Perkembangan bisnis pinjam meminjam tanpa perantara bank
seharusnya direspons otoritas dengan menerbitkan regulasi untuk mengaturnya
agar tidak merugikan konsumen dan mengganggu perekonomian. Meski demikian sudah
ada bank yang menyesuaikan diri dengan kondisi tersebut.
Ungkapan yang mengatakan bahwa
bisnis selalu berlari di depan aturan memang tidak berlebihan. Hampir di semua
tempat di dunia ini, regulasi hampir selalu muncul ketika sebuah bisnis baru
sudah berjalan. Akan tetapi, kemunculan sebuah aturan mengenai sebuah bisnis
selalu berbarengan dengan kebutuhan melindungi konsumen.
Kini, dalam lingkungan bisnis
muncul fenomena financial technology atau fintech, istilah untuk menyebut suatu
inovasi di bidang jasa keuangan. Inovasi-inovasi tersebut bisa berupa proses
pembayaran, transfer, jual beli saham, proses peminjaman uang secara peer to peer dan masih banyak lagi.
Bisnis di bidang ini sedang
bersiap untuk booming , setidaknya
itu menurut beberapa pengamat dan juga pelaku. Bisnis ini sering menjadi
andalan pebisnis-pebisnis baru (start up)
yang tengah merintis usaha terutama di sektor mikro dan kecil.
Akan tetapi, meski di Indonesia
bisnis ini belum memberi ancaman bagi perekonomian dan juga bagi nasabah, bukan
berarti potensinya tidak ada. Belajar dari pengalaman di China yang tertimpa
masalah dengan ambruknya Ezubao, perusahaan pemberi pemberi pinjaman dengan
metode peer-to peer lending. Skema itu memungkinkan nasabah
mendapatkan pinjaman tanpa perantara dari bank, dan merupakan salah satu bisnis
dalam fintech.
Oleh sebab itu, regulasi yang
bisa melingkupi dan melindungi semua stake holder bisnis sekaligus memberikan
perlindungan kepada konsumen sudah saatnya dihadirkan. “Regulasi tersebut
nantinya bukan hanya bermanfaat untuk fintech companies, tapi juga untuk
melindungi nasabah,” kata Direktur Riset Kenta Institute Eric Sugandi.
Ketiadaan aturan baik dari
Otoritas Jasa Keuangan sebagai pengawas industri jasa financial dan Bank
Indonesia sebagai otoritas sistem pembayaran, saat ini memang belum menyebabkan
ancaman bagi nasabah. Di sisi lain, pelaku usaha fintech juga belum mendesak
otoritas untuk menerbitkan aturan.
Meski demikian, karakteristik
perusahaan fintech membuka peluang terjadi risiko-risiko yang bisa mengganggu
ekonomi di masa mendatang. Perusahaan fintech biasanya juga merupakan pemula
dalam dunia bisnis sehingga kesadaran untuk menyiapkan mitigasi risiko juga
masih rendah. “Selalu ada risiko operasional yang berkait dengan teknologi.
Sehingga jika perusahaan fintech tersebut masih start-up, belum tentu
perusahaan tersebut bisa memitigasi risiko jika ada masalah,” kata Eric.
Sementara itu, OJK mengatakan
bahwa sampai pekan pertama Juni, aturan untuk meregulasi bisnis fintech masih
digodok. Otoritas masih terus membahas detil aturan dengan semua pihak yang
terkait untuk mendapatkan gambaran lengkap mengenai bisnis tersebut. Agar
antinya aturan yang keluar tidak malah menghambat perkembangan fintech.
“Aturannya nanti tidak akan terlalu ketat mengatur fintech, tapi juga tidak
longgar sekali karena fintech ini sangat khas. Mudah-mudahan akhir tahun sudah
bisa keluar (aturan tersebut),” kata Anto Prabowo, Kepala Departemen
Perlindungan Konsumen OJK.
Sebelumnya, OJK menyebut bahwa
aturan itu akan keluar sebelum semester pertama tahun ini kelar. Aturan itu
dinilai harus segera disusun dan diterbitkan karena pertumbuhan industri
keuangan berbasis dalam jaringan (daring) akan semakin cepat. Contohnya,
seperti agen asuransi yang sekarang dapat menjadi agen untuk perusahaan
asuransi lain.
"Kalau melalui online, mereka (perusahaan jasa
keuangan) punya produk banyak. Kita harus menyesuaikan, nggak bisa ditunda," kata Kepala Eksekutif Pengawas Industri
Keuangan Nonbank (IKNB) OJK Firdaus Djaelani.
Ditambahkannya, aturan ini
dibutuhkan untuk mengembangkan industri serta menyangkut dengan kepercayaan
konsumen. Sebab, jika tidak ada pengawasan yang jelas, industri tersebut akan
sulit mendapatkan kepercayaan konsumen dengan mudah. “Kami akan mengatur supaya
fintech bisa lebih dipercaya oleh masyarakat. Kalau nggak ada pengawasan, nanti
nggak akan dipercaya," ujar Firdaus.
Salah satu poin aturan yang
sengit dan krusial yang menjadi perdebatan dalam pembahasan adalah berkaitan
dengan tingkat suku bunga. Dalam sebuah perusahaan jasa online yang menawarkan
pinjaman, suku bunga yang dikenakan adala 10 persen dalam jangka 10 hari, jika
pinjam 30 hari maka bunganya 20 persen. “Kalau satu tahun kan besar banget. Itu
harus dipikirkan," kata Firdaus.
Sejatinya fintech bukan hal yang
sangat baru. Fintech, sudah mulai terlihat sejak 8 tahun lalu, tepatnya di
London, Inggris berbarengan dengan kemunculan ekonomi digital. Setahun
belakangan ini istilah tersebut baru terasa gaungnya di Indonesia. Di
Indonesia, situs DailySocial mencatat fintech sebagai kategori kedua terpopuler
setelah e-commerce berdasarkan jumlah start
up yang menerima pendanaan sepanjang 2015. Banyaknya para pemula dalam
berbisnis akan membuat pamor dari fintech makin tinggi.
Menurut data Accenture, investasi
global yang dikucurkan untuk fintech pada 2014 mencapai 12,21 miliar dollar AS,
naik tiga kali lipat dibanding 2013 yang hanya 4,05 miliar dolar AS. Di wilayah
Asia Pasifik, studi Accenture mencatat nilai investasi ke dalam bidang fintech
selama sembilan bulan pertama 2015 sudah mencapai 3,5 miliar dollar AS atau
hampir empat kali lebih besar dari angka yang tercatat sepanjang 2014.
Mengancam Bank?
Bisnis fintech yang juga
melingkupi pinjam meminjam dana jelas menjadi kekhawatiran bagi industri
perbankan dan juga otoritas. Selain dianggap mengancam eksistensi bank, bisnis
ini juga minim pengawasan yang bisa membuat nasabah jatuh ke dalam aksi
tipu-tipu dan investasi bodong.
Menanggapi
hal tersebut, Ketua Dewan Komisioner OJK, Muliaman Hadad, mengatakan,
keberadaan fintech tidak seharusnya dijadikan sebagai ancaman bagi industri
perbankan. Jasa bisnis baru di industri keuangan tersebut malah bisa menjadi
faktor pendukung untuk menciptakan kesuksesan antara fintech dengan perbankan.
Terlebih, keberadaan industri fintech di Indonesia masih kecil. “Mestinya
FinTech bukan dianggap sebagai ancaman bank. Tapi, enabler dimana sukses partnership bank-fintech bisa dilakukan,”
kata dia saat acara fintech beberapa waktu lalu.
Lanjut Muliaman, dengan adanya partnership yang baik antara industri
perbankan dan fintech, diyakini mampu membawa industri keuangan nasional jauh
lebih baik. Pasalnya, banyak benefit jika kedua industri ini mampu bekerja
sama, khususnya bagi perbankan, di mana perbankan bisa lebih efisien dan bisa
meningkatkan akses keuangan bagi masyarakat. "Engagement (antara perbankan dengan fintech) yang terjadi harus
betul-betul didorong sehingga bank bisa lebih efisien, inklusif, dan
menyehatkan daya saing," kata dia.
Sementara itu, CEO Modalku, sebuah
perusahaan fintech, Reynold Wijaya mengatakan banyak benefit jika dua industri
ini bekerja sama, salah satunya mampu membuat market baru. Bahkan, disebut
mampu membantu program pemerintah mengembangkan sektor UKM. “Bank dan fintech
bisa bikin market baru. Kalau bisa kolaborasi, UKM pun bisa terbantu,"
ujarnya.
Di sisi lain, menurut Deputy
Akses Keuangan, Badan Ekonomi Kreatif (BeKraf), Fadjar Hutomo, mengatakan,
kemajuan zaman tak lepas dari kehadiran inovasi. Kehadiran inovasi akan terasa
mengganggu bagi mereka yang tak ingin berinovasi. Seperti halnya saat adanya
revolusi industri. “Inovasi menjadi disrupt
bagi mereka yang tak ingin berinovasi. Kalau terganggu wajar, tapi seharusnya
bisa bersama-sama menemukan solusinya. Sejak zaman dahulu pun begitu, saat
revolusi industri inovasi hadir membuat semua jadi berubah dan mampu
menyesuaikan," jelasnya.
Saat ini sudah ada lembaga
keuangan yang mulai memanfaatkan perkembangan bisnis tersebut. Sebut saja PT
Bank Mandiri (Persero) Tbk yang meluncurkan anak perusahaan baru yakni Mandiri
Capital Indonesia (MCI). Pembentukan perusahaan tersebut menurut perseroan adalah
untuk mendukung pengembangan pengusaha start
up dan bagian dari 'defensive
strategy' yang progresif. Menurut Direktur Utama Bank Mandiri Kartika
Wirjoatmodjo pertumbuhan startup di Indonesia, khususnya di bidang inovasi jasa
finansial merupakan yang kedua terbesar di ASEAN setelah Singapura.
"Melalui Mandiri Capital, kami berharap startup Indonesia dapat tumbuh
lebih pesat lagi dan dapat merangsang kreativitas generasi muda menciptakan
produk dan jasa yang out of the box,
khususnya yang dapat mendukung produk perbankan dan jasa keuangan
lainnya," kata Kartika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar