7 triliun," ujar Ahmad Baiquni.
Sementara itu, Bank Mandiri mencatat laba bersih tahun 2015 sebesar Rp 20 triliun, berdasarkan laporan keuangan yang belum diaudit (anaudited)  yang dirilis Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Perolehan tersebut relatif tidak bergerak dibandingkan laba tahun 2014 yang sebesar Rp 19,9 triliun.
Laba tersebut didorong oleh pendapatan bunga bersih yang mencapai Rp 40,13 triliun.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar