Rabu, 19 Oktober 2016

Menanti Musim Bunga Turun

Penurunan BI Rate tiga kali berturut-turut menerbitkan harapan bahwa era suku bunga rendah akan segera datang. Demi memastikan langkah itu berpengaruh pada penurunan bunga kredit, otoritas menyiapkan insentif agar bank segera memangkas suku bunga.


Akankah musim suku bunga rendah segera tiba? Jika melihat kecenderungan keputusan Bank Indonesia selama tiga bulan berturut-turut sebelum ini, kemungkinan itu sangat terbuka. Akan tetapi, seperti yang selama ini terjadi di Indonesia, penurunan suku bunga acuan tidak serta merta bisa memaksa suku bunga perbankan mengikuti.
Maret menjadi bulan ketiga secara beruntun bank sentral menurunkan BI Rate, sehingga posisinya berada di level 6,75 persen. Tentu target inflasi menjadi pertimbangan utama BI dalam memutuskan angka BI Rate setiap bulan.
Dalam pengumuman resminya otoritas mengatakan bahwa terus menurunnya tekanan inflasi di 2016 dan 2017, serta meredanya ketidakpastian di pasar keuangan global menjadi faktor utama kebijakan tersebut. Bahkan “keputusan tersebut sejalan dengan masih terbukanya ruang pelonggaran kebijakan moneter”.
Sepanjang tiga bulan pertama inflasi memang terkendali. Indeks harga konsumen pada Februari 2016 turun 0,09 persen dari bulan sebelumnya. Ekonomi Indonesia mencatatkan deflasi setelah membukukan inflasi 0,59 persen pada Januari. Inflasi tahun ini diprediksi akan sesuai besaran target BI sebesar 4 persen dengan kemungkinan lebih tinggi atau lebih rendah satu persen.
Penurunan itu juga diperkirakan tidak akan mengganggu penguatan nilai tukar yang beberapa waktu belakangan terjadi. Sepanjang Januari-Februari tahun ini, nilai tukar rupiah menguat sebesar 3,09 persen ke level Rp 13.372 per dollar AS. Tren penguatan itu sejalan dengan meningkatnya aliran masuk modal asing. Persepsi positif investor akan ekonomi Indonesia setelah penurunan BI Rate sebelumnya dan sederet paket deregulasi pemerintah ditambah implementasi proyek infrastruktur menjadi alasan kenapa kurs rupiah terus menguat.
Bahkan jika melihat kecenderungan faktor eksternal yang palin dominan yaitu kebijakan suku bunga Bank Sentral AS, kondisi penurunan bunga lebih lanjut masih bisa terjadi. Belakangan masih santer dikabarkan bahwa The Federal Reserve akan meneruskan kebijakan menaikkan suku bunga yang sudah dimulai Desember lalu.
Jika hal itu terjadi dalam tahun ini, banyak kalangan yang khawatir akan membuat dana-dana asing yang sebelumnya menghampiri pasar keuangan nasional harus hengkang lagi menuju Negeri Paman Sam.
Akan tetapi ekonomi Universitas Indonesia Faisal Basri menepis kekhawatiran itu. Menurut dia kemungkinan modal akan lari dari Indonesia ketika The Fed menaikkan bunga relatif sangat kecil karena suku bunga riil obligasi Indonesia jauh lebih tinggi dari negara-negara maju. Bahkan, perbedaan suku bunga yang cukup tinggi itu mendorong modal asing masuk.
“Selain itu pasar saham Indonesia belakangan ini cukup menarik minat asing. Beberapa waktu terakhir, pembelian bersih asing mencapai triliunan rupiah. Kinerja pasar saham Indonesia jauh di atas rerata emerging markets,” kata dia dalam catatannya di laman pribadi.
Sementara itu, menanggapi penurunan BI Rate, Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegro mengatakan, penurunan tersebut wajar karena memang terdapat ruang untuk penurunan. Selain itu, Bank Snetral AS yang memberi sinyal tidak akan ada kenaikan suku bunga dalam waktu dekat membuat peluang penurunan ini semakin nyata. "The Fed juga sifatnya tidak akan naik dalam waktu dekat," ujar Menkeu.
Meski the Fed memberi sinyal baik karena tidak menaikkan suku bunga, Bambang belum berani berekspektasi BI Rate bisa kembali turun dalam waktu dekat. Sebab, hal itu harus dilihat dengan perkembangan global yang masih dinamis.
Dengan penurunan BI Rate, Bambang berharap keputusan BI tersebut akan memengaruhi suku bunga perbankan. Turunnya suku bunga perbankan diharapkan bisa berpengaruh pada sektor rill. "Tingkat bunga pinjaman bisa menurun dan sektor rill bergerak," kata Menkeu.

Pertanda Baik
Jika memang demikian maka tidak berlebihan jika publik sangat berharap bahwa suku bunga kredit perbankan juga akan segera menurun. Dan jika melihat beberapa bank besar, harapan itu tampaknya akan segera terwujud.
Bulan lalu saja dua dari empat bank pelat merah telah mengumumkan adanya tren penurunan suku bunga dasar kredit (SKBD) dan kecenderungan itu sudah terjadi dalam tiga bulan pertama tahun ini.
Berdasarkan data resmi PT Bank Negara Indonesia (BNI), SBDK yang berlaku per 29 Februari 2016, Kredit Korporasi sebesar 10,50 persen, Kredit Ritel sebesar 11,50 persen, Kredit KPR 10,50 persen dan Kredit Konsumsi non KPR sebesar 12,50 persen.
Bila dibandingkan dengan data yang tertera di situs Bank Indonesia (BI) per 1 Januari 2016, besaran SBDK BNI mengalami penurunan sekitar 0,25-0,50 persen. Kredit Korporasi sebesar 10,75 persen, Kredit Ritel sebesar 11,75 persen, Kredit KPR sebesar 11 persen dan Kredit Konsumsi non KPR sebesar 12,50 persen.
Hal serupa juga terjadi di PT Bank Tabungan Negara (BTN). Berdasarkan data di situs resmi BTN, SBDK yang berlaku per 31 Maret 2016, Kredit Korporasi sebesar 11,25 persen, Kredit Ritel sebesar 12 persen, Kredit KPR 10,75 persen dan Kredit Konsumsi non KPR sebesar 11,75 persen.
Bila dibandingkan dengan data yang tertera di BI per 1 Januari 2016, besaran SBDK BTN mengalami penurunan sekitar 0,25 persen. Kredit Korporasi sebesar 11,50 persen, Kredit Ritel sebesar 12,25 persen, Kredit KPR sebesar 11 persen dan Kredit Konsumsi non KPR sebesar 12 persen.
Bank memang berjanji, baru akan menyesuaikan pengenaan suku bunga minimal tiga bulan setelah penurunan BI Rate. Jika penurunan BI Rate pada Januari sudah dihitung maka, pada April ini seharusnya bank mulai menurunkan suku bunga kredit.
Bahkan kemungkinan turunnya bunga kredit akan makin terlihat jika Otoritas Jasa Keuangan benar-benar menerbitkan aturan insentif untuk itu. Sedari awal tahun OJK memang sigap melaksanakan niat untuk mengarahkan penurunan bunga perbankan, meskipun hal itu sempat membuat harga saham sektor perbankan terguncang dua bulan lalu.
Insentif yang kemungkinan akan terbit pertengahan bulan ini akan berisi kemudahan-kemudahan bagi bank yang memiliki rasio margin bunga bersih (net interest margin/ NIM) dan biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) rendah. Iming-iming yang OJK berikan adalah kemudahan mendirikan jaringan kantor cabang di Indonesia tanpa harus memiliki modal tinggi.
OJK berkali-kali mengatakan agar bank-bank di Indonesia memiliki rasio NIM dan BOPO seperti bank-bank di negara ASEAN yang rendah. Regulator akan menjadikan tingkat efisiensi NIM dan BOPO negara tersebut sebagai contoh pembuatan aturan. Pada tahun 2014, OJK pernah mengarahkan perbankan agar rasio NIM berada di level 4 persen dan BOPO di level 60 persen.
Keinginan untuk menekan suku bunga kredit bank memang bukan kali ini saja mencuat. Akan tetapi kerapkali keinginan itu tidak terwujud karena disinyalir ada praktik kartel pengenaan suku bunga pada bank-bank besar.
Pada pertengahan 2013, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) melakukan penyelidikan untuk membuktikan adanya praktik oligopoli di perbankan. Meskipun tidak bisa membuktikan adanya praktik tersebut KPPU menemukan beberapa indikator yang memang ditengarai mengarah kepada adanya kongkalingkong antar bank besar dalam menentukan suku bunga.
Indikasi tersebut, pertama, bunga kredit bank sangat tinggi sementara bunga acuan sudah sangat rendah. Ketika BI Rate berada di level 8,5 persen pada 2008, suku bunga kredit rata-rata berada di kisaran 12 persen. Pada Akhir 2011, ketika BI Rate turun menjadi 6,00 persen, suku bunga kredit masih berkisar 12-14 persen. Pada akhir 2012 ketika bunga acuan berada pada level 5,75 persen, suku bunga kredit rata-rata berada pada 12,06 persen.
Kedua, konsentrasi pasar perbankan semakin berkurang selama penerapan kebijakan konsolidasi yg dilakukan BI. Pada tahun-tahun setelah krisis, BI memang mulai menerapak konsolidasi perbankan baik lewat aturan modal minimum maupun penerbitan cetak biru perbankan nasional. Ketiga, dalam riset itu juga disimpulkan bahwa sebelum periode penelitian itu, industri perbankan cenderung monopolistik.






Nama Bank
Suku Bunga Dasar Kredit (%)
Kredit
Kredit
Kredit
Kredit Konsumsi
Korporasi
Ritel
Mikro
KPR
Non KPR

PT BANK MANDIRI (PERSERO), Tbk
           10.50
           12.25
           19.25
           11.00
           12.50
PT BANK RAKYAT INDONESIA (PERSERO), Tbk
           10.75
           11.25
           17.50
           10.25
           12.50
PT BANK CENTRAL ASIA, Tbk
           10.25
           11.25
                  -  
           10.25
              8.63
PT BANK NEGARA INDONESIA (PERSERO), Tbk
           10.50
           11.50
                  -  
           10.50
           12.50
PT BANK CIMB NIAGA, Tbk
           11.25
           12.00
           19.50
           11.25
           11.50
PT BANK PERMATA, Tbk
           11.75
           12.00
                  -  
           11.75
           11.75
PT PAN INDONESIA BANK, Tbk
           11.35
           11.89
           19.71
           11.53
           11.53
PT BANK DANAMON INDONESIA, Tbk
           11.60
           12.25
           19.95
           11.75
           17.50
PT BANK TABUNGAN NEGARA (PERSERO), Tbk
           11.50
           12.25
                  -  
           11.00
           12.00
PT BANK INTERNASIONAL INDONESIA, Tbk
           11.00
           12.00
           18.30
           10.25
           11.50

Sumber Bank Indonesia
 (terbit bulan April 2016)















Tidak ada komentar:

Posting Komentar