Perdagangan bebas memang selalu menjadi momok bagi
perekonomian negara berkembang, apalagi bagi Indonesia yang penduduknya banyak
dan selalu menjadi pasar potensial atas produk apapun. Sebaliknya membiarkan
pelaku usaha dalam negeri tanpa saingan akan menumbuhkan monopoli, seperti yang
dirasakan sebelum krisis moneter.
Lalu apakah dengan memutuskan untuk segera bergabung dengan
perjanjian-perjanjian internasional dalam hal perdagangan bebas, kita otomatis
akan terhindar dari monopoli sekaligus tidak hanya menjadi penonton dalam
persaingan bisnis global.
Melepaskan pengusaha-pengusaha kita menghadapi
pesaing-pesaingnya yang sudah going global
jelas bukan strategi jitu untuk menghadapi perdagangan bebas. Itu ibarat, lomba
lari antara juara dunia dengan para pemula, atau antara anak-anak muda yang
segar-bugar dengan orang tua yang sakit-sakitan. Analogi kedua memang agak
keterlaluan. Namun demikianlah adanya.
Tim Harford, penulis buku The Undercover Economist
memberikan solusi agar perlombaan berjalan adil yaitu dengan mengubah garis start. Untuk para profesional dalam
perlombaan, garis itu diundurkan beberapa langkah.
Jika tujuan perdagangan bebas adalah untuk kesejahteraan
bersama semua peserta, maka alangkah benarnya jika para pesertanya bisa mencapai
kesejahteraan (atau minimal keuntungan darinya) dalam kurun waktu yang tidak
terlampau berbeda.
Memang jika bertumpu pada pendapat David Ricardo, sang
ekonom pengusung Teori Comparative Advantages, maka semua pihak akan
mendapatkan keuntungan dari perdagangan bebas. Akan tetapi pertanyaannya,
apakah waktunya bersamaan dan apakah besaran keuntungannya relatif sama.
Jika waktunya terpaut apalagi cukup jauh maka negara-negara
yang lebih lama mendapatkan keuntungan akan selalu tertinggal. Terutama di era
sekarang ketika satu perjanjian akan ditimpa dengan perjanjian lain.
Jika besaran keuntungannya juga terpaut jauh maka
negara-negara yang mendapatkan keuntungan lebih sedikit jelas akan makin kalah
karena, dalam beberapa waktu ke depan, tentu negara penerima laba besar akan
mengeluarkan aturan tambahan lagi. Tentunya agar keuntungannya tetap besar.
Lihat saja kesepakatan-kesepakatan perdagangan bebas yang
ada selalu diperbarui, dan perbaruannya mau tidak mau akan selalu berpihak
kepada negara yang sebelumnya sudah menang dan unggul.
Tulisan ini tidak sedang menolak perdagangan bebas, karena
tidak diragukan lagi hal itu memang dibutuhkan. Namun seharusnya kita tidak
cuma berpedoman pada perkiraan “kalau tidak dilakukan sekarang maka kapan kita
bisa siap”. Atau menvonis orang Indonesia sebagai pihak yang tidak akan maju
kalau tidak diberi pesaing atau sebagai orang yang harus dihadapkan pada
persoalan dulu baru bangkit.
Memutuskan untuk menerima persaingan bebas tidak sesederhana
itu. Karena ada yang dipertaruhkan. Mungkin pengangguran yang bertambah jutaan
orang karena pemutusan hubungan kerja tidak akan berarti kalau nantinya ada
peluang atau lowongan kerja lebih banyak dari itu. Akan tetapi empati negara
tetap harus diberikan kepada orang-orang yang dipecat dari pekerjaannya dan
kehilangan kesempatan menafkahi keluarganya meski itu hanya untuk sementara
waktu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar