Peta ekonomi dunia akan segera berubah dengan China yang
bersiap menyodok sebagai raksasa ekonomi dalam beberapa tahun ke depan.
Sementara itu Indonesia, saat ini, sudah berada di bawah bayang-bayang kekuatan
ekonomi China.
Pada masa-masa awal dibukanya perdagangan bebas dengan China
akhir 90-an, negara-negara barat sesumbar bahwa tak lama lagi China akan tampak
‘kebarat-baratan’. Karena pengaruh Barat akan segera mendominasi perekonomian
China yang sebelumnya dianggap tertutup dan lazim disebut ‘Negeri Tirai Bambu’.
Akan tetapi, yang terjadi sekarang ini kebalikannya. Seperti
yang dikatakan oleh Martin Jacques, seorang professor tamu di beberapa
universitas di China dan penulis buku When
China Rules the World yang terbit pada 2009, “Time will not make China more Western; it will make the West, and the
world, more Chinese.”
Tulisan dari komentator ekonomi itu makin menemukan
kenyataannya ketika Amerika dan Eropa kewalahan dengan maraknya barang-barang
dari China yang seperti tak bisa lagi dibendung.
Gelombang barang-barang China di Negeri Paman Sam itu telah
memicu terjadinya defisit perdagangan AS atas China.
Bahkan 2014 merupakan tahun terakhir, AS menyandang gelar
sebagai ekonomi terbesar dunia, karena tahun berikutnya China menyerobot posisi
itu dalam hal kekuatan daya beli (purchasing
power parity). Bank Dunia yang menginisiasi penilaian tersebut. Banyak yang
tak menganggap itu sebagai hitungan yang tepat, namun setidaknya banyak pakar
juga yang menyatakan bahwa penghitungan daya beli bisa memberikan dasar yang
baik untuk menilai ukuran relatif dua perekonomian yang berbeda.
Akan tetapi dominasi China makin diteguhkan ketika pada
triwulan ketiga tahun lalu, berdasarkan data yang dirilis Departemen
Perdagangan AS menyatakan bahwa defisit perdagangan AS membengkak sebesar 15,6
persen menjadi 48,3 miliar dollar AS pada Agustus. Meningkatnya impor dari
China menjadi penyebab makin melebarnya defisit itu, setelah China melemahkan
nilai tukarnya yang menjadikan dollar menguat dan melemahkan ekspor AS.
China memang telah mengubah dirinya menjadi pemain utama
pada perdagangan dunia. Dengan memproduksi barang-barang murah dan melemparnya
ke luar negeri, China mengalahkan pemain-pemain utama yang sebelumnya menguasai
perdagangan. Pada tahun 1990 China memproduksi kurang dari 3 persen dari nilai output
manufaktur global, namun saat ini porsinya hampir seperempatnya. China
memproduksi sekitar 80 persen dari AC di dunia, 70 persen dari ponsel dan 60
persen dari sepatu yang beredar. Dan negara yang disebut sebagai "Pabrik
Asia" oleh majalah The Economist itu, sekarang membuat hampir setengah
barang-barang yang ada di dunia.
Selama lebih dari satu dekade sebelum sekarang, China telah
menjadi mesin pertumbuhan global. Meski saat ini kecepatannya telah berkurang,
namun dominasinya terhadap perekonomian global tak berkurang banyak. Tak
terkecuali di Indonesia. Belakangan ini, pemerintah Indonesia terkesan sangat
akrab dengan (dana-dana dan investor) China.
Keakraban itu terlihat ketika pemerintah memutuskan menunjuk
investor China untuk menggarap proyek Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung, meski
pada proyek-proyek infrastruktur lain pengaruh China sudah ada. Pemberian
pinjaman pada tiga bank BUMN, juga menjadi bukti lainnya betapa mesranya
hubungan Indonesia-China kini.
Sejak Perjanjian Perdagangan Bebas China-ASEAN (ASEAN-Cina
Free Trade Agreement/ ACFTA) diberlakukan 1 Januari 2010, barang-barang China
mulai dari peniti hingga mesin modal membanjiri pasar Indonesia. Maklum, dengan
bea masuk 0 persen, barang-barang China leluasa masuk ke Indonesia. Sebelumnya,
barang China sudah membanjiri pasar Indonesia karena harganya yang sangat
murah.
ACFTA memang membuat China makin bergairah menyerbu pasar
Indonesia. Bahkan, beberapa perusahaan raksasa China terus hadir dalam berbagai
pameran teknologi dan produk China. Hingga saat ini lebih 1.000 perusahaan
China beroperasi di Indonesia, baik
bidang infrastruktur, kelistrikan, energi, komunikasi, agrikultural,
manufaktur dan sektor lainnya.
November tahun lalu, saat Presiden Joko Widodo anjangsana ke
Beijing, China, telah ditandatangani 12 perjanjian (MoU) investasi antara 11
perusahaan domestik dengan investor China senilai 17,8 miliar dollar AS.
Beberapa perusahaan yang menjalin kerja sama investasi adalah Maspion Group
dengan Shining Resources Co Ltd untuk membangun pabrik pelat tembaga di Gresik,
Jawa Timur senilai 120 juta dollar AS. Kemudian PT Indomobil Sukses
Internasional Tbk juga bekerja sama membangun industri otomotif dengan pabrikan
China. Saat ini, produk otomotif China
yang masuk pasar Indonesia antara lain Geely, Chery, Foton, dan FAW.
China Sonangol, sebagai contoh. Selain membiayai bisnis
minyak PT Surya Energi Raya milik Surya Paloh di Blok Cepu, China Sonangol,
masuk bisnis properti. Anak usaha Grup Sonangol Angola ternyata sudah sejak
tiga tahun lalu membeli EX Plaza Jakarta senilai 71 juta dollar AS.
China Sonangol juga berkongsi dengan Grup Sampoerna dan
memiliki saham Sampoerna Strategic Square Jakarta. Di Bali, China Sonangol
masuk ke Intercontinental Bali Resort, hasil kongsi dengan Grup Media milik
Surya Paloh.
Di bisnis energi, perusahaan plat merah asal Tiongkok, China
Huadian, akan membangun pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Mulut Tambang
Sumatera Selatan 8. Nilai investasi PLTU berkapasitas 2x600 Megawatt (MW) ini sekitar
1,5 miliar dollar AS. China Huadian menggandeng PT Bukit Asam Tbk di proyek
ini.
Dominasi atas
Indonesia
Menurut Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, saat ini
China tengah memiliki kelebihan dana dalam sektor investasi. Infrastruktur yang
hampir memadai di Negeri Panda itu telah membuat mereka tidak harus lagi
membangun jalan tol atau pembangkit listrik karena semua sudah tersedia.
“Mereka punya uang dan tidak punya obyek untuk investasi dalam negeri. Mereka
sudah over investment, makanya
strategi kita ke mereka mengubah dari perdagangan ke investasi,” ujar Menkeu.
Oleh karena itu mereka mencari-cari tempat untuk melempar
dananya agar bisa memberikan return
yang menguntungkan, salah satunya ke Indonesia. Untuk itu, investasi langsung
dari Tiongkok harus direalisasikan karena dampaknya dalam jangka panjang bisa
membantu peningkatan ketahanan perekonomian nasional terhadap perlambatan.
"Kita optimistis terhadap perekonomian nasional, karena
ada kesempatan untuk mengubah pola ekspor ke Tiongkok dan kita bisa mencari partner FDI (foreign direct investment)
juga dari Tiongkok," kata Bambang.
Gelagat China akan mendominasi perekonomian Indonesia dan
mendesak pelaku ekonomi domestik seharusnya membuat pemerintah lebih waspada.
Derasnya produk China yang masuk Indonesia dengan harga murah harus disikapi
dengan hati-hati.
Presiden Komisaris Grup Panasonic Gobel, Rachmat Gobel
mengingatkan masalah ini. Menurut dia dampak dari membanjirnya barang-barang
China sudah membuat banyak perusahaan kesulitan melanjutkan bisnis. “Bagaimana
kita mau bersaing jika banyak produk berkualitas KW 4 (imitasi-red) asal China
masuk ke sini," kata Gobel.
Menurut mantan Menteri Perdagangan ini, pemerintah
seharusnya bertindak bijaksana dengan melindungi industri dalam negeri yang sudah
berjalan. Konkretnya harus ada kebijakan yang bernuansa protected terhadap industri di dalam negeri.
"Makanya, penting sekali itu penerapan standar nasional
(Standar Nasional Indonesia/SNI) untuk melindungi industri di Tanah Air dari
serbuan produk impor murah namun tak berkualitas ," ujar Gobel.
Sewaktu, dia masih menjabat, beberapa aturan yang ditujukan
untuk melindungi pelaku usaha dalam negeri diluncurkan seperti melarang impor
pakaian bekas dan melarang impor batik dari China. Bisa jadi, Gobel sudah bisa
memprediksi bahwa dampak negatif gelombang barang-barang China kepada ekonomi
dalam negeri masih bisa dihadang dengan aturan.
Akan tetapi, Jacques, sebagaimana ditulis dalam bukunya,
mengatakan bahwa pengaruh China tidak terbendung. Mengutip penelitian Goldman
Sachs, yang memproyeksikan bahwa ekonomi
China akan lebih besar dari Amerika pada 2027, dan hampir dua kali lebih besar
pada tahun 2050, Jacques
menggambarkan bahwa yuan akan menggantikan dollar AS sebagai
mata uang cadangan dunia. Selanjutnya dia mengatakan bahwa Shanghai akan
menaungi New York dan London sebagai pusat keuangan; negara-negara Eropa akan
menjadi peninggalan kuno dari masa lalu yang mulia, bukan seperti Athena dan
Roma hari ini; warga global akan menggunakan banyak bahasa Mandarin; pikiran
Konfusius akan menjadi begitu akrab, sama dengan yang berasal dari Plato; dan
seterusnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar