Kamis, 10 Januari 2019

Gugup Ekonomi

Tahun 2018 memang dimulai dengan kekhawatiran yang cukup tinggi  meskipun pemerintah berupaya keras menunjukkan optimismenya kepada publik. Bayang-bayang siklus krisis 10 tahunan yang diperingatkan banyak ekonom membuat pemerintah sangat berhati-hati dalam setiap tindakan. Upaya menunjukkan optimisme itu pun sedikit terbantu dengan melajunya indeks saham ke posisi tertingginya sepanjang masa pada Februari lalu.
                Namun begitu kekhawatiran itu tidak bisa ditutupi. Pasalnya indikator-indikator ekonomi utama belum menunjukkan angka yang menggembirakan, bahkan ketika lembar kalender tahun ini tersisa sehelai. Pertumbuhan ekonomi misalnya, hingga kini belum memberikan kebanggaan kepada pemerintah, ketika pencapaiannya setiap tahun selalu lebih rendah dari target yang tertera di anggaran negara. Neraca transaksi pembayaran yang menjadi saluran penting bagi pergerakan nilai tukar juga masih defisit.
                Kegugupan itu bertambah deras ketika nilai tukar rupiah merosot ke level terendahnya sejak krisis 1998 karena beredar di level 15.200-an per dollar AS pada Oktober. Banyak yang menilai saat itu alarm krisis telah berbunyi. Pemerintah dan otoritas terkait hal itu selalu mengatakan bahwa ekonomi tetap baik-baik saja, belum bisa mengubah arah pelemahan nilai tukar. Jurus yang dipakai adalah bahwa kondisi ini tak terelakkan karena faktor eksternal, ditambah dengan jurus bahwa masih ada negara lain yang mengalami hal serupa bahkan lebih parah.
                Kemudian pada November kurs rupiah berangsur-angsur mulai menguat dan meninggalkan level Rp15.000 per dollar AS. Beberapa kebijakan Bank Indonesia di pasar moneter disebut-sebut memiliki andil terhadap penguatan itu.
Ketika nilai tukar rupiah tengah menguat, pemerintah dengan cepat meresponsnya dengan menerbitkan paket kebijakan baru yang berisi tentang penghapusan pajak, kemudahan investasi asing, dan insentif untuk devisa ekspor. Hal itu itu meneruskan lagi barisan paket kebijakan yang terhenti lebih dari setahun lalu.
Namun demikian, waktu setahun rupanya tidak cukup untuk menghilangkan masalah koordinasi dan menghilangkan kesan terburu-buru pemerintah. Pasalnya tidak sampai sehari semalam setelah Paket Kebijakan nomor 16 yang diumumkan oleh Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution itu diumumkan, sudah ada revisi dan tarik menarik dari kebijakan tersebut. Kesan bahwa kebijakan tersebut belum siap untuk diluncurkan tidak bisa disembunyikan.
Pada 16 November lalu, paket tersebut diumumkan dan belum sampai 24 jam berlalu diberitakan bahwa pemerintah akan meng-update paket kebijakan itu. Adalah paket kebijakan penghapusan Daftar Negatif Investasi (DNI) yang kemudian menuai kontra. Awalnya pemerintah mengumumkan akan menghapus 54 sektor usaha dari DNI dan membukanya untuk digarap oleh investor asing.
Kontra pun terbit karena pemerintah dinilai mempermudah asing dalam menggarap UMKM dan tidak melindungi sektor tersebut. Darmin kemudian mengumumkan bahwa pemerintah menunda pelaksanaan pelonggaran investasi asing. Penundaan dilakukan setelah mendengarkan masukan dari kalangan dunia usaha yang merasa keberatan dan butuh penjelasan mengenai pelonggaran tersebut. meskipun pada akhirnya ada pengumuman bahwa hal itu akan dipastikan Desember ini, tetap saja kegugupan dan ketergesaan dalam mengumumkan kebijakan itu sudah terlanjur terlihat publik.
Kini tahun 2018 tinggal menyisakan beberapa hari lagi. Mudah-mudahan tidak ada lagi kegugupan yang menjadikan ketidakpastian bisnis mengemuka. Tahun depan, adalah tahun politik. Kegugupan dan ketergesaan akan cepat dibaca publik sebagai kegagalan.
(diterbitkan Desember 2018)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar