Kualitas praktik tata kelola perusahaan yang baik di
industri keuangan di Indonesia terlihat mulai menurun, berdasarkan sebuah
riset. Selain itu, dibutuhkan pula aturan baru terkait perkembangan baru di
bisnis terkait perubahan teknologi.
Krisis ekonomi tahun 1998 memang menjadi tonggak pembenahan bagi
banyak hal dalam pengelolaan perekonomian Indonesia. Banyak aturan yang muncul setelah pengalaman paling pahit dalam
sejarah ekonomi setelah era pembangunan yang tentunya tidak ingin terulang itu.
Satu aturan yang paling monumental adalah soal tata kelola perusahaan yang baik
atau sering disebut good corporate
governance (GCG).
Ya,
tata kelola perusahaan (yang buruk) memang menyeruak menjadi salah isu krusial
karena dianggap menjadi salah satu penyebab runtuhnya ekonomi Indonesia 20
tahun lalu. Lebih banyak bank yang saat itu ambruk karena pengelolaan yang
buruk, ketimbang karena serangan nilai tukar rupiah yang anjlok.
Agar keadaan
seperti itu tidak terulang, sejak 2006, otoritas perbankan yang waktu itu
dipegang oleh Bank Indonesia, sudah menerbitkan aturan pelaksanaan GCG bagi
bank umum. Dalam Peraturan Bank
Indonesia (PBI) No.8/4 tahun 2006 itu bank diwajibkan melaksanakan
prinsip-prinsip GCG dalam setiap kegiatan usahanya pada seluruh tingkatan atau
jenjang organisasi.
Namun kini penerapan GCG
tampaknya mulai mengendur. Berdasarkan riset dari Lembaga Pengembangan
Perbankan Indonesia (LPPI), dalam 10 tahun sejak 2007, nilai komposit dari
penerapan GCG yang dilakukan industri perbankan masih berada dalam kisaran baik.
“Rata-rata nilai GCG industri perbankan adalah 2,02 yang didapat dari 90 bank
yang mengirimkan laporan dalam jangka waktu 2007-2016,” kata Kepala Divisi
Riset dan Pengembangan LPPI, Lando Simatupang.
Bank diwajibkan untuk mengisi
penilaian GCG dengan metode self
assessment pada 11 aspek yang sudah ditetapkan oleh otoritas. Isian
tersebut nantinya akan menghasilkan nilai akhir 1 sampai 5, yang mana, makin
tinggi angkanya berarti makin buruk penerapan GCG di bank tersebut.
Dengan nilai rata-rata di kisaran
2 maka secara tidak langsung industri perbankan di Indonesia mengungkapkan
bahwa manajemen mereka telah melakukan penerapan GCG yang secara umum dinilai
baik. Apabila terdapat kelemahan dalam penerapan prinsip GCG, maka secara umum
kelemahan tersebut dinilai oleh perbankan kurang signifikan dan dapat
diselesaikan dengan tindakan normal oleh manajemen.
Akan tetapi jika telusuri tahun
demi tahun sejak kewajiban penerapan GCG tersebut diberlakukan, terlihat adanya
penurunan kualitas governance. Dalam
riset LPPI tersebut ketika pertama kali diterapkan pada 2006, nilai rata-rata
GCG industri perbankan berada di kisaran 1, yang berarti sangat baik (lihat
grafik).
Baru setahun sejak diterapkan,
nilai GCG perbankan terlihat memburuk. Malah, setelah sepanjang 2008-2010
penerapan GCG perbankan terlihat ada perbaikan, peringkatnya kembali memburuk
dan mencapai puncaknya pada 2015.
Jika ditengok ke belakang, sepanjang
2011 sampai 2015 industri perbankan memang menghadapi persoalan yang tidak ringan
terkait maraknya praktik kecurangan (fraud)
yang mengerogoti beberapa bank umum. Dimulai ketika industri perbankan
dikagetkan dengan terkuaknya pembobolan bank (internal fraud) yang dilakukan Malinda Dee, Relationship Manager Citibank pada 2011. Aksi yang dilakukannya
terlihat sederhana, memindahkan dana nasabah ke rekening lain dengan
menggunakan blanko kosong. Lalu ada pula pembobolan dana yang dilakukan pegawai
Bank Mega terhadap simpanan dari Elnusa, perusahaan sektor minyak dan gas milik
negara, yang kasusnya berlarut-larut hingga 2013.
Pada 2014 ada kasus pembobolan
dana dan juga skimming kartu debit
dan kredit yang menimpa Bank Mandiri. Total dana yang dicuri berjumlah puluhan
miliar rupiah.
Kemudian pada 2015, mencuat kasus
besar yang menimpa Bank BTPN ketika dana Rp22 miliar milik Pemerintah Kota
Semarang raib dari deposito yang dikelola bank itu. Pemkot menyimpan uang sebesar
Rp 22 miliar yang didepositokan ke BPTPN sejak tahun 2007 lalu dalam bentuk
rekening Koran. Setelah tujuh tahun berjalan, yakni tahun 2014 lalu Pemkot
mendapat rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Jawa Tengah
untuk menarik deposito tersebut. Namun saat ditarik ternyata dana yang tersisa
dalam deposito tinggal Rp 80 juta.
Akar Masalah
Tata kelola perusahaan
adalah subyek yang penting bagi jalannya institusi keuangan, bahkan bagi
perekonomian. Mas Achmad Daniri, Ketua Komisi Nasional Kebijakan Governance
(KNKG), mengatakan bahwa inti permasalahan dari bangsa yang tak kunjung tuntas.
“Jika kita tidak mengobati akar persoalannya, jangan pernah berharap kita akan
mengatasinya secara tuntas,”kata dia. Ia mengingatkan krisis multi dimensi pada
1998, 2008 dan saat ini, tak lepas dari persoalan governance.
Penyebab memburuknya penerapan
tata kelola perusahaan di perbankan seperti yang terlihat di riset LPPI
sepanjang 2011-2015, kata Daniri, biasanya disebabkan oleh intervensi terutama dari
pemegang saham.
Sementara itu ketika industri
perbankan menghadapi perubahan dahsyat terkait teknologi informasi, penerapan
GCG dinilai akan menghadapi tantangan berat. Meski demikian, Daniri, optimistis
terkait perkembangan tersebut. “Secara teori dengan dukungan IT, mestinya
transparansi dan akuntabilitas lebih baik,” kata dia.
Perkembangan teknologi hanya
salah satu dari perubahan dunia bisnis yang sering dikompilasi dalam istilah
VUCA, yang merupakan singkatan dari Volatility,
Uncertainty, Complexity dan Ambiguity.
Terkait hal itu, pengamat GCG
Wilson Arafat, mengatakan bahwa seharusnya aturan-aturan dalam penerapan tata kelola
perusahaan juga harus dinamis mengikuti perkembangan tantangan bisnis. meski
begitu, aturan-aturan itu tetap harus mengacu pada prinsip-prinsip dan framework dengan GCG yang telah ada.
“Pastinya tantangan terbesar adalah mewujudkan integrated GRC (governance, risk management, compliance),”
kata dia.
Menurut dia, aturan yang bisa
mengadopsi perkembangan terkini yang dihadapi perbankan medesak untuk segera
dirumuskan karena sesungguhnya untuk melakukannya relatif sederhana karena
prinsip GCG penerapannya juga sama. “Namun begitu, aturan itu harus memahami
benar proses bisnis (baru) dalam penerapannya. Sehingga viable fit dengan bisnis, bukan jadi penghambat,” kata Wilson.
Penurunan kualitas penerapan GCG
di Indonesia juga terlihat ketika dibandingkan dengan negara-negara di Kawasan
ASEAN. Hal itu diakui oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ketua Dewan Komisioner
OJK Wimboh Santoso mengatakan, hanya dua emiten dari Indonesia yang masuk dalam
daftar 50 Emiten Terbaik dalam Praktik GCG di ASEAN dalam ajang penganugerahan
ASEAN Corporate Governance Awards 2015 yang diselenggarakan oleh ASEAN Capital
Markets Forum (ACMF) di Manila, Filipina. Kedua emiten tersebut yaitu PT Bank
Danamon Tbk dan PT Bank CIMB Niaga Tbk.
“Pencapaian (Indonesia) ini tentu
masih tertinggal jauh dari Thailand yang mampu menempatkan 23 emiten, Filipina
11 emiten, Singapura delapan emiten dan Malaysia enam emiten. Besar harapan
saya bahwa akan banyak lagi emiten-emiten Indonesia yang mampu menembus Top 50
ASEAN Companies pada ajang ASEAN Corporate Governance Awards berikutnya,"
tutur Wimboh.
Prinsip-prinsip GCG
1. Transparansi
Untuk menjaga obyektifitas dalam menjalankan bisnis,
perusahaan harus menyediakan informasi
yang material dan relevan secara tepat waktu, dengan cara
yang mudah diakses dan dipahami oleh
pemangku kepentingan, tidak hanya yang dipersyaratkan oleh
peraturan perundang-undangan
namun hal penting dalam pengambilan keputusan pemegang
saham, dan pemangku kepentingan
lain.
2. Akuntabilitas
Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya
secara transparan dan wajar. Untuk
itu perlu kejelasan fungsi, struktur, sistem dan
pertanggungjawaban setiap organ perusahaan.
3. Responsibilitas
Peusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta
melaksanakan tanggungjawab
terhadap masyarakat dan lingkungan untuk menjada
kesinambungan usaha dalam jangka panjang.
4. Independensi
Prinsip ini mensyaratkan agar perusahaan dikelola secara
profesional tanpa ada benturan
kepentingan dan tanpa tekanan atau intervensi dari pihak
lain.
5. Kewajaran dan Kesetaraan
Perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan
pemegang saham dan pemangku
kepentingan lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang
berlaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar