Keinginan menurunkan suku bunga sudah ditunjukkan oleh Bank
Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Pemerintah. Meski tanda-tanda ke arah
situ sudah terlihat namun persoalan besar yang akan mengganjal penurunan bunga
masih ada.
Isu penurunan suku bunga sudah muncul
ketika pemerintah ‘mendesak’ bank sentral untuk menurunkan suku bunga acuan
sejak tahun lalu. Pemerintah tentu berkepentingan melakukan itu –meski ia tahu
bahwa Bank Indonesia sejak 1999 sudah independen, lepas dari pengaruh dan
perintahnya–demi menolong pertumbuhan ekonomi yang melempem.
Pada akhirnya, di bulan Januari,
Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuan untuk pertama kalinya setelah hampir
setahun belakangan tidak berubah. Bukan hanya sekali tapi tiga kali
berturut-turut BI rajin menurunkan bunga acuannya dari 7,5 persen hingga berada
di level 6,75 persen. Hal itu pertama kalinya sejak 2011, BI Rate diturunkan 75
basis poin sepanjang tiga bulan berturut-turut.
Meskipun BI mengaku bahwa langkah
itu dilakukan karena tekanan inflasi yang sudah mereda, namun tidak dipungkiri
terselip juga tujuan agar suku bunga bank ikut luruh. Selama ini BI Rate adalah
bunga acuan bank untuk menetapkan suku bunga deposito dan kemudian suku bunga
kredit. Ketika BI Rate turun, bunga simpanan bisa langsung bisa turun dan
selanjutnya bunga pinjaman juga turun.
Hal itu memang memberikan harapan
besar ketika beberapa bank milik negara mulai mengikuti langkah otoritas dengan
menurunkan bunga deposito dan yang terpenting adalah bunga kredit. Dua bulan
setelah BI Rate turun di bulan Januari, dua dari empat bank pelat merah telah
mengumumkan adanya tren penurunan suku bunga dasar kredit (SKBD). Berdasarkan
data resmi PT Bank Negara Indonesia (BNI), SBDK yang berlaku per Akhir Maret 2016,
Kredit Korporasi sebesar 10,25 persen, Kredit Ritel sebesar 9,95 persen, Kredit
KPR 10,50 persen dan Kredit Konsumsi non KPR sebesar 12,50 persen.
Apabila dibandingkan dengan data
yang tertera di situs Bank Indonesia (BI) per 1 Januari 2016, besaran SBDK bank
tersebut turun sekitar 0,25-0,50 persen. Ketika itu, Kredit Korporasi masih
sebesar 10,75 persen, Kredit Ritel sebesar 11,75 persen, Kredit KPR sebesar 11
persen dan Kredit Konsumsi non KPR sebesar 12,50 persen.
Hal serupa juga terjadi di PT
Bank Tabungan Negara (BTN). Berdasarkan data di situs resmi BTN, SBDK yang
berlaku per 31 Maret 2016, Kredit Korporasi sebesar 11,25 persen, Kredit Ritel
sebesar 12 persen, Kredit KPR 10,75 persen dan Kredit Konsumsi non KPR sebesar
11,75 persen.
Bila dibandingkan dengan data yang tertera di BI per 1 Januari
2016, besaran SBDK BTN mengalami penurunan sekitar 0,25 persen. Kredit
Korporasi sebesar 11,50 persen, Kredit Ritel sebesar 12,25 persen, Kredit KPR
sebesar 11 persen dan Kredit Konsumsi non KPR sebesar 12 persen.
Bank memang biasanya baru akan
menyesuaikan pengenaan suku bunga kredit minimal tiga bulan setelah penurunan
BI Rate. Penurunan BI Rate akan melalui transmisi ke bunga deposito dan juga
penyesuaian dari biaya pendanaan (cost of
fund) dan juga biaya dana yang akan dilemparkan ke masyarakat (cost of loanable fund). Jika penurunan dihitung
penurunan BI Rate sejak Januari maka pada April lalu seharusnya bank sudah mulai
menurunkan suku bunga kredit.
Akan tetapi sampai April, bunga
kredit bank yang tercantum pada SBDK yang ada dalam data Bank Indonesia tidak
berubah banyak. Dalam daftar 10 bank teratas, penurunan terjadi hanya untuk
kredit korporasi yang terjadi di hampir semua bank dan penurunannya rata-rata
25 basis poin. Begitu pula dengan kredit pemilikan rumah (KPR).
Selain upaya dari BI, pihak lain
yang tak kalah berjuang agar suku bunga kredit bisa turun adalah Otoritas Jasa
Keuangan (OJK). Pada Januari lalu, OJK disebut-sebut berencana untuk membuat
aturan yang bisa mengarahkan penuruna suku bunga bank. Namun rencana itu
direspons negatif dengan menyimpulkan bahwa OJK akan melakukan pembatasan suku
bunga lewat pembatasan net interest margin (NIM).
Sontak saja isu itu berbuah
penurunan pada harga-harga saham industri perbankan. Saham perbankan dengan
kapitalisasi besar tercatat menjadi top losers
alias saham yang terkoreksi paling dalam hari itu. Pada penutupan 19 Februari,
sesaat setelah muncul isu tersebut, saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA)
tercatat turun 2,6 persen, saham PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI)
terjun 4,9 persen, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) amblas 4,37 persen dan
saham PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) meluncur 6,4 persen.
Melihat gelagat tersebut otoritas
bursa buru-buru angkat bicara agar tidak terjadi panic selling berkepanjangan. “Ada berita yang saya harus katakan
salah di-quote. Diberitakan bahwa otoritas akan intervensi dengan mengatur
marjin keuntungan perbankan, saya katakan berita itu tidak betul. Saya tidak
percaya dan saya sudah berbicara dengan Pak Ketua (Muliaman D Hadad), tidak betul
bahwa OJK entah regulator manapun akan mengatur keuntungan margin suatu
industri," kata Tito Sulistio, Direktur Utama Bursa Efek Indonesia, ketika
itu.
Meski demikian, dipastikan
rencana untuk mengarahkan suku bunga bank ke level yang lebih rendah tidak
hilang. OJK sejak sebulan belakang tetap menjanjikan akan menerbitkan aturan
untuk mengarahkan suku bunga bank ke level yang lebih rendah melalui beberapa
insentif. Aturan itu dijanjikan keluar akhir bulan April atau selambatnya awal
bulan Mei.
Bahkan OJK optimistis bahwa suku
bunga bank akan mencapai level single digit dalam tahun ini. “Sampai hari ini
masih optimistis (bunga single digit). Karena biaya dana cenderung menurun.
Kemudian kami dorong sisi efisiensi juga," katanya Ketua Dewan Komisioner
OJK, Muliaman D Hadad.
Ada Kartel?
Selama ini lambannya penurunan
suku bunga sering dikeluhkan oleh beberapa pihak seperti pemerintah, dan juga
pengusaha. Bahkan beberapa tahun lalu muncul isu bahwa penurunan suku bunga di
perbankan terganjal adanya praktik oligopoli yang dilakukan bank-bank besar.
Oligopoli atau praktik kartel dalam sebuah industri bisa
ditelusuri dengan teknik penghitungan Concentration Ratio 4 (CR4) dan juga
Herfindahl-Hirschman Index (HHI).
Dalam CR4, tingkat konsentrasi
dihitung dengan cara menjumlahkan total seluruh aset yang dimiliki 4 bank besar
dibagi total aset seluruh bank yang ada kemudian dikalikan 100 persen. Jika
hasilnya antara 85 persen lebih, berarti ada indikasi kartel. Meski begitu
concentration ratio sejatinya tidak harus empat perusahaan, bisa tiga (CR3),
atau lima (CR5).
Sementara itu metode HHI juga
mirip dengan concentratio ratio, tapi
jumlah seluruh perusahaan di sebuah industri harus diketahui. Skor HHI didapat
dengan cara menjumlahkan hasil kuadrat pangsa pasar tiap perusahaan. Kalau
suatu industri tidak terkonsentrasi, HHI akan mendekati nol, sebaliknya kalau
sangat terkonsentrasi akan mendekati 10.000. Atau jika ingin dinyatakan dalam
persentase, tinggal dibagi 100 saja.
Berdasarkan penghitungan yang
dilakukan Pusat Data dan Analisis Stabilitas (PDAS), pada metode CR4 tidak
menunjukkan adanya indikasi oligopoli karena angkanya menunjukkan 49 persen.
Artinya 4 bank terbesar mengindikasikan penguasaan hampir separo aset industri.
Namun berdasarkan penghitungan
yang sama, diperoleh kesimpulan bahwa pendapatan bunga menjadi porsi terbesar
dari isi kantong perbankan, jumlahnya mencapai 80 persen. Di sisi lain, biaya
bunga juga menjadi porsi biaya terbesar yang angkanya di kisaran 50 persen.
(Lihat: Riset soal suku bunga).
Sebuah penelitian yang sempat
dilakukan mengenai tingkat oligopoli dalam perbankan RI pernah dimuat dalam
Bulletin of Monetary Economy and Banking milik Bank Indonesia yang terbit
Oktober 2011. Penelitian mengenai kompetisi di perbankan dalam rentang waktu
2001-2009 itu dilakukan oleh peneliti dari luar BI.
Kesimpulannya dari penelitian itu
antara lain pertama struktur pasar perbankan Indonesia lebih rentan
dibandingkan negara-negara Asia Timur lainnya. “Jumlah bank di Indonesia banyak
tapi pasarnya hanya terkonsentrasi di beberapa bank saja. Bank-bank besar
menguasai sebagain besar pasar,” kata riset tersebut. Sementara setengah lebih
perbankan lainnya mengambil jatah sisanya. Kondisi tu dikarenakan bank-bank
kecil ini modalnya kurang dari Rp1 triliun.
Kedua, konsentrasi pasar perbankan semakin berkurang selama
penerapan kebijakan konsolidasi yang dilakukan BI. Pada tahun-tahun setelah
krisis, BI memang mulai menerapak konsolidasi perbankan baik lewat aturan modal
minimum maupun penerbitan cetak biru perbankan nasional. Ketiga, dalam riset itu juga disimpulkan bahwa sebelum periode
penelitian itu, industri perbankan cenderung monopolistik.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar