Kamis, 10 Januari 2019

GCG: Akar Masalah yang Terlupakan


Kualitas praktik tata kelola perusahaan yang baik di industri keuangan di Indonesia terlihat mulai menurun, berdasarkan sebuah riset. Selain itu, dibutuhkan pula aturan baru terkait perkembangan baru di bisnis terkait perubahan teknologi.


Krisis ekonomi tahun 1998 memang menjadi tonggak pembenahan bagi banyak hal dalam pengelolaan perekonomian Indonesia. Banyak aturan  yang muncul setelah pengalaman paling pahit dalam sejarah ekonomi setelah era pembangunan yang tentunya tidak ingin terulang itu. Satu aturan yang paling monumental adalah soal tata kelola perusahaan yang baik atau sering disebut good corporate governance (GCG).
                Ya, tata kelola perusahaan (yang buruk) memang menyeruak menjadi salah isu krusial karena dianggap menjadi salah satu penyebab runtuhnya ekonomi Indonesia 20 tahun lalu. Lebih banyak bank yang saat itu ambruk karena pengelolaan yang buruk, ketimbang karena serangan nilai tukar rupiah yang anjlok.
                Agar keadaan seperti itu tidak terulang, sejak 2006, otoritas perbankan yang waktu itu dipegang oleh Bank Indonesia, sudah menerbitkan aturan pelaksanaan GCG bagi bank umum. Dalam Peraturan  Bank Indonesia (PBI) No.8/4 tahun 2006 itu bank diwajibkan melaksanakan prinsip-prinsip GCG dalam setiap kegiatan usahanya pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi.
Namun kini penerapan GCG tampaknya mulai mengendur. Berdasarkan riset dari Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), dalam 10 tahun sejak 2007, nilai komposit dari penerapan GCG yang dilakukan industri perbankan masih berada dalam kisaran baik. “Rata-rata nilai GCG industri perbankan adalah 2,02 yang didapat dari 90 bank yang mengirimkan laporan dalam jangka waktu 2007-2016,” kata Kepala Divisi Riset dan Pengembangan LPPI, Lando Simatupang.
Bank diwajibkan untuk mengisi penilaian GCG dengan metode self assessment pada 11 aspek yang sudah ditetapkan oleh otoritas. Isian tersebut nantinya akan menghasilkan nilai akhir 1 sampai 5, yang mana, makin tinggi angkanya berarti makin buruk penerapan GCG di bank tersebut.
Dengan nilai rata-rata di kisaran 2 maka secara tidak langsung industri perbankan di Indonesia mengungkapkan bahwa manajemen mereka telah melakukan penerapan GCG yang secara umum dinilai baik. Apabila terdapat kelemahan dalam penerapan prinsip GCG, maka secara umum kelemahan tersebut dinilai oleh perbankan kurang signifikan dan dapat diselesaikan dengan tindakan normal oleh manajemen.
Akan tetapi jika telusuri tahun demi tahun sejak kewajiban penerapan GCG tersebut diberlakukan, terlihat adanya penurunan kualitas governance. Dalam riset LPPI tersebut ketika pertama kali diterapkan pada 2006, nilai rata-rata GCG industri perbankan berada di kisaran 1, yang berarti sangat baik (lihat grafik).
Baru setahun sejak diterapkan, nilai GCG perbankan terlihat memburuk. Malah, setelah sepanjang 2008-2010 penerapan GCG perbankan terlihat ada perbaikan, peringkatnya kembali memburuk dan mencapai puncaknya pada 2015.
Jika ditengok ke belakang, sepanjang 2011 sampai 2015 industri perbankan memang menghadapi persoalan yang tidak ringan terkait maraknya praktik kecurangan (fraud) yang mengerogoti beberapa bank umum. Dimulai ketika industri perbankan dikagetkan dengan terkuaknya pembobolan bank (internal fraud) yang dilakukan Malinda Dee, Relationship Manager Citibank pada 2011. Aksi yang dilakukannya terlihat sederhana, memindahkan dana nasabah ke rekening lain dengan menggunakan blanko kosong. Lalu ada pula pembobolan dana yang dilakukan pegawai Bank Mega terhadap simpanan dari Elnusa, perusahaan sektor minyak dan gas milik negara, yang kasusnya berlarut-larut hingga 2013.
Pada 2014 ada kasus pembobolan dana dan juga skimming kartu debit dan kredit yang menimpa Bank Mandiri. Total dana yang dicuri berjumlah puluhan miliar rupiah.
Kemudian pada 2015, mencuat kasus besar yang menimpa Bank BTPN ketika dana Rp22 miliar milik Pemerintah Kota Semarang raib dari deposito yang dikelola bank itu. Pemkot menyimpan uang sebesar Rp 22 miliar yang didepositokan ke BPTPN sejak tahun 2007 lalu dalam bentuk rekening Koran. Setelah tujuh tahun berjalan, yakni tahun 2014 lalu Pemkot mendapat rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Jawa Tengah untuk menarik deposito tersebut. Namun saat ditarik ternyata dana yang tersisa dalam deposito tinggal Rp 80 juta.

Akar Masalah
                Tata kelola perusahaan adalah subyek yang penting bagi jalannya institusi keuangan, bahkan bagi perekonomian. Mas Achmad Daniri, Ketua Komisi Nasional Kebijakan Governance (KNKG), mengatakan bahwa inti permasalahan dari bangsa yang tak kunjung tuntas. “Jika kita tidak mengobati akar persoalannya, jangan pernah berharap kita akan mengatasinya secara tuntas,”kata dia. Ia mengingatkan krisis multi dimensi pada 1998, 2008 dan saat ini, tak lepas dari persoalan governance.
Penyebab memburuknya penerapan tata kelola perusahaan di perbankan seperti yang terlihat di riset LPPI sepanjang 2011-2015, kata Daniri, biasanya disebabkan oleh intervensi terutama dari pemegang saham.
Sementara itu ketika industri perbankan menghadapi perubahan dahsyat terkait teknologi informasi, penerapan GCG dinilai akan menghadapi tantangan berat. Meski demikian, Daniri, optimistis terkait perkembangan tersebut. “Secara teori dengan dukungan IT, mestinya transparansi dan akuntabilitas lebih baik,” kata dia.
Perkembangan teknologi hanya salah satu dari perubahan dunia bisnis yang sering dikompilasi dalam istilah VUCA, yang merupakan singkatan dari Volatility, Uncertainty, Complexity dan Ambiguity.
Terkait hal itu, pengamat GCG Wilson Arafat, mengatakan bahwa seharusnya aturan-aturan dalam penerapan tata kelola perusahaan juga harus dinamis mengikuti perkembangan tantangan bisnis. meski begitu, aturan-aturan itu tetap harus mengacu pada prinsip-prinsip dan framework dengan GCG yang telah ada. “Pastinya tantangan terbesar adalah mewujudkan integrated GRC (governance, risk management, compliance),” kata dia.
Menurut dia, aturan yang bisa mengadopsi perkembangan terkini yang dihadapi perbankan medesak untuk segera dirumuskan karena sesungguhnya untuk melakukannya relatif sederhana karena prinsip GCG penerapannya juga sama. “Namun begitu, aturan itu harus memahami benar proses bisnis (baru) dalam penerapannya. Sehingga viable fit dengan bisnis, bukan jadi penghambat,” kata Wilson.
Penurunan kualitas penerapan GCG di Indonesia juga terlihat ketika dibandingkan dengan negara-negara di Kawasan ASEAN. Hal itu diakui oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan, hanya dua emiten dari Indonesia yang masuk dalam daftar 50 Emiten Terbaik dalam Praktik GCG di ASEAN dalam ajang penganugerahan ASEAN Corporate Governance Awards 2015 yang diselenggarakan oleh ASEAN Capital Markets Forum (ACMF) di Manila, Filipina. Kedua emiten tersebut yaitu PT Bank Danamon Tbk dan PT Bank CIMB Niaga Tbk.
“Pencapaian (Indonesia) ini tentu masih tertinggal jauh dari Thailand yang mampu menempatkan 23 emiten, Filipina 11 emiten, Singapura delapan emiten dan Malaysia enam emiten. Besar harapan saya bahwa akan banyak lagi emiten-emiten Indonesia yang mampu menembus Top 50 ASEAN Companies pada ajang ASEAN Corporate Governance Awards berikutnya," tutur Wimboh.


Prinsip-prinsip GCG

1. Transparansi
Untuk menjaga obyektifitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus menyediakan informasi
yang material dan relevan secara tepat waktu, dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh
pemangku kepentingan, tidak hanya yang dipersyaratkan oleh peraturan perundang-undangan
namun hal penting dalam pengambilan keputusan pemegang saham, dan pemangku kepentingan
lain.
2. Akuntabilitas
Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Untuk
itu perlu kejelasan fungsi, struktur, sistem dan pertanggungjawaban setiap organ perusahaan.
3. Responsibilitas
Peusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggungjawab
terhadap masyarakat dan lingkungan untuk menjada kesinambungan usaha dalam jangka panjang.
4. Independensi
Prinsip ini mensyaratkan agar perusahaan dikelola secara profesional tanpa ada benturan
kepentingan dan tanpa tekanan atau intervensi dari pihak lain.
5. Kewajaran dan Kesetaraan
Perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku
kepentingan lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar