Selasa, 24 Januari 2017

Aturan yang Mengejar Zaman

Perkembangan bisnis pinjam meminjam tanpa perantara bank seharusnya direspons otoritas dengan menerbitkan regulasi untuk mengaturnya agar tidak merugikan konsumen dan mengganggu perekonomian. Meski demikian sudah ada bank yang menyesuaikan diri dengan kondisi tersebut.
  
Ungkapan yang mengatakan bahwa bisnis selalu berlari di depan aturan memang tidak berlebihan. Hampir di semua tempat di dunia ini, regulasi hampir selalu muncul ketika sebuah bisnis baru sudah berjalan. Akan tetapi, kemunculan sebuah aturan mengenai sebuah bisnis selalu berbarengan dengan kebutuhan melindungi konsumen.
Kini, dalam lingkungan bisnis muncul fenomena financial technology atau fintech, istilah untuk menyebut suatu inovasi di bidang jasa keuangan. Inovasi-inovasi tersebut bisa berupa proses pembayaran, transfer, jual beli saham, proses peminjaman uang secara peer to peer dan masih banyak lagi.
Bisnis di bidang ini sedang bersiap untuk booming , setidaknya itu menurut beberapa pengamat dan juga pelaku. Bisnis ini sering menjadi andalan pebisnis-pebisnis baru (start up) yang tengah merintis usaha terutama di sektor mikro dan kecil.
Akan tetapi, meski di Indonesia bisnis ini belum memberi ancaman bagi perekonomian dan juga bagi nasabah, bukan berarti potensinya tidak ada. Belajar dari pengalaman di China yang tertimpa masalah dengan ambruknya Ezubao, perusahaan pemberi pemberi pinjaman dengan metode peer-to peer lending. Skema itu memungkinkan nasabah mendapatkan pinjaman tanpa perantara dari bank, dan merupakan salah satu bisnis dalam fintech.
Oleh sebab itu, regulasi yang bisa melingkupi dan melindungi semua stake holder bisnis sekaligus memberikan perlindungan kepada konsumen sudah saatnya dihadirkan. “Regulasi tersebut nantinya bukan hanya bermanfaat untuk fintech companies, tapi juga untuk melindungi nasabah,” kata Direktur Riset Kenta Institute Eric Sugandi.
Ketiadaan aturan baik dari Otoritas Jasa Keuangan sebagai pengawas industri jasa financial dan Bank Indonesia sebagai otoritas sistem pembayaran, saat ini memang belum menyebabkan ancaman bagi nasabah. Di sisi lain, pelaku usaha fintech juga belum mendesak otoritas untuk menerbitkan aturan.
                Meski demikian, karakteristik perusahaan fintech membuka peluang terjadi risiko-risiko yang bisa mengganggu ekonomi di masa mendatang. Perusahaan fintech biasanya juga merupakan pemula dalam dunia bisnis sehingga kesadaran untuk menyiapkan mitigasi risiko juga masih rendah. “Selalu ada risiko operasional yang berkait dengan teknologi. Sehingga jika perusahaan fintech tersebut masih start-up, belum tentu perusahaan tersebut bisa memitigasi risiko jika ada masalah,” kata Eric.
Sementara itu, OJK mengatakan bahwa sampai pekan pertama Juni, aturan untuk meregulasi bisnis fintech masih digodok. Otoritas masih terus membahas detil aturan dengan semua pihak yang terkait untuk mendapatkan gambaran lengkap mengenai bisnis tersebut. Agar antinya aturan yang keluar tidak malah menghambat perkembangan fintech. “Aturannya nanti tidak akan terlalu ketat mengatur fintech, tapi juga tidak longgar sekali karena fintech ini sangat khas. Mudah-mudahan akhir tahun sudah bisa keluar (aturan tersebut),” kata Anto Prabowo, Kepala Departemen Perlindungan Konsumen OJK.
Sebelumnya, OJK menyebut bahwa aturan itu akan keluar sebelum semester pertama tahun ini kelar. Aturan itu dinilai harus segera disusun dan diterbitkan karena pertumbuhan industri keuangan berbasis dalam jaringan (daring) akan semakin cepat. Contohnya, seperti agen asuransi yang sekarang dapat menjadi agen untuk perusahaan asuransi lain.
"Kalau melalui online, mereka (perusahaan jasa keuangan) punya produk banyak. Kita harus menyesuaikan, nggak bisa ditunda," kata Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Nonbank (IKNB) OJK Firdaus Djaelani.
Ditambahkannya, aturan ini dibutuhkan untuk mengembangkan industri serta menyangkut dengan kepercayaan konsumen. Sebab, jika tidak ada pengawasan yang jelas, industri tersebut akan sulit mendapatkan kepercayaan konsumen dengan mudah. “Kami akan mengatur supaya fintech bisa lebih dipercaya oleh masyarakat. Kalau nggak ada pengawasan, nanti nggak akan dipercaya," ujar Firdaus.
Salah satu poin aturan yang sengit dan krusial yang menjadi perdebatan dalam pembahasan adalah berkaitan dengan tingkat suku bunga. Dalam sebuah perusahaan jasa online yang menawarkan pinjaman, suku bunga yang dikenakan adala 10 persen dalam jangka 10 hari, jika pinjam 30 hari maka bunganya 20 persen. “Kalau satu tahun kan besar banget. Itu harus dipikirkan," kata Firdaus.
Sejatinya fintech bukan hal yang sangat baru. Fintech, sudah mulai terlihat sejak 8 tahun lalu, tepatnya di London, Inggris berbarengan dengan kemunculan ekonomi digital. Setahun belakangan ini istilah tersebut baru terasa gaungnya di Indonesia. Di Indonesia, situs DailySocial mencatat fintech sebagai kategori kedua terpopuler setelah e-commerce berdasarkan jumlah start up yang menerima pendanaan sepanjang 2015. Banyaknya para pemula dalam berbisnis akan membuat pamor dari fintech makin tinggi.
Menurut data Accenture, investasi global yang dikucurkan untuk fintech pada 2014 mencapai 12,21 miliar dollar AS, naik tiga kali lipat dibanding 2013 yang hanya 4,05 miliar dolar AS. Di wilayah Asia Pasifik, studi Accenture mencatat nilai investasi ke dalam bidang fintech selama sembilan bulan pertama 2015 sudah mencapai 3,5 miliar dollar AS atau hampir empat kali lebih besar dari angka yang tercatat sepanjang 2014.

Mengancam Bank?
                Bisnis fintech yang juga melingkupi pinjam meminjam dana jelas menjadi kekhawatiran bagi industri perbankan dan juga otoritas. Selain dianggap mengancam eksistensi bank, bisnis ini juga minim pengawasan yang bisa membuat nasabah jatuh ke dalam aksi tipu-tipu dan investasi bodong.
                Menanggapi hal tersebut, Ketua Dewan Komisioner OJK, Muliaman Hadad, mengatakan, keberadaan fintech tidak seharusnya dijadikan sebagai ancaman bagi industri perbankan. Jasa bisnis baru di industri keuangan tersebut malah bisa menjadi faktor pendukung untuk menciptakan kesuksesan antara fintech dengan perbankan. Terlebih, keberadaan industri fintech di Indonesia masih kecil. “Mestinya FinTech bukan dianggap sebagai ancaman bank. Tapi, enabler dimana sukses partnership bank-fintech bisa dilakukan,” kata dia saat acara fintech beberapa waktu lalu.
Lanjut Muliaman, dengan adanya partnership yang baik antara industri perbankan dan fintech, diyakini mampu membawa industri keuangan nasional jauh lebih baik. Pasalnya, banyak benefit jika kedua industri ini mampu bekerja sama, khususnya bagi perbankan, di mana perbankan bisa lebih efisien dan bisa meningkatkan akses keuangan bagi masyarakat. "Engagement (antara perbankan dengan fintech) yang terjadi harus betul-betul didorong sehingga bank bisa lebih efisien, inklusif, dan menyehatkan daya saing," kata dia.
Sementara itu, CEO Modalku, sebuah perusahaan fintech, Reynold Wijaya mengatakan banyak benefit jika dua industri ini bekerja sama, salah satunya mampu membuat market baru. Bahkan, disebut mampu membantu program pemerintah mengembangkan sektor UKM. “Bank dan fintech bisa bikin market baru. Kalau bisa kolaborasi, UKM pun bisa terbantu," ujarnya.
Di sisi lain, menurut Deputy Akses Keuangan, Badan Ekonomi Kreatif (BeKraf), Fadjar Hutomo, mengatakan, kemajuan zaman tak lepas dari kehadiran inovasi. Kehadiran inovasi akan terasa mengganggu bagi mereka yang tak ingin berinovasi. Seperti halnya saat adanya revolusi industri. “Inovasi menjadi disrupt bagi mereka yang tak ingin berinovasi. Kalau terganggu wajar, tapi seharusnya bisa bersama-sama menemukan solusinya. Sejak zaman dahulu pun begitu, saat revolusi industri inovasi hadir membuat semua jadi berubah dan mampu menyesuaikan," jelasnya.
Saat ini sudah ada lembaga keuangan yang mulai memanfaatkan perkembangan bisnis tersebut. Sebut saja PT Bank Mandiri (Persero) Tbk yang meluncurkan anak perusahaan baru yakni Mandiri Capital Indonesia (MCI). Pembentukan perusahaan tersebut menurut perseroan adalah untuk mendukung pengembangan pengusaha start up  dan bagian dari 'defensive strategy' yang progresif. Menurut Direktur Utama Bank Mandiri Kartika Wirjoatmodjo pertumbuhan startup di Indonesia, khususnya di bidang inovasi jasa finansial merupakan yang kedua terbesar di ASEAN setelah Singapura. "Melalui Mandiri Capital, kami berharap startup Indonesia dapat tumbuh lebih pesat lagi dan dapat merangsang kreativitas generasi muda menciptakan produk dan jasa yang out of the box, khususnya yang dapat mendukung produk perbankan dan jasa keuangan lainnya," kata Kartika.

 (dipublikasikan Juni 2016)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar