Rabu, 19 Oktober 2016

Keraguan Berlandaskan Pengalaman

Penurunan suku bunga yang diharapkan oleh otoritas tampaknya akan menghadapi tembok besar bernama struktur industri dan kepentingan bank. Sampai saat ini bank di Indonesia masih mengandalkan suku bunga sebagai mesin pencipta pendapatan dan laba.


Upaya besar memang tengah dilaksanakan untuk menekan suku bunga ke level single digit, level yang dinilai mampu mendorong laju sektor usaha dan pertumbuhan. Meski demikian ada keraguan bahwa rencana otoritas untuk menurunkan suku bunga kredit itu akan menemui hasil sepadan seperti yang diinginkan.
Struktur industri perbankan nasional disebut-sebut sebagai faktor utama yang akan mengganjal penurunan suku bunga, khususnya kredit. Selain itu, kegaliban pengelola bank untuk lebih memprioritaskan pendapatan dan laba usah diperkirakan juga menjadi penghalang yang tak kalah seriusnya.
Bahkan pengamat ekonomi, Tony Prasetiantono menganggap rencana itu sebagai mission impossible alias misi yang mustahil, terutama kalau rencana itu ditargetkan terealisasi tahun ini. “Itu tak masuk akal. Karena itu struktur industri perbankannya memang tidak memungkinkan. Mustahil," ungkap Pengamat Ekonomi, Tony Prasetiantono di Kantor Pusat Bank Indonesia (BI).
Menurut dia, struktur perbankan di Indonesia yang sangat rumit, yang bisa dilihat dari sisi jumlah bank yang terlalu banyak, akan membuat keinginan itu bagai pungguk merindukan bulan. Saat ini ada 119 bank yang beroperasi di Indonesia dan yang memiliki permodalan relatif besar hanyalah sekitar 20 bank. “Bank besar kita itu hanya sekitar 20. Jadi sisanya itu kecil-kecil yang modalnya Rp 1 triliun maksimal Rp 2 triliun," kata Tony.
Kondisi itu membuat tingkat persaingan antar bank sangat meruncing, terutama dalam memperebutkan dana pihak ketiga. Bank kecil, malahan seringkali menawarkan suku bunga tinggi agar nasabah bersedia menaruh dananya di banknya. Nasabah, di sisi lain, terutama yang berkantong tebal, tentu mencari bank yang bisa memberikan imbal hasil lebih tinggi sebelum bersedia menaruh duitnya. Ironisnya, praktik itu diikuti oleh bank-bank yang notabene adalah bank-bank bermodal besar. "Ketika bank kecil bunga tinggi, bank besar ikut juga. Bukan karena tak efisien tapi karena menikmati kue,” kata Tony.
Apa yang dikatakan ekonom UGM itu ada benarnya. Bank-bank dengan modal kecil memang harus melakukan upaya ekstra untuk menarik nasabah agar menabung di tempatnya dan salah satu caranya adalah mengiming-imingi dengan bunga tinggi. “(Permintaan untuk menurunkan suku bunga) bagus tetapi akan sulit dipenuhi,” kata Direktur Utama Bank Kesejahteraan Ekonomi Sasmaya Tuhuleley.
Selain itu, lanjut dia, hal yang membuat suku bunga sulit turun adalah struktur pendapatan bank yang masih bergantung pada net interest margin (NIM), sehingga bank masih akan menjaga NIM-nya di level yang tinggi agar bisa mengalirkan pendapatan. Jadi, meskipun nantinya suku bunga bisa diturunkan relatif lebih rendah dari level sekarang, NIM akan sulit diturunkan. “Bunga turun gampang, tapi NIM susah,” kata Sasmaya.


Strategi Lawas
Sulitnya otoritas meminta bank untuk menurunkan suku bunga pernah terjadi 7-8 tahun silam. Saat pengawasan bank masih di bawah Bank Indonesia, lembaga itu pernah mengultimatum perbankan agar tidak menawarkan suku bunga tinggi kepada nasabah. Saat itu, pada tahun 2009, Darmin Nasution, yang kini menjadi Menteri Perekonomian, masih menjabat sebagai Deputi Gubernur Senior.
Darmin mengatakan bahwa pihaknya akan mengawasi secara ketat, bahkan hari per hari kegiatan bank dalam menawarkan suku bunga deposito. Saat itu, bank-bank besar dipatok hanya bisa memberikan bunga deposito sebesar 8 persen per tahun. Namun apa yang terjadi, kebijakan itu hilang dengan sendirinya tanpa memberikan hasil yang memuaskan.     
Tony, ekonom UGM, mengakui bahwa desakan agar suku bunga bank turun bukan kali ini saja terjadi dan cara yang paling efektif untuk mewujudkan itu adalah dengan mengurangi jumlah bank. “Menurunkan suku bunga menurut saya paling efektif ya mengurangi jumlah bank. Dengan jumlah sedikit jadi efisien," paparnya.
Terkait langkah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang ingin pemberian insentif terhadap perbankan, yang tujuannya penurunan Net Interest Margin (NIM), menurut dia sudah tepat namun belum akan mampu menurunkan suku bunga kredit menjadi single digit hingga akhir tahun ini. “Jadi menurunkan suku bunga itu tak seperti yang dibayangkan, pemerintah minta menurunkan akhir tahun nggak seperti itu. Jadi menggeneralisasi semua bank single digit itu salah karena setiap bank memiliki karakteristik dan struktur yang berbeda," terang Tony.
Menurut riset yang dilakukan Stabilitas, tingkat suku bunga di Indonesia masuk kategori tinggi, dibandingkan dengan negara-negara sekawasan. Selama kurun waktu lima tahun terakhir, suku bunga pinjaman di Indonesia (rata-rata) di atas 10 persen per tahun. Pada 2010, nilainya 13,25 persen. Hingga 2015, nilainya cenderung menurun menjadi 12,66 persen pada 2015. Berbeda dengan Singapura, Malaysia, Filipina, Thailand, Tiongkok dan India, tingkat suku bunga pinjamnnya berada di bawah 10 persen.(lihat: Jalan Terjal Menuju Single Digit).

Komponen Pembentuk

Memang tidak mudah menurunkan suku bunga kredit di Indonesia yang inflasinya selalu tinggi, biaya logistiknya tinggi, struktur perbankannya tidak sehat, dan pelaku usaha yang didominasi segmen mikro dan kecil. Namun, itu juga tidak terlepas dari bentuk kebijakan yang terkesan sementara dan tidak serius. Semua strategi dan upaya menurunkan suku bunga kredit selama ini cenderung hanya imbauan dan iming-iming insentif.
Saat ini, pemerintah, bank sentral, dan OJK kembali mengulang cara-cara lama yang menitikberatkan imbauan, supervisory action, dan insentif untuk mendorong penurunan suku bunga kredit. Pemerintah selain meminta perusahaan-perusahaan negara pemilik dana besar untuk tidak menuntut bunga tinggi kepada bank, juga sudah meluncurkan program Kredit Usaha Rakyat dengan bunga satu digit.
Kendati demikian tidak serta merta bank menurunkan suku bunga kreditnya. Bank berhadapan dengan tiga komponen pembentuk suku bunga kredit yakni  harga pokok dana, biaya operasional (overhead) dan marjin keuntungan (profit margin).Ketiga komponen itu membentuk apa yang dinamakan suku bunga dasar kredit (SBDK) yang saat ini diwajibkan oleh bank sentral dicantumkan di website masing-masing bank.
Harga pokok dana adalah biaya yang dikeluarkan bank untuk membayar bunga simpanan (dana pihak ketiga/DPK) seperti tabungan, deposito, dan giro. Harga pokok dana juga termasuk biaya dana dan biaya regulasi. Sementara itu, cost of fund bisa dilihat dari biaya bunga dalam komponen biaya operasional bank.
Berdasarkan riset Stabilitas,hingga triwulan ketiga 2015, beban bunga mencapai 47,61 persen dari total komponen biaya operasional industri perbankan di Indonesia. Beban bunga terbesar terdapat dalam komponen kewajiban kepada pihak ketiga bukan bank sebesar 55,84 persen.
Sedangkan beban biaya nonbunga meliputi 52,39 persen total biaya operasional. Beban non bunga terbesar terdapat dalam pos lainnya yang meliputi biaya overhead cost seperti beban gaji dan operasional seperti operasional kantor yang meliputi 48,25 persen total beban non bunga. Komponen beban non bunga terbesar kedua terdapat dalam pos penyusutan (25,44 persen) dan kerugian atas transaksi spot dan derivatif sebesar 24,50 persen.
Tingginya beban overhead cost perbankan di Indonesia salah satunya disebabkan oleh karakter industri perbankan Indonesia yang belum terlalu efisien dan tertata dengan baik seperti di negara-negara maju. Hal ini terlihat dari tingkat kedalaman sektor keuangan di Indonesia yang masih rendah. Saat ini kedalaman sektor keuangan Indonesia berkisar pada angka 30 persen dari produk domestik bruto. Angka ini jauh jika dibandingkan dengan Korea Selatan sebesar 109 persen, Singapura 102 persen, dan Thailand 97 persen.


 (dipublikasikan Mei 2016)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar