Jalan terjal masih akan dihadapi para pelaku bisnis rintisan
di Indonesia mengingat dukungan modal kepada mereka masih minim. Sementara
harapan yang ada di pundak mereka sangat besar.
Tiga dekade lalu, perusahaan-perusahaan di bidang industri
dan sumber daya alam masih mendominasi jajaran 10 bisnis global teratas. Namun
menjelang masuk milenium baru, beberapa perusahaan di bidang teknologi mulai
masuk ke dalam daftar, yang ditandai oleh hadirnya Microsoft dan Cisco.
Setelah itu, teknologi seolah
menjadi idola, dan korporasi yang mengusungnya menjadi penguasa kapitalisasi
pasar global mengungguli sektor lainnya. Nama-nama seperti Intel, IBM dan dua
nama yang disebut di awal terus mempertahankan posisinya hingga awal dekade di
tahun 2000-an.
Kondisi itu tidak bertahan lama,
karena muncul apa yang dinamakan gelombang new
technology akibat merangseknya internet dan maraknya penggunaan teknologi
digital. Perusahaan-perusahaan semacam Facebook, Alibaba, Twitter, Pinterest,
Whatsapp, dan Xiaomi kemudian muncul mengambil alih panggung. Mulanya
perusahaan-perusahaan ini tidak diperhitungkan namun seiring meningkatnya
praktik digital, mereka kemudian menjadi perusahaan raksasa.
Di Indonesia, keadaannya tidak
jauh berbeda. Sebagai negara pengguna internet kelima terbanyak di dunia,
kehadiran perusahaan-perusahaan di bidang teknologi mendapat perhatian besar.
Sebut saja Go-Jek, Tokopedia, Bukalapak, Traveloka dan lainnya. Keempat
perusahaan rintisan di bidang teknologi digital (startup) itu bahkan sudah mendapatkan julukan Unicorn, karena nilai pasarnya sudah melebihi 1 miliar dollar AS.
Lalu bagaimana bisnis ini bisa
berkembang? Beragam analisis telah menyimpulkan bahwa bisnis-bisnis yang baru
dirintis selalu mengandung risiko namun risiko startup di bidang teknologi lebih besar lagi. Sebagaimana
usaha-usaha pemula lainnya, startup
teknologi selalu dihindari bank dengan alasan belum bankable dan peluangnya untuk berkembang tidak jelas.
“Saya awalnya sudah mencoba
mendatangi bank untuk meminjam atau mengajukan kredit tetapi ditolak,” kata
Febbie Hadidalas, Founder Indoris,
sebuah aplikasi kesehatan dan kedokteran.
Akhirnya aplikasi yang digagasnya
pada 2010 itu pun ditawarkan kepada investor individual yang berasal dari
perusahaan swasta. Sementara itu, lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro
hanya mendapat 15 persen dari kepemilikan aplikasi yang dia temukan.
Akan tetapi, demi tetap memegang
kendali merek yang dia miliki, Indoris telah didaftarkan kepada lembaga paten
yang mana hak cipta merek itu akan menjadi miliknya selama 50 tahun. “Memang
keuntungan atau kebanggan agak berkurang, tapi minimal royaltinya tetap kuat,”
ujar dia.
Kini aplikasi yang memungkinkan
pasien untuk mengakses CT Scan dan MRI lewat aplikasi di telepon androin itu
sudah diunduh oleh seribuan orang.
Pengalaman senada juga
diungkapkan oleh M. Tesar Sandikapura, CEO dan juga Founder liteBIG, aplikasi
pesan singkat buatan Indonesia. Dia mengaku tidak mendapat pendanaan dari
lembaga keuangan sejak memperkenalkan aplikasinya hingga kini yang sudah
berjalan sekitar lima tahun.
Namun menurut dia, hal itu adalah
sebuah kondisi yang wajar mengingat startup
teknologi memang sebuah bisnis yang sangat berisiko dan tentunya unbankable. Oleh karena itu yang
biasanya mendekati pebisnis rintisan adalah para angel investor atau lembaga modal ventura (Venture Capital/VC).
Seperti di negara-negara maju, di
Indonesia peran pemodal malaikat dan VC juga sudah mulai terasa bahkan juga
mendominasi pendanaan untuk para startup.
Meski demikian pemodal ventura lokal belum banyak bergerak mendanai startup di
Indonesia, dibanding dengan pemodal asing.
Kedewasaan pemodal lokal yang
belum setara investor asing memang bisa dipahami karena kebanyakan memang belum
memahami startup solution. Kondisi
itu juga bisa diartikan bahwa ekosistem pendanaan startup di Indonesia belum dewasa. “Pemahaman kebanyakan VC
Indonesia adalah kalau menyuntikkan modal ke startup itu cuma ‘bakar duit’,”
kata Tesar.
Dalam pandangan dia, siklus
pertumbuhan startup yang unik memang
membutuhkan pemahaman khusus dari investor. Disebutkan bahwa pada tahap awal
ketika perintis usaha mulai mengerjakan proyek startup dan mulai melakukan prototiping
bisnis dibutuhkan dana Rp200 juta-500 juta. “Untuk tahap ini tidak akan ada
bank yang tertarik mendanai, karena itu biasanya startup dibiayai oleh angel
investor,” jelas Tesar.
Tahap berikutnya adalah market validation untuk memastikan bisnisnya
bisa jalan dan diterima publik. Tahap ini juga sering disebut market and customer development. Pada
bagian ini perusahaan membutuhkan suntikan dana Rp1 miliar sampai Rp3 miliar,
dan kata Tesar, hal itu biasanya hanya ‘diminati oleh angel investor.
Tahap selanjutnya adalah menuju
growth yang artinya bisnis mulai dijalankan secara massal. Pada tahap ini maka
dana angel investor sudah tidak bisa lagi memenuhi kebutuhan startup. “Di tahap
ini investor yang berasal dari venture
capital mulai masuk atau menjajaki kemungkinan memberikan pendanaan,” kata
Tesar.
Ada perbedaan mencolok yang bisa
terlihat ketika investor akan menyuntikkan modal. Pemodal asing, karena
ekosistemnya mapan dan pengalamannya panjang, terlihat lebih longgar dalam
pendanaan kepada startup. Perusahaan
itu bisa saja menggelontorkan dana besar pada startup yang dipilihnya tanpa ada peraturan yang ketat soal
kepemilikan.
“Sementara pemodal modal ventura
lokal, saat ini baru berani mengucurkan dana jika sudah ada pemodal asing yang
masuk terlebih dahulu, atau mereka memang sejak awal sudah menggandeng asing,”
ujar Tesar.
Pemodal ventura lokal juga
terbilang lebih ‘ganas’. Jika mereka sudah memutuskan unutk memodali startup
yang dipilihnya, maka, lanjut Tesar, mereka harus menguasai seluruh kepemilikan
dari startup tersebut, sedangkan
penemunya hanya disisakan sedikit saham saja. “Bisa dilihat dari kasus
pembelian blibli.com dan tiket.com atau kaskus,” kata dia.
Dana Pasar Modal
Ketatnya aturan yang membebat
perbankan ditambah besarnya risiko yang dikandung bisnis rintisan membuat
keduanya sulit dipertemukan. Akan tetapi, pemerintah yang sudah kadung berjanji
akan mencetak 1.000 startup, tentu
tidak ingin program tersebut gagal.
Ya, sudah sejak 2016 lalu
Presiden Joko Widodo meluncurkan sebuah program ambisius, Gerakan Nasional 1000
Startup Digital. Dengan program tersebut, pemerintah berharap bisa melahirkan
1.000 startup pada tahun 2020, dengan total valuasi yang mencapai 10 miliar dollar
AS (sekitar Rp133 triliun).
Oleh karena itu dicari solusi
agar startup bisa memperoleh
pendanaan dari saluran lain selain bank. Salah satunya lewat pasar modal.
Seperti dikatakan oleh Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Wimboh
Santoso pada penutupan perdagangan bursa akhir 2018 lalu, pihaknya akan
mendorong startup untuk memanfaatkan
pasar modal. “Kami mempermudah startup
company memperoleh pendanaan dari pasar
modal melalui equity crowdfunding,”
kata dia.
OJK sejak tahun lalu sudah
meluncurkan aturan mengenai skema tersebut, di mana pengusaha startup bisa menawarkan saham
perusahaannya secara langsung kepada pemodal melalui jaringan internet. Dalam
aturan itu disebutkan bahwa penawaran saham melalui perusahaan crowdfunding atau disebut sebagai
Layanan Urun Dana, bukan merupakan Penawaran Umum untuk IPO pada umumnya di
Bursa Efek Indonesia.
Dengan kondisi tersebut, tentu
saja tetap diharapkan bahwa tahun depan akan muncul 1.000 startup dengan
bisnisnya yang diterima oleh pasar dan kemudian akan menjadi Unicorn beberapa tahun setelah itu. Dan
dalam satu dekade ke depan mereka kemudian akan bertengger dalam daftar 10
besar perusahaan-perusahaan terbesar di Indonesia.
Grafis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar