Rabu, 16 Maret 2016

Perdagangan Bebas

Perdagangan bebas memang selalu menjadi momok bagi perekonomian negara berkembang, apalagi bagi Indonesia yang penduduknya banyak dan selalu menjadi pasar potensial atas produk apapun. Sebaliknya membiarkan pelaku usaha dalam negeri tanpa saingan akan menumbuhkan monopoli, seperti yang dirasakan sebelum krisis moneter.
Lalu apakah dengan memutuskan untuk segera bergabung dengan perjanjian-perjanjian internasional dalam hal perdagangan bebas, kita otomatis akan terhindar dari monopoli sekaligus tidak hanya menjadi penonton dalam persaingan bisnis global.
Melepaskan pengusaha-pengusaha kita menghadapi pesaing-pesaingnya yang sudah going global jelas bukan strategi jitu untuk menghadapi perdagangan bebas. Itu ibarat, lomba lari antara juara dunia dengan para pemula, atau antara anak-anak muda yang segar-bugar dengan orang tua yang sakit-sakitan. Analogi kedua memang agak keterlaluan. Namun demikianlah adanya.
Tim Harford, penulis buku The Undercover Economist memberikan solusi agar perlombaan berjalan adil yaitu dengan mengubah garis start. Untuk para profesional dalam perlombaan, garis itu diundurkan beberapa langkah.
Jika tujuan perdagangan bebas adalah untuk kesejahteraan bersama semua peserta, maka alangkah benarnya jika para pesertanya bisa mencapai kesejahteraan (atau minimal keuntungan darinya) dalam kurun waktu yang tidak terlampau berbeda.
Memang jika bertumpu pada pendapat David Ricardo, sang ekonom pengusung Teori Comparative Advantages, maka semua pihak akan mendapatkan keuntungan dari perdagangan bebas. Akan tetapi pertanyaannya, apakah waktunya bersamaan dan apakah besaran keuntungannya relatif sama.
Jika waktunya terpaut apalagi cukup jauh maka negara-negara yang lebih lama mendapatkan keuntungan akan selalu tertinggal. Terutama di era sekarang ketika satu perjanjian akan ditimpa dengan perjanjian lain.
Jika besaran keuntungannya juga terpaut jauh maka negara-negara yang mendapatkan keuntungan lebih sedikit jelas akan makin kalah karena, dalam beberapa waktu ke depan, tentu negara penerima laba besar akan mengeluarkan aturan tambahan lagi. Tentunya agar keuntungannya tetap besar.
Lihat saja kesepakatan-kesepakatan perdagangan bebas yang ada selalu diperbarui, dan perbaruannya mau tidak mau akan selalu berpihak kepada negara yang sebelumnya sudah menang dan unggul.
Tulisan ini tidak sedang menolak perdagangan bebas, karena tidak diragukan lagi hal itu memang dibutuhkan. Namun seharusnya kita tidak cuma berpedoman pada perkiraan “kalau tidak dilakukan sekarang maka kapan kita bisa siap”. Atau menvonis orang Indonesia sebagai pihak yang tidak akan maju kalau tidak diberi pesaing atau sebagai orang yang harus dihadapkan pada persoalan dulu baru bangkit.
Memutuskan untuk menerima persaingan bebas tidak sesederhana itu. Karena ada yang dipertaruhkan. Mungkin pengangguran yang bertambah jutaan orang karena pemutusan hubungan kerja tidak akan berarti kalau nantinya ada peluang atau lowongan kerja lebih banyak dari itu. Akan tetapi empati negara tetap harus diberikan kepada orang-orang yang dipecat dari pekerjaannya dan kehilangan kesempatan menafkahi keluarganya meski itu hanya untuk sementara waktu.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar