Rabu, 19 Oktober 2016

How Low Can You Go?

Keinginan menurunkan suku bunga sudah ditunjukkan oleh Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Pemerintah. Meski tanda-tanda ke arah situ sudah terlihat namun persoalan besar yang akan mengganjal penurunan bunga masih ada.


Isu penurunan suku bunga sudah muncul ketika pemerintah ‘mendesak’ bank sentral untuk menurunkan suku bunga acuan sejak tahun lalu. Pemerintah tentu berkepentingan melakukan itu –meski ia tahu bahwa Bank Indonesia sejak 1999 sudah independen, lepas dari pengaruh dan perintahnya–demi menolong pertumbuhan ekonomi yang melempem.
Pada akhirnya, di bulan Januari, Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuan untuk pertama kalinya setelah hampir setahun belakangan tidak berubah. Bukan hanya sekali tapi tiga kali berturut-turut BI rajin menurunkan bunga acuannya dari 7,5 persen hingga berada di level 6,75 persen. Hal itu pertama kalinya sejak 2011, BI Rate diturunkan 75 basis poin sepanjang tiga bulan berturut-turut.
Meskipun BI mengaku bahwa langkah itu dilakukan karena tekanan inflasi yang sudah mereda, namun tidak dipungkiri terselip juga tujuan agar suku bunga bank ikut luruh. Selama ini BI Rate adalah bunga acuan bank untuk menetapkan suku bunga deposito dan kemudian suku bunga kredit. Ketika BI Rate turun, bunga simpanan bisa langsung bisa turun dan selanjutnya bunga pinjaman juga turun.
Hal itu memang memberikan harapan besar ketika beberapa bank milik negara mulai mengikuti langkah otoritas dengan menurunkan bunga deposito dan yang terpenting adalah bunga kredit. Dua bulan setelah BI Rate turun di bulan Januari, dua dari empat bank pelat merah telah mengumumkan adanya tren penurunan suku bunga dasar kredit (SKBD). Berdasarkan data resmi PT Bank Negara Indonesia (BNI), SBDK yang berlaku per Akhir Maret 2016, Kredit Korporasi sebesar 10,25 persen, Kredit Ritel sebesar 9,95 persen, Kredit KPR 10,50 persen dan Kredit Konsumsi non KPR sebesar 12,50 persen.
Apabila dibandingkan dengan data yang tertera di situs Bank Indonesia (BI) per 1 Januari 2016, besaran SBDK bank tersebut turun sekitar 0,25-0,50 persen. Ketika itu, Kredit Korporasi masih sebesar 10,75 persen, Kredit Ritel sebesar 11,75 persen, Kredit KPR sebesar 11 persen dan Kredit Konsumsi non KPR sebesar 12,50 persen.
Hal serupa juga terjadi di PT Bank Tabungan Negara (BTN). Berdasarkan data di situs resmi BTN, SBDK yang berlaku per 31 Maret 2016, Kredit Korporasi sebesar 11,25 persen, Kredit Ritel sebesar 12 persen, Kredit KPR 10,75 persen dan Kredit Konsumsi non KPR sebesar 11,75 persen.
Bila dibandingkan dengan data yang tertera di BI per 1 Januari 2016, besaran SBDK BTN mengalami penurunan sekitar 0,25 persen. Kredit Korporasi sebesar 11,50 persen, Kredit Ritel sebesar 12,25 persen, Kredit KPR sebesar 11 persen dan Kredit Konsumsi non KPR sebesar 12 persen.
Bank memang biasanya baru akan menyesuaikan pengenaan suku bunga kredit minimal tiga bulan setelah penurunan BI Rate. Penurunan BI Rate akan melalui transmisi ke bunga deposito dan juga penyesuaian dari biaya pendanaan (cost of fund) dan juga biaya dana yang akan dilemparkan ke masyarakat (cost of loanable fund). Jika penurunan dihitung penurunan BI Rate sejak Januari maka pada April lalu seharusnya bank sudah mulai menurunkan suku bunga kredit.
Akan tetapi sampai April, bunga kredit bank yang tercantum pada SBDK yang ada dalam data Bank Indonesia tidak berubah banyak. Dalam daftar 10 bank teratas, penurunan terjadi hanya untuk kredit korporasi yang terjadi di hampir semua bank dan penurunannya rata-rata 25 basis poin. Begitu pula dengan kredit pemilikan rumah (KPR).
Selain upaya dari BI, pihak lain yang tak kalah berjuang agar suku bunga kredit bisa turun adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pada Januari lalu, OJK disebut-sebut berencana untuk membuat aturan yang bisa mengarahkan penuruna suku bunga bank. Namun rencana itu direspons negatif dengan menyimpulkan bahwa OJK akan melakukan pembatasan suku bunga lewat pembatasan net interest margin (NIM).
Sontak saja isu itu berbuah penurunan pada harga-harga saham industri perbankan. Saham perbankan dengan kapitalisasi besar tercatat menjadi top losers alias saham yang terkoreksi paling dalam hari itu. Pada penutupan 19 Februari, sesaat setelah muncul isu tersebut, saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) tercatat turun 2,6 persen, saham PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) terjun 4,9 persen, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) amblas 4,37 persen dan saham PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) meluncur 6,4 persen.
Melihat gelagat tersebut otoritas bursa buru-buru angkat bicara agar tidak terjadi panic selling berkepanjangan. “Ada berita yang saya harus katakan salah di-quote. Diberitakan bahwa otoritas akan intervensi dengan mengatur marjin keuntungan perbankan, saya katakan berita itu tidak betul. Saya tidak percaya dan saya sudah berbicara dengan Pak Ketua (Muliaman D Hadad), tidak betul bahwa OJK entah regulator manapun akan mengatur keuntungan margin suatu industri," kata Tito Sulistio, Direktur Utama Bursa Efek Indonesia, ketika itu.
Meski demikian, dipastikan rencana untuk mengarahkan suku bunga bank ke level yang lebih rendah tidak hilang. OJK sejak sebulan belakang tetap menjanjikan akan menerbitkan aturan untuk mengarahkan suku bunga bank ke level yang lebih rendah melalui beberapa insentif. Aturan itu dijanjikan keluar akhir bulan April atau selambatnya awal bulan Mei.
Bahkan OJK optimistis bahwa suku bunga bank akan mencapai level single digit dalam tahun ini. “Sampai hari ini masih optimistis (bunga single digit). Karena biaya dana cenderung menurun. Kemudian kami dorong sisi efisiensi juga," katanya Ketua Dewan Komisioner OJK, Muliaman D Hadad.

Ada Kartel?
Selama ini lambannya penurunan suku bunga sering dikeluhkan oleh beberapa pihak seperti pemerintah, dan juga pengusaha. Bahkan beberapa tahun lalu muncul isu bahwa penurunan suku bunga di perbankan terganjal adanya praktik oligopoli yang dilakukan bank-bank besar.
Oligopoli atau praktik kartel dalam sebuah industri bisa ditelusuri dengan teknik penghitungan Concentration Ratio 4 (CR4) dan juga Herfindahl-Hirschman Index (HHI).
Dalam CR4, tingkat konsentrasi dihitung dengan cara menjumlahkan total seluruh aset yang dimiliki 4 bank besar dibagi total aset seluruh bank yang ada kemudian dikalikan 100 persen. Jika hasilnya antara 85 persen lebih, berarti ada indikasi kartel. Meski begitu concentration ratio sejatinya tidak harus empat perusahaan, bisa tiga (CR3), atau lima (CR5).
Sementara itu metode HHI juga mirip dengan concentratio ratio, tapi jumlah seluruh perusahaan di sebuah industri harus diketahui. Skor HHI didapat dengan cara menjumlahkan hasil kuadrat pangsa pasar tiap perusahaan. Kalau suatu industri tidak terkonsentrasi, HHI akan mendekati nol, sebaliknya kalau sangat terkonsentrasi akan mendekati 10.000. Atau jika ingin dinyatakan dalam persentase, tinggal dibagi 100 saja.
Berdasarkan penghitungan yang dilakukan Pusat Data dan Analisis Stabilitas (PDAS), pada metode CR4 tidak menunjukkan adanya indikasi oligopoli karena angkanya menunjukkan 49 persen. Artinya 4 bank terbesar mengindikasikan penguasaan hampir separo aset industri.
Namun berdasarkan penghitungan yang sama, diperoleh kesimpulan bahwa pendapatan bunga menjadi porsi terbesar dari isi kantong perbankan, jumlahnya mencapai 80 persen. Di sisi lain, biaya bunga juga menjadi porsi biaya terbesar yang angkanya di kisaran 50 persen. (Lihat: Riset soal suku bunga).
Sebuah penelitian yang sempat dilakukan mengenai tingkat oligopoli dalam perbankan RI pernah dimuat dalam Bulletin of Monetary Economy and Banking milik Bank Indonesia yang terbit Oktober 2011. Penelitian mengenai kompetisi di perbankan dalam rentang waktu 2001-2009 itu dilakukan oleh peneliti dari luar BI.
Kesimpulannya dari penelitian itu antara lain pertama struktur pasar perbankan Indonesia lebih rentan dibandingkan negara-negara Asia Timur lainnya. “Jumlah bank di Indonesia banyak tapi pasarnya hanya terkonsentrasi di beberapa bank saja. Bank-bank besar menguasai sebagain besar pasar,” kata riset tersebut. Sementara setengah lebih perbankan lainnya mengambil jatah sisanya. Kondisi tu dikarenakan bank-bank kecil ini modalnya kurang dari Rp1 triliun.
Kedua, konsentrasi pasar perbankan semakin berkurang selama penerapan kebijakan konsolidasi yang dilakukan BI. Pada tahun-tahun setelah krisis, BI memang mulai menerapak konsolidasi perbankan baik lewat aturan modal minimum maupun penerbitan cetak biru perbankan nasional. Ketiga, dalam riset itu juga disimpulkan bahwa sebelum periode penelitian itu, industri perbankan cenderung monopolistik.***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar