Jalannya operasi penurunan suku bunga yang
digelar otoritas tidak akan semulus seperti yang direncanakan. Selain tantangan
dari rencana kenaikan suku bunga The Fed, tantangan dari sisi otoritas sendiri
bisa menjadi batu sandungan keberhasilan operasi tersebut.
Sudah melewati tengah tahun tetapi
tanda-tanda suku bunga single digit yang didengung-dengungkan sejak awal tahun
belum juga terlihat. Padahal tiga otoritas sudah bahu membahu memberikan
dukungan untuk menekan suku bunga baik deposito maupun kredit. Hingga awal Juni
suku bunga kredit hanya turun kurang dari 20 basis poin jika dihitung sejak
awal tahun. Sementara bunga deposito turun di kisaran 40 basis poin dalam kurun
waktu yang sama.
Sebagian kalangan menyebut bahwa
keinginan otoritas mengarahkan suku bunga ke level single digit akan menghadapi
beberapa tantangan yang tidak ringan, bahkan yang berasal dari otoritas itu
sendiri. Salah satunya terkait aturan.
Otoritas Jasa Keuangan memiliki
aturan tegas untuk menghindari bank mengenakan bunga seenaknya. Otoritas itu
telah mengatur bahwa suku bunga deposito bank tidak boleh melebihi batas
tertentu dari suku bunga acuan. Pada Maret lalu capping bunga deposito bank ditetapkan sebesar 75 sampai 100 basis
poin dari BI Rate.
Batas atas suku bunga itu
diberlakukan hanya kepada bank-bank yang masuk kategori BUKU 3 dan 4, atau
bank-bank yang memiliki modal inti minimal Rp5 triliun. Jadi bank-bank itu
hanya boleh memberikan suku bunga deposito maksimal 7,50 sampai 7,75 persen.
Batasan suku bunga deposito sudah diberlakukan sejak lembaga itu berdiri pada
2004. Hingga akhir 2004, regulator perbankan ini menetapkan batas atas bunga
deposito untuk bank BUKU 4 maksimal 200 bps di atas BI rate, sedangkan untuk
bank BUKU 3 maksimal 225 bps di atas BI rate
Masalahnya adalah, BI Rate yang sekarang
berada di level 6,75 persen dan menjadi acuan bagi bunga 12 bulan, pada Agustus
nanti akan diubah menjadi 7 hari atau diubah menjadi 7 Day Repo Rate yang
besarnya sekitar 5,5 persen. Artinya posisi suku bunga akan menjadi lebih rendah.
“Jika saat ini otoritas perbankan
memiliki batas atas suku bunga deposito yang besarnya BI Rate plus 100 basis
poin, nanti kalau BI Rate menjadi 7-Day Repo Rate, apakah ceiling rate-nya jadi 7-Day Repo Rate plus 100 basis poin juga?”
kata Leo putra Renaldy, Analis Mandiri Sekuritas.
Jika itu terjadi maka akan ada
perubahan signifikan dan mendadak pada pengenaan bunga deposito bank, dan hal
itu diperkirakan akan mengguncang bank. Oleh karena itu, Leo memprediksi OJK
akan tetap mempertahankan aturan lama. “Kalau menurut saya tetap akan di BI
Rate plus 100 dalam arti tidak berubah besaran batas atas bunga depositonya,”
kata Leo.
Sampai saat ini memang belum ada
aturan resmi yang dikeluarkan oleh OJK menanggapi perubahan suku bunga acuan
itu, dan hal itu terus dinantikan oleh pelaku pasar. "Apa yang akan dilakukan mereka? Market ingin lihat benar tidak OJK akan
tetap pakai suku bunga 12 bulan? Walau banyak yang berasumsi demikian, kita
tunggu saja respons mereka," kata Leo.
Sementara itu, OJK sejatinya sudah
mempersiapkan langkah untuk merespons perubahan aturan bank sentral mengenai BI
Rate. Akan tetapi sampai artikel ini ditulis aturan itu masih dikaji. “Nanti
kita lihat. Kita tahu dan kita lakukan ini secara hati-hati. Tapi tetap
keinginan untuk menjadikan bunga single
digit tahun ini tetap jalan. Nanti kita lihat dulu. Akan kita review dulu bagaimana
responnya. Karena masa adjustment ini
penting," kata Muliaman.
Dalam peraturan OJK soal
pembatasan suku bunga deposito, hanya bank yang masuk kategori Bank Umum
Kegiatan Usaha (BUKU) 3 dan BUKU 4 yang terkena imbas aturan capping bunga itu.
Dengan adanya pembaruan aturan capping tersebut, kata Muliaman, bank
BUKU 1 dan bank BUKU 2 harus diatur, meski sebetulnya tidak ada batasan bagi
mereka. "BUKU 1 dan BUKU 2 nanti didekati dengan persuasi. Sebenarnya
tidak ada batasan, tapi kan mereka harus sejalan," lanjut dia.
Menurut Muliaman, sekitar 80
persen industri keuangan nasional sudah masuk kategori BUKU 3 dan BUKU 4.
"Mereka disebut sebagai price sector. Kalau price sector menetapkan,
biasanya yang lainnya ngikut," katanya.
Cara lain
Terkait dengan keinginan otoritas keuangan
dan regulator lainnya agar bank bisa menurunkan suku bunga hingga single digit, OJK meminta industri
perbankan untuk memaksimalkan layanan digital agar biaya operasional semakin
efisien sehingga dapat mendorong penurunan suku bunga kredit perbankan.
Kepala Eksekutif Pengawas
Perbankan OJK Nelson Tampubolon, dalam diskusi mengenai Perbankan Digital, di
Jakarta, bulan lalu mengatakan efisiensi perbankan mutlak harus dilakukan. “Salah satunya dengan teknologi yang dapat
meningkatkan efisiensi, dan pada akhirnya bisa menurunkan suku bunga,” ujar
dia.
Dalam meningkatkan layanan
digital, Nelson mengatakan, perbankan perlu menyiapkan diri, termasuk dalam
penganggaran belanja modal teknologi informasi (TI).
Selain belanja modal untuk TI, beberapa
tantangan lainnya adalah industri juga perlu mengubah orientasi dari cara
konvensional untuk melayani nasabah menjadi pelayanan digital.
Pada sisi lain, katanya lagi,
kerja sama perbankan dan industri telekomunikasi juga harus terjalin dengan
baik. “Dari sisi regulator, ada juga penyelarasan aturan antarregulator.”
ujarnya.
OJK juga telah membentuk Tim Gugus
Tugas Perbankan Digital. Tim ini akan mengkaji dan menyimpulkan rekomendasi
mengenai peta jalan penerapan perbankan digital di Indonesia. Nelson mengatakan
Tim Gugus Tugas itu telah melakukan kajian awal. Berdasarkan kajian tersebut,
tim menyimpulkan bahwa perbankan dan penyedia jasa telekomunikasi berkomitmen
untuk menghadirkan sejumlah layanan berbasis teknologi digital.
“Namun, ada beberapa hal yang
menjadi perhatian yaitu penggunaan identitas tunggal, seperti KTP elektronik
bagi perbankan sebagai basis data nasabah,” ujar dia pula.
Hasil kajian itu pula, katanya lagi, OJK
melihat perbankan perlu menerapkan manajemen risiko yang baik dan model bisnis
yang sesuai dengan kebutuhan nasabah, “Perlu juga peningkatan pengamanan.
Penerapan perbankan digital menyebabkan pintu masuk bagi pelaku kriminal siber
menjadi lebih terbuka,” katanya.
OJK tengah mendorong peningkatan
efisiensi perbankan, dengan mengeluarkan insentif bagi perbankan agar dapat
menurunkan biaya operasional (overhead
cost) dan biaya risiko kredit bermasalah.
Tantangan Eksternal
Akan tetapi, rencana penurunan bunga mendapatkan
tantangan sengit karena bank sentral AS diperkirakan akan melanjutkan kenaikan
suku bunga acuannya setelah akhir tahun lalu dinaikkan pertama kali dalam 15
tahun terakhir.
Menurut pejabat Bank Indonesia, jika The Fed
benar-benar menaikkan suku bunga maka BI juga akan mengikutinya. Memang, kalau
suku bunga global naik, kita pasti akan naikkan suku bunga juga. Tapi Indonesia
saya yakin akan lebih siap," ucap Direktur Departemen Pengelolaan Moneter
BI Pribadi Santosodi.
Rencana The Fed menaikkan tingkat suku bunga
acuan dinilai bakal meningkatkan tantangan terhadap ekonomi Indonesia di
semester II-2016. Terlebih lagi, ada ekspektasi tinggi jika The Fed akan
meningkatkan suku bunga dari level saat ini sebesar 0,25 persen sampai dengan
0,5 persen.
Analis Mandiri Sekuritas Leo Putra Rinaldy
menyebutkan, kemampuan pemerintah untuk mencapai target penerimaan juga menjadi
tantangan lainnya yang bisa menganggu stabilitas ekonomi di semester kedua. Hal
ini termasuk bagaimana pemerintah mengurangi risiko fiskal.
Selain itu, pemerintah juga perlu mewaspadai
tingginya kepemilikan asing di obligasi pemerintah. Apalagi dengan porsi
kepemilikan asing mencapai 37 persen, akan sangat rentan terjadi gejolak ketika
ada kenaikkan suku bunga di negara maju sehingga dana yang ada di Indonesia
keluar menuju negara maju tadi.
Di
pasar modal kepemilikan asing hampir 60 persen. Ini menjadi perhatian penting
bagi Bank Indonesia. Selain Fed Fund Rate, juga investor akan menunggu apakah
BI bisa menjaga nilai tukar Rupiah. Juni sampai Agustus paling critical bagi pasar," lanjut dia.
Oleh karena itu, Leo meminta agar pemerintah
tidak terlalu optimis dalam menargetkan pertumbuhan ekonomi. Sebab dengan
ekspektasi yang tinggi, pasar akan sangat terganggu ketika target pertumbuhan
ekonomi tak tercapai. "Gejolak pasar saat itu terjadi karena pemerintah
terlalu sering melontarkan ekspektasi tinggi untuk pertumbuhan ekonomi. Di
pasar keuangan, ekspektasi yang dilontarkan pemerintah sangat penting
untuk dijaga dan itu menentukan sentimen dari pasar," kata dia.
(dipublikasikan Juni 2016)
(dipublikasikan Juni 2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar