Minggu, 13 Oktober 2019

Benih Minim di Ladang 'Startup'


Jalan terjal masih akan dihadapi para pelaku bisnis rintisan di Indonesia mengingat dukungan modal kepada mereka masih minim. Sementara harapan yang ada di pundak mereka sangat besar.

Tiga dekade lalu, perusahaan-perusahaan di bidang industri dan sumber daya alam masih mendominasi jajaran 10 bisnis global teratas. Namun menjelang masuk milenium baru, beberapa perusahaan di bidang teknologi mulai masuk ke dalam daftar, yang ditandai oleh hadirnya Microsoft dan Cisco.
Setelah itu, teknologi seolah menjadi idola, dan korporasi yang mengusungnya menjadi penguasa kapitalisasi pasar global mengungguli sektor lainnya. Nama-nama seperti Intel, IBM dan dua nama yang disebut di awal terus mempertahankan posisinya hingga awal dekade di tahun 2000-an.
Kondisi itu tidak bertahan lama, karena muncul apa yang dinamakan gelombang new technology akibat merangseknya internet dan maraknya penggunaan teknologi digital. Perusahaan-perusahaan semacam Facebook, Alibaba, Twitter, Pinterest, Whatsapp, dan Xiaomi kemudian muncul mengambil alih panggung. Mulanya perusahaan-perusahaan ini tidak diperhitungkan namun seiring meningkatnya praktik digital, mereka kemudian menjadi perusahaan raksasa.
Di Indonesia, keadaannya tidak jauh berbeda. Sebagai negara pengguna internet kelima terbanyak di dunia, kehadiran perusahaan-perusahaan di bidang teknologi mendapat perhatian besar. Sebut saja Go-Jek, Tokopedia, Bukalapak, Traveloka dan lainnya. Keempat perusahaan rintisan di bidang teknologi digital (startup) itu bahkan sudah mendapatkan julukan Unicorn, karena nilai pasarnya sudah melebihi 1 miliar dollar AS.
Lalu bagaimana bisnis ini bisa berkembang? Beragam analisis telah menyimpulkan bahwa bisnis-bisnis yang baru dirintis selalu mengandung risiko namun risiko startup di bidang teknologi lebih besar lagi. Sebagaimana usaha-usaha pemula lainnya, startup teknologi selalu dihindari bank dengan alasan belum bankable dan peluangnya untuk berkembang tidak jelas.
“Saya awalnya sudah mencoba mendatangi bank untuk meminjam atau mengajukan kredit tetapi ditolak,” kata Febbie Hadidalas, Founder Indoris, sebuah aplikasi kesehatan dan kedokteran.
Akhirnya aplikasi yang digagasnya pada 2010 itu pun ditawarkan kepada investor individual yang berasal dari perusahaan swasta. Sementara itu, lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro hanya mendapat 15 persen dari kepemilikan aplikasi yang dia temukan.
Akan tetapi, demi tetap memegang kendali merek yang dia miliki, Indoris telah didaftarkan kepada lembaga paten yang mana hak cipta merek itu akan menjadi miliknya selama 50 tahun. “Memang keuntungan atau kebanggan agak berkurang, tapi minimal royaltinya tetap kuat,” ujar dia.
Kini aplikasi yang memungkinkan pasien untuk mengakses CT Scan dan MRI lewat aplikasi di telepon androin itu sudah diunduh oleh seribuan orang.
Pengalaman senada juga diungkapkan oleh M. Tesar Sandikapura, CEO dan juga Founder liteBIG, aplikasi pesan singkat buatan Indonesia. Dia mengaku tidak mendapat pendanaan dari lembaga keuangan sejak memperkenalkan aplikasinya hingga kini yang sudah berjalan sekitar lima tahun.
Namun menurut dia, hal itu adalah sebuah kondisi yang wajar mengingat startup teknologi memang sebuah bisnis yang sangat berisiko dan tentunya unbankable. Oleh karena itu yang biasanya mendekati pebisnis rintisan adalah para angel investor atau lembaga modal ventura (Venture Capital/VC).
Seperti di negara-negara maju, di Indonesia peran pemodal malaikat dan VC juga sudah mulai terasa bahkan juga mendominasi pendanaan untuk para startup. Meski demikian pemodal ventura lokal belum banyak bergerak mendanai startup di Indonesia, dibanding dengan pemodal asing.
Kedewasaan pemodal lokal yang belum setara investor asing memang bisa dipahami karena kebanyakan memang belum memahami startup solution. Kondisi itu juga bisa diartikan bahwa ekosistem pendanaan startup di Indonesia belum dewasa. “Pemahaman kebanyakan VC Indonesia adalah kalau menyuntikkan modal ke startup itu cuma ‘bakar duit’,” kata Tesar.
Dalam pandangan dia, siklus pertumbuhan startup yang unik memang membutuhkan pemahaman khusus dari investor. Disebutkan bahwa pada tahap awal ketika perintis usaha mulai mengerjakan proyek startup dan mulai melakukan prototiping bisnis dibutuhkan dana Rp200 juta-500 juta. “Untuk tahap ini tidak akan ada bank yang tertarik mendanai, karena itu biasanya startup dibiayai oleh angel investor,” jelas Tesar.
Tahap berikutnya adalah market validation untuk memastikan bisnisnya bisa jalan dan diterima publik. Tahap ini juga sering disebut market and customer development. Pada bagian ini perusahaan membutuhkan suntikan dana Rp1 miliar sampai Rp3 miliar, dan kata Tesar, hal itu biasanya hanya ‘diminati oleh angel investor.
Tahap selanjutnya adalah menuju growth yang artinya bisnis mulai dijalankan secara massal. Pada tahap ini maka dana angel investor sudah tidak bisa lagi memenuhi kebutuhan startup. “Di tahap ini investor yang berasal dari venture capital mulai masuk atau menjajaki kemungkinan memberikan pendanaan,” kata Tesar.
Ada perbedaan mencolok yang bisa terlihat ketika investor akan menyuntikkan modal. Pemodal asing, karena ekosistemnya mapan dan pengalamannya panjang, terlihat lebih longgar dalam pendanaan kepada startup. Perusahaan itu bisa saja menggelontorkan dana besar pada startup yang dipilihnya tanpa ada peraturan yang ketat soal kepemilikan.
“Sementara pemodal modal ventura lokal, saat ini baru berani mengucurkan dana jika sudah ada pemodal asing yang masuk terlebih dahulu, atau mereka memang sejak awal sudah menggandeng asing,” ujar Tesar.
Pemodal ventura lokal juga terbilang lebih ‘ganas’. Jika mereka sudah memutuskan unutk memodali startup yang dipilihnya, maka, lanjut Tesar, mereka harus menguasai seluruh kepemilikan dari startup tersebut, sedangkan penemunya hanya disisakan sedikit saham saja. “Bisa dilihat dari kasus pembelian blibli.com dan tiket.com atau kaskus,” kata dia.

Dana Pasar Modal
Ketatnya aturan yang membebat perbankan ditambah besarnya risiko yang dikandung bisnis rintisan membuat keduanya sulit dipertemukan. Akan tetapi, pemerintah yang sudah kadung berjanji akan mencetak 1.000 startup, tentu tidak ingin program tersebut gagal.
Ya, sudah sejak 2016 lalu Presiden Joko Widodo meluncurkan sebuah program ambisius, Gerakan Nasional 1000 Startup Digital. Dengan program tersebut, pemerintah berharap bisa melahirkan 1.000 startup pada tahun 2020, dengan total valuasi yang mencapai 10 miliar dollar AS (sekitar Rp133 triliun).
Oleh karena itu dicari solusi agar startup bisa memperoleh pendanaan dari saluran lain selain bank. Salah satunya lewat pasar modal. Seperti dikatakan oleh Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Wimboh Santoso pada penutupan perdagangan bursa akhir 2018 lalu, pihaknya akan mendorong startup untuk memanfaatkan pasar modal. “Kami mempermudah startup company memperoleh pendanaan dari pasar modal melalui equity crowdfunding,” kata dia.
OJK sejak tahun lalu sudah meluncurkan aturan mengenai skema tersebut, di mana pengusaha startup bisa menawarkan saham perusahaannya secara langsung kepada pemodal melalui jaringan internet. Dalam aturan itu disebutkan bahwa penawaran saham melalui perusahaan crowdfunding atau disebut sebagai Layanan Urun Dana, bukan merupakan Penawaran Umum untuk IPO pada umumnya di Bursa Efek Indonesia.
Dengan kondisi tersebut, tentu saja tetap diharapkan bahwa tahun depan akan muncul 1.000 startup dengan bisnisnya yang diterima oleh pasar dan kemudian akan menjadi Unicorn beberapa tahun setelah itu. Dan dalam satu dekade ke depan mereka kemudian akan bertengger dalam daftar 10 besar perusahaan-perusahaan terbesar di Indonesia.





Grafis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar