Rabu, 19 Oktober 2016

Di Bawah Bayang-Bayang China

Peta ekonomi dunia akan segera berubah dengan China yang bersiap menyodok sebagai raksasa ekonomi dalam beberapa tahun ke depan. Sementara itu Indonesia, saat ini, sudah berada di bawah bayang-bayang kekuatan ekonomi China.

Pada masa-masa awal dibukanya perdagangan bebas dengan China akhir 90-an, negara-negara barat sesumbar bahwa tak lama lagi China akan tampak ‘kebarat-baratan’. Karena pengaruh Barat akan segera mendominasi perekonomian China yang sebelumnya dianggap tertutup dan lazim disebut ‘Negeri Tirai Bambu’.
Akan tetapi, yang terjadi sekarang ini kebalikannya. Seperti yang dikatakan oleh Martin Jacques, seorang professor tamu di beberapa universitas di China dan penulis buku When China Rules the World yang terbit pada 2009, “Time will not make China more Western; it will make the West, and the world, more Chinese.”
Tulisan dari komentator ekonomi itu makin menemukan kenyataannya ketika Amerika dan Eropa kewalahan dengan maraknya barang-barang dari China yang seperti tak bisa lagi dibendung.
Gelombang barang-barang China di Negeri Paman Sam itu telah memicu terjadinya defisit perdagangan AS atas China.
Bahkan 2014 merupakan tahun terakhir, AS menyandang gelar sebagai ekonomi terbesar dunia, karena tahun berikutnya China menyerobot posisi itu dalam hal kekuatan daya beli (purchasing power parity). Bank Dunia yang menginisiasi penilaian tersebut. Banyak yang tak menganggap itu sebagai hitungan yang tepat, namun setidaknya banyak pakar juga yang menyatakan bahwa penghitungan daya beli bisa memberikan dasar yang baik untuk menilai ukuran relatif dua perekonomian yang berbeda.
Akan tetapi dominasi China makin diteguhkan ketika pada triwulan ketiga tahun lalu, berdasarkan data yang dirilis Departemen Perdagangan AS menyatakan bahwa defisit perdagangan AS membengkak sebesar 15,6 persen menjadi 48,3 miliar dollar AS pada Agustus. Meningkatnya impor dari China menjadi penyebab makin melebarnya defisit itu, setelah China melemahkan nilai tukarnya yang menjadikan dollar menguat dan melemahkan ekspor AS.
China memang telah mengubah dirinya menjadi pemain utama pada perdagangan dunia. Dengan memproduksi barang-barang murah dan melemparnya ke luar negeri, China mengalahkan pemain-pemain utama yang sebelumnya menguasai perdagangan. Pada tahun 1990 China memproduksi kurang dari 3 persen dari nilai output manufaktur global, namun saat ini porsinya hampir seperempatnya. China memproduksi sekitar 80 persen dari AC di dunia, 70 persen dari ponsel dan 60 persen dari sepatu yang beredar. Dan negara yang disebut sebagai "Pabrik Asia" oleh majalah The Economist itu, sekarang membuat hampir setengah barang-barang yang ada di dunia.
Selama lebih dari satu dekade sebelum sekarang, China telah menjadi mesin pertumbuhan global. Meski saat ini kecepatannya telah berkurang, namun dominasinya terhadap perekonomian global tak berkurang banyak. Tak terkecuali di Indonesia. Belakangan ini, pemerintah Indonesia terkesan sangat akrab dengan (dana-dana dan investor) China.
Keakraban itu terlihat ketika pemerintah memutuskan menunjuk investor China untuk menggarap proyek Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung, meski pada proyek-proyek infrastruktur lain pengaruh China sudah ada. Pemberian pinjaman pada tiga bank BUMN, juga menjadi bukti lainnya betapa mesranya hubungan Indonesia-China kini.
Sejak Perjanjian Perdagangan Bebas China-ASEAN (ASEAN-Cina Free Trade Agreement/ ACFTA) diberlakukan 1 Januari 2010, barang-barang China mulai dari peniti hingga mesin modal membanjiri pasar Indonesia. Maklum, dengan bea masuk 0 persen, barang-barang China leluasa masuk ke Indonesia. Sebelumnya, barang China sudah membanjiri pasar Indonesia karena harganya yang sangat murah.
ACFTA memang membuat China makin bergairah menyerbu pasar Indonesia. Bahkan, beberapa perusahaan raksasa China terus hadir dalam berbagai pameran teknologi dan produk China. Hingga saat ini lebih 1.000 perusahaan China beroperasi di Indonesia, baik  bidang infrastruktur, kelistrikan, energi, komunikasi, agrikultural, manufaktur dan sektor lainnya.
November tahun lalu, saat Presiden Joko Widodo anjangsana ke Beijing, China, telah ditandatangani 12 perjanjian (MoU) investasi antara 11 perusahaan domestik dengan investor China senilai 17,8 miliar dollar AS. Beberapa perusahaan yang menjalin kerja sama investasi adalah Maspion Group dengan Shining Resources Co Ltd untuk membangun pabrik pelat tembaga di Gresik, Jawa Timur senilai 120 juta dollar AS. Kemudian PT Indomobil Sukses Internasional Tbk juga bekerja sama membangun industri otomotif dengan pabrikan China. Saat ini,  produk otomotif China yang masuk pasar Indonesia antara lain Geely, Chery, Foton, dan FAW.
China Sonangol, sebagai contoh. Selain membiayai bisnis minyak PT Surya Energi Raya milik Surya Paloh di Blok Cepu, China Sonangol, masuk bisnis properti. Anak usaha Grup Sonangol Angola ternyata sudah sejak tiga tahun lalu membeli EX Plaza Jakarta senilai 71 juta dollar AS.
China Sonangol juga berkongsi dengan Grup Sampoerna dan memiliki saham Sampoerna Strategic Square Jakarta. Di Bali, China Sonangol masuk ke Intercontinental Bali Resort, hasil kongsi dengan Grup Media milik Surya Paloh.
Di bisnis energi, perusahaan plat merah asal Tiongkok, China Huadian, akan membangun pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Mulut Tambang Sumatera Selatan 8. Nilai investasi PLTU berkapasitas 2x600 Megawatt (MW) ini sekitar 1,5 miliar dollar AS. China Huadian menggandeng PT Bukit Asam Tbk di proyek ini.

Dominasi atas Indonesia

Menurut Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, saat ini China tengah memiliki kelebihan dana dalam sektor investasi. Infrastruktur yang hampir memadai di Negeri Panda itu telah membuat mereka tidak harus lagi membangun jalan tol atau pembangkit listrik karena semua sudah tersedia. “Mereka punya uang dan tidak punya obyek untuk investasi dalam negeri. Mereka sudah over investment, makanya strategi kita ke mereka mengubah dari perdagangan ke investasi,” ujar Menkeu.
Oleh karena itu mereka mencari-cari tempat untuk melempar dananya agar bisa memberikan return yang menguntungkan, salah satunya ke Indonesia. Untuk itu, investasi langsung dari Tiongkok harus direalisasikan karena dampaknya dalam jangka panjang bisa membantu peningkatan ketahanan perekonomian nasional terhadap perlambatan.
"Kita optimistis terhadap perekonomian nasional, karena ada kesempatan untuk mengubah pola ekspor ke Tiongkok dan kita bisa mencari partner FDI (foreign direct investment) juga dari Tiongkok," kata Bambang.
Gelagat China akan mendominasi perekonomian Indonesia dan mendesak pelaku ekonomi domestik seharusnya membuat pemerintah lebih waspada. Derasnya produk China yang masuk Indonesia dengan harga murah harus disikapi dengan hati-hati.
Presiden Komisaris Grup Panasonic Gobel, Rachmat Gobel mengingatkan masalah ini. Menurut dia dampak dari membanjirnya barang-barang China sudah membuat banyak perusahaan kesulitan melanjutkan bisnis. “Bagaimana kita mau bersaing jika banyak produk berkualitas KW 4 (imitasi-red) asal China masuk ke sini," kata Gobel.
Menurut mantan Menteri Perdagangan ini, pemerintah seharusnya bertindak bijaksana dengan melindungi industri dalam negeri yang sudah berjalan. Konkretnya harus ada kebijakan yang bernuansa protected terhadap industri di dalam negeri.
"Makanya, penting sekali itu penerapan standar nasional (Standar Nasional Indonesia/SNI) untuk melindungi industri di Tanah Air dari serbuan produk impor murah namun tak berkualitas ," ujar Gobel.
Sewaktu, dia masih menjabat, beberapa aturan yang ditujukan untuk melindungi pelaku usaha dalam negeri diluncurkan seperti melarang impor pakaian bekas dan melarang impor batik dari China. Bisa jadi, Gobel sudah bisa memprediksi bahwa dampak negatif gelombang barang-barang China kepada ekonomi dalam negeri masih bisa dihadang dengan aturan.
Akan tetapi, Jacques, sebagaimana ditulis dalam bukunya, mengatakan bahwa pengaruh China tidak terbendung. Mengutip penelitian Goldman Sachs, yang memproyeksikan bahwa  ekonomi China akan lebih besar dari Amerika pada 2027, dan hampir dua kali lebih besar pada tahun 2050, Jacques
menggambarkan bahwa yuan akan menggantikan dollar AS sebagai mata uang cadangan dunia. Selanjutnya dia mengatakan bahwa Shanghai akan menaungi New York dan London sebagai pusat keuangan; negara-negara Eropa akan menjadi peninggalan kuno dari masa lalu yang mulia, bukan seperti Athena dan Roma hari ini; warga global akan menggunakan banyak bahasa Mandarin; pikiran Konfusius akan menjadi begitu akrab, sama dengan yang berasal dari Plato; dan seterusnya.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar