Penurunan BI Rate tiga kali berturut-turut menerbitkan
harapan bahwa era suku bunga rendah akan segera datang. Demi memastikan langkah
itu berpengaruh pada penurunan bunga kredit, otoritas menyiapkan insentif agar
bank segera memangkas suku bunga.
Akankah musim suku bunga rendah
segera tiba? Jika melihat kecenderungan keputusan Bank Indonesia selama tiga
bulan berturut-turut sebelum ini, kemungkinan itu sangat terbuka. Akan tetapi,
seperti yang selama ini terjadi di Indonesia, penurunan suku bunga acuan tidak
serta merta bisa memaksa suku bunga perbankan mengikuti.
Maret menjadi bulan ketiga secara
beruntun bank sentral menurunkan BI Rate, sehingga posisinya berada di level
6,75 persen. Tentu target inflasi menjadi pertimbangan utama BI dalam
memutuskan angka BI Rate setiap bulan.
Dalam pengumuman resminya
otoritas mengatakan bahwa terus menurunnya tekanan inflasi di 2016 dan 2017,
serta meredanya ketidakpastian di pasar keuangan global menjadi faktor utama
kebijakan tersebut. Bahkan “keputusan tersebut sejalan dengan masih terbukanya
ruang pelonggaran kebijakan moneter”.
Sepanjang tiga bulan pertama
inflasi memang terkendali. Indeks harga konsumen pada Februari 2016 turun 0,09
persen dari bulan sebelumnya. Ekonomi Indonesia mencatatkan deflasi setelah
membukukan inflasi 0,59 persen pada Januari. Inflasi tahun ini diprediksi akan
sesuai besaran target BI sebesar 4 persen dengan kemungkinan lebih tinggi atau
lebih rendah satu persen.
Penurunan itu juga diperkirakan
tidak akan mengganggu penguatan nilai tukar yang beberapa waktu belakangan
terjadi. Sepanjang Januari-Februari tahun ini, nilai tukar rupiah menguat
sebesar 3,09 persen ke level Rp 13.372 per dollar AS. Tren penguatan itu
sejalan dengan meningkatnya aliran masuk modal asing. Persepsi positif investor
akan ekonomi Indonesia setelah penurunan BI Rate sebelumnya dan sederet paket deregulasi
pemerintah ditambah implementasi proyek infrastruktur menjadi alasan kenapa
kurs rupiah terus menguat.
Bahkan jika melihat kecenderungan
faktor eksternal yang palin dominan yaitu kebijakan suku bunga Bank Sentral AS,
kondisi penurunan bunga lebih lanjut masih bisa terjadi. Belakangan masih
santer dikabarkan bahwa The Federal Reserve akan meneruskan kebijakan menaikkan
suku bunga yang sudah dimulai Desember lalu.
Jika hal itu terjadi dalam tahun ini, banyak kalangan yang
khawatir akan membuat dana-dana asing yang sebelumnya menghampiri pasar
keuangan nasional harus hengkang lagi menuju Negeri Paman Sam.
Akan tetapi ekonomi Universitas
Indonesia Faisal Basri menepis kekhawatiran itu. Menurut dia kemungkinan modal
akan lari dari Indonesia ketika The Fed menaikkan bunga relatif sangat kecil
karena suku bunga riil obligasi Indonesia jauh lebih tinggi dari negara-negara
maju. Bahkan, perbedaan suku bunga yang cukup tinggi itu mendorong modal asing
masuk.
“Selain itu pasar saham Indonesia
belakangan ini cukup menarik minat asing. Beberapa waktu terakhir, pembelian
bersih asing mencapai triliunan rupiah. Kinerja pasar saham Indonesia jauh di
atas rerata emerging markets,” kata
dia dalam catatannya di laman pribadi.
Sementara itu, menanggapi
penurunan BI Rate, Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegro mengatakan,
penurunan tersebut wajar karena memang terdapat ruang untuk penurunan. Selain
itu, Bank Snetral AS yang memberi sinyal tidak akan ada kenaikan suku bunga
dalam waktu dekat membuat peluang penurunan ini semakin nyata. "The Fed
juga sifatnya tidak akan naik dalam waktu dekat," ujar Menkeu.
Meski the Fed memberi sinyal baik
karena tidak menaikkan suku bunga, Bambang belum berani berekspektasi BI Rate
bisa kembali turun dalam waktu dekat. Sebab, hal itu harus dilihat dengan
perkembangan global yang masih dinamis.
Dengan penurunan BI Rate, Bambang
berharap keputusan BI tersebut akan memengaruhi suku bunga perbankan. Turunnya
suku bunga perbankan diharapkan bisa berpengaruh pada sektor rill.
"Tingkat bunga pinjaman bisa menurun dan sektor rill bergerak," kata
Menkeu.
Pertanda Baik
Jika memang demikian maka tidak
berlebihan jika publik sangat berharap bahwa suku bunga kredit perbankan juga
akan segera menurun. Dan jika melihat beberapa bank besar, harapan itu
tampaknya akan segera terwujud.
Bulan lalu saja dua dari empat
bank pelat merah telah mengumumkan adanya tren penurunan suku bunga dasar
kredit (SKBD) dan kecenderungan itu sudah terjadi dalam tiga bulan pertama
tahun ini.
Berdasarkan data resmi PT Bank
Negara Indonesia (BNI), SBDK yang berlaku per 29 Februari 2016, Kredit
Korporasi sebesar 10,50 persen, Kredit Ritel sebesar 11,50 persen, Kredit KPR
10,50 persen dan Kredit Konsumsi non KPR sebesar 12,50 persen.
Bila dibandingkan dengan data
yang tertera di situs Bank Indonesia (BI) per 1 Januari 2016, besaran SBDK BNI
mengalami penurunan sekitar 0,25-0,50 persen. Kredit Korporasi sebesar 10,75
persen, Kredit Ritel sebesar 11,75 persen, Kredit KPR sebesar 11 persen dan
Kredit Konsumsi non KPR sebesar 12,50 persen.
Hal serupa juga terjadi di PT
Bank Tabungan Negara (BTN). Berdasarkan data di situs resmi BTN, SBDK yang
berlaku per 31 Maret 2016, Kredit Korporasi sebesar 11,25 persen, Kredit Ritel
sebesar 12 persen, Kredit KPR 10,75 persen dan Kredit Konsumsi non KPR sebesar
11,75 persen.
Bila dibandingkan dengan data
yang tertera di BI per 1 Januari 2016, besaran SBDK BTN mengalami penurunan
sekitar 0,25 persen. Kredit Korporasi sebesar 11,50 persen, Kredit Ritel
sebesar 12,25 persen, Kredit KPR sebesar 11 persen dan Kredit Konsumsi non KPR
sebesar 12 persen.
Bank memang berjanji, baru akan
menyesuaikan pengenaan suku bunga minimal tiga bulan setelah penurunan BI Rate.
Jika penurunan BI Rate pada Januari sudah dihitung maka, pada April ini
seharusnya bank mulai menurunkan suku bunga kredit.
Bahkan kemungkinan turunnya bunga
kredit akan makin terlihat jika Otoritas Jasa Keuangan benar-benar menerbitkan
aturan insentif untuk itu. Sedari awal tahun OJK memang sigap melaksanakan niat
untuk mengarahkan penurunan bunga perbankan, meskipun hal itu sempat membuat
harga saham sektor perbankan terguncang dua bulan lalu.
Insentif yang kemungkinan akan
terbit pertengahan bulan ini akan berisi kemudahan-kemudahan bagi bank yang
memiliki rasio margin bunga bersih (net
interest margin/ NIM) dan biaya operasional terhadap pendapatan operasional
(BOPO) rendah. Iming-iming yang OJK berikan adalah kemudahan mendirikan
jaringan kantor cabang di Indonesia tanpa harus memiliki modal tinggi.
OJK berkali-kali mengatakan agar
bank-bank di Indonesia memiliki rasio NIM dan BOPO seperti bank-bank di negara
ASEAN yang rendah. Regulator akan menjadikan tingkat efisiensi NIM dan BOPO
negara tersebut sebagai contoh pembuatan aturan. Pada tahun 2014, OJK pernah
mengarahkan perbankan agar rasio NIM berada di level 4 persen dan BOPO di level
60 persen.
Keinginan untuk menekan suku
bunga kredit bank memang bukan kali ini saja mencuat. Akan tetapi kerapkali
keinginan itu tidak terwujud karena disinyalir ada praktik kartel pengenaan
suku bunga pada bank-bank besar.
Pada pertengahan 2013, Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) melakukan penyelidikan untuk membuktikan
adanya praktik oligopoli di perbankan. Meskipun tidak bisa membuktikan adanya
praktik tersebut KPPU menemukan beberapa indikator yang memang ditengarai
mengarah kepada adanya kongkalingkong antar bank besar dalam menentukan suku
bunga.
Indikasi tersebut, pertama, bunga kredit bank sangat tinggi
sementara bunga acuan sudah sangat rendah. Ketika BI Rate berada di level 8,5
persen pada 2008, suku bunga kredit rata-rata berada di kisaran 12 persen. Pada
Akhir 2011, ketika BI Rate turun menjadi 6,00 persen, suku bunga kredit masih
berkisar 12-14 persen. Pada akhir 2012 ketika bunga acuan berada pada level
5,75 persen, suku bunga kredit rata-rata berada pada 12,06 persen.
Kedua, konsentrasi pasar perbankan semakin berkurang selama
penerapan kebijakan konsolidasi yg dilakukan BI. Pada tahun-tahun setelah
krisis, BI memang mulai menerapak konsolidasi perbankan baik lewat aturan modal
minimum maupun penerbitan cetak biru perbankan nasional. Ketiga, dalam riset itu juga disimpulkan bahwa sebelum periode
penelitian itu, industri perbankan cenderung monopolistik.
Nama Bank
|
Suku Bunga Dasar Kredit (%)
|
||||
Kredit
|
Kredit
|
Kredit
|
Kredit Konsumsi
|
||
Korporasi
|
Ritel
|
Mikro
|
KPR
|
Non KPR
|
PT BANK MANDIRI (PERSERO), Tbk
|
10.50
|
12.25
|
19.25
|
11.00
|
12.50
|
PT BANK RAKYAT INDONESIA (PERSERO), Tbk
|
10.75
|
11.25
|
17.50
|
10.25
|
12.50
|
PT BANK CENTRAL ASIA, Tbk
|
10.25
|
11.25
|
-
|
10.25
|
8.63
|
PT BANK NEGARA INDONESIA (PERSERO), Tbk
|
10.50
|
11.50
|
-
|
10.50
|
12.50
|
PT BANK CIMB NIAGA, Tbk
|
11.25
|
12.00
|
19.50
|
11.25
|
11.50
|
PT BANK PERMATA, Tbk
|
11.75
|
12.00
|
-
|
11.75
|
11.75
|
PT PAN INDONESIA BANK, Tbk
|
11.35
|
11.89
|
19.71
|
11.53
|
11.53
|
PT BANK DANAMON INDONESIA, Tbk
|
11.60
|
12.25
|
19.95
|
11.75
|
17.50
|
PT BANK TABUNGAN NEGARA (PERSERO), Tbk
|
11.50
|
12.25
|
-
|
11.00
|
12.00
|
PT BANK INTERNASIONAL INDONESIA, Tbk
|
11.00
|
12.00
|
18.30
|
10.25
|
11.50
|
Sumber Bank Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar